-->

Jumat, 28 Oktober 2016

A. Pengertian Aliran Murji’ah

Kata murji’ah berasal dari suku kata bahasa arab “Raja’a” yang berarti “Kembali” dan yang dimaksud adalah golongan atau aliran yang berpendapat bahwa konsekuensi hukum dari perbuatan manusia bergantung pada Allah SWT.

B. Awal Munculnya Golongan Murji'ah

Golongan Murji’ah pertama kali muncul di Damaskus pada penghujung abad pertama hijriyah. Murji’ah pernah mengalami kejayaan yang cukup signifikan pada masa Daulah Ummayah, namun setelah runtuhnya Daulah Ummayah tersebut, golongan Murji’ah ikut redup dan barangsur – rangsur hilang ditelan zaman, hingga kini aliran tersebut sudah tidak terdengar lagi, namun sebagian fahamnya masih ada yang di ikuti oleh sebagian orang, sekalipun bertentangan dengan Al-qur’an dan Sunnah.


C. Ciri-ciri faham Murji'ah

Diantaranya adalah :
  1. Rukun iman ada dua yaitu : iman kepada Allah dan Iman kepada utusan Allah.
  2. Orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin selama ia telah beriman, dan bila meninggal dunia dalam keadaan berdosa tersebut ketentuan tergantung Allah di akhirat kelak.
  3. Perbuatan kemaksiatan tidak berdampak apapun terhadap seseorang bila telah beriman. Dalam artian bahwa dosa sebesar apapun tidak dapat mempengaruhi keimanan seseorang dan keimanan tidak dapat pula mempengaruhi dosa. Dosa ya dosa, iman ya iman.
  4. Perbuatan kebajikan tidak berarti apapun bila dilakukan disaat kafir. Artinya perbuatan tersebut tidak dapat menghapuskan kekafirannya dan bila telah muslim tidak juga bermanfaat, karena melakukannya sebelum masuk Islam.
Golongan murji’ah tidak mau mengkafirkan orang yang telah masuk Islam, sekalipun orang tersebut dzalim, berbuat maksiat dll, sebab mereka mempunyai keyakinan bahwa perbuatan dosa sebesar apapun tidak mempengaruhi keimanan seseorang selama orang tersebut masih muslim, kecuali bila orang tesebut telah keluar dari Islam (Murtad) maka telah berhukum kafir. Aliran Murji’ah juga menganggap bahwa orang yang lahirnya terlihat atau menampakkan kekufuran, namun bila batinnya tidak, maka orang tersebut tidak dapat dihukum kafir, sebab penilaian kafir atau tidaknya seseorang itu tidak dilihat dari segi lahirnya, namun bergantung pada batinnya. Sebab ketentuan ada pada I’tiqad seseorang dan bukan segi lahiriyahnya.

Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran khawarij . Kaum Murji’ah muncul adanya pertentangan politik dalam Islam. Dalam suasana demikian, kaum Murji’ah muncul dengan gaya dan corak tersendiri. Mereka bersikap netral, tidak berkomentar dalam praktek kafir atau tidak bagi golongan yang bertentangan. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang–orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu dihadapan Tuhan, karena halnya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap mukmin dihadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-nya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan dua kali masyahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir. Alasan Murji’ah menganggapnya tetap mukmin, sebab orang Islam yang berbuat dosa besar tetap mengakui bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan Nabi Muhammad adalah rasulnya.

Dalam bidang aliran teologi mengenai dosa besar, kaum Murji’ah ini mempunyai pendapat tentang aqidah yang semacam umum dapat digolongkan kedalam pendapat yang moderat dan ektrim.

1. Golongan yang Ekstrim

Golongan ini dipimpin Al-Jahamiyah (pengikut jaham ibn Safwan) pahamnya berpendapat, bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah kafir. Dengan alasan, iman dan kafir bertempat dihati lebih lanjut umpamanya ia menyembah salib, percaya pada trinitas dan kemudian meninggal, orang ini tetap mukmin, tidak menjadi kafir. Dan orang tersebut tetap memiliki iman yang sempurna.

Pengikut Abu Al-Hasan Al-Salihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan dan kafir adalah tidak tahu pada Tuhan. Masalah sembahyang tidak merupakan ibadah kepada Allah. Ibadah adalah iman kepadanya, artinya mengetahui Tuhan.

Al-Baghdadi menerangkan pendapat Al-Salihiyah bahwa sembahyang , zakat, puasa, dan haji hanya menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan ibadah kepada Allah. Kesimpulanya ibadah hanyalah iman.

Al-Yunusiyah berkesimpulan atas pendapat kaum Murji’ah yang disebut iman adalah mengetahui Tuhan, bahwa melakukan maksiat atau pekerjaan jahat tidaklah merusak iman seseorang.

Atas pandangan diatas .Al-Ubaidiyah berpendapat bahwa jika seseorang mati dalam iman , dosa dan perbuatan jahat yang dikerjakannya tidak akan merugikan yang bersangkutan.

Adapun Muqatil ibn Sulaiman mengatakan, perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang, dan sebaliknya perbuatan baik tidak akan mengubah kedudukan orang musyrik.

2. Golongan Murji'ah Moderat

Golongan ini berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka. Ia mendapat hukuman dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya. Kemungkinana Tuhan akan memberikan ampunan terhadap dosanya. Oleh sebab itu, golongan ini meyakini bahwa orang tersebut tidak akan masuk neraka selamanya. Berbeda dengan golongan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar kekal dineraka memberi nama Murji’ah kepada semua orang yang tidak berpendapat seperti itu,yaitu selama mereka berpendapat bahwa pendosa tadi tidak kekal dineraka, walaupun mereka mengatakan bahwa pendosa itu akan disiksa dengan ukuran tertentu dan mungkin kemudian Allah memaafkannya dan menaunginya dengan rahmat-Nya. Itulah sebabnya golongan Mu’tazilah menerapkan sifat Murji’ah kepada beberapa imama mazhab dalam bidang fiqh damn hadist.

Tokoh dari golongan ini antara lain : Al-Hasan ibn Muhammad ibn Ali ibn Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadis. Kemudian Abu Hanifah mendefinisikan iman adalah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, Tentang rasul – rasulnya. Dan tentang segala apa yang datang dari Tuhan.

Ada gambaran definisi iman menurut Abu Hanifah, yaitu iman bagi semua orang Islam adalah sama. Tidak ada perbedaan antara iman orang Islam yang berdosa besar dan orang Islam yang patuh menjalan kan perintah – perintah Allah. Dengan demikian, Abu Hanifah berpendapat bahwa perbuatan tidak penting, tidak dapat diterima.

Ajaran kaum Murji’ah moderat diatas dapat diterima oleh golongan Ahli sunah wal jamaah dalam Islam. Asy’ari berpendapat, iman adalah pengakuan dalam hati tentang ke Esaan Tuhan dan tentang kebenaran Rasul – rasulnya serta apa yang mereka bawa. Sebagai cabang dari iman adalah mengucapkan dengan lisan dan mengerjakan rukun – rukun Islam. Bagi orang yang melakukan dosa besar, apabila meninggal tanpa obat, nasibnya terletak ditangan Tuhan. Kemungkinan Tuhan tidak membari ampun atas dosa – dosanya dan akan menyiksanya sesuai dengan dosa – dosa yang dibuatnya. Kemudian dia dimasukkan kedalam surga, karena ia tidak akan mungkin kekal tinggal dalam neraka.

Keidentikan pendapat yang berasal dari kaum Murji’ah antara lain :

Pendapat Al-Baghdadi
Beliau berpendapat bahwa iman ada dua macam yaitu :
  1. Iman yang membuat orang keluar dari golongan kafir dan tidak kekal dalam neraka, yaitu mengakui Tuhan, kitab, rasul, qadar, sifat Tuhan, dan segala keyakinan lain yang diakui dalam syari’at.
  2. Iman yang mewajibkan adanya keadilan dan melenyapkan nama fasik dari seorang serta melepaskanya dari neraka, yaitu mengerjakan segala yang wajib dan menjauhi segala dosa besar.

DAFTAR PUSTAKA

Sufyan Raji Abdullah Muhammad, Lc.mengenal aliran Islam.2003. Pustaka al-Riyadl. Jakarta

Ahmad Muhammad. Tauhid Ilmu Kalam. 1998. Pustaka Setia. Bandung

Zahra Imam Muhammad Abu. Aliran Politik dan Akidah .1996. Logos. Jakarta Selatan.

Nata Abudin, M.A. Ilmu Kalam, Filsafat, Tasawuf. 1993. Raja Wali Pers. Jakarta Utara.

A. Dasar Pemikiran Aliran Murji’ah Dan Kelompoknya
Persoalan teologi dimulai pada masa pemerintahan Usman dan Ali, yaitu disaat terjadinya pergolakan-pergolakan politik dikalangan umat Islam. Perjuangan politik untuk merebut kekuasaan selalu dibingkai dengan ajaran agama, sebagai payung pelindung. Baik bagi kelompok yang menang demi untuk mempertahankan kekuasaannya, maupun kelompok yang kalah untuk menyerang lawan-lawan politiknya. Dari sini dapat dikatakan mazhab-mazhab fikih dan aliran-lairan teologi dalam Islam lahir dari konflik politik yang terjadi di kalangan umat Islam sendiri, untuk kepentingan dan mendukung politik masing- masing kelompok, ulama dari kedua kelompokpun memproduksi hadits-hadits palsu dan menyampaikan fatwa-fatwa keberpihakan.
Adanya keterpihakan kelompok pada pertentangan tentang Ali bin Abi Thalib, memunculkan kelompok lainnya yang menentang dan beroposisi terhadapnya. Begitu pula terdapat orang-orang yang netral, baik karena mereka mengganggap perang saudara ini sebagai seuatu fitnah (bencana) lalu mereka berdiam diri, atau mereka bimbang untuk menetapkanhaq dan kebenaran pada kelompok yang ini atau itu.
Aliran Murji’ah adalah aliran Islam yang muncul dari golongan yang tak sepaham dengan Khowarij. Ini tercermin dari ajarannya yang bertolak belakang dengan Khowarij. Pengertian murji’ah sendiri ialah penangguhan vonis hukuman atas perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah SWT kelak. Jadi, mereka tak mengkafirkan seorang Muslim yang berdosa besar, sebab yang berhak menjatuhkan hukuman terhadap seorang pelaku dosa hanyalah Allah SWT, sehingga seorang Muslim, sekalipun berdosa besar, dalam kelompok ini tetap diakui sebagai Muslim dan punya harapan untuk bertobat. Murji’ah, baik sebagai kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculaan syi’ah dan khawarij. Pada mulanya kaum Murji’ah merupakan golongan yang tidak mau turut campur dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi ketika itu dan menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya orang-orang yang bertentangan itu kepada Tuhan.
Lebih lanjut kelompok ini menganggap bahwasanya pembunuhan dan pertumpahan darah yang terjadi di kalangan kaum muslimin sebagai suatu kejahatan yang besar. Namun mereka menolak menimpakan kesalahan kepada salah satu di antara kedua kelompok yang saling berperang.
Pada mulanya kaum Murji’ah ditimbulkan oleh persoalan politik, tegasnya persoalan khalifah yang membawa perpecahan dikalangan umat Islam setelah Usman bin Affan mati terbunuh. Munculnya permasalahan ini perlahan-lahan menjadi permasalahan tentang ketuhanan. Oleh karena itu, akan membahas tentang Murji’ah dan perkembangan pemikirannya dalam mewarnai pemahaman ketuhanan dalam Agama Islam.
B. Awal Kemunculan Kelompok Murjia’h
Asal usul kemunculan kelompok Murji’ah dapat dibagi menjadi 2 sebab yaitu:
1. Permasalahan Politik
Ketika terjadi pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah, dilakukanlah tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Mu’awiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi 2 kubu, yang pro dan kontra. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an, dengan pengertian, tidak ber-tahkim dengan hukum Allah. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim adalah dosa besar, dan pelakunya dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuatan dosa besar yang lain.
Seperti yang telah disebutkan di atas Kaum khawarij, pada mulanya adalah penyokong Ali bin Abi thalib tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya. Karena ada perlawanan ini, pendukung-pendukung yang tetap setia pada Ali bin Abi Thalib bertambah keras dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan golongan lain dalam islam yang dikenal dengan nama Syi’ah.
Dalam suasana pertentangan inilah, timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap netral tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan ini. Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan ini merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu mereka tidak mengeluarkan pendapat siapa sebenarnya yang salah, dan lebih baik menunda (arja’a) yang berarti penyelesaian persoalan ini di hari perhitungan di depan Tuhan.
Gagasan irja’ atau arja yang dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan menghindari sekatrianisme.
2. Permasalahan Ke-Tuhanan
Dari permasalahan politik, mereka kaum Mur’jiah pindah kepada permasalahan ketuhanan (teologi) yaitu persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum khawarij, mau tidak mau menjadi perhatian dan pembahasan pula bagi mereka. Kalau kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir bagi orang yang membuat dosa besar, kaum Murji’ah menjatuhkan hukum mukmin.
Pendapat penjatuhan hukum kafir pada orang yang melakukan dosa besar oleh kaum Khawarij ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Mur’jiah yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia akan mengampuninya atau tidak.
Aliran Murji’ah menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan Tuhan, karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih di anggap mukmindi hadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosar besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu, orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir.
Pandangan golongan ini dapat dilihat terlihat dari kataMurji’ah itu sendiri yang berasal dari kata arja’a yang berarti orang yang menangguhkan, mengakhirkan dan memberikan pengaharapan. Menangguhkan berarti bahwa mereka menunda soal siksaan seseorang di tangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan ia akan langsung masuk surga, sedangkan jika tidak, maka ia akan disiksa sesuai dengan dosanya, setelah ia akan dimasukkan ke dalam surga. Dan mengakhirkan dimaksudkan karena mereka memandang bahan perbuatan atau amal sebagai hal yang nomor dua bukan yang pertama. Selanjutnya kata menangguhkan, dimaksudkan karena mereka menangguhkan keputusan hukum bagi orang-orang yang melakukan dosa di hadapan Tuhan.
Disamping itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama Murji’ah yang diberikan pada golongan ini, bukan karena mereka menundakan penentuan hukum terhadap orang islam yang berdosa besar kepada Allah di hari perhitungan kelak dan bukan pula karena mereka memandang perbuatan mengambil tempat kedua dari iman, tetapi karena mereka memberi pengaharapan bagi orang yang berdosa besar untuk masuk surga.
Golongan Murji’ah berpendapat bahwa yang terpenting dalam kehidupan beragama adalah aspek iman dan kemudian amal. Jika seseorang masih beriman berarti dia tetap mukmin, bukan kafir, kendatipun ia melakukan dosa besar. Adapun hukuman bagi dosa besar itu terserah kepada Tuhan, akan ia ampuni atau tidak. Pendapat ini menjadi doktrin ajaran Murji’ah.
C. Pembagian Kelompok Murji’ah
Pada umunmnya kaum Murji’ah di golongkan menjadi dua golongan besar, yaitu Golongan Moderat dan golongan Ekstrim.
a. Golongan Moderat
Tokoh-tokoh kelompok moderat adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah (Imam Hanafi), Abu Yusuf dan beberapa ahli hadits. Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka. Tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali.
Golongan Murji’ah yang moderat ini termasuk Al-Hasan Ibn Muhammad Ibn ’Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli Hadits. Menurut golongan ini, bahwa orang islam yang berdosa besar masih tetap mukmin. Dalam hubungan ini Abu Hanifah memberikan definisi iman sebagai berikut: iman adalah pengetahuan dan pengakuan adanya Tuhan, Rasul-rasul-Nya dan tentang segala yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan tidak dalam perincian; iman tidak mempunyai sifat bertambah dan berkurang, tidak ada perbedaan manusia dalam hal iman.
Dengan gambaran serupa itu, maka iman semua orang islam di anggap sama, tidak ada perbedaan antara iman orang islam yang berdosa besar dan iman orang islam yang patuh menjalankan perintah-perinyah Allah. Jalan pikiran yang dikemukakan oleh Abu Hanifah itu dapat membawa kesimpulan bahwa perbuatan kurang penting dibandingkan dengan iman.
b. Golongan Murji’ah Ekstrim
Adapun yang termasuk ke dalam kelompok ekstrim adalah Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah dan Al-Hasaniyah, Al-Ghailaniyah, As-Saubaniyah, Al-Marisiyah, dan Al-Karamiyah. Pandangan tiap kelompok ini dapat dijelaskan sebagi berikut:
• Kelompok Al-Jahmiyah
Adapun golongan Murji’ah ekstrim adalah Jahm bin Safwan dan pengikutnya disebut al-Jahmiah. Golongan ini berpendapat bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan, kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena kafir dan iman tempatnya bukan dalam bagian tubuh manusia tetapi dalam hati sanubari. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa orang yang telah menyatakan iman, meskipun menyembah berhala, melaksanakan ajaran-ajaran agama Yahudi degan menyembah berhala atau Kristen dengan menyembah salib, menyatakan percaya pada trinitas, kemudian mati, tidaklah menjadi kafir, melainkan tetap mukmin dalam pandangan Allah. Dan orang yang demikian bagi Allah merupakan mukmin yang sempurna imannya.
• Kelompok Ash-Shalihiyah
Bagi kelompok pengikut Abu Al-Hasan Al-Salihi iman adalah megetahui Tuhan danKufr adalah tidak tahu pada Tuhan. Dalam pengertian bahwa mereka sembahyang tidaklah ibadah kepada Allah, karena yang disebut ibadat adalah iman kepadanya, dalam arti mengetahui Tuhan. Begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah melainkan sekedar mengamabrkan kepatuhan.
• Kelompok Al-Yunusiyah
Kaum Yunusiyah yaitu pengikut- pengikut Yunus ibnu ’Aun an Numairi berpendapat bahwa ”iman” itu adalah mengenai Allah, dan menundukkan diri padanya dan mencintainya sepenuh hati. Apabila sifat-sifat tersebut sudah terkumpul pada diri seseorang, maka dia adalah mukmin. Adapun sifat-sifat lainnya, seperti “taat” misalnya, bukanlah termasuk iman, dan orang yang meninggalkan bukanlah iman, dan orang yang meninggalkan ketaatan tidak akan disiksa karenanya, asalkan saja imannya itu benar-benar murni dan keyakinannya itu betul- betul benar.
• Kelompok Al-Ubaidiyah
Al-Ubaidiyah di pelopori oleh Ubaid Al-Muktaib. Pada dasarnya pendapat mereka sama dengan sekte Al-Yunusiyah. Melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan- perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik (politheist).
• Kelompok Al-Hasaniyah
Kelompok ini mengatakan bahwa, ”saya tahu tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini,” maka orang tersebut tetap mukmin bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan ”saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah Ka’bah di India atau di tempat lain”, orang yang demikian juga tetap mukmin.
• Al-Ghailaniyah
Al-Ghailaniyah di pelopori oleh Ghailan Ad-Dimasyqi. Menurut mereka, iman adalah ma’rifat kepada Allah SWT melalui nalar dan menunjukkan sikap mahabah dan tunduk kepada-Nya.
• As-Saubaniyah
As-Saubaniyah yang dipimpin oleh Abu Sauban mempunyai prinsip ajaran yang sama dengan paham Al-Ghailaniyah. Hanya mereka menambahkan bahwa yang termasuk iman adalah mengetahui dan mengakui sesuatu yang menurut akal wajib dikerjakan. Berarti, kelompok ini mengakui adanya kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui akal sebelum datangnya syari’at.
• Al-Marisiyah
Al-Marisiyah di pelopori oleh Bisyar Al-Marisi. Menurut paham ini, iman disamping meyakini dalam hati bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW itu rasul-Nya, juga harus di ucapkan secara lisan. Jika tidak di yakini dalam hati dan diucapkan dengan lisan, maka bukan iman namanya. Adapun kufur merupakan kebalikan dari iman.
• Al-Karamiyah
Al-Karamiyah yang perintisnya adalah Muhammad bin Karram mempunyai pendapat bahwa iman adalah pengakuan secara lisan dan kufur adalah pengingkaran secara lisan. Mukmin dan kafirnya sesseorang dapat di ketahui melalui pengakuannya secara lisan.
Sebagai aliran yang berdiri sendiri, kelompok Murji’ah ekstrem sudah tidak didapati lagi sekarang. Walaupun demikian, ajaran-ajarannya yang ekstrem itu masih didapati pada sebagian umat Islam. Adapun ajaran-ajaran dari kelompok Murji’ah moderat, terutama mengenai pelaku dosa-dosa besar serta pengertian iman dan kufur, menjadi ajaran yang umum disepakati oleh umat Islam.
D. Doktrin Pemikiran Kelompok Mur’jiah
Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja’at au arja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun persoalan teologis. Dibidang politik, doktrinirja’ diimplementasikan dengan sikap politik netral atau nonblok, yang hampir selalu diekspresikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya, kelompokMurji’ah di kenal pula denganThe Queitists (kelompok bungkam). Sikap ini akhirnya berimplikasi jauh sehingga membuatMurji’ah selalu diam dalam persoalan politik.
Secara umum kelompok Murji’ah menyusun teori-teori keagamaan yang independen, sebagai dasar gerakannya, yang intisarinya sebagai berikut :
1. Iman adalah cukup dengan mengakui dan percaya kepada Allah dan Rasulnya saja. Adapun amal atau perbuatan, tidak merupakan sesuatu keharusan bagai adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap sebagai mukmin walaupun ia meninggalkan apa yang difardhukan kepadanya dan melakukan perbuatan-perbuatan dosa besar.
2. Dasar keselamatan adalah iman semata-mata. Selama masih ada iman dihati, maka setiap maksiat tidak akan mendatangkanmudharat ataupun gangguan atas diri seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia hanya cukup dengan menjauhkan diri syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
Dengan kata lain, kelompok murji’ah memandang bahwa perbuatan atau amal tidaklah sepenting iman, yang kemudian menngkat pada pengertian bahwa, hanyalah imanlah yang penting dan yang menentukan mukmin atau tidak mukminnya seseorang; perbuatan-perbuatan tidak memiliki pengaruh dalam hal ini. Iman letaknya dalam hati seseorang dan tidak diketahui manusia lain; selanjutnya perbuatan-perbuatan manusia tidak menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang tidak mesti mengandung arti bahwa ia tidak memiliki iman. Yang penting ialah iman yang ada dalam hati. Dengan demikian ucapan dan perbuatan- perbuatan tidak merusak iman seseorang.
Berkaitan dengan Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut :
a) Penangguhan keputusan Ali dan Mu’awiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat.
b) Penangguhan Ali untuk menduduki rangking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidin.
c) Pemberian harapan (giving hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
d) Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (mazhab) para skeptis
dan empiris dari kalangan Helenis.
Harun Nasution menyebutkan ada empat ajaran pokok dalam doktrin teologi Murji’ah yaitu :
a) Menunda hukuman atas Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, Amr bn Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ ary yang terlibattahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
b) Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
c) menyerahkan meletakkan iman dari pada amal.
d) Memberikan pengaharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Sedangkan doktrin pemikiran Murji’ah yang lain, seperti batasan kufur, para pengikut Murji’ah terpecah menjadi beberapa golongan. Secara garis besar pemikiran dapat dijelaskan menurut kelompokJahamiyah: bahwa kufur merupakan sesuatu hal yang berkenaan dengan hati ataupun, dimana hati tidak mengenal (jahl) terhadap Allah SWT.
Pada golongan yang lainnya, menyatakan bahwa kufur itu merupakan banyak hal yang berkenaan dengan hati ataupun selainnya, misalnya tidak mengenal (jahl) terhadap Allah SWT, membenci dan sombong kepadanya, mendustakan Allah dan rasul-Nya sepenuh hati dan secara lisan, begitu pula membangkang terhadap-Nya, mengingkari-Nya, melawan-Nya, menyepelekan Allah dan dan rasulnya, tidak mengakui Allah itu Esa dan menganggap-Nya lebih dari satu. Karena itu mereka pun menganggap bisa saja terjadi kekufuran tersebut, baik dengan hati maupun lisan, tetapi bukan dengan perbuatan, dan begitupun dengan iman .
Mereka beranggapan bahwa seseorang yang membunuh ataupun menyakiti Nabi dengan tidak karena mengingkarinya, tetapi hanya karena membunuh ataupun menyakiti semata, niscaya dia tidaklah disebut kufur. Tetapi, kalau seseorang mengahalalkan sesuatu yang diharamkan Allah, rasul-Nya dan juga orang-orang muslim, niscaya diapun disebut kufur.

Aliran Murji’ah
Aliran Murji’ah

MURJI’AH
A. Pengertian aliran Murji’ah
Kata Murji’ah berasal dari kata bahasa Arab arja’a, yarji’u, yang berarti menunda atau menangguhkan. Salah satu aliran teologi Islam yang muncul pada abad pertama Hijriyah. Pendirinya tidak diketahui dengan pasti, tetapi Syahristani menyebutkan dalam bukunya Al-Milal wa an-Nihal (buku tentang perbandingan agama serta sekte-sekte keagamaan dan filsafat) bahwa orang pertama yang membawa paham Murji’ah adalah Gailan ad-Dimasyqi.
Aliran ini disebut Murji’ah karena dalam prinsipnya mereka menunda penyelesaian persoalan konflik politik antara Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Khawarij ke hari perhitungan di akhirat nanti. Karena itu mereka tidak ingin mengeluarkan pendapat tentang siapa yang benar dan siapa yang dianggap kafir diantara ketiga golongan yang tengah bertikai tersebut. Menurut pendapat lain, mereka disebut Murji’ah karena mereka menyatakan bahwa orang yang berdosa besar tetap mukmin selama masih beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Adapun dosa besar orang tersebut ditunda penyelesaiannya di akhirat. Maksudnya, kelak di akhirat baru ditentukan hukuman baginya.
Persoalan yang memicu Murji’ah untuk menjadi golongan teologi tersendiri berkaitan dengan penilaian mereka terhadap pelaku dosa besar. Menurut penganut paham Murji’ah, manusia tidak berhak dan tidak berwenang untuk menghakimi seorang mukmin yang melakukan dosa besar, apakah mereka akan masuk neraka atau masuk surga. Masalah ini mereka serahkan kepada keadilan Tuhan kelak. Dengan kata lain mereka menunda penilaian itu sampai hari pembalasan tiba.
Paham kaum Murji’ah mengenai dosa besar berimplikasi pada masalah keimanan seseorang. Bagi kalangan Murji’ah, orang beriman yang melakukan dosa besar tetap dapat disebut orang mukmin, dan perbuatan dosa besar tidak mempengaruhi kadar keimanan. Alasannya, keimanan merupakan keyakinan hati seseorang dan tidak berkaitan dengan perkataan ataupun perbuatan. Selama seseorang masih memiliki keimanan didalam hatinya, apapun perbuatan atau perkataannya, maka ia tetap dapat disebut seorang mukmin, bukan kafir. Murji’ah mengacu kepada segolongan sahabat Nabi SAW, antara lain Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan Imran bin Husin yang tidak mau melibatkan diri dalam pertentangan politik antara Usman bin Affan (khalifah ke-3; w. 656) dan Ali bin Abi Thalib (khalifah ke-4; w. 661).

B. Latar belakang munculnya aliran Murji’ah
Munculnya aliran ini di latar belakangi oleh persoalan politik, yaitu persoalan khilafah (kekhalifahan). Setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, umat Islam terpecah kedalam dua kelompok besar, yaitu kelompok Ali dan Mu’awiyah. Kelompok Ali lalu terpecah pula kedalam dua golongan, yaitu golongan yang setia membela Ali (disebut Syiah) dan golongan yang keluar dari barisan Ali (disebut Khawarij). Ketika berhasil mengungguli dua kelompok lainnya, yaitu Syiah dan Khawarij, dalam merebut kekuasaan, kelompok Mu’awiyah lalu membentuk Dinasti Umayyah. Syi’ah dan Khawarij bersama-sama menentang kekuasaannya. Syi’ah menentang Mu’awiyah karena menuduh Mu’awiyah merebut kekuasaan yang seharusnya milik Ali dan keturunannya. Sementara itu Khawarij tidak mendukung Mu’awiyah karena ia dinilai menyimpang dari ajaran Islam. Dalam pertikaian antara ketiga golongan tersebut terjadi saling mengafirkan. Di tengah-tengah suasana pertikaian ini muncul sekelompok orang yang menyatakan diri tidak ingin terlibat dalam pertentangan politik yang terjadi. Kelompok inilah yang kemudian berkembang menjadi golongan Murji’ah.
Dalam perkembanganya, golongan ini ternyata tidak dapat melepaskan diri dari persoalan teologis yang muncul di zamannya. Waktu itu terjadi perdebatan mengenai hukum orang yang berdosa besar. Kaum Murji’ah menyatakan bahwa orang yang berdosa besar tidak dapat dikatakan sebagai kafir selama ia tetap mengakui Allah SWT sebagai Tuhannya dan Muhammad SAW sebagai rasul-Nya. Pendapat ini merupakan lawan dari pendapat kaum Khawarij yang mengatakan bahwa orang Islam yang berdosa besar hukumnya adalah kafir.
Golongan Murji’ah berpendapat bahwa yang terpenting dalam kehidupan beragama adalah aspek iman dan kemudian amal. Jika seseorang masih beriman berarti dia tetap mukmin, bukan kafir, kendatipun ia melakukan dosa besar. Adapun hukuman bagi dosa besar itu terserah kepada Tuhan, akan ia ampuni atau tidak. Pendapat ini menjadi doktrin ajaran Murji’ah.
C. Ajaran aliran Murji’ah
Dalam perjalanan sejarah, aliran ini terpecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok moderat dan kelompok ekstrem. Tokoh-tokoh kelompok moderat adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah (Imam Hanafi), Abu Yusuf dan beberapa ahli hadits. Kelompok moderat tetap teguh berpegang pada doktrin Murji’ah diatas. Kelompok ekstrem terbagi lagi ke dalam beberapa kelompok, seperti Al-Jahamiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah, Al-Ghailaniyah, As-Saubaniyah, Al-Marisiyah, dan Al-Karamiyah.
Al-Jahamiyah di pelopori oleh Jahm bin Safwan. Menurut paham ini, iman adalah mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datangnya dari Allah SWT. Sebaliknya, kafir yaitu tidak mempercayai hal-hal tersebut diatas. Apaila seseorang sudah mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya dan segala sesuatu yang datang dari Allah SWT, berarti ia mukmin meskipun ia menyatakan dalam perbuatannya hal-hal yang bertentangan dengan imannya, seperti berbuat dosa besar, menyembah berhala, dan minum-minuman keras. Golongan ini juga meyakini bahwa surga dan neraka itu tidak abadi, karena keabadian hanya bagi Allah SWT semata.
As-Shalihiyah diambil dari nama tokohnya, Abu Hasan As-Shalihi. Sama dengan pendapat Al-Jahamiyah, golongan ini berkeyakinan bahwa iman adalah semata-mata hanya ma’rifat kepada Allah SWT, sedangkan kufur (kafir) adalah sebaliknya. Iman dan kufur itu tidak bertambah dan tidak berkurang.
Al-Yunusiyah adalah pengikut Yunus bin An-Namiri. Menurut golongan ini, iman adalah totalitas dari pengetahuan tentang Tuhan, kerendahan hati, dan tidak takabur; sedang kufur kebalikan dari itu. Iblis dikatakan kafir bukan karena tidak percaya kepada Tuhan, melainkan karena ketakaburannya. Mereka pun meyakini bahwa perbuatan jahat dan maksiat sama sekali tidak merusak iman.
Al-Ubaidiyah di pelopori oleh Ubaid Al-Muktaib. Pada dasarnya pendapat mereka sama dengan sekte Al-Yunusiyah. Pendapatnya yang lain adalah jika seseorang meninggal dalam keadaan beriman, semua dosa dan perbuatan jahatnya tidak akan merugikannya. Perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman. Sebaliknya, perbuatan baik, banyak atau sedikit, tidak akan memperbaiki posisi orang kafir.
Al-Ghailaniyah di pelopori oleh Ghailan Ad-Dimasyqi. Menurut mereka, iman adalah ma’rifat kepada Allah SWT melalui nalar dan menunjukkan sikap mahabah dan tunduk kepada-Nya.
As-Saubaniyah yang dipimpin oleh Abu Sauban mempunyai prinsip ajaran yang sama dengan paham Al-Ghailaniyah. Hanya mereka menambahkan bahwa yang termasuk iman adalah mengetahui
dan mengakui sesuatu yang menurut akal wajib dikerjakan. Berarti, kelompok ini mengakui adanya kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui akal sebelum datangnya syari’at.
Al-Marisiyah di pelopori oleh Bisyar Al-Marisi. Menurut paham ini, iman disamping meyakini dalam hati bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW itu rasul-Nya, juga harus di ucapkan secara lisan. Jika tidak di yakini dalam hati dan diucapkan dengan lisan, maka bukan iman namanya. Adapun kufur merupakan kebalikan dari iman.
Al-Karamiyah yang perintisnya adalah Muhammad bin Karram mempunyai pendapat bahwa iman adalah pengakuan secara lisan dan kufur adalah pengingkaran secara lisan. Mukmin dan kafirnya sesseorang dapat di ketahui melalui pengakuannya secara lisan.
Sebagai aliran yang berdiri sendiri, kelompok Murji’ah ekstrem sudah tidak didapati lagi sekarang. Walaupun demikian, ajaran-ajarannya yang ekstrem itu masih didapati pada sebagian umat Islam. Adapun ajaran-ajaran dari kelompok Murji’ah moderat, terutama mengenai pelaku dosa-dosa besar serta pengertian iman dan kufur, menjadi ajaran yang umum disepakati oleh umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber ; ENSIKLOPEDIA of ISLAM.1994.




Netralitas Kaum Murji’ah

AgamaAdmin
Kaum Murji’ah pada mulanya juga ditimbulkan oleh persoalan politik. Setelah peristiwa arbitrase, dalam kubu Ali muncul dua golongan, yaitu Khawarij dan Syi’ah. Khawarij keluar dari kubu Ali dan Syiah tetap setia dan membela Ali. Walaupun saling bertentangan dua golongan ini sama-sama menentang kekuasaan Bani Umayyah, tetapi dengan motif berbeda.
khawarij Netralitas Kaum Murjiah
Dalam suasana pertentangan ini timbul suatu golongan baru yang ingin bersukap netral, tidak mau turut dalam praktek kafir-mengkafirkan. Bagi mereka, sahabat-sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercaya dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu, mereka tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang sebenarnya salah dan memandang lebih baik menunda (arja’a) penyelesaian persoalan ini ke hari perhitungan di depan Tuhan.
Persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum Khawarij mau tidak mau menjadi bahan perhatian dan pembahasan. Jika Khawarij menganggap kafir bagi orang yang berbuat dosa besar, kaum Murji’ah menganggap mukmin orang yang berbuat dosa besar. Bagi Murji’ah, orang Islam yang berbuat dosa besar itu tetap mengakui bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasulnya. Dosa besar ini ditunda penyelesaiannya ke hari perhitungan kelak. Menurut Murji’ah, mukmin atau kafirnya seseorang ditentukan oleh imannya bukan amalnya.Arja’a juga mengandung arti memberi pengharapan, yaitu pengharapan bagi orang yang berbuat dosa besar untuk mendapat rahmat Allah dan tetap bisa masuk surga.  
Kaum Murji’ah dapat dibagi dalam dua golongan besar, yaitu:
  1. Golongan moderat berpendapat orang berdosa besar bukan kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya dan ada kemungkinan Tuhan akan mengampuni dosanya. Yang termasuk golongan  moderat yaitu: al-Hasan Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abi Talib, Abu Hanifah, Abu Yusuf.
  2. Golongan ekstrim berpendapat orang Islam yanvg percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, Karena iman dan kufr letaknya hanya dalam hati. Meskipun dia menyembah berhala, menjalankan ajaran Kristen atau Yahudi dan kemudian mati. Menurut golongan ekstrim, orang ini bagi Allah tetap seorang mukmin yang sempurna imannya. Kelompok  golongan ini, yaitu: al-Jahmiah (pengikut Jahm Ibn Safwan), al-Salihiah (pengikut Abu al-Hasan al-Salihi).                   
Murjiah Netral Netralitas Kaum Murjiah
Ajaran pokok Murji’ah terdiri dari persoalan politik dan teologi. Di bidang politik, kaum Murji’ah mencoba menengahi pertentangan antara Khawarij dan Syi’ah, mereka tidak mau menyalahkan siapapun yang terlibat dalam arbitrase. Murji’ah menyarankan agar persoalan tersebut ditunda penyelesaiannya sampai nanti ke hari perhitungan di hadapan Allah.
Sikap netral atau non blok kaum Murji’ah ini sering diekspresikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya Murji’ah sering disebut sebagai the queietiests (kelompok bungkam). Sikap ini berimplikasi begitu jauh sehingga membuat Murji’ah selalu diam dalam persoalan politik. Sikap diam tentu membuat kaum Murji’ah terlihat pasif dan pasrah terhadap realita politik yang terjadi saat itu.
Sikap netral atau non blok memang dapat dibenarkan untuk menghindari konflik yang berkepanjangan, tetapi bila sampai menjadi pasif maka akan dapat dimanfaatkan oleh kepentingan kelompok lain. Sikap pasrah juga membuat kaum Murji’ah kehilangan posisi tawar mereka di dalam dunia perpolitikan saat itu.
Di bidang teologi, dokrin Murji’ah dikembangkan untuk menanggapi persoalan-persoalan teologi yang muncul saat itu. Doktrin itu terdiri dari empat ajaran pokok, yaitu:
  1. Menunda hukuman atas orang-orang yang terlibat dalam arbitrase.
  2. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
  3. Meletakkan pentingnya iman daripada amal.
  4. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Kaum Murji’ah tidak mau menghakimi orang yang terlibat arbitrase dan orang muslim yang berdosa besar. Mereka menyerahkan sepenuhnya keputusan itu di tangan Allah. Di sini terlihat bahwa doktrin netral mereka mempengaruhi pemikiran teologinya. Mereka merasa bahwa mereka tidak berhak menghakimi masalah kafir dan mukmin, hal ini tentu mengingatkan kita untuk tidak menggunakan klaim kebenaran (claim truth) secara mutlak maupun liberal. Harapan yang diberikan Murji’ah terhadap muslim yang berdosa besar tentu dapat menunjukkan bahwa Allah maha pengampun dan mendorong orang tersebut untuk bertobat dan berbuat baik.
Kaum Murji’ah menganggap bahwa iman di hati lebih penting daripada amal perbuatan. Hal ini memang ada benarnya, tetapi bisa berbahaya karena dapat membawa pada melemahnya ikatan-ikatan moral dan membuat masyarakat bersifat permisif terhadap penyimpangan-penyimpangan norma yang berlaku karena imanlah yang menentukan sehingga akhlak dianggap kurang penting dan diabaikan oleh orang-orang yang menganut paham Murji’ah. Inilah yang mungkin menjadi penyebab nama Murji’ah dianggap tidak baik dan tidak disenangi.   





2.1. Awal munculnya murji’ah
Golongan Murji’ah pertama kali muncul di Damaskus pada penghujung abad pertama hijriyah. Murji’ah pernah mengalami kejayaan yang cukup signifikan pada masa Daulah Ummayah, namun setelah runtuhnya Daulah Ummayah tersebut, golongan Murji’ah ikut redup dan barangsur – rangsur hilang ditelan zaman, hingga kini aliran tersebut sudah tidak terdengar lagi, namun sebagian fahamnya masih ada yang di ikuti oleh sebagian orang, sekalipun bertentangan dengan Al-qur’an dan Sunnah.
2.2. Ciri-ciri faham Murji’ah
Diantaranya adalah :
  1. Rukun iman ada dua yaitu : iman kepada Allah dan Iman kepada utusan Allah.
    1. Orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin selama ia telah beriman, dan bila      meninggal  dunia dalam keadaan berdosa tersebut ketentuan tergantung Allah di akhirat kelak.
    2. Perbuatan kemaksiatan tidak berdampak apapun terhadap seseorang bila telah beriman.   Dalam artian bahwa dosa sebesar apapun tidak dapat mempengaruhi keimanan seseorang dan keimanan tidak dapat pula mempengaruhi dosa. Dosa ya dosa, iman ya iman.
    3. Perbuatan kebajikan tidak berarti apapun bila dilakukan disaat kafir. Artinya perbuatan tersebut tidak dapat menghapuskan kekafirannya dan bila telah muslim tidak juga bermanfaat, karena melakukannya sebelum  masuk Islam.
Golongan murji’ah tidak mau mengkafirkan orang yang telah masuk Islam, sekalipun orang tersebut dzalim, berbuat maksiat dll, sebab mereka mempunyai keyakinan bahwa perbuatan dosa sebesar apapun tidak mempengaruhi keimanan seseorang selama orang tersebut masih muslim, kecuali bila orang tesebut telah keluar dari Islam (Murtad) maka telah berhukum kafir. Aliran Murji’ah juga menganggap bahwa orang yang lahirnya terlihat atau menampakkan kekufuran, namun bila batinnya tidak, maka orang tersebut tidak dapat dihukum kafir, sebab penilaian kafir atau tidaknya seseorang itu tidak dilihat dari segi lahirnya, namun bergantung pada batinnya. Sebab ketentuan ada pada I’tiqad seseorang dan bukan segi lahiriyahnya.
Related posts:






Kelompok Sesat Murji’ah Pendangkal Keimanan Umat
penulis Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc.
headline Manhaji 20 - Juni - 2007 10:20:57
Muncul kelompok-kelompok sesat dan para penghasung merupakan petaka bagi kehidupan beragama umat manusia. Keberadaan di tengah-tengah umat ibarat duri dlm daging yg semakin lama semakin merusak dan membahayakan. Syubhat-syubhat yg digulirkan pun kian hari kian mendangkalkan tonggak-tonggak keimanan yg telah terhunjam dlm sanubari mereka. tdk pelak dgn kemunculan terburailah ikatan persatuan umat yg telah dirajut sebaik-baik oleh baginda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Murji`ah Tergolong Kelompok Sesat
Di antara kelompok sesat yg telah menyimpang dari jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat adl kelompok Murji`ah. Ia merupakan kelompok sempalan yg berorientasi pada pendangkalan keimanan. Syubhat-syubhat amat berbahaya bagi tonggak-tonggak keimanan yg telah terhunjam dlm sanubari umat. Dasar pijakan adl akal dan pengetahuan bahasa Arab yg dipahami sesuai dgn hawa nafsu mereka layak kelompok-kelompok bid’ah lainnya. Mereka berpaling dari keterangan-keterangan yg ada dlm Al-Qur`an dan As-Sunnah serta perkataan para sahabat dan tabi’in.
Mengapa Disebut Murji`ah?
Murji`ah nisbat kepada irja` yg arti mengakhirkan. Kelompok ini disebut dgn Murji`ah dikarenakan dua hal:
1. Karena mereka mengakhirkan amalan ke dlm definisi keimanan.
2. Karena keyakinan mereka bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengakhirkan adzab atas kemaksiatan.
Siapakah Pelopor Utamanya?
Di antara sekian nama yg diidentifikasi sebagai pelopor utama adalah:
1. Ghailan Ad-Dimasyqi seorang gembong kelompok sesat Qadariyyah yg dibunuh pada tahun 105 H.
2. Hammad bin Abu Sulaiman Al-Kufi.
3. Salim Al-Afthas.
Kapan Munculnya?
Murji`ah tergolong kelompok sesat yg tua umurnya. Ia muncul di akhir-akhir abad pertama Hijriyyah.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Disebutkan dlm riwayat Abu Dawud Ath-Thayalisi dari Syu’bah dari Zubaid ia berkata: ‘Ketika muncul kelompok Murji`ah mk aku mendatangi Abu Wa`il dan aku tanyakan kepada beliau perihal mereka.’ mk tampaklah dari sini bahwa pertanyaan tersebut berkaitan dgn aqidah mereka dan disampaikan di masa kemunculannya. Sementara Abu Wa`il sendiri wafat pada tahun 99 H dan ada yg mengatakan pada tahun 82 H. Dari sini terbukti bahwa bid’ah irja` tersebut sudah lama adanya.”
Kemudian kelompok sesat Murji`ah ini tampil secara lbh demonstratif di negeri Kufah . Sehingga jadilah mereka sebagai rival bagi kelompok Khawarij dan Mu’tazilah dgn paham bahwa amalan ibadah bukanlah bagian dari keimanan.”
Sekte-sekte Murji`ah
Murji`ah sendiri terpecah menjadi beberapa sekte masing-masing memiliki bentuk kesesatan tersendiri. Di antara mereka ada yg murni Murji`ah dan ada pula yg tidak. Adapun yg murni Murji`ah antara lain; Yunusiyyah ‘Ubaidiyyah Ghassaniyyah Tsaubaniyyah Tumaniyyah dan Shalihiyyah . Sedangkan yg tdk murni Murji`ah antara lain; Murji`ah Fuqaha Murji`ah Qadariyyah Murji`ah Jabriyyah Murji`ah Khawarij Murji`ah Karramiyyah .
Kesesatan-kesesatan Kelompok Murji`ah
Secara garis besar kesesatan Murji`ah dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Mereka semua sepakat bahwa amalan ibadah bukanlah bagian dari keimanan.
Kemudian mereka berbeda pendapat tentang hakikat keimanan dgn tiga versi:
- Iman: keyakinan dlm hati dan perkataan dgn lisan .
- Iman: pengetahuan/ pembenaran dlm hati saja .
- Iman: perkataan dgn lisan saja .2
Bantahan:
Pertama: Kesepakatan mereka bahwa amalan ibadah bukanlah bagian dari keimanan sungguh bertentangan dgn Al-Qur`an As-Sunnah dan ijma’ ulama salaf dan yg mengikuti jejak mereka.
Dalam Al-Qur`an seringkali Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut amalan shalih dgn sebutan iman. Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Seringkali Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut amalan shalih dgn sebutan iman. Sebagaimana dlm firman-Nya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ. الَّذِيْنَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ. أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ حَقًّا
“Sesungguh orang2 yg beriman itu adl mereka yg apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah keimanan mereka dan hanya kepada Allah-lah mereka bertawakkal. orang2 yg mendirikan shalat dan yg menafkahkan sebagian dari rizki yg Kami karuniakan kepada mereka. Itulah orang2 yg beriman dgn sebenar-benarnya.”
وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيْعَ إِيْمَانَكُمْ
“Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tdk akan menyia-nyiakan keimanan kalian.”
Yang dimaksud dgn ‘keimanan kalian’ di sini adl shalat kalian dgn menghadap Baitul Maqdis. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut dgn iman.”
Adakala Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan beberapa amalan shalih dlm Al-Qur`an sebagai ciri/tanda bagi orang2 beriman yg sekaligus sebagai isyarat bahwa predikat mukmin tdk bisa diraih hanya dgn keyakinan di hati dan ucapan di lisan saja akan tetapi harus dgn pembuktian amalan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ. الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حَافِظُوْنَ. إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ لأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُوْنَ
“Sungguh beruntung orang2 yg beriman itu. orang2 yg khusyu’ dlm shalatnya. Dan orang2 yg menjauhkan diri dari yg tiada berguna. Dan orang2 yg menunaikan zakat. Dan orang2 yg menjaga kemaluan kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yg mereka miliki; mk sesungguh mereka dlm hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yg di balik itu mk mereka itulah orang2 yg melampaui batas. Dan orang2 yg memelihara amanat-amanat dan janjinya. Dan orang2 yg memelihara shalatnya.” 3
Dalam As-Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun seringkali menyebutkan bahwa amalan adl bagian dari iman. Di antara sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ
“Iman itu mempunyai 60 sekian cabang. Cabang yg paling utama adl ucapan ‘Laa ilaaha illallah’ dan cabang yg paling rendah adl menyingkirkan gangguan dari jalan dan sifat malu itu cabang dari iman.”
Dalam hadits ini diterangkan bahwa iman mempunyai cabang yg banyak jumlahnya. Ada yg berupa ucapan lisan seperti ucapan ‘Laa ilaaha illallah’. Ada yg berupa amalan tubuh seperti menyingkirkan gangguan dari jalan. Ada pula yg berupa amalan hati seperti sifat malu.
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir mk janganlah mengganggu tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendak memuliakan tamunya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendak berkata yg baik atau lbh baik diam .”
Dalam hadits ini diterangkan bahwa amalan tdk mengganggu tetangga memuliakan tamu dan bertutur kata dgn baik merupakan bagian dari keimanan.
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
“Siapa saja di antara kalian yg melihat kemungkaran hendak mengubah dgn tangannya. Jika tdk mampu dgn tangan mk dgn lisannya. Dan jika tdk mampu dgn lisan mk dgn hati itulah selemah-lemah iman.”
Dalam hadits ini diterangkan bahwa amalan mengingkari kemungkaran merupakan bagian dari iman.
Adapun ijma’ adl sebagaimana yg dikatakan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu: “Merupakan ijma’ para shahabat tabi’in dan yg kami jumpai dari para ulama bahwa iman meliputi perkataan amalan dan niat . Tidaklah mencukupi salah satu dari tanpa sebagian yg lain.”4
Kedua: Adapun tiga versi tentang hakikat keimanan yg ada pada kaum Murji`ah mk semua bertentangan dgn Al-Qur`an As-Sunnah dan ijma’ bahkan bertentangan dgn fitrah yg suci. Hal ini bisa dibuktikan dgn memerhatikan poin-poin berikut:
 Pernyataan mereka bahwa iman hanya dgn keyakinan dlm hati dan perkataan lisan tanpa beramal.q
Apakah Al-Jannah itu diraih dgn santai-santai tanpa amalan dan kesungguhan?! Kalau begitu utk apa kita diperintah utk shalat zakat shaum Ramadhan haji dan amalan shalih lainnya?!
 Pernyataan mereka bahwa iman sebatas pembenaran/ pengetahuan dlm hati saja.q
Lalu apa beda iman kita dgn ‘iman’ sebagian orang2 kafir?!5
 Pernyataan mereka bahwa iman hanya dgn perkataan lisan saja.q
Kalau begitu apa beda dgn iman kaum munafik yg dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala?!
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Di antara prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah adl bahwa iman meliputi perkataan amalan dan keyakinan hati. Ia bisa bertambah dgn sebab ketaatan dan bisa pula berkurang dgn sebab kemaksiatan. Iman bukan sekadar perkataan dan amalan tanpa ada keyakinan di hati krn yg demikian merupakan iman kaum munafiqin. Bukan pula sebatas ma’rifah tanpa ada perkataan dan amalan. Karena yg demikian itu merupakan ‘iman’ orang2 kafir durjana Bukan pula iman hanya keyakinan hati belaka atau perkataan dan keyakinan hati tanpa amalan. Karena yg demikian itu merupakan iman Murji`ah.”
2. Bahwa iman tdk dapat bertambah dan tdk pula berkurang akan tetapi ia merupakan satu kesatuan yg utuh. Sehingga suatu dosa besar tidaklah dapat mengurangi/merusak keimanan sedikit pun sebagaimana pula suatu ketaatan tdk akan bermanfaat bersama kekafiran. Atas dasar itu pelaku dosa besar tdk bisa dihukumi sebagai orang fasiq bahkan tergolong orang yg sempurna iman dan tdk akan mendapatkan adzab apapun dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.6
Bantahan:
Pertama: Pernyataan mereka bahwa iman tdk dapat bertambah dan tdk pula berkurang sungguh bertentangan dgn Al-Qur`an As-Sunnah dan ijma’ ulama.
Dalam Al-Qur`an banyak sekali ayat-ayat yg menjelaskan bahwa iman dapat bertambah disebabkan ketaatan dan dapat berkurang disebabkan kemaksiatan. Di antara adl firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
الَّذِيْنَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيْمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ
“ orang2 yg dikatakan kepada mereka: ‘Sesungguh manusia telah mengumpulkan pasukan utk menyerang kalian krn itu takutlah kalian kepada mereka’ mk perkataan itu justru menambah keimanan mereka dan menjawab: ‘Cukuplah Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Penolong kami dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adl sebaik-baik Pelindung’.”
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ. الَّذِيْنَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ. أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ حَقًّا
“Sesungguh orang2 yg beriman itu adl mereka yg apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah keimanan mereka dan hanya kepada Allah-lah mereka bertawakal. orang2 yg mendirikan shalat dan yg menafkahkan sebagian dari rizki yg Kami karuniakan kepada mereka. Itulah orang2 yg beriman dgn sebenar-benarnya.”
فَأَمَّا الَّذِيْنَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُوْنَ
“Adapun orang2 yg beriman mk menambah iman mereka dlm keadaan mereka merasa gembira.”
لِيَزْدَادُوا إِيْمَانًا مَعَ إِيْمَانِهِمْ
“Agar keimanan mereka bertambah di samping keimanan yg sudah ada pada mereka.”
وَيَزْدَادَ الَّذِيْنَ آمَنُوا إِيْمَانًا
“Dan supaya orang2 yg beriman itu semakin bertambah keimanannya.”
Di dlm As-Sunnah banyak juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yg menunjukkan bahwa iman bisa bertambah dan bisa pula berkurang. Di antara adl sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
“Siapa saja di antara kalian yg melihat kemungkaran hendak merubah dgn tangannya. Jika tdk mampu dgn tangan mk dgn lisannya. Dan jika tdk mampu dgn lisan mk dgn hati itulah selemah-lemah iman.”
Tidaklah iman itu dikatakan lemah/berkurang kecuali krn dia bisa kuat/bertambah.
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ
“Mukmin yg kuat lbh baik dan lbh dicintai Allah daripada mukmin yg lemah dan pada masing-masing ada kebaikan.”
Ada mukmin yg kuat dan mukmin yg lemah menunjukkan bahwa iman masing-masing orang berbeda-beda baik dlm hal kualitas maupun kuantitas .
Adapun ijma’ ulama mk sebagaimana yg dikatakan Musa bin Harun Al-Hammal: “Telah mendiktekan kepada kami Al-Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullahu: ‘Tanpa ada keraguan sedikit pun bahwa iman meliputi perkataan dan amalan7 bisa bertambah dan bisa berkurang. Hal itu berdasarkan riwayat-riwayat dan atsar yg shahih lagi pasti serta pernyataan-pernyataan individu dari para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam para tabi’in dan generasi setelah tabi’in dari kalangan ahli ilmu. Mereka semua sepakat dan tdk berselisih dlm hal ini. Demikian pula di masa Al-Auza’i di Syam Sufyan Ats-Tsauri di Irak Malik bin Anas di Hijaz dan Ma’mar bin Rasyid di Yaman. mereka semua sama dgn kami yaitu iman meliputi perkataan dan amalan bisa bertambah dan bisa berkurang’.”8
-Kedua: Adapun perkataan mereka bahwa ‘dosa besar tdk dapat mengurangi/merusak keimanan sedikitpun sebagaimana pula suatu ketaatan tdk akan bermanfaat bersama kekafiran. Atas dasar itu pelaku dosa besar tdk bisa dihukumi sebagai orang fasiq bahkan tergolong orang yg sempurna iman dan tdk akan mendapatkan adzab apapun dari Allah Subhanahu wa Ta’ala’ merupakan perkataan batil dan sesat dari beberapa sisi. Di antara adalah:
- Bahwa prinsip9 yg dijadikan landasan bagi perkataan tersebut nyata-nyata bertentangan dgn Al-Qur`an As-Sunnah dan ijma’ ulama sebagaimana yg telah disebutkan pada poin pertama. Sehingga segala prinsip yg dibangun di atas pun menjadi batil.
- Bahwa dalil-dalil tentang bisa bertambah iman sekaligus berfungsi sebagai dalil tentang bisa berkurangnya. krn sebelum iman itu bertambah mk dia berkurang.10
- Para ulama sepakat bahwa keimanan itu tidaklah berkurang kecuali dgn sebab kemaksiatan. Sebagaimana yg dikatakan Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullahu: “Ahli fiqih dan hadits telah sepakat bahwa iman meliputi perkataan dan amalan dan tdk ada amalan kecuali berdasarkan niat. Demikian pula iman bisa bertambah dgn sebab ketaatan dan bisa pula berkurang dgn kemaksiatan.”
Bahkan Al-Imam Al-Auza’i rahimahullahu mengatakan: “Iman itu meliputi perkataan dan amalan bisa bertambah dan bisa pula berkurang. Barangsiapa menyatakan bahwa iman itu bisa bertambah namun tdk bisa berkurang mk berhati-hatilah dari krn dia adl seorang ahli bid’ah .”
- Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar tdk bisa dihukumi sebagai orang fasiq bahkan tergolong orang yg sempurna iman dan tdk akan mendapatkan adzab apapun dari Allah Subhanahu wa Ta’ala mk ini adl batil dan sesat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencela seorang muslim merupakan kefasikan dan memerangi merupakan kekufuran.”
Diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Baththah dgn sanad yg sampai kepada Mubarak bin Hassan ia berkata: “Aku pernah berkata kepada Salim Al-Afthas : ‘Ada seseorang yg taat kepada Allah dan tdk bermaksiat kepada ada pula seseorang yg bermaksiat kepada Allah dan tdk menaati-Nya kemudian kedua meninggal dunia. mk Allah masukkan seorang yg taat tersebut ke dlm Al-Jannah dan Allah masukkan si pelaku maksiat ke dlm An-Naar . Apakah antara kedua ada perbedaan dlm hal keimanan?’ mk Dia menjawab: ‘Tidak ada perbedaan antara keduanya.’ Akhir kejadian ini kusampaikan kepada ‘Atha` lalu beliau berkata: ‘Tanyakan kepada apakah iman itu sesuatu yg baik ataukah sesuatu yg buruk? Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : ‘ Supaya Allah Subhanahu wa Ta’ala memisahkan yg buruk dari yg baik dan menjadikan yg buruk itu sebagian di atas yg lain lalu semua Dia tumpuk dan Dia masukkan ke dlm neraka Jahannam. Mereka itulah orang2 yg merugi.’ . mk kutanyakan kepada mereka apa yg disarankan oleh ‘Atha` dan tdk seorang pun dari mereka yg mampu menjawabnya.”11
Penutup
Para pembaca yg mulia dari bahasan yg telah lewat amatlah jelas bahaya kelompok sesat Murji`ah ini. Prinsip-prinsip benar-benar mendangkalkan keimanan umat membuat mereka malas beramal shalih dan bermudah-mudahan melakukan kemaksiatan dgn penuh keyakinan bahwa iman sempurna dan dia akan aman dari adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala. tdk heran bila Al-Imam Ibrahim An-Nakha’i rahimahullahu mengatakan: “Sungguh fitnah Murji`ah ini lbh aku khawatirkan terhadap umat daripada fitnah Azariqah .”
Akhir kata demikianlah apa yg dapat kami sajikan seputar kelompok Murji`ah dan kesesesatannya. Semoga menjadi pelita dlm kegelapan dan embun penyejuk bagi para pencari kebenaran. Selanjut bagi para pembaca yg ingin mengetahui lbh dlm tentang kesesatan Murji`ah berikut jawaban mk silahkan merujuk Majmu’ Fatawa jilid 7 Asy-Syari’ah karya Al-Imam Al-Ajurri Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah Al-Lalika`i dan lain sebagai dari kitab-kitab para ulama Ahlus Sunnah.
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Musyabbihah adl kelompok yg menyamakan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dgn sifat-sifat makhluk-Nya.
2 Lihat Majmu’ Fatawa .
3 Ayat di atas termasuk di antara beberapa ayat yg disebutkan Al-Imam Al-Bukhari dlm kitab Shahih- Bab Umuril Iman sebelum beliau menyebutkan hadits-hadits tentang amalan keimanan.
4 Demikian pula yg dikatakan oleh Al-Imam Al-Ajurri dlm Asy-Syari’ah hal. 114. Untuk mengetahui nama-nama para ulama tersebut lihatlah Majmu’ Fatawa dan Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah Al-Lalika’i .
5 Sebagaimana firman Allah : “Dan mereka mengingkari krn kezaliman dan kesombongan padahal hati mereka meyakininya.”
6 Lihat Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyyah karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hal. 113-114 dan Syarh Lum’atul I’tiqad karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin hal. 162-163.
7 Terkandung pada perkataan hati dan amalan hati .
8 Untuk mengetahui lbh rinci nama-nama para ulama tersebut berikut perkataan mereka lihatlah Majmu’ Fatawa dan Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah karya Al-Imam Al-Lalika’i .
9 Yaitu prinsip mereka bahwasa iman tdk bisa bertambah dan tdk berkurang akan tetapi ia merupakan satu kesatuan yg tdk berbilang.
10 Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushabi hafizhahullah berkata: “Dalil-dalil tentang bertambah iman ini sekaligus juga sebagai dalil tentang berkurang krn sebelum iman itu bertambah mk dia berkurang. Oleh krn itu ayat-ayat yg secara tersurat menunjukkan tentang bertambah iman mk secara tersirat ia pun menunjukkan tentang berkurang iman.”
11 Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Ahlus Sunnah Wal Jamaah berada di tengah-tengah. Mereka menyatakan bahwasa pelaku dosa besar adl seorang yg berdosa terancam adzab iman berkurang dan dihukumi sebagai orang fasiq . Namun –menurut Ahlus Sunnah Wal Jamaah– pelaku dosa besar tersebut belum keluar dari keimanan dan tdk pula kekal di dlm neraka jika ia di masukkan ke dalamnya. Dia berada di bawah kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala; jika Allah berkehendak utk mengampuni mk ia akan mendapatkan ampunan-Nya dan jika Allah berkehendak utk mengadzab mk dia akan diadzab terlebih dahulu sesuai dgn kadar dosa yg dilakukan kemudian dikeluarkan dari An-Naar dan dimasukkan ke dlm Al-Jannah bahwasa pelaku dosa besar tersebut telah keluar dari keimanan dan kekal di dlm An-Naar}. Murji`ah hanya mengambil dalil-dalil ampunan/pahala Wa’idiyyah hanya mengambil dalil-dalil ancaman/adzab. Sedangkan Ahlus Sunnah Wal Jamaah menggabungkan dalil-dalil ampunan/pahala dan dalil-dalil ancaman/adzab.”








BERKENALAN DENGAN ALIRAN PENGIKUT MURJI’AH (IRJA’) : Salahsatu cirinya mereka juga menghalalkan darah kaum muslimin & membolehkan pemberontakan






Rate This
Neo-Murji’ah (Murji’ah Masa Kini, Lebih Radikal)
Oleh: As-Syaikh Abdul-Malik Ramadhon al-Jazairi Hafidzahullah

http://kaahil.files.wordpress.com/2011/07/iman.jpg?w=298&h=300Setelah melihat kebanyakan orang-orang yang memiliki maksud jelek menuding Syaikh Bin Baz, Syaikh al-Albani, & Syaikh al-Utsaimin dengan tuduhan irja’, maka sayapun terdorong menulis pasal ini. Tudingan itu mereka lontarkan hanya karena ulama tersebut menafsirkan surat al-Maidah ayat 44 (yang berbicara tentang berhukum dengan hukum Alloh) berdasarkan perincian yang telah dikenal di kalangan ulama salaf, mereka tidak mengkafirkan secara mutlak.
Dan karena para ulama tersebut melarang melakukan pemberontakan terhadap penguasa muslim yang zhalim selama belum terbukti kekufurannya, bahkan kalau nyata-nyata kafir. Mereka juga melarang mengadakan pemberontakan jika tidak ada maslahat syar’i-nya & kemampuan untuk itu tidak dimiliki….
Maka dari itu saya katakan:
[1.] Bahwasanya pendapat yang membolehkan mengadakan pemberontakan itulah sebenarnya pendapat Murji’ah. Ibnu Syahin meriwayatkan dari ats-Tsauri bahwa ia berkata: “Jauhilah hawa nafsu yang menyesatkan itu!”, “Jelaskan kepada kami maksudnya?”, pinta seseorang.
Sufyan ats-Tsauri pun berkata: “Adapun Murji’ah mereka mengatakan… (beliau menyebutkan beberapa pemikiran Murji’ah)”, kemudian beliau berkata: “Mereka menghalalkan darah ahli kiblat (kaum muslimin).” [Al-Kitab al-Lathif: 15, Syarah Ushul I'tiqod oleh al-Lalika'i: 1834].
Seseorang berkata kepada Abdulloh ibnul-Mubarok: “Apakah engkau menganut pemikiran Murji’ah?” Jawab beliau: “Bagaimana mungkin aku penganut paham Murji’ah sementara aku tidak menghalalkan darah kaum muslimin!” [Al-Kitab al-Lathif: 17].
Bahkan al-Imam ash-Shabuni meriwayatkan dengan sanad yang shahih sampai kepada Ahmad bin Sa’id ar-Ribathi bahwa ia berkata: “Abdulloh bin Thahir berkata kepadaku: “Wahai Ahmad, kalian ini membenci mereka (yakni Murji’ah) atas dasar kejahilan! Dan aku membenci mereka atas dasar ilmu. Pertama, mereka tidak memandang wajib taat kepada sultan…” [Aqiidatus-salaf Ashhabul-Hadits: 109].
Bukankah nash-nash ulama salaf di atas secara tegas menyatakan bahwa merekalah sebenarnya Murji’ah! Dan para ulama tersebut bersih dari tudingan mereka itu!?
Catatan penting:
Satu hal yang aneh bin ajaib, Safar al-Hawali tidak memahami hubungan yang sangat jelas antara Murji’ah dan Khawarij. Ia berkata: “Sebagaimana sebuah pernyataan al-Imam Ahmad yang sulit memahaminya, yaitu ucapan beliau: “Sesungguhnya Khawarij itulah Murji’ah!
Kemudian ia menakwilkannya secara sembarangan, ia berkata: “Menafsirkan kalimat Murji’ah di sini dengan irja’ para sahabat kelihatannya lebih memungkinkan!” [Zhahirotul-Irja': I/361].
Sekiranya ia memeriksa atsar-atsar ulama salaf di atas tentunya tidak akan sulit baginya memahami hubungan antara Murji’ah dan Khawarij dalam masalah pemberontakan terhadap penguasa.
Oleh sebab itu tidak mengherankan bila bid’ah Murij’ah muncul setelah terjadinya pemberontakan, Qotadah berkata “Sesungguhnya Murji’ah itu muncul setelah pemberontakan Ibnul-Asy’ats.” [Riwayat Abdulloh bin al-Imam Ahmad dalam As-Sunnah: 644, dll. riwayat ini hasan].
Bukti lain yang menunjukkan bahwa merekalah sebenarnya Murji’ah adalah:
[2.] Tidak mengucapkan istitsna’ tatkala menyatakan keimanan (yaitu ucapan: Saya seorang mukmin, insya Alloh, -pent.) berikut beberapa perincian dalam masalah ini.
Walaupun secara lisan sebagian mereka mengaku mengikuti manhaj salaf. Coba lihat perkataan mereka: “Asy-Syahid Hasan al-Banna…, asy-Syahid Sayyid Quthb….” Sekiranya dikatakan kepada mereka: “Kalaulah pemberian gelar asy-Syahid itu merupakan kewajiban haroki bagi kalian, maka apa beratnya bila kalian sebutkan istitsna’ (insya Alloh)? Bukankah Imam al-Bukhori telah menulis sebuah bab dalam Kitabul-Jihad yang berbunyi: “Bab Jangan Katakan Si Fulan Syahid“. Beliau menyebutkan beberapa dalil dalam masalah ini. Sudah berulang kali mereka diminta untuk itu, namun mereka tetap keberatan. Mereka malah membalas: “Tujuan kalian hanyalah mendiskreditkan jihad & hanya diperalat oleh spionase internasional!”
Keberatan mengucapkan istitsna’ itulah hakikat bid’ah irja’! Abdurrohman bin Mahdi berkata: “Hakikat irja’ adalah menolak mengucapkan istitsna’!” [Al-Khallal dalam as-Sunnah: 1061, dll.]
[3.] Kembali pada pokok permasalahan, perlu Anda ketahui bahwa pokok kesalahan kaum Murji’ah generasi pertama adalah terlalu membesar-besarkan perkara iman dan menyepelekan perkara maksiat. Mereka menyangkal iman dapat terhapus karena dosa. Mereka mengatakan: “Dosa tidak dapat melunturkan iman!” Itulah pangkal kesesatan mereka.
Adapun pokok kesalahan mereka sekarang ini adalah terlalu membesar-besarkan masalah politik. Siapa saja yang ikut dalam gerakan mereka akan mendapat loyalitas penuh. Dosa tidak dapat mempengaruhi fiqih haraki!Meskipun dosa syirik kepada Alloh robbul-’alamin sekalipun! Buktinya berapa banyak tokoh dan pemimpin mereka yang jatuh dalam kesalahan besar, namun tidak seorangpun di antara mereka yang tergerak mengkritiknya demi membela agama! Semangat mereka hanyalah untuk membela kelompok dan golongan mereka saja.
Coba lihat bagaimana heboh dan gegernya mereka ketika Syaikh Abdul-Aziz bin Baz dan Syaikh al-Albani menganjurkan agar menghentikan perlawanan berdarah melawan Yahudi selama memulihkan kekuatan kaum muslimin! Padaha fatwa tersebut berasal dari dua orang mujtahid abad ini!
Adapun apabila tokoh dan pemimpin mereka yang salah, maka sebagai anggota harokah mereka tertuntut menutup mata terhadap kesalahan itu walau sebesar apapun kesalahan tersebut. Betapa sering mereka mengeluarkan fatwa yang berakibat tertumpahnya darah, terkoyaknya kehormatan, dan terampasnya harta benda! Itupun kalaulah kita anggap mereka sudah mencapai derajat seorang penuntut ilmu!
Buktinya, coba lihat Ali bin Haj yang mengeluarkan fatwa sehingga mengakibatkan terbunuhnya ribuan kaum muslimin dan selebihnya terusir dari kampung halaman mereka serta menyebar rasa takut di dalam negeri yang sebelumnya aman, lalu seenaknya saja ia berkomentar dengan membawakan ajaran-ajaran demokrasi sebagaiman yang telah saya nukil di atas. Namun, menurut mereka hanya para penjilat pemerintah sajalah yang berani mengkritik komentarnya.
Sebelumnya, Sayyid Quthb mencela sejumlah Nabi ‘alaihimus-salam, ia juga mencela beberapa orang sahabat yang telah ditetapkan masuk surga, ia beranggapan bahwa politik syar’i itu sejalan dengan paham sosialis! Dan masih banyak lagi kebatilan-kebatilan lainnya yang telah dijelaskan oleh Syaikh Robi’ al-Madkholi dalam beberapa kitab beliau yang terakhir.
Dan masih banyak sebenarnya contoh-contoh lainnya! Namun kesalahan-kesalahan sebesar itu tidaklah melunturkan iman mereka dan tidak menurunkan derajat mereka. Bahkan menurut mereka sangat celaka orang yang berpikiran mengkritik mereka, sebab itu sama saja dengan menodai ruh jihad. Lalu mereka berangan-angan (setelah berbuat nista, bid’ah, dan kufur itu), daulah Islam yang ditunggu-tunggu itu telah muncul di Afghanistan dan Sudan. Salman al-Audah mendengung-dengungkannya dalam kaset ceramahnya berjudul: “Limaadza Yakhofuuna minal-Islam?” Akan tetapi sangat jauh panggang dari api! Bukankah Alloh telah mengatakan: [QS. An-Nisaa': 123].
Oleh sebab itu sebagian ahli ilmu menyebut mereka: Kaum Murji’ah radikal!Sebab, kaum Murji’ah generasi pertama membesar-besarkan masalah iman yang memang merupakan inti agama, sementara mereka membesar-besarkan sesuatu yang merupakan perkara parsial dalam agama, yaitu politik. Dan perlu diketahui juga bahwa praktik politik yang mereka lakukan itu tidak terlepas dari racikan ajaran sosialis dan demokrasi. Hal itu dapat terlihat jelas dalam buku-buku karangan Sayyid Quthb dan orang-orang yang satu pemikiran dengannya. Atau dapat kita sebut sebagai bid’ah fiqih haraki!
Kaum Murji’ah terdahulu tidaklah menampik bila dosa syirik dapat melunturkan keimanan, bahkan mereka menyatakan bahwa kebaikan tidaklah ada gunanya bila masih kafir. Lain halnya mereka yang selalu membela dan mendukung tokoh-tokoh mereka meskipun telah mengucapkan kata-kata yang jelas kekufurannya, sebagaimana yang telah saya nukil di atas.
[4.] Kemudian dari kaidah ini berlanjut kepada kaidah Murji’ah lainnya, yaitu: Tidak wajib menyampaikan Sunnah kepada manusia dan tidak perlu menyanggah ahli bid’ah.
Setelah berbicara tentang ahli takfir, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Sebagai lawan dari ahli takfir yang mengkafirkan kaum muslimin secara bathil adalah sekelompok orang yang tidak mengenal aqidah Ahlussunnah wal-Jama’ah sebagaimana mestinya. Atau mereka hanya mengetahui satu sisi saja dan jahil terhadap sisi yang lain. Dan yang mereka ketahui itupun mereka sembunyikan, tidak mereka sampaikan kepada manusia. Mereka tidak melarang bid’ah yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka tidak mencela ahli bid’ah dan tidak menjatuhkan sanksi terhadapnya. Sebaliknya mereka mencela pembicaraan tentang Sunnah Nabi dan ushuluddin secara mutlak…. Atau mereka mengakui eksistensi semua kelompok-kelompok yang saling bertentangan aqidahnya satu sama lain. … Metode seperti ini banyak memperdaya kaum Murji’ah, sebagian orang yang mengaku faqih, kaum sufi dan para filosof… dan kedua cara tersebut (yaitu cara-cara ahli takfir dan kaum Murji’ah serta semua orang yang mengikutinya) adalah menyimpang dan menyalahi al-Qur’an dan as-Sunnah.” [Majmu' Fatawa: XII/467 dan Badai'ut-Tafsir karangan Ibnul-Qoyyim: V/458].
Tidak ada yang menyanggah bahwa cara seperti di atas merupakan pilar utama tegaknya ajaran harakah. Adakah yang ragu bahwa mereka mengatakan: “Marilah kita saling toleran dalam masalah-masalah yang kita perselisihkan, dan marilah kita bekerja sama dalam perkara yang kita sepakati“. Sudah saya jelaskan pada catatan kaki sebelumnya dari perkataan Hasan al-Banna bahwa maksud mereka adalah segala macam perselisihan. Mereka sengaja mempromosikan kaidah tersebut, karena bila mereka menyanggah ahli bid’ah, maka akan berlarianlah pengikut mereka yang selama ini membantu mereka dalam kesesatan.
Ternyata perlakuan istimewa ini tidak hanya terhadap ahli bid’ah saja, tetapi juga orang kafir. Sudah saya nukil pernyataan mereka sebelumnya tentang kerelaan mereka mengangkat kaum Nashrani sebagai saudara setanah air, bahkan meminta agar mewujudkan hal itu. Saya juga sudah menukilpernyataan Hasan al-Banna dan Yusuf al-Qaradhawi bahwa persengketaan antara penduduk muslim Palestina dengan bangsa Yahudi bukanlah masalah agama. (Tapi masalah politik, sehingga tidak ada jihad karena tujuannya bukan kepada Alloh, -ed.)
Setelah itu semua, lalu apakah lagi yang bisa diharapkan dari mereka?
Dalam keempat poin itulah mereka setali tiga uang dengan kaum Murji’ah, lalu siapakah sebenarnya yang layak disebut Murji’ah? Bukankah ini yang namanya senjata makan tuan? Semua perkara terpulang kepada Alloh semata.[Sumber: Pandangan Tajam terhadap Politik, antara Haq dan Bathil jilid 1, (Madarikun Nazhar fis-Siyasah...), Syaikh Abdul-Malik Ramadhon al-Jazairi)



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu kalam sebagaimana diketahui membahas ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Di dalam ilmu kalam itu terdapat sub bahasan yang tentang perbandingan antara aliran-aliran serta ajaran-ajarannya. Dari perbandingan antar aliran ini, kita dapat mengetahui, menela’ah dan membandingkan antar paham aliran satu dengan aliran yang lain. sehingga kita memahami maksud dari segala polemik yang ada.
B. Rumusan Masalah
dalam makalah ini penulis akan memaparkan pembahasan tentang perbandingan antara aliran-aliran yang ikut berperan dalam ilmu kalam seperti pembahasan di bawah ini.
1. Apa isi dari perbandingan aliran?
2. Aliran apa saja yang membahas tentang isi makalah ini?
C. Tujuan
Dari penjelasan makalah ini penulis bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah ilmu kalam di samping itu untuk memperdalam pemahaman mahasiswa agar mempunyai wawasan yang luas tentang pemikiran aliran-aliran dalam ilmu kalam dan bisa menentukan mana yang terbaik bagi mereka.
BAB II
PERBANDINGAN ANTARA ALIRAN
A. Wahyu dan akal
kaum Mu’tazilah berpendapat semua persoalan di atas dapat diketahui oleh akal manusia dengan perantara akal yang sehat dan cerdas seseorang dapat mencapai makrifat dan dapat pula mengetahui yang baik dan buruk. Bahkan sebelum wahyu turun, orang sudah wajib bersyukur kepada Tuhan. Menjauhi yang buruk dan mengerjakan yang baik. Berbeda dengan Mu’tazilah, kaum asy’ariyah berpendapat akal memang dapat mengetahui adanya Tuhan. Tetapi akal tidak dapat mengetahui cara berterima kasih kepada Tuhan. Untuk mengetahui hal-hal tersebut diperlukan wahyu. Melalui wahyu manusia bisa mengetahuinya. Tanpa wahyu, manusia tidak akan tahu. Golongan maturidiyah samarkan berpendapat, akal dapat mengetahui adanya Tuhan kewajiban dan berterima kasih kepada Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Tetapi akal tidak dapat mengetahui bagaimana kewajiban berbuat baik dan meninggalkan buruk, karena itu wahyu sangatlah diperlukan untuk menjelaskannya. Golongan maturidiyah bukhara sependapat dengan kaum asy’ariyah.
B. Pelaku dosa besar
1. Menurut aliran Khawarij
Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ektrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam. Tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status pelaku dosa besar. Mereka memandang bahwa orangorang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, yakni Ali, Mu’awiyah, amr bin al-ash, Abu Musa al-asy’ari adalah kafir, berdasarkan firman Allah pada surat al-Maidah ayat 44:
(ومن لم يحكم بما انزل ال فأولئك هم الكافرون )المائدة: 44
Artinya:
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
Semua pelaku dosa besar (murtabb al-kabiiah), menurut semua sub sekte khwarij, kecuali najdah adalah kafir dan akan disiksa dineraka selamanya. Sub sekte yang sangat ekstrim, azariqah, menggunakan istilah yang lebih mengerikan dari kafir, yaitu musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung dengan barisan mereka. Adapun pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafir millah (agama), dan berarti ia telah keluar dari Islam, mereka kekal dineraka bersama orang-orang kafir lainnya.
2. Menurut aliran Murji’ah
Pandangan aliran murji’ah tentang setatus pelaku dosa besar dapat ditelusuri dari definisi iman yang dirumuskan oleh mereka. Secara garis besar, sebagaimana telah dijelaskan sub sekte Khawarij dapat dikategorikan dalam dua kategori: ekstrim dan moderat. Harun nasution berpendapat bahwa sub sekte murji’ah yang ekstrim dan mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi dari apa yang ada di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti telah menggeser atau merusak keimanannya. Bahkan keimanannya masih sempurna dimata Tuhan. Adapun murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa dineraka, ia tidak kekal didalamnya, bergantung pada ukuran dosar yang dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga ia bebas dari siksa neraca.
3. Menurut aliran Mu’tazilah
Perbedaannya, bila khwarij mengkafirkan pelaku dosa besar dan murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa besar,
Mu’tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi
pelaku dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau kafir, kecuali
dengan sebutan yang sangat terkenal, yaitu al-manzilah baial
manzilataini.
Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu’tazilah, berada
diposisi tengah diantara posisi mukmin dan kafir. Jika
pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertaubat, ia
akan dimasukkan ke dalam nerak selama-lamanya. Walaupun
demikian, siksaan yang diterimanya lebih ringan dari pada
siksaan orang-orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa
tokoh Mu’tazilah, seperti wastul bin atha’ dan amr bin ubaid
memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik yang bukan
mukmin atau kafir.
4. Aliran Asy’ariyah
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya al-asy’ari, sebagai
wakil ahl-as-Sunah, tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud
ke baitullah (ahl-al-qiblah) walaupun melakukan dosa besar,
seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap
sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka
miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi jika dosa besar
itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan
(halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah
kafir.
Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar,
apabila ia meninggal dan tidak sempat bertaubat, maka menurut
al-asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha
Esa berkehendak mutlaq. Dari paparan singkat ini, jelaslah
bahwa asy’ariyah sesungguhnya mengambil posisi yang sama
dengan murji’ah, khususnya dalam pernyataan yang tidak
mengkafirkan para pelaku dosa besar.
5. Aliran Maturidiyah
Aliran maturidiyah, baik samarkand maupun bukhara,
sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai
mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. adapun
balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa
yang dilakukannya di dunia. jika ia meninggal tanpa tobat
terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada
kehendak Allah SWT. jika menghendaki pelaku dosa besar
diampuni, ia akan memasukkan ke neraca, tetapi tidak kekal
didalamnya.
6. Aliran Syi’ah Zadiyah
Penganut Syi’ah zaidiyah percaya bahwa orang yang
melakukan dosa besar akan kekal di dalam neraca, jika ia belum
tobat dengan tobat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah
zaidiyah memang dekat dengan Mu’tazilah. Ini bukan sesuatu
yang aneh mengingat washil bin atha’, mempunyai hubungan
dengan zaid moojan momen bahkan mengatakan bahwa zaid
pernah belajar kepada washil bin atho’2
C. Sifat-sifat Tuhan
1. Menurut aliran Mu’tazilah
Pertentangan paham antara kaum Mu’tazilah dan kaum
asy’ariyah dalam masalah ini berkisar sekitar persoalan apakah
Tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika Tuhan mempunyai
sifat-sifat itu mestilah kekal seperti halnya dengan zat Tuhan.
Tegasnya, kekalnya sifat-sifat akan membawa kepada paham
banyak yang kekal (ta’addud al-qudama’ atau poltiplicity of
eternals). Dan ini selanjutnya membawa pula kepada paham
syirik atau polyteisme. Suatu hal yang tak dapat diterima dalam
teologi.
Sebagian telah dilihat dalam bagian 1, kaum Mu’tazilah
mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan
bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Ini berarti bahwa Tuhan
tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuatan dan
sebagainya. Tuhan tetap mengetahui dan sebagainya bukanlah
sifat dalam arti kata sebenarnya. Arti “Tuhan mengetahui
dengan perantara pengetahuan dan pengetahuan itu adalah
Tuhan sendiri.
2. Menurut Aliran Asy’ariyah
Kaum asy’ariyah membawa penyelesaian yang
berlawanan dengan Mu’tazilah mereka dengan tegas
mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat.
Menurut aliran asy’ariyah sendiri tidak dapat diingkari
bahwa Tuhan mempunyai sifat, karena perbuatan-perbuatan
nya, di samping menyatakan bahwa Tuhan mengetahui dan
sebagainya, juga menyatakan bahwa ia mempunyai
pengetahuan, kemauan, dan daya.3
3. Aliran Maturidiyah
Dapat ditemukan persamaan antara al-maturidi dan alasy’ari,
seperti di dalam pendapat bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat seperti sama’, basher dan sebagainya. walaupun
begitu pengertian al-maturidi tentang sifat berbeda dengan alasy’ari.
Menurut al-maturidi sifat tidak dikatakan sebagai
esensinya dan bukan pula dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu
mulazamah (ada bersama, baca: inheren) dzat tanpa pemisah.
Tampaknya paham al-maturidi, tentang makna sifat
cenderung mendekati paham Mu’tazilah. Perbedaannya almaturidi
mengaku adanya sifat-sifat sedangkan al-Mu’tazilah
menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
4. Aliran Syi’ah Rafidhah
Sebagian besar tokoh Syi’ah rafidhah menolak bahwa Allah
senantiasa bersifat tahu, namun adapula sebagian dari mereka
berpendapat bahwa Allah tidak bersifat tahun terhadap sesuatu
sebelum ia menghendaki. Tatkala ia menghendaki sesuatu, ia
pun bersifat tahu, jika dia tidak menghendaki, dia tidak bersifat
tahu, maka Allah berkehendak menurut merek adalah bahwa
Allah mengeluarkan gerakan (taharraka harkah), ketika gerakan
itu muncul, ia bersifat tahu terhadap sesuatu itu. Mereka
berpendapat pula bahwa Allah tidak bersifat tahu terhadap
sesuatu yang tidak ada.
D. Iman dan kufur
1. Aliran Khawarij
Khawarij menetapkan dosa itu hanya satu macamnya,
yaitu dosa besar agar dengan demikian orang Islam yang tidak
sejalan dengan pendiriannya dapat diperangi dan dapat
dirampas harta bendanya dengan dalih mereka berdosa dan
setiap yang berdosa adalah kafir. Mengkafirkan Ali, Utsman, 2
orang hakam, orang-orang yang terlibat dalam perang jamal dan
orang-orang yang rela terhadap tahkim dan mengkafirkan
orang-orang yang berdosa besar dan wajib berontak terhadap
penguasa yang menyeleweng.
Dan iman menurut kwaharij, iman bukanlah tasdiq. Dan
iman dalam arti mengetahui pun belumlah cukup. Menurut
Abd. Al-jabbar, orang yang tahu Tuhan tetapi melawan kepadanya,
bukanlah orang yang mukmin, dengan demikian iman bagi
mereka bukanlah tasdiq, bukan pula ma’rifah tetapi amal yang
timbul sebagai akibat dari mengetahui Tuhan tegasnya iman
bagi mereka adalah pelaksanaan perintah-perintah Tuhan6
2. Aliran Murji’ah
Menurut sub sekte murji’ah yang ekstrim adalah mereka
yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu.
Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang
menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau
merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna
dalam pandangan Tuhan.
Sementara yang dimaksud murji’ah moderat adalah
mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah
menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal
didalamnya bergantung pada dosa yang dilakukannya.7
3. Aliran Mu’tazilah
Iman adalah tashdiq di dalam hati, iktar dengan lisan dan
dibuktikan dengan perbuatan konsep ketiga ini mengaitkan
perbuatan manusia dengan iman, karena itu, keimanan
seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini
dianut pula olah Khawarij.8
4. Aliran Asy’ariyah
Menurut aliran ini, dijelaskan oleh syahrastani, iman secara
esensial adalah tasdiq bil al janan (membenarkan dengan
kalbu). Sedangkan qaul dengan lesan dan melakukan berbagai
kewajiban utama (amal bil arkan) hanya merupakan furu’
(cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang
membenarkan ke-Esaan Allah dengan kalbunya dan juga
membenarkan utusan-utusan nya beserta apa yang mereka bawa
dari-Nya, iman secara ini merupakan sahih. Dan keimanan
seseorang tidak akan hilang kecuali ia mengingkari salah satu
dari hal-hal tersebut.9
5. Maturidiyah
Iman adalah tasdid dalam hati dan diikrarkan dengan
lidah, dengan kata lain, seseorang bisa disebut beriman jika ia
mempercayai dalam hatinya akan kebenaran Allah dan
mengikrarkan kepercayaannya itu dengan lidah. Konsep ini
juga tidak menghubungkan iman dengan amal perbuatan
manusia. yang penting tasdid dan ikrar.
E. Perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia
1. Aliran Jabariyah
Menurut aliran ini, manusia tidak berkuasa atas
perbuatannya yang menentukan perbuatan manusia itu adalah
Tuhan, karena itu manusia tidak berdaya sama sekali untuk
mewujudkan perbuatannya baik atau buruk.
Diumpamakan manusia seperti wayang yang tidak
berdaya, bagaimana dan kemana ia bergerak terserah dalang
yang memainkan wayang itu. Dalang manusia adalah Tuhan, ini
dianggap paham Jabariyah yang dianggap moderat, perbuatan
manusia tidak sepenuhnya ditentukan untuk Tuhan, tetapi
manusia punya andil juga dalam dalam mewujudkan
perbuatannya.
2. Aliran Qadariyah
Manusia mempunyai iradat (kemampuan berkehendak
atau memilih) dan qudrah (kemampuan untuk berbuat).
Menurut paham ini Allah SWT membekali manusia sejak
lahirnya dengan qudrat dan iradat, suatu kemampuan untuk
mewujudkan perbuatan-perbuatan tersebut.10
3. Aliran Mu’tazilah
10 Drs. H. M. Yusran Asmuni. Op.Cit. hal. 159-160
Paham ini dalam masalah af’al ibadah seirama dengan
paham Qadariyah untuk perbuatan-perbuatan Tuhan, mereka
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban itu
dapat disimpulkan dalam satu kewajiban yaitu kewajiban
berbuat baik dan terbaik bagi manusia seperti kewajiban Tuhan
menepati janji-janji-Nya. Kewajiban Tuhan mengirim Rasulrasul-
Nya untuk petunjuk kepada manusia dan lain-lain.11
4. Aliran Asy’ariyah
Dalam menggambarkan hubungan perbuatan manusia
dengan qodrat dan iradat Tuhan, Abu Hasan Ali Bin Ismail al-
Asy’ari menggunakan paham kasb yang dimaksud dengan al-
Kasb adalah berbarengan kekuasaan manusia dengan perbuatan
Tuhan. Artinya apabila seseorang ingin melakukan suatu
perbuatan, perbuatan itu baru terlaksana jika sesuai dengan
kehendak Tuhan.
5. Aliran Maturidiyah
Menurut golongan maturidiyah, kemauan sebenarnya
adalah kemauan Tuhan namun tidak selamanya perbuatan
manusia dilakukan atas kerelaan Tuhan karena Tuhan tidak
menyukai perbuatan-perbuatan buruk. Jadi di dalam aliran
maturidiyah ada 2 unsur: kehendak dan kerelaan.
F. Kehendak muthlak dan keadilan Tuhan
1. Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah yang berperinsip keadilan Tuhan mengatakan
bahwa Tuhan itu adil dan tidak mungkin bebuat zalim dengan
memaksakan kehendak kepada hamba-Nya kemudian
mengharuskan hamba-Nya untuk menanggung akibat
perbuatannya, secara lebih jelas aliran Mu’tazilah mengatakan
bahwa kekuasaan sebenarnya tidak mutlak lagi. Itulah sebabnya
Mu’tazilah menggunakan ayat 62 surat Al-Ahzab (33)
سنة ال فى الذين خلوا من قبل ولن تجد لسنة ال تبديل
2. Aliran Asy’ariyah
Mereka percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan,
berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan,
yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata
adalah kekuasan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena
kepentingan manusia atau tujuan yang lain.
Landasan surat al-Buruj ayat 16
فعال لمايريد
3. Aliran Maturidiyah
Kehendak mutlak Tuhan, menurut maturidiyah
samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan, Tuhan adil
mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan
tidak mampu untuk berbuat serta tidak mengabaikan kewajibankewajiban
hanya terhadap manusia. pendapat ini lebih dekat
dengan Mu’tazilah.
Adapun maturidiyah bukharak berpendapat bahwa Tuhan
mempunyai kekuasaan mutlak, Tuhan berbuat apa saja yang
dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya tidak ada
yang menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan
bagi Tuhan. Tampaknya aliran maturidiyah bukhara lebih dekat
dengan asy’ariyah.12
BAB III
KESIMPULAN
kaum Mu’tazilah berpendapat semua persoalan di atas dapat
diketahui oleh akal manusia dengan perantara akal yang sehat dan
cerdas seseorang dapat mencapai makrifat dan dapat pula mengetahui
yang baik dan buruk. Bahkan sebelum wahyu turun, orang sudah
wajib bersyukur kepada Tuhan. Menjauhi yang buruk dan
mengerjakan yang baik.
Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak
ektrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam. Tak heran
kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status pelaku
dosa besar.
Kaum asy’ariyah membawa penyelesaian yang berlawanan
dengan Mu’tazilah mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan
mempunyai sifat.
Menurut aliran asy’ariyah sendiri tidak dapat diingkari bahwa
Tuhan mempunyai sifat, karena perbuatan-perbuatan nya, di samping
menyatakan bahwa Tuhan mengetahui dan sebagainya, juga
menyatakan bahwa ia mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya.
Menurut sub sekte murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang
berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Oleh karena
itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari
kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya,
bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan.
Kehendak mutlak Tuhan, menurut maturidiyah samarkand,
dibatasi oleh keadilan Tuhan, Tuhan adil mengandung arti bahwa
segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat
serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban hanya terhadap
manusia. pendapat ini lebih dekat dengan Mu’tazilah.
DAFTAR PUSTAKA
DR. Abdul Rozak, M.Ag. DR. Rosihon Anwar, M. Ag, Ilmu Kalam,
Pustaka Setia Bandung: 2006.
Harun Nasution Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis
Pebandingan UI Press, Jakarta: 1986
Drs. H. Sahilun A Nasir. Pengantar Ilmu Kalam Raja grafindo
Persada. Jakarta: 1996:
Drs. H. M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid. Raja Grafindo Persada
Jakarta: 1993.
Januari 16, 2009 pada 8:06 am (catatanku)
Tags:
ilmu kalam, jabariah, khawarij, muktajilah, murjiah, syi'ah
BAB I
Pengertian Ilmu Tauhid, Nama-namanya yang lain, Manfaat, Tujuan dan Sumbernya
A. Pengertian ilmu tauhid
Perkataan Tauhid berasal dari Bahasa Arab, masdar dari kata Wahhada-Yuwahhidu. Secara Etimologis, tauhid berarti Keesaan. Maksudnya, ittikad atau keyakinan bahwa Allah SWT adalah Esa, Tunggal; Satu. Pengertian ini sejalan dengan pengertian Tauhid yang digunakan dalam Bahasa Indonesia, yakni “ Keesaan Allah “ ; Mentauhidkan berarti mengakui keesaan Allah ; Mengesakan Allah.
Husain Affandi al-Jasr mengatakan :
“ Ilmu Tauhid adalah ilmu yang membahas hal-hal yang menetapkan Akidah agama dengan dalil-dalil yang meyakinkan “.
Dengan redaksi yang berbeda dan sisi pandang yang lain, ibnu Khaldun mengatakan bahawa Ilmu Tauhid adalah :
“ Ilmu yang berisi alasan-alasan dari aqidah keimanan dengan dalil-dalil Aqliyah dan berisi pula alas an-alsan bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng Aqidah Salaf dan Ahli Sunnah “.
Disamping definisi-definisi di atas masih banyak definisi yang lain yang dikemukakan oleh para Ahli. Nampaknya, belum ada kesepakatan kata dintara mereka mengenai definisi ilmu tauhid ini. Meskipun demikian, apabila disimak apa yang tersurat dan tersirat dari definisi-definisi yang diberikan mereka, masalah tauhid berkisar pada persoalan-persoalan yang berhubungan dengan Allah, Rasul, atau Nabi, dan hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan manusia yang sudah mati.
Para Ulama’ sependapat, mempelajari Tauhid hukumnya wajib bagi seorang Muslim, kewajiban itu bukan saja didasarkan pada alas an rasio bahwa Aqidah merupakan dasar pertama dan utama dalam islam, tetapi juga didasarkan pada dalil-dalil naqli, Al-Qur’an dan Hadist.
B. Nama-nama Ilmu Tauhid
Ilmu ini dinamakan ilmu tauhid karena pokok bahasannya dititik beratkan kepada keesaan Allah SWT. Ilmu ini dinamakn ilmu kalam karena dalam pembahasannya mengenai eksistensi Tuhan dan hal-hal yang berhubungan dengan-Nya digunakan argumentasi-argumentasi filosofis dengan menggunakan Logika atau Mantik.
Ilmu Tauhid dinamakan juga ilmu Ushuluddin karena objek bahasan utamanya adalah dasar-dasar agama yang merupakan masalah esensial dalam ajaran islam.
Meskipun nama yang diberikan berbeda-beda, namun inti pokok pembahasan ilmu tauhid adalah sama, yaitu wujud Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan-Nya.
C. Manfaat, Tujuan, dan Sumber ilmu Tauhid
Tauhid tidak hanya sekedar diketahui dan dimiliki oleh Seseorang, tetapi lebih dari itu, ia harus dihayati dengan baik dan benar, kesadaran seseorang akan tugas dan kewajiban sebagai hamba Allah akan muncul dengan sendirinya. Hal ini nampak dalam hal pelaksanaan ibadat, tingkah laku, sikap, perbuatan, dan perkataannya sehari-hari.
Maksud dan tujuan tauhid bukanlah sekedar mengakui bertauhid saja tetapi lebih jauh dari itu, sebab tauhid mengandung sifat-sifat :
1. Sebagai sumber dan motifator perbuatan kebajikan dan keutamaan.
2. Membimbing manusia ke jalan yang benar, sekaligus mendorong mereka untuk mengerjakan ibadah dengan penuh keikhlasan.
3. Mengeluarkan jiwa manusia dari kegelapan, kekacauan dan kegoncangan hidup yang dapat menyesatkan.
4. Mengantarkan manusia kepada kesempurnaan lahir dan batin.
Karena ilmu tauhid merupakan hasil kajian para Ulama’ terhadap al-Qur’an dan Hadist, maka jelas, sumber ilmu tauhid adalah alQur’an dan Hadist. Namun dalam pengembangannya, kedua sumber di hidup suburkan oleh rasio dan dalil-dalil aqli.
BAB II
Pertumbuhan dan Perkembangan ilmu Tauhid
A. Lahirnya ilmu tauhid
Apa yang melatarbelakangi keberadaan tauhid sebagai ilmu yang berdiri sendiri ? Sebenarnya banyak sekali factor yang mendorong kehadiran tauhid sebagai ilmu. Namunjika dikaji secara keseluruhan, ia dapat dikelompokkan kepada 2 faktor yaitu intern dan ekstern. Berikut ini ringkasan dari uraian Ahmad Amin dalam bukunya Dhuha Al-Islam mengenai kedua factor tersebut.
1. Faktor Intern
Yang dimaksud dengan faktor intern adalah factor yang berasal dari islam sendiri. Faktor-faktor tersebut adalah :
a. al-Qur’an disamping berisi masalah ketauhidan, kenabian. Dan lain-lain berisi pula semacam apologi dan polemic, terutama terhadap agama-agama yang ada pada waktu itu, misalnya :
1. Surat al-Maidah ayat 116 berisi penolakan terhadap ketuhanan Nabi Isa.
b. Pada periode pertama masalah keimanan tidak dipersoalkan secara mendalam. Setelah Nabi wafat dan Ummat islam bersentuhan dengan kebudayaan dan peradaban asing, mereka mulai mengenal Filsafat, merekapun menfilsafati al-Qur’an, terutama ayat-ayat yang secara lahir nampak satu sama lain tidak sejalan, bahkan kelihatan bertentangan. Hal tersebut perlu dipecahkan sebaik mungkin, dan untuk memecahkannya perlu sutu ilmu tersendiri.
c. Masalah politik, terutama yang berkenaan dengan khalifah, menjadi factor pula dalam kelahiran ilmu tauhid.
2. Faktor Ekstern
Yang dimaksud dengan faktor ekstern ialah factor yang datang dari luar islam. Faktor tersebut antara lain ialah pola piker ajaran agama lain yang dibawa oleh orang tertentu, termasuk Umat Islam yang dahulunya menganut agama lain ke dalam ajaran islam.
B. Ketauhidan di Zaman Nabi dan Khulafaur Rasyidin
Pada zaman khalifah Abu Bakar ( 632-634 M ) dan Umar bin Khattab ( 634-644 ) problema keagamaan juga masih relative kecil termasuk masalah aqidah. Tapi setelah Umar wafat dan Ustman bin Affan naik tahta ( 644-656 ) fitnah pun timbul. Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi asal Yaman yang mengaku Muslim, salah seorang penyulut pergolakan.
Meskipun itu ditiupkan, Abdullah bin Saba’ pada masa pemerintahan Ustman namun kemelut yang serius justru terjadi di kalangan Umat Islam setelah Ustman mati terbunuh ( 656 ).
Perselisihan di kalangan Umat islam terus berlanjut di zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib ( 656-661 ) dengan terjadinya perang saudara, pertama, perang Ali dengan Zubair, Thalhah dan Aisyah yang dikenal dengan perang jamal, kedua, perang antara Ali dan Muawiyah yang dikenal dengan perang Shiffin.
Pertempuran dengan Zubair dan kawan-kawan dimenangkan oleh Ali, sedangkan dengan Muawiyah berakhir dengan tahkim ( Arbritrase ).
Hal ini berpengaruh pada perkembangan tauhid, terutama lahir dan tumbuhnya aliran-aliran Teologi dalam islam sebagaimana dijelaskan nanti pada Bab VII.
C. ketauhidan di Zaman Bani Umayyah dan seterusnya
Pada zaman Bani Umayyah ( 661-750 M ) masalah aqidah menjadi perdebatan yang hangat di kalangan umat islam. Di zaman inilah lahir berbagai aliran teologi seperti Murji’ah, Qadariah, Jabariah dan Mu’tazilah.
Pada zaman Bani Abbas ( 750-1258 M ) Filsafat Yunani dan Sains banyak dipelajari Umat Islam. Masalah Tauhid mendapat tantangan cukup berat.
Kaum Muslimin tidak bisa mematahkan argumentasi filosofis orang lain tanpa mereka menggunakan senjata filsafat dan rasional pula. Untuk itu bangkitlah Mu’tazilah mempertahankan ketauhidan dengan argumentasi-argumentasi filosofis tersebut.
Namun sikap Mu’tazilah yang terlalu mengagungkan akal dan melahirkan berbagai pendapat controversial menyebabkan kaum tradisional tidak menyukainya.
Akhirnya lahir aliran Ahlussunnah Waljama’ah dengan Tokoh besarnya Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi.
BAB III
Tauhid dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist
Pada dasarnya inti pokok ajaran al-Qur’an adalah Tauhid, Nabi Muhaammad SAW diutus Allah kepada Umat manusia adalah juga untuk mengajarkan ketauhidan tersebut, Karena itu ajaran Tauhid yang terdapat di dalam al-Qur’an dipertegas dan diperjelas oleh Rasulullah SWA sebagaimana tercermin dalam Hadistnya.
Penegasan Allah SWT dalam al-Qur’an yang mengatakan bahwa Allah SWT itu Maha Esa, antara lain :
1. Surat Al-ikhlas ayat 1 sampai dengan 4
2. Surat Al-Zumar ayat 4
3. Surat Al-Baqarah ayat 163
4. Surat An-Nisa’ ayat 171
5. Surat Al-Maidah ayat 73
6. Surat Al-Anbiya’ ayat 22
Keesaan Allah SWT tidak hanya keesaan pada zat-Nya, tapi juga esa pada sifat dan af’al ( perbuatan )-Nya. Yang dimaksud Esa pada zat adalah Zat Allah itu tidak tersusun dari beberapa juzu’ ( bagian ). Esa pada sifat berarti sifat Allah tidak sama dengan sifat-sifat yang lain dan tak seorangpun yang mempunyai sifat sebagaimana sifat Allah SWT.
BAB IV
Naluri Beragama
Pada dasarnya setiap manusia mempunyai fitrah berupa kepercayaan terhadap adanya zat yang Maha Kuasa, yang dalam istilah agama disebut Tuhan.
Para ahli Tafsir mengatakan, fitrah artinya ciptaan atau kejadian yang asli, kalau ada manusia kemudian tidak beragama tauhid berarti telah terjadi penyimpangan dari fitrahnya. Hal ini disebabkan oleh pengaruh lingkungan tempat ia hidup, pemikiran yang menjauhkan dari agama tauhid dan sebagainya.
Karena naluri beragama tauhid merupakan fitrah maka ketauhidan dalam diri seseorang telah ada sejak ia dilahirkan, untuk menyalurkan dan memantapkan naluri itu, Allah SWT mengutus Nabi atau Rasul yang memberikan bimbingan dan petunjuk ke jalan yang benar sehingga manusia terhindar dari kesesatan.
BAB V
Aplikasi Keimanan dalam berbagai Aspek Kehidupan
A. Perbedaan antara Filsafat dan Ilmu Kalam.
Secara ringkas dapat dikemukakan bahwa perbedaan antara ilmu kalm dan filsafat adalah :
!. Dalam ilmu kalam, filsafat dijadikan sebagai alat untuk membenarkan ayat-ayat al-Qur’an, sedangkan dalam filsafat sebaliknya, ayat-ayat al-Qur’an dijadikan bukti untuk membenarkan hasil-hasil filsafat.
2. Pembahasan dalam ilmu kalam terbatas pada hal-hal yang tertentu saja.Masalah yang dimustahilkan al-Qur’an mengetahui tidak dibahas oleh ilmu kalam tetap dibahas oleh filsafat.
B. Tauhid sebagai Aqidah dan Filsafat Hidup.
Akidah islam sering disebut tauhid. Ajaran tauhid disebut pula ajaran monoteisme, Akidah ini sudah ada sejak zaman Nabi Adam a.s. sebagai seoarang Nabi dan Rasul, Adam telah membawa Akidah ketauhidan tersebut, suatu akidah yang diberikan Allah kepada beliau. Karena itu, Umat islam yakin, Nabi Adam menganut paham monoteisme dan tidak mungkin menganut paham politeisme/kemusyrikan.
Nabi Adam tahu betul tentang Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT.
Dengan keyakinan bahwa Akidah ketauhidan sudah ada sejak Nabi Adam a.s. Umat islam menolak teori ch. Darwin dan pengikutnya mengenai evolusi tentang asal-usul agama.
Alasan yang biasa dikemukkan dalam penolakan teori tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kalau agama islam muncul melalui proses evolusi sesuai dengan tingkat dan kemajuan ilmu pengetahuan berarti agama islam adalah produk manusia. Sedangkan islam adalah agama wahyu, dating dari Allah SWT. Ia bukan kebudayaan, sekalipun ia melahirkan kebudayaan dan peradaban.
2. Kalau Adam a.s adalah seorang Nabi, tentu ia diberi bekal oleh Allah SWT dengan agama tauhid atau monoteisme. Dalam kepercayaan Umat berima, Adam adalah Nabi.
Ilmu Tauhid secara garis besar adalah ilmu yang mempelajari bagaimana bertauhid dengan baik dan benar sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan Hadist. Petunjuk al-Qur’an dan Hadist inilah yang dikaji secara mendalam oleh para Ulama’. Namun karena pola piker, latar belakang, metode pendekatan, dan sudut pandang yang berbeda, hasil pemikiran merekapun selalu tidak sama. Jangankan antar Madzhab, di dalam satu Madzhab saja perbedaan itu terjadi, sehingga muncul sekte-sekte.
Jalan yang paling aman dan dekat untuk mengenal Tuhan adalah dengan memperhatikan dan meneliti alam semesta. Al-Qur’an selalu mendorong manusia agar mau memperhatikan dan memikirkan apa yang ada dan terjadi di dalam alam raya ini, bukan saja alam yang berada di luar dirinya, tapi juga apa yang ada dalam diri manusia itu sendiri.
C. Pendidikan dan Pengajaran Tauhid.
Pendidikan dan pengajaran merupakan hal yang penting bagi kehidupan manusia. Dengan pendidikan dan pengajaran itulah Umat manusia dapat maju dan berkembang biak, melahirkan kebudayaan dan peradaban positif yang membawa kepada kebahagiaan dan kesejahteraan hidup mereka.
Yang dimaksud dengan pendidikan tauhid di sini ialah pemberian bimbingan kepada anak didik agar ia memiliki jiwa tauhid yang kuat dan mantap dan memiliki tauhid yang baik dan benar. Bimbingan itu dilakukan tidak hanya dengan lisan dan tulisan, tetapi juga bahkan ini yang terpenting dengan sikap, tingkah laku perbuatan. Sedangkan yang dimaksud dengan pengajaran tauhid ialah pemberian pengertian tentang ketauhidan, baik pada kebahagiaan hidup dunia dan ukhrawi.
Pendidikan dan pengajran tauhid, baik yang berhubungan dengan akidah maupun dalam kaitan dengan ibadah, akanmenanamkan keikhlasan pada diri seseorang dalam setiap tindakan atau perbuatan pengabdiannya. Keikhlasan dalam mengabdi kepada Allah inilah yang membuat tauhid bagaikan pisau bermata dua, satu segi untuk kehidupan di Akhirat, sisi lain untuk kehidupan di dunia.
D. Tauhid dan Pembinaan Kepribadian.
Pembentukan kepribadian taqwa berkaitan sangat erat dengan tauhid. Penanaman tauhid yang baik dan benar kepada anak akan sangat menentukan terwujudnya kepribadian takwa tersebut. Pertama, tauhid merupakan fondasi yang diatasnya berdiri bangunan-bangunan kehidupan manusia, termasuk jepribadiannya, dengan makin kuat dan kokohnya tauhid, makin baik dan sempurna kepribadian takwa seseorang. Kedua, tauhid merupakan aspek batin yang memberikan motivasi dan arah bagi perkembangan kepribadian manusia.
E. Tauhid dan Kesehatan mental.
Jika akidah atau keyakinan sebagaimana diajarkan islam di atas tertanam dalam jiwa seseorang, mentalnya akan kuat, jiwa tidak tergoncang hanya oleh karena orang lain tidak memberikan penghargaan kepada-Nya.
F. Ilmu dan Akidah.
Dalam membina akidah dan ibadah, agama juga tidak bisa berjalan sendiri, Ia harus dibantu oleh ilmu pengetahuan. Ilmu dapat menjelaskan dan menafsirkan arti dan makna akidah dan ibadah secara rsional sehingga ia tidak hanya diterima dengan rasa ( iman ) tapi juga diterima dengan rasio. Hal ini akan lebih memantapkan rasa keberagamaan dan keyakinan seseorang serta menumbuhkan kesadarannya yang mendalam untuk memperkuat iman dan melaksanakan ibadah dengan baik dan benar.
BAB VI
Manusia dan Lingkungan Hidup dalam Akidah Islam
Sebenarnya jauh sebelum masalah lingkungan hidup muncul ke permukaan dan menjadi isu internasioanl, al-Qur’an sudah memberikan isyarat kepada manusia tentang perlunya perhatian dan pemeliharaan lingkungan hidup itu, al-Qur’an juga mengisyaratkan bahwa manusia sangat berperan untuk menciptakan lingkungan hidup yang baik dan harmonis.
Berdasarkan ayat dan hadist yang telah dikemukakan di atas, dapat di ambil kesimpulan bahwa ajaran islam yang berintikan akidah islamiyah dapat membangkitkan kesadaran ekologis kepada manusia, bagaimana seharusnya ia bergaul dengan lingkungan hidupnya, baik lingkungan yang hidup biotis ataupun benda mati ( abiotis ).
Di samping factor manusia, gangguan lingkungan hidup bisa juga terjadi karena factor alam itu sendiri. Misalnya, gempa bumi, angin topan, gunung meletus dan banjir. Faktor alami ini terjadi juga ada yang berkaitan dengan factor manusia, seperti banjir yang terjadi akibat penebangan kayu atau penggundulan hutan.
BAB VII
Ruang Lingkup Pembahasan Ilmu Tauhid
A. Pembahasan dalam ilmu tauhid.
Aspek pokok dalam ilmu tauhid adalah keyakinan akan eksistensi Allah yang maha sempurna, maha Kuasa dan memiliki sifat-sifat kesempurnaan lainnya. Karena itu pula, ruang lingkup pembahasan dalam ilmu tauhid yang pokok adalah :
1. Hal-hal yang berhubungan dengan Allah SWT atau yang sering disebut dengan istilah Mabda. . Dalam bagian ini termasuk pula bagian takdir.
2. Hal yang berhubungan dengan utusan Allah sebagai perantara antara manusia dan Allah atau disebut pula washilah meliputi : Malaikat, Nabi/ Rasul, dan Kitab-kitab Suci.
3. Hal-hal yang berhubungan dengan hari yang akan datang, atau disebut juga maad, meliputi : Surga, Neraka dan sebagainya.
B. Aspek-aspek dalam ilmu tauhid.
Bagian-bagian tauhid sebagai ilmu dapat dibagi dalam 5 aspek : Tauhid Rububiyah, tauhid Uluhiyah/ubudiyah, tauhid sifat, tauhid qauli dan tauhid amali.
C. Masalah-masalah yang bertentangan dengan tauhid.
Secara garis besar, masalah-masalah yang bertentangan dengan tauhid adalah kekafiran, kemusyrikan, kemurtadan, dan kemunafikan.
BAB VIII
Pertumbuhan dan Perkembangan
aliran-aliran dalam Ilmu Tauhid/Kalam
A. Awal mula munculnya masalah teologi dalam islam.
Memang, fakta sejarah menunjukkan, persoalan pertama yang muncul di kalangan umat islam yang menyebabkan kaum muslimin terpecahj ke dalam beberapa firqah ( kelompok/golongan ) adalah persoalan politik. Dari masalah ini kemudian lahir berbagai kelompok dan aliran teologi dengan pandangan dan pendapat yang berbeda.
1. Khawarij
Adapun yang dimaksud khawarij adalah suatu sekte pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalakan barisan karena ketidak sepakatan tyerhadap keputusan ali yang menerima arbitrase ( Tahkim ).
Secara umum ajaran-ajaran pokok khawarij adalah :
1. Orang islam yang melakukan dosa besar adalah kafir.
2. Orang-orang yang terlibat dalam perang jamal ( antara Aisyah, Thalhah dan Zubair dengan Ali bin Abi Thalib ) dan para pelaku tahkim termasuk yang menerima dan membenarkan dihukumkan kafir.
3. Khalifah harus dipilih langsung oleh Rakyat.
2. Murji’ah
a. Sejarah timbulnya.
Satu hal yang sulit diketahui dengan pasti ialah siapa sebenarnya pendiri atau tokoh Ulama’ aliran ini. Menurut Syahrastani, Husain bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib adalah orang yang pertama yang menyebut irja’. Akan tetapi, hal ini belum menunjukkan bahwa ia adalah pendiri Murji’ah.
Hal-hal yang melatar belakangi kehadiran Murji’ah antara lain :
1. Adanya perbedaan pendapat antara orang Syi’ah dan khawarij.
2. Adanya pendapat yang menyalahkan Aisyah dan kawan-kawan yang menyebabkan terjadinya perang jamal.
3. Adanya pendapat yang menyalahkan orang yang ingin merebut kekuasaan Ustman bin Affan .
b. Ajaran-ajaran Murji’ah
a) Iman hanya membenarkan di dalam hati.
b) Orang islam yang melakukan dosa besar tidak dihukumi kafir, selama ia mengakui 2 kalimah syahadah.
c) Hukum terhadap perbuatan manusia ditangguhkan hingga hari kiamat.
c. Tokoh-tokoh dalam sekte Murji’ah.
Pemimpin Ulama madzhab murji’ah ialah Hasan bin Bilal Al-Muzni, Abu Sallat al Samman dan Dirar bin Umar.
Tokoh Murji’ah yang moderat adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib.
3. Qadariyah
Madzhab Qadariyah muncul sekitar tahun 70 H ( 689 M ). Ajaran-ajaran ini banyak persamaannya dengan Mu’tazilah. Tokoh Ulama’ Qadariyah adalah Ma’bad Al-Juhari dan Ghailan Al-Dimasqi.
Pokok aliran Qadariyah antara lain adalah manusia mempunyai kemampuan untuk bertindak ( Qudrah ) dan memilih atau berkehendak.
Kehadiran Qadariyah merupakan isyarat penentangan terhadap politik pemerintahan Bani Umayyah, aliran ini selalu mendapat tekanan dari pemerintah, namun paham Qadariyah tetap berkembang. Dalam perkembangannya, paham ini tertampung dalam madzhab mu’tazilah.
4. Jabariyah
Madzhab ini muncul bersamaan dengan kehadiran Qadariyah. Paham Qadariyah pada mulanya dipelopori oleh Ja’d bin Dirham.
Pokok-pokok paham Jabariyah
Menurut Jabariyah, manusia tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya dan tidak memiliki kemampuan untuk memilih.
Menurut paham ini manusia tidak hanya bagaikan wayang yang digerakkan oleh dalang tapi manusia tidak mempunyai bagian sama sekali dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
5. Mu’tazilah
Mu’tazilah lahir pada abad ke 2 H dengan Tokoh utamanya Washil bin Atha’. Pokok-pokok ajaran Mu’tazilah
Ada 5 prinsip ajaran Mu’tazilah yang dirumuskan oleh Tokoh besar aliran ini, Abu Huzail Al-Hallaf :
1.     Al-Tauhid (keesaan Tuhan )

ALIRAN MURJI'AH
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj75rNo5tNawttjT8uZczUFM11qKUQhr7fTxXf7ohzNfojE1Fn58lrsgazwiEDJLxOqTXsW6fqXRWkmEMmAg5HWB2nxo2IEhhfHbyTCdYBSlB9AlCA032g2pr8FTzCJ4yiI-vwr8pvikWM/s200/cece.jpg
A. Pengertian Aliran Murji’ah
Kata murji’ah berasal dari suku kata bahasa arab “Raja’a” yang berarti “Kembali” dan yang dimaksud adalah golongan atau aliran yang berpendapat bahwa konsekuensi hukum dari perbuatan manusia bergantung pada Allah SWT.

B. Awal Munculnya Golongan Murji'ah
Golongan Murji’ah pertama kali muncul di Damaskus pada penghujung abad pertama hijriyah. Murji’ah pernah mengalami kejayaan yang cukup signifikan pada masa Daulah Ummayah, namun setelah runtuhnya Daulah Ummayah tersebut, golongan Murji’ah ikut redup dan barangsur – rangsur hilang ditelan zaman, hingga kini aliran tersebut sudah tidak terdengar lagi, namun sebagian fahamnya masih ada yang di ikuti oleh sebagian orang, sekalipun bertentangan dengan Al-qur’an dan Sunnah.
C. Ciri-ciri faham Murji'ah

Diantaranya adalah :
  1. Rukun iman ada dua yaitu : iman kepada Allah dan Iman kepada utusan Allah.
  2. Orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin selama ia telah beriman, dan bila meninggal dunia dalam keadaan berdosa tersebut ketentuan tergantung Allah di akhirat kelak.
  3. Perbuatan kemaksiatan tidak berdampak apapun terhadap seseorang bila telah beriman. Dalam artian bahwa dosa sebesar apapun tidak dapat mempengaruhi keimanan seseorang dan keimanan tidak dapat pula mempengaruhi dosa. Dosa ya dosa, iman ya iman.
  4. Perbuatan kebajikan tidak berarti apapun bila dilakukan disaat kafir. Artinya perbuatan tersebut tidak dapat menghapuskan kekafirannya dan bila telah muslim tidak juga bermanfaat, karena melakukannya sebelum masuk Islam.
Golongan murji’ah tidak mau mengkafirkan orang yang telah masuk Islam, sekalipun orang tersebut dzalim, berbuat maksiat dll, sebab mereka mempunyai keyakinan bahwa perbuatan dosa sebesar apapun tidak mempengaruhi keimanan seseorang selama orang tersebut masih muslim, kecuali bila orang tesebut telah keluar dari Islam (Murtad) maka telah berhukum kafir. Aliran Murji’ah juga menganggap bahwa orang yang lahirnya terlihat atau menampakkan kekufuran, namun bila batinnya tidak, maka orang tersebut tidak dapat dihukum kafir, sebab penilaian kafir atau tidaknya seseorang itu tidak dilihat dari segi lahirnya, namun bergantung pada batinnya. Sebab ketentuan ada pada I’tiqad seseorang dan bukan segi lahiriyahnya.

Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran khawarij . Kaum Murji’ah muncul adanya pertentangan politik dalam Islam. Dalam suasana demikian, kaum Murji’ah muncul dengan gaya dan corak tersendiri. Mereka bersikap netral, tidak berkomentar dalam praktek kafir atau tidak bagi golongan yang bertentangan. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang–orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu dihadapan Tuhan, karena halnya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap mukmin dihadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-nya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan dua kali masyahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir. Alasan Murji’ah menganggapnya tetap mukmin, sebab orang Islam yang berbuat dosa besar tetap mengakui bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan Nabi Muhammad adalah rasulnya.

Dalam bidang aliran teologi mengenai dosa besar, kaum Murji’ah ini mempunyai pendapat tentang aqidah yang semacam umum dapat digolongkan kedalam pendapat yang moderat dan ektrim.

1. Golongan yang Ekstrim

Golongan ini dipimpin Al-Jahamiyah (pengikut jaham ibn Safwan) pahamnya berpendapat, bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah kafir. Dengan alasan, iman dan kafir bertempat dihati lebih lanjut umpamanya ia menyembah salib, percaya pada trinitas dan kemudian meninggal, orang ini tetap mukmin, tidak menjadi kafir. Dan orang tersebut tetap memiliki iman yang sempurna.

Pengikut Abu Al-Hasan Al-Salihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan dan kafir adalah tidak tahu pada Tuhan. Masalah sembahyang tidak merupakan ibadah kepada Allah. Ibadah adalah iman kepadanya, artinya mengetahui Tuhan.

Al-Baghdadi menerangkan pendapat Al-Salihiyah bahwa sembahyang , zakat, puasa, dan haji hanya menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan ibadah kepada Allah. Kesimpulanya ibadah hanyalah iman.

Al-Yunusiyah berkesimpulan atas pendapat kaum Murji’ah yang disebut iman adalah mengetahui Tuhan, bahwa melakukan maksiat atau pekerjaan jahat tidaklah merusak iman seseorang.

Atas pandangan diatas .Al-Ubaidiyah berpendapat bahwa jika seseorang mati dalam iman , dosa dan perbuatan jahat yang dikerjakannya tidak akan merugikan yang bersangkutan.

Adapun Muqatil ibn Sulaiman mengatakan, perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang, dan sebaliknya perbuatan baik tidak akan mengubah kedudukan orang musyrik.

2. Golongan Murji'ah Moderat

Golongan ini berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka. Ia mendapat hukuman dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya. Kemungkinana Tuhan akan memberikan ampunan terhadap dosanya. Oleh sebab itu, golongan ini meyakini bahwa orang tersebut tidak akan masuk neraka selamanya. Berbeda dengan golongan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar kekal dineraka memberi nama Murji’ah kepada semua orang yang tidak berpendapat seperti itu,yaitu selama mereka berpendapat bahwa pendosa tadi tidak kekal dineraka, walaupun mereka mengatakan bahwa pendosa itu akan disiksa dengan ukuran tertentu dan mungkin kemudian Allah memaafkannya dan menaunginya dengan rahmat-Nya. Itulah sebabnya golongan Mu’tazilah menerapkan sifat Murji’ah kepada beberapa imama mazhab dalam bidang fiqh damn hadist.

Tokoh dari golongan ini antara lain : Al-Hasan ibn Muhammad ibn Ali ibn Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadis. Kemudian Abu Hanifah mendefinisikan iman adalah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, Tentang rasul – rasulnya. Dan tentang segala apa yang datang dari Tuhan.

Ada gambaran definisi iman menurut Abu Hanifah, yaitu iman bagi semua orang Islam adalah sama. Tidak ada perbedaan antara iman orang Islam yang berdosa besar dan orang Islam yang patuh menjalan kan perintah – perintah Allah. Dengan demikian, Abu Hanifah berpendapat bahwa perbuatan tidak penting, tidak dapat diterima.

Ajaran kaum Murji’ah moderat diatas dapat diterima oleh golongan Ahli sunah wal jamaah dalam Islam. Asy’ari berpendapat, iman adalah pengakuan dalam hati tentang ke Esaan Tuhan dan tentang kebenaran Rasul – rasulnya serta apa yang mereka bawa. Sebagai cabang dari iman adalah mengucapkan dengan lisan dan mengerjakan rukun – rukun Islam. Bagi orang yang melakukan dosa besar, apabila meninggal tanpa obat, nasibnya terletak ditangan Tuhan. Kemungkinan Tuhan tidak membari ampun atas dosa – dosanya dan akan menyiksanya sesuai dengan dosa – dosa yang dibuatnya. Kemudian dia dimasukkan kedalam surga, karena ia tidak akan mungkin kekal tinggal dalam neraka.

Keidentikan pendapat yang berasal dari kaum Murji’ah antara lain :

Pendapat Al-Baghdadi
Beliau berpendapat bahwa iman ada dua macam yaitu :
  1. Iman yang membuat orang keluar dari golongan kafir dan tidak kekal dalam neraka, yaitu mengakui Tuhan, kitab, rasul, qadar, sifat Tuhan, dan segala keyakinan lain yang diakui dalam syari’at.
  2. Iman yang mewajibkan adanya keadilan dan melenyapkan nama fasik dari seorang serta melepaskanya dari neraka, yaitu mengerjakan segala yang wajib dan menjauhi segala dosa besar.

DAFTAR PUSTAKA

Sufyan Raji Abdullah Muhammad, Lc.mengenal aliran Islam.2003. Pustaka al-Riyadl. Jakarta

Ahmad Muhammad. Tauhid Ilmu Kalam. 1998. Pustaka Setia. Bandung

Zahra Imam Muhammad Abu. Aliran Politik dan Akidah .1996. Logos. Jakarta Selatan.

Nata Abudin, M.A. Ilmu Kalam, Filsafat, Tasawuf. 1993. Raja Wali Pers. Jakarta Utara.


2. Al-Adl ( keadilan-keadilan )
3. Al-Wa’du wal Wa’id ( janji dan ancaman )
4. Al-Manzilah bain al- Manzilatain
5. Amar Ma’ruf nahi Munkar.
Tokoh-tokoh Mu’tazilah, Washil bin Atha’, Abu Hudzail Al-Hallaf, Al-Nazzam, Al-Jubb’ai.
6. Ahlussunnah wal jama’ah
Ahlussunnah berarti pengikut Sunnah Nabi Muhammad SAW, dan Jama’ah artinya Sahabat Nabi, jadi Ahlussunnah mengandung arti “ Penganut sunnah ( I’tikad ) Nabi dan para Sahabat beliau.
Tokoh utamanya : Abu Al-Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi.
* Kelebihan dari Makalah ini adalah Penjelasan yang sangat rinci beserta dengan definisi berbahasa Arab, jadi semua itu mendukung kita dalam memahami ilmu kalam dalam buku ini.
* Kekurangannya : Peletakan antara definisi yang satu dengan definisi yang lain tidak beraturan.
DAFTAR PUSTAKA
Asmuni, M. Yusran, Ilmu Tauhid, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999 )











Baca Artikel Terkait: