-->

Minggu, 23 November 2014

PERIWAYATAN HADIS
A.    Pendahuluan
Seorang perawi dalam meriwayatkan hadis terlebih dahulu melakukan usaha mencari dan menemukan hadis dari seorang guru atau syaikh. Dalam istilah  ilmu hadis usaha tersebut disebut dengan al-Thuruq al-Tahamul dan al-Thuruq al-Ada’. Cara tersebut digunakan agar hadis yang diriwayatkan terjaga kebenarannya dan dapat diterima.
Makalah ini membahas tentang berbagai metode yang digunakan oleh perawi dalam menemukan dan mencari hadis (al-Tahamul) setelah perawi menemukan hadis kemudian diriwayatkan kepada orang lain.
B.     Pengertian Al-Tahamul dan Al-Ada’
Tahamul secara bahasa berasal dari kata “hamila” yang artinya membawa, ditambahkan “ta” pada awal kalimat dan “tasydid” diatas huruf “mim” memiliki makna sebagai berikut mencari atau memperoleh. Maksud dari pengertian ini adalah membahas tentang cara ulama hadis menerima hadis dari ulama atau rawi sebelumnya.
Kata al-Ada’ berasal dari kata “adda” yang artinya menunaikan tugas dengan semestinya, maksudnya adalah sorang perawi setelah menemukan hadis dari seorang guru atau syaikh kemudian menyampaikan hadis kepada orang lain. Pengertian tahamul dan al-ada di atas sangat jelas menunjukkan usaha sorang perawi menemukan hadis dan menyampaikan kepada orang lain.[1]
Menurut istilah ulamatahamul dan al-ada diartikan sebagai berikut:
الاخذ عن الغير والاداء التحديث بما تحمله عن الغير
Tahamul adalah mengambil atau menerima dari orang lain dan al-ada adalah meriwayatkan atau menyampaikan apa yang diterima dari orang lain.
بيان طرق اخذه وتلقيه عن الشيوخ
Tahamul adalah penjelasan tentang cara atau jalan menerima hadis dan menyampaikan dari orang guru atau syaikh.
اخذه ونقله عن الغير والاداء روايةالحديث وتبليغه لطالب الحديث بعد تحمله
Tahamul adalah menerima dan memindahkan dari orang lain (syaikh) sedangkan Al-ada’ adalah meriwayatkan hadis dan menyampaikannya kepada orang yang mencari hadis setelah menerima hadis.[2]
Dari pengertian di atas dapat diinterpertasi bahwa tahamul dan al-ada adalah penjelasan tentang cara atau metode seorang perawi dalam mengumpulkan dan mendapatkan hadis serta penjelasan tentang cara menyampaikan hadis itu kepada orang lain.
Dalam menerima hadis para ulama mengklasifikasikan sebagai berikut sah dan boleh orang yang belum mukallaf menerima dan meriwayatkan hadis, maka riwayat seorang yang belum masuk islam, ketika dia mendengarkan hadis pada saat itu boleh diriwayatkan dan dapat diterima ketika dia masuk islam seperti kisah yang terjadi pada Jabir bin Mu’attham yang belum masuk mendengarkan Nabi Muhammad saw pada waktu sholat magrib membaca surat al-Thur, kemudian Jabir meriwayatkan hadis tersebut ketika masuk islam.[3]
Orang yang belum baligh boleh mendengarkan hadis dan ketika dia sudah baligh maka dia meriwayatkan hadis yang dia dengar dan diterima dari orang lain, namun terdapat pengecualian bagi yang telah baligh ketika terjadi kesalahan penyampaian maka tidak boleh meriwayatkan hadis. Uraian di atas merupakan penjelasan para ulama tentang kebolehan orang yang telah baligh meriwayatkan hadis yang dia dengar pada saat belum baligh seperti para sahabat Nabi saw yaitu Hasan, Husain, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Nu’man bin Basyir dan lain-lain.[4]
Ibnu Amar Usman bin Abdurrahman mensyaratkan seseorang yang akan dibuat hujjah (diterima riwayatnya) harus ‘adil, dhabit, muslim baligh, ‘aqil, terhindar dari sifat-sifat fasiq dan terhindar dari hilangnya muru’ah, tidak pelupa dan hafal terhadap hadis dan mampu untuk menuliskannya.[5]
Dari penjelasan di atas dapat diinterpertasi bahwa perawi  yang akan menerima dan menyampaikan hadis dan hadis yang diriwayatkan dapat diterima disyaratkan harus memiliki sifat adil, dhabit, terhindar dari kefasikan dan muru’ah, tidak pelupa, hafal hadis dan mampu menuliskan hadis. Mahmud at-Thahan mengatakan menurut pendapat yang benar dalam menerima hadis tidak syaratkan harus islam dan baligh[6], namun ketika akan menyampaikan hadis maka harus islam dan baligh, bahkan orang yang tamyis[7]boleh mendengarkan, menerima dan meriwayatkan hadis. Sebagian ulama berpendapat bahwa seseorang boleh mendengar dan meriwayatkan hadis ketika sudah mencapai umur 10 tahun, 20 tahun dan 30 tahun[8] hal ini dimaksudkan menurut penulis bahwa batasan umur tersebut sangat mendukung terhadap sifat adil dan dhabit seseorang.
C.    Metode Menerima Hadis
Pada pembahasan di atas telah dimengerti bahwa perawi dalam meriwayatkan hadis terlebih dahulu harus mencari atau memperoleh hadis dari syaikh (guru). metode ini digunakan agar perawi terhindar dari kesalahan dan hadis yang disampaikan dapat diterima. Terdapat delapan Metode untuk memperoleh hadis yaitu:As-Sima’, Al-Qiro’ah, Al-Ijazah, Al-Munawalah, Al-Kitabah, Al-I’lam, AlWasiah, Al-Wijadah.
Penjelasan dari delapan metode penerimaan hadis akan dijelaskan sebagi berikut:
1.      As-Sima’
Menurut Imam as-Suyuti as-Sima’ adalah
وهو املاء وغيره من حفظه ومن كتابه
Pendiktean atau yang lainnyadari hafalan seorang syaikh atau tulisannya.[9]
Menurut Mahmud at-Thahan as-Sima’ adalah
ان يقراء الشيخ ويسمع الطالب سواء قراء الشيخ من حفظه او كتابه وسواء سمغ الطالب وكتب ما سمعه اوسمع فقط ولم يكتب
As-Sima’ adalah seorang syaikh membaca hadis dari hafalan atau tulisannya dan pencari (penerima) hadis mendengarkan hadis tersebut lalu ditulis apa yang didengar maupun tidak ditulis[10].
Dari penjelasan di atas dapat diinterpertasi bahwa as-Sima’ adalah mendengarkan penyampaian hadis yang disampaikan oleh syaikh dari hafalan atau tulisannya kemudian perawi menuliskan kembali hadis yang didengar dari syaikh atau tidak ditulis. Menurut jumhur ulama as-Sima’ adalah metode menerima hadis yang paling tinggi derajatnya.
Ahmad Umar Hasyim mensyaratkan dalam as-Sima’ tidak diperbolehkan adanya kesibukan lain dari perawi misalnya (bercerita, menulis hal lain) ketika mendengarkan hadis. Jika terjadi kesibukan lain maka hadis tidak dapat dibenarkan dan ini disepakati oleh Ibrahim al-Harabi, Abu Ahmad bin ‘Adi al-Hafiz, Abu Ishaq al-Isfaraim namun menurut Musa bin Harun al-Hamal perawi yang memiliki kesibukan lain ketika mendengarkan hadis dapat dibenarkan dan hadisnya dapat diterima.[11]
2.      Al-Qiro’ah
Menurut Ulama ahli hadis al-Qiro’ah adalah “al-ghardhu” artinya penyetoran. Menurut Haris Sulaiman al-Qiro’ah adalah:
ان تقراء علي الشيخ بنفسك اويقراء غيرك عليه وانت تسمع سواء كانت القراءة منك او من غيرك من كتاب او حفظ
Qiro’ah adalah kamu membaca sendiri hadis dihadapan syaikh atau orang lain yang membaca hadis kepada syaikh dan kamu mendengarkan bacaan itu baik dari dirimu sendiri atau orang lain dari tulisan atau hafalan seorang syaikh.[12]
Dari penjelasan di atas bahwa melalui metode al-Qira’ah penerima (perawi) membacakan hadis dari tulisan atau hafalannya dihadapan syaikh atau orang lain yang membacanya dan perawi hanya mendengarkan saja. Pada saat itu baik syaikh hafal atau tidak dari hadis yang dibacakan kepadanya atau tidak hafal tetapi syaikh melihat buku atau kitabnya.
Para ulama jumhur berpendapat bahwa al-Qira’ah merupakan metode yang sah. Menurut Imam Malik dan Imam Bukhari, ulama Hijaz dan Kufah al-Qira’ah adalah sama dengan metode as-Sima’ dan menurut ulama ahli Masyriq misalnya metode al-Qira’ah adalah riwayat yang shahih. Sedangkan menurut imam Abu Hanifah dan Ibnu Abi Daad al-Qira’ah adalah sama dengan metode as-Sima’
Penjelasan ulama ini lebih meyakinkan penulis bahwa metode al-Qira’ah memiliki kedudukan yang sangat tinggi dari pada metode as-Sima’ karena di dalam al-Qira’ah terdapat interaksi langsung antara perawi dan syaikh. Pada prinsipnya juga syaikh telah meneliti atas hadis yang dibacakan atau disetorkan kepadanya, dapat dipahami ketelitian dari hasil pemeriksaan syaikh terhadap hadis yang disampaikan perawi dapat diterima, dibenarkan dan diamalkan.
3.      Al-Ijazah
Metode yang digunakan perawi dalam menerima hadis selanjutnya disebut “al-Ijazah”. Ijazah adalah الاذن بالرواية لفظا او كتابا memberikan izin untuk meriwayatkan hadis secara lafadz atau tulisan.
Menurut Mahmud al-Thahan Ijazah adalah:
ان يقول الشيخ لاحد طلابه "اجزت لك ان تروي عني صحيح البخاري"
Seorang syaikh mengatakan kepada para muridnya (perawi) “saya izinkan (ijazahkan) kepadamu untuk meriwayatkan hadis shahihnya Imam Bukhari” [13]
Di dalam metode al-Ijazah menghendaki adanya izin dari seorang syaikh kepada perawi untuk meriwayatkan hadis baik dari tulisannya atau secara lafadz. Metode ijazah yang terpenting adalah pemberian izin kepada perawi untuk meriwayatkan suatu hadis atau kitab. Ijazah terbagi menjadi empat bagian:
a.       Ijazah dari orang khusus kepada orang khusus terhadap sesuatu yang khusus “من معين لمعين في معين” misalnya jika syaikh mengatakan “saya ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan hadis dariku melalui kitab ini” periwayatan melalui ijazah seperti ini dapat diterima.
b.      Ijazah dari orang khusus kepada orang khusus tetapi tidak kepada sesuatu yang khusus “من معين لمعين في غير معينmisalnya jika seorang syaikh mengatakan “saya ijazahkan kepadamu apa yang aku riwayatkan” periwayatan melalui ijazah juga dapat diterima.
c.       Ijazah kepada orang umum غير معينmisalnya jika seorang syaikh mengatakan ‘aku ijazahkan kepada kaum muslimin” atau “kepada orang yang mengucapkan laa ilahaillallah” periwayatan melalui metode ini juga dapat diterima.
d.      Ijazah kepada yang tidak diketahuai terhadap sesuatu yang tidak diketahui “من مجهول الى مجهولmisalnya jika syaikh mengatakan “saya ijazahkan kitab hadis. Ijazah seperti ini tidak dapat diterima karena tidak ada kejelasan kepada siapa syaikh berijazah dan apa yang diijazahkan juga tidak jelas.[14]
4.      Al-Munawalah
Metode yang selanjutnya adalah al-Munawalah[15] secara bahasa artinya menerima atau memperoleh. Secara istilah al-Munawalah terbagi menjadi dua:
a.       Munawalah beserta ijazah artinya ketika sorang syaikh mengijazahkan suatu kitab atau hadis maka di dalam ijazah tersebut terkandung menerima atau memperoleh hadis dari syaikh serta diberikan izin untuk meriwaytkannya.
b.      Munawalah tidak berserta ijazah artinya ketika syaikh memberikan kitab namun tidak sampai kepada perintah untuk meriwayatkan misalnya ketika syaikh mengatakan “ini adalah riwayat yang diberikan oleh orang lain maka kuberikan kepadamu”.
Sebagian ulama hadis mengatakan al-Munawalah lebih tinggi derajatnya dari metode as-Sima’ dan al-Qira’ah karena perawi memperoleh kitab dari syaikh dan izin darinya untuk meriwayatkan namun menurut pendapat yang benar munawalah lebih rendah derajatnya dari as-Sima’dan al-Qira’ah.[16]
5.      Al-Kitabah
Metode yang selanjutnya adalah al-Kitabah artinya tulisan. Secara istilah adalah ketika syaikh menuliskan apa yang dia dengar kepada para hadirin (dimajlis) atau orang yang tidak hadir dengan tulisan sendiri atau melalui orang kepercayaan.
Metode ini terbagi menjadi dua:
a.       Al-Kitabah beserta Ijazah artinya al-Kitabah telah terkandung di dalam ijazah. Misalnya jika syaikh mengatakan “aku ijazahkan kepadamu hadis yang aku tulis ini” hukum periwayatannya dapat dibenarkan.
b.      Al-Kitabah tidak beserta ijazah artinya dalam berijazah tidak terkandung unsur kitabah di dalamnya. Misalnya seorang syaikh menuliskan sebagian hadis namun tidak diperintahkan untuk meriwayatkan maka hukum periwayatan dalam kitabah yang kedua diperinci (tafsil) sebagian ulama melarang periwayatan dari kitabah yang kedua misalnya Imam al-Mawardi dan Imam Syafi’i dan Ulama Mutaqadimin seperti imam Abu Ayub as-Syahrastani, Imam Mansur, Imam Lais, Imam Abu Mudhoffar as-Sama’ani dan ashabul Ushul seperti Imam Al-Razi tidak membenarkan hadir melalui metode kitabah yang ke dua.
Cukup dalam periwayatan hadis melalui kitabah dengan penerima tulisan mengerti tulisan orang yang menuliskannya maksudnya perawi mengerti tulisan syaikh tentang hadis-hadis walau tidak adanya saksi. Namun, sebagian ulama mensayaratkan adanya saksi agar tulisan tidak terjadi kesalahan tetapi pendapat yang kedua merupakan pendapat yang lemah.
6.      Al-I’lam
ان يخبر الشيخ الطالب ان هذا الحديث او هذا الكتاب سماعه
I’lam adalam pengajaran atau kabar, keterangan dia atas i’lam adalah jika syaikh mengabarkan kepada perawi bahwa hadis atau tulisan ini merupakan yang dia dengar. Metode i’lam menggambarkan syaikh mengabarkan kepada perawi bahwa hadis yang disampaikan atau kitab yang disampaikan kepada perawi merupakan yang didengar dari orang lain, akan tetapi syaikh tidak menyampaikan untuk meriwayatkan hadis atau tulisannya.[17]
Para ulama berbeda pendapat tentang periwayatan dengan metode i’lam sebagian ahli hadis dan ushul fiqih berpendapat boleh periwayatan dengan menggunakan metode i’lam sebagian ulama berpendapat tidak boleh meriwayatkan hadis dengan metode i’lam dan ini pendapat yang paling benar karena syaikh mengerti akan kecacatan hadis maka tidak boleh untuk diriwayatkan tetapi jika ada izin dari syaikh untuk meriwayatkan maka boleh untuk meriwayatkan.
7.      Al-Washiyah
Metode al-washiyah adalah jika seorang syaikh atau rawi berwasiat kepada seseorang suatu kitab untuk diriwayatkan kepada orang lain sebelum meninggal dan sebelum melakukan perjalanan jauh. Metode al-washiyah amat langka dan jarang digunakan. Para ulama berbeda pendapat tentang periwayatan dengan metode al-washiyah. Sebagian ulama salaf memperbolehkan bagi yang mendapat wasiat untuk meriwayatkan hadis. Menurut Ibnu as-Sahalah metode al-washiyah tidak dapat dipakai atau tidak diperbolehkan diterima wasiatnya. Imam Nawawi mengatakan pendapat yang benar adalah tidak boleh meriwayatkan hadis dengan metode washiyah.
Seorang perawi meriwayatkan hadis dengan metode wasiyah jika ia mengatakan seseorang berwasiat kepadaku untuk meriwayatkan kitab. Dalam metode washiyah harus terdapat kata ‘ausha ilayya” kemudian di dalam wasiat disyaratkan adanya pertemuan antara pewasiat dan yang diwasiati jika tidak maka hadis dengan jalan al-washiyah tidak dapat diamalkan.[18]
8.      Al-Wijadah
Berasal dari kata “wajada” yang artinya menemukan. Secara istilah berasal al-wijadah adalah
ان يجد الطالب احاديث بخط شيخ يرويها ذالك الطالب وليس له سماع منه ولااجازة
Al-wijadah adalah perawi menemukan beberapa hadis dari tulisan syaikh lalu perawi mengertia diriwayatkan hadis-hadis itu tetapi perawi tidak dengan mendengar dan tidak melalui ijazah.
Dalam hal ini perawi menerima hadis secara langsung melalui tulisan syaikh namun perawi tidak melalui cara as-sima’ dan ijazah. Al-wijadah termasuk kedalam hadis yang terputus karena penerima hadis tidak menerima sendiri dari orang yang menuliskannya[19] artinya periwayatan melalui metode wijadah tidak dapat dibenarkan. Menurut Imam Ibnu Kasir bahwa “wijadah” bukan termasuk kedalam pembahasan periwayatan tetapi pembahasan tentang hikayat atau cerita-cerita hikmah yang perawi dapatkan dari sebuah kitab. Hukum mengamalkan hadis melalui metode wijadah adalah tidak diperbolehkan menurut fuqoha dan ahli hadis, Muhammad Ajjaj al-Khatib mengatakan bahwa mengamalkan isinya adalah wajib jika disampaikan dari orang-orang yang dapat dipercaya.[20]
D.    Metode Meriwayatkan Hadis
Setelah perawi menerima hadis maka yang dilakukan adalah menyampaikan atau meriwayatkan hadis kepada orang lain. Periwayatan yang dilakukan rawi dari metode menerima hadis memiliki bahasa penyampaian (al-Ada’) tersendiri. Bahasa penyampaian (shighat) tersebut memiliki derajat dan tingkatan yang berbeda dan memiliki kualitas tersendiri.
Melalui metode as-Sima’ perawi meriwayatkan dengan shighat“hadasana, akhbarona, anbaana, sami’tu fulanan, waqala lana, wadzakara lana”menurut Imam Khatib yang paling tinggi derajat diantara shigat itu adalah “sami’tu” kemudian “hadasana”  danakhbarona periwayatan dengan shighat ini sering berlaku dikalangan ulama, dan shighatanbaana jarang dan sedikit sekali berlaku dikalangan ulama.[21]
Melalui metode al-qiraah perawi dalam meriwayatkan dengan menggunakan shighat“qara’tu ‘ala fulan, aw quria ‘ala fulan, wa ana asma’u faaqarra bihi”kemudian dalam metode qira’ah perawi juga dapat mengunakan shighat dari metode as-Sima’ namun dengan dibatasi dengan kata-kata qira’ah misalnya “hadasana qiraata ‘alaihi” dalam kalimat tersebut terdapat bahasa penyampaian hadasana dan dibatasi dengan kata qira’ahnamun jika hanya mengunakan kata hadasana atau akhbarona maka menurut ibnu mubarak, Imam Yahya dan Ahmad bin Hambal, Imam Nasa’i tidak diperbolehkan untuk meriwayatkan hadis. Sedangkan menurut Imam Zuhri, Malik, Ibnu ‘Uyainah, Yahya al-Qhatan, dan Imam Bukhari.
Dari penjelasan di atas bahwa shigat yang digunakan dalam metode as-Sima’ dapat juga digunakan sebagai shigat periwayatan hadis yang digunakan pada metode al-qira’ah namun perlu adanya batasan tidak cukup hanya menggunakan kata “hadasana” tetapi harus dimasukkan kata qira’ah agar perbedaan dari kedua metode ini dapat dipahami secara pasti.[22]
Melalui metode al-ijazah perawi dalam meriwayatkan hadis menggunakan shigat pengijazahan dan shigat ijazah disesuaikan dengan pembagian ijazah yang sudah dijelaskan pada metode ijazahdan pembagiannya namun pada umumnya menggunakan shigat ijazah misalnya “ajazani” atau “ajazani fulan” artinya seseorang telah mengijazahkan kepadaku.
Melalui metode al-Munawalah perawi menggunakan shigatsebagai berikut “akhbarana Munawalah” (telah memberikan kabar kepada kami dengan cara munawalah) “Fi ma Nawalani” (mengenai apa yang diberikan kepadaku dengan cara munawalah) atau ungkapan yang lain yang sama. Sebagian ulama berpendapat bahwa dalam munawalah seorang perawi mengatakan “qala” atau ‘an Fulan”.
Melalui metode al-Kitabah mengatakan “kataba ilayya fulan, qala hadasa fulan” (telah memberikan hadis kepadaku dengan cara mukatabah fulan, katanya telah meriwayatkan kepada kami fulan). Melalui metode al-‘Ilam perawi menggunakan shigat misalnya “fi ma A’lamani syaikhi”saya meriwayatkan apa yang telah disampaikan dan diajarkan oleh guruku.
Melalui metode al-Wasiat seorang perawi dapat menggunakan shigat misalnya “telah mewasiatkan kepadaku fulan” atau “telah memberikan kabar kepadaku Fulan dengan cara wasiat atau saya menemukan dalam wasiat fulan kepadaku. Melalui metode al-Wijadah perawi menggunakan shigat penjelasan dalam hal wijadah (menemukan) misalnya “wajadtu fi kitab Fulan”(saya menemukan dalam kitab fulan) dan ungkapan yang sama dengan kata-kata itu.[23]
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa setiap metode menerima hadis seorang perawi memiliki cara periwayatan yang berbeda-beda. Perbedaan ini merupakan cara agar dapat terhindar dari kesalahan selain itu cara periwayatan ini juga dapat menjadi penilaian terhadap kualitas hadis.
E.     Kesimpulan
Pembahasan di atas menjelaskan tentang periwayatan hadis. Perawi dalam meriwayatkan hadis memiliki dua metode atau cara yang dilakukan. Dalam istilah ilmu hadis dua cara ini disebut dengan al-Tahamul dan al-Ada’ (metode menerima hadis dan metode manyampaikan hadis). Al-Tahamul artinya penjelasan tentang cara perawi dalam menerima dan memperoleh hadis sedangkan al-‘Ada’ adalah penjelasan tentang cara atau metode yang digunakan oleh perawi ketika meriwayatkan hadis.
Terdapat delapan metode dalam menerima atau memperolah hadis (as-sima’, al-qiraah, al-ijazah, al-munawalah, al-kitabah, al-‘ilam, al-wasiyah, dan al-wijadah)pada setiap metode memperoleh hadis terdapat ciri atau bahasa periwayatan (shigat) tersendiri yang membedakan antara metode satu dengan yang lain. Metode-metode yang dilakukan menunjukkan kehati-hatian dari para ulama untuk selalu melestarikan dan menjaga hadis agar terhindar dari kesalahan dan hadis yang diriwayatkan dapat diterima dan dibenarkan.
F.     Saran
Penulis telah berusaha dengan maksimal dalam menyajikan makalah dan penulis sadari bahwa makalah ini perlu untuk dibahas dan dikaji lebih luas lagi. Kebenaran hanyalah milik Allah ‘azza wa jalla untuk penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun jika terdapat kesalahan di dalam makalah ini. Atas kritik dan saran yang diucapkan terima kasih.


DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Umar Hasyim, Qowa’id Ushul al-Hadis, (Lebanon, ‘Alam al-Kutub: 1997).
Haris Sulaiman al-Dhariy, Muhadarat Fi ‘Ulum al-Hadis, (Dar an-Nafais: 2000).
Ibnu Kasir, al-Ba’is al-Hasis Ikhtisar Fi ‘Ulum al-Hadis, (Lebanon, Dar al-Kutub al-Alamiah: 2012).
Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri ‘Ala Ibnu Qosim al-Ghazi, (Maktabah Dahlan, t.t...).
Ibnu Amr Usman bin Abdurrahman, Muqoddimah Ibnu As-Sholah Fi ‘Ulum al-Hadis, (Lebanon, Dar al-Kutub al-‘Alamah cet. Ke-2: 2002).
Jalaluddin Abdurahman bin Abi Bakr al-Suyuti, Tadrib ar-Rawi Fi Syarh Tadrib al-Nawawi, (Madina Munawarah, al-Maktabah al-Ilmiah, cet. Ke-2 juz ke- 2, 1997).
Kamus Idris al-Marbawi (Dar Fikir... t.t)
Muhammad Ajjad al-Khatib, Ushul al-Hadis diterjemahkan H.M Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Pokok-pokok Ilmu Hadis, (Jakarta, PT. Gaya Media Pratama: 2001).
Mahmud al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis, (Lebanon, Dar ‘Alimul al-Kutub: 1998).
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta, Rajawali Press: 2011).
Syaikh Manna al-Qhattan, Mabahis Fi ‘Ulum al-Hadis diterjemahkan oleh Mifdhal Abdurrahman, Pengantar Studi Hadis, (Jakarta, PT. Pustaka Kausar: 2005).
Syamsuddin Muhammad bin Muhammad al-Khatib al-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifat Ma’ani al-Fadz, (Lebanon, Dar al-Kutub al-‘Alamiah, cet. Ke- 1, 1994).
Taufik Abdullah ... (at.al) Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, (PT. Ichtiar Baru Vanhoeve, Jakarta: 2002).





[1]Taufik Abdullah ... (at.al) Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, (PT. Ichtiar Baru Vanhoeve, Jakarta: 2002). Hlm. 67-68.
[2]Mahmud al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis, (Lebanon, Dar ‘Alimul al-Kutub: 1998). Hlm. 176
[3]عن جبير بن معطم انه سمع النبي صلي الله عليه وسلم يقراء في المغرب بالطور (رواه الشيخان)
Diriwayatkan dari Jabir bin Mu’attham bahwa dia mendengar Nabi Muhammad saw membaca surat al-Thur pada waktu shalat Magrib (H.R Bukhari dan Muslim).
[4]Haris Sulaiman al-Dhariy, Muhadarat Fi ‘Ulum al-Hadis, t.t. Hlm. 113.
[5]Ibnu Amr Usman bin Abdurrahman, Muqoddimah Ibnu As-Sholah Fi ‘Ulum al-Hadis, (Lebanon, Dar al-Kutub al-‘Alamah cet. Ke-2: 2002). Hlm. 159-160.
[6]Baligh adalah yang cukup umur, orang yang sudah wajib melaksanakan hukum-hukum syar’i Lihat Kamus Idris al-Marbawi (Dar Fikir... t.t). hlm. 64. Ukuran baligh dapat dilihat dari batasan umur atau melalui bermimpi basah. Lihat Syamsuddin Muhammad bin Muhammad al-Khatib al-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifat Ma’ani al-Fadz, (lebanon, Dar al-Kutub al-‘Alamiah, cet. Ke- 1, 1994). Hlm. 312
[7]Tamyis adalah anak kecil yang belum mencapai usia baligh ukuran tamyis menurut para ulama adalah sebagai berikut berumur 7 tahun, jika anak sudah mampu makan, minum, dan buang air (bersuci) sendiri, dapat membedakan tangan kanan dan kiri hal ini sesuai dengan hadis Nabi saw. Suatu ketika Nabi saw ditanya oleh para sahabat,”kapan anak mulai diperintah untuk shalat? Nabi saw menjawab “ketika anak sudah mampu membedakan tangan kanan dan kiri”. Ada juga yang berpendapat bahwa ukuran tamyis adalah ketika seorang anak mampu memahami pembicaraan dan dapat menjawab pertanyaan dan mengertia apa yang bermanfaat dan berbahaya bagi dirinya. Lihat Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri ‘Ala Ibnu Qosim al-Ghazi, (Maktabah Dahlan, t.t...). hlm. 130.
[8]Ibnu Kasir al-Maqdisi, al-Ba’is al-Hasis Syarkh Ikhtisar ‘Ulum al-Hadis, (Lebanon, Dar al-Kutub al-‘Alamiah: 2012). Hlm. 122.
[9]Jalaluddin Abdurahman bin Abi Bakr al-Suyuti, Tadrib ar-Rawi Fi Syarh Tadrib al-Nawawi, (Madina Munawarah, al-Maktabah al-Ilmiah, cet. Ke-2 juz ke- 2, 1997). Hlm. 8
[10]Mahmud al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis, ... hlm. 130.
[11]Ahmad Umar Hasyim, Qowa’id Ushul al-Hadis, (Lebanon, ‘Alam al-Kutub: 1997). Hlm. 177
[12]Haris Sulaiman al-Dhariy, Muhadarat Fi ‘Ulum al-Hadis, (Dar an-Nafais: 2000). Hlm. 116
[13]Mahmud al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis, ... hlm. 134
[14]Ibnu Kasir, al-Ba’is al-Hasis Ikhtisar Fi ‘Ulum al-Hadis, (Lebanon, Dar al-Kutub al-Alamiah: 2012). Hlm. 132.
[15]Menurut Ulama Ushul dasar bagi metode munawalah adalah hadis yang disampaikan oleh Imam al-Bukhari bahwa Nabi saw
ان النبي صلي الله عليه وسلم كتب لامير السرية كتابا وقال لاتقراؤه حتى بلغ مكان كذا وكذا فلما بلغ المكان قراءه على الناس واخيرهم بامر النبي صلى الله عليه وسلم
[16]Ahmad Umar Hasyim, Qowa’id Ushul al-Hadis, (Lebanon, ‘Alam al-Kutub: 1997). Hlm. 181.

[17]Mahmud al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis, ... hlm. 136
[18]Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta, Rajawali Press: 2011), hlm. 204
[19]Syaikh Manna al-Qhattan, Mabahis Fi ‘Ulum al-Hadis diterjemahkan oleh Mifdhal Abdurrahman, Pengantar Studi Hadis, (Jakarta, PT. Pustaka Kausar: 2005). Hlm. 185.
[20]Muhammad Ajjaj al-Khatib,Ushul al-Hadis diterjemahkan oleh H.M Qodirun Nur & Ahmad Musyafiq, Pokok-Pokok Ilmu Hadis, (Jakarta, PT. Gaya Media Pratama: 1998). Hlm. 212
[21]Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi, juz ke-2 ... hlm. 10
[22]Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi, juz ke-2 ... hlm. 16
[23]Muhammad Ajjad al-Khatib, Ushul al-Hadis diterjemahkan H.M Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Pokok-pokok Ilmu Hadis, (Jakarta, PT. Gaya Media Pratama: 2001). Hlm. 214-215



Baca Artikel Terkait: