-->

Minggu, 29 Januari 2023


Para menteri kabinet Israel, Minggu (23/11) memasukkan usulan perubahan Undang-undang Dasar terkait status negara sebagai tanah air kaum Yahudi dalam konstitusi dengan menghilangkan kata "demokrasi." Dalam usulan itu, Israel dalam konstitusinya tidak lagi didefinisikan sebagai negara "Yahudi dan demokratis" sebagaimana sebelumnya, melainkan dirubah menjadi "tanah air bangsa Yahudi."

Para pengamat mengatakan, usulan penggantian undang-undang dasar itu akan berdampak pada institusionalisasi diskriminasi terhadap 1,7 juta keturunan Arab yang mempunyai kewarganegaraan Israel.

Usulan perubahan undang-undang --yang ditulis oleh partai kanan garis keras Likud tersebut-- akan di sahkan menjelang pemungutan suara awal di parlemen Usulan tersebut telah memicu reaksi keras dari anggota parlemen dan kabinet dari partai berhaluan tengah dan kiri yang mengkhawatirkan munculnya diskriminasi yang terinstitusionalisasi.

Kelompok minoritas Arab Israel, yang berjumlah 20 persen dari keseluruhan 8 juta populasi, adalah warga keturunan Palestina yang tetap bertahan dan tidak turut mengungsi setelah negara Israel resmi dibentuk pada 1948.

Jika usulan tersebut disepakati, maka akan terjadi "institusionalisasi rasisme, yang sudah menjadi realitas keseharian baik dalam undang-undang maupun di jantung sistem politik," kata Majd Kayyal kepala lembaga The Legal Centre for Arab Minority Rights in Israel.

"Demokrasi seharusnya menjamin hak yang sama bagi semua warga negara dihadapan hukum negara, namun perubahan rasis ini memasukkan perbedaan perlakuan berdasarkan agama," kata dia.

Sementara itu Jaksa Agung Israel, Yehuda Weinstein, juga mengkritik usulan perubahan konstitusi karena dinilai melemahkan karakter demokratis Israel. Pada pekan lalu, Menteri Kehakiman Israel, Tzipi Livni, berhasil menunda upaya awal menempatkan usulan undang-undang yang sama ke dalam mekanisme voting.

Ilmuwan politik dari Open University di Israel, Denis Charbit, memperkirakan bahwa versi final amandemen konstitusi akan lebih bersifat moderat. "Ini adalah bagian dari politik sandiwara. (Perdana Menteri Benjamin) Natanyahu sadar bahwa pilihan perubahan undang-undang yang dikritik oleh jaksa agung adalah langkah yang sangat problematis," kata Charbit.

Israel Menangkapi Puluhan Bocah Palestina

Sementara itu situasi di Palestina masih tetap membara. Israel kembali menangkapi puluhan warga di Tepi Barat dan Al-Quds. Kuasa hukum tawanan Palestina dan sejumlah sumber lokal menegaskan, pasukan penjajah Israel Senin (24/11) menangkap 17 warga di seluruh wilayah al-Quds, Betlehem, Hebron dan Nablus.

Di Hebron, Israel menangkap tawanan Palestina bebas Basim Abdul Basith setelah rumahnya digeledah. Abdul Basith sendiri berkali-kali keluar masuk penjara Israel dan pernah mendekam di penjara selama enam tahun.
Aksi penangkapan juga dilakukan di Betawa, Hebron. Mereka yang ditangkap adalah Muhammad Ahmad Musa Musaliman, Walid Isa Musalimah, Adi Musalimah dan sejumlah rumah warga digeledah.

Pasukan Israel membuat perlintasan militer di gerbang wilayah selama aksi penggeledahan. Selain itu, pasukan Israel pagi ini juga menangkap 10 warga di kota Al-Quds dan sekitarnya, di Isawiyah, Silwan, Jabal Mubakir dan Savat. Sebagian korban termasuk masih di bawah umur; Abdur Rahman Isa (16), Muhammad Abdul Aal (15), Ahmad Abu Hidr (18), Mahmud Dari, Adi Auri, Zaid Halayilah, Hasan Khulafi, Umar Hijazi, Majdi Ghaits, dan wanita Syuruq Abu Thair (21).

Di Betlehem, Israel menangkap dua pemuda dari baldah Hausan, Tsaurat Tariq Hamamirah, Ibrahim Musa Hamamirah (25). Di Nablus, Israel menangkap Adil Duwaikat (26). 

Intifadah Ke-III

Kolumnis Info Palestina Yaser Zaaterah menegaskan situasi saat ini di Palestina dan tindakan kebiadaban yang dilakukan Zionis diyakini lebih layak akan memicu Intifada baru di banding situasi di tahun 2000 yang telah memicu Intidah Jilid II atau lebih dikenal dengan Intifadah Al-Aqsha. 

Intifada al-Aqsha meletus setelah tujuh tahun digelarnya perundingan Oslo yang sia-sia. Sementara situasi saat ini di Palestina terjadi setelah 10 tahun usaha perundingan yang digelar Mahmud Abbas tanpa hasil. Kondisi saat ini lebih buruk dibanding masa Yaser Arafat saat ikut KTT Cam David di tahun 2000. 

Intifada al-Aqsha dipicu oleh kunjungan penistaan Ariel Sharon ke masjid Al-Aqsha untuk menegaskan hak Yahudi di sana. Sementara aksi penistaan serupa saat ini lebih hebat dan tidak pernah kenal henti. Saat ini pejabat resmi di lingkungan pemerintah resmi Israel masuk masjid Al-Aqsha. 

Pelanggaran Israel terhadap masjid Al-Aqsha, pembangunan pemukiman yahudi dan aksi yahudisasi Al-Quds saat ini jauh lebih massif di bandingkan dengan tahun 2000. Bahkan keputusan pemerintah Zionis membagi (dari sisi tempat) area masjid Al-Aqsha dilakukan tanpa ada proses perundingan politik namun semata-mata diputuskan secara sepihak oleh Israel. 

Bangsa Palestina tetap bangsa Palestina. Tidak bisa disebut generasi saat ini lebih baik di banding dulu. Namun bedanya adalah otoritas Palestina dan Fatah, terutama di jajaran pimpinannya termasuk PLO, itu bedanya kini dan dulu. 

Rute perundingan saat ini berbeda. Selama tahun-tahun perundingan Oslo (tujuh) tahun sebelum Intifada Al-Aqsha, aparat keamanan Palestina dari kalangan nasionalis kebangsaan, lulusan sekolah perjuangan. Sementara aparat keamanan Otoritas Palestina pimpinan Abbas saat ini adalah ‘merek Palestina baru’ yang dibentuk dan dikader oleh jenderal Amerika Dayton. 

Jenderal ini sengaja diundang dari Amerika setelah pembunuhan Arafat terjadi. Ia datang bersama timnya yang siap melakukan konspirasi. Sebanyak 3000 komandan keamanan Palestina dipensiunkan oleh Dayton karena dianggap tidak sejalan dengan standarisasi baru. Standar yang paling berbahaya dibuat oleh Dayton; melawan penjajah Israel bukan bagian dari tugas keamanan Palestina, apapun kondisinya. 

Ini berarti adalah proses pembentukan kesadaran baru atau brand washing yang dimulai sejak 10 tahun lalu. Aparat keamanan Palestina itu kemudian disibukkan dengan karier, uang, kerja dan gaji. Termasuk tugas menaikkan karier dengan menguasai masjid-masjid dan lembaga-lembaga yang merupakan basis gagasan perlawanan Palestina. 

Apakah ini mengubah kesadaran Palestina ? Mungkin berpengaruh sebagian. Jika diperhatikan pesta rakyat membela perlawanan dan keberpihakan warga Palestina terhadap program perlawanan selama agresi Israel ke Gaza, maka masih bisa disimpulkan bakwa spirit munculnya Intifada itu masih hadir, meski itu harus dikepung oleh aparat keamanan Palestina sendiri. 

Bahkan aksi pribadi belakangan yang mentarget Israel, adalah respon ketidak berdayaan untuk membentuk sel bersenjata melawan penjajah. Sel-sel itu yang dibentuk dan dibentuk sepanjang waktu meski harus melawan dua kekuataan bersamaan, yakni penjajah Israel dan keamanan otoritas Palestina sendiri. Sehingga anggota sel perlawanan di Tepi Barat dan Al-Quds harus beralih menjadi tawanan. 

Lantas apakah Intifada baru masih mungkin meletus? Jika dilihat dari dimensi luar kawasan Palestina, maka di tingkat kawasan Arab, Intifada akan sangat mungkin meletus. Sebab siapapun yang ingin menghancurkan bangsa dan kebebasannya setelah mereka melakukan revolusi, maka mereka harus melakukan perundingan dengan musuhnya. Sementara kini rezim-rezim Arab berusaha mengekang revolusi rakyatnya dan mendukung zionis. 
Intifada yang akan meletus kali ini jika hanya melibatkan bangsa Palestina saja, tampaknya sangat sakral dan suci. Intifada kali ini bisa jadi akan memantik revolusi Arab yang baru. Rezim-rezim Arab akan berhadapan dengan massa Arab yang mendukung Intifada Palestina. Rezim Arab dihadapkan dua pilihan berpihak kepada publik atau tetap menentangnya dengan risiko besar. 

Negara Arab Ikut Gagalkan Intifada Jilid III ?

Dalam pada itu, kolumnis Info Palestina yang lain, Fahmi Huwaidi, meyakini bahwa negara-negara Arab telah berkonspirasi menggagalkan Intifadah ke- III. Media Israel menyebarkan isu bahwa sebagian rezim Arab ikut koordinasi dalam menggagalkan Intifada jilid III di Palestina yang dipicu oleh yahusasi Al-Quds karena masalah kota suci ini bisa mengguncang stabilitas di kawasan. 

Tentu tak bisa kita serta merta mempercayai informasi ini. Namun pada saat yang sama tak bisa pula kita anggap angin lalu, apalagi pihak rezim-rezim Arab hanya diam seribu bahasa saat Al-Quds dinistakan oleh Zionis Israel. Sebuah sikap yang mencurigakan. 

Seperti diketahui – sebagai informasi akurat – bahwa Israel khususnya setelah kesepakatan damai dengan Mesir pada tahun 1979 berhasil menginfiltrasi ke dunia Arab. Meskipun sebagian menegaskan, infitrasi (hubungan) itu terjadi diam-diam dengan faktor yang tidak bisa dipahami. Selain itu, pengumuman resmi kerjasama koordinasi pihak Otoritas Palestina (pimpinan Mahmud Abbas) dengan Israel juga disebut usaha resmi terang-terangan pertama sebagai bentuk usaha menggagalkan Intifada III antara rezim Israel dan Arab. Kerjasama ini membuat Israel lebih aman dan stabil. 

Bagaimana dengan rezim Arab lainnya? Saat agresi Israel ke Gaza berkali-kali, terutama oada Juli 2014 lalu, justru tersiar kabar dari media Israel ada koalisi Arab “anti teroris” dengan Israel; terutama Mesir, Saudi dan Emirat. Radio Israel edisi (2/11) mengutip sumber pejabat penting Israel menyatakan bahwa upaya diplomasi Saudi berperan penting dalam mengurangi usaha penyelundupan senjata bagi perlawanan Palestina di Jalur Gaza. 
Saudi memanfaatkan kebutuhan Umar al-Basyir, presiden Sudan terhadap legalitas regional dan internasional pasca dakwaan kejahatan kemanusiaan. Saudi menekan Sudan agar menghentikan kerjsama dengan Iran dalam menyelundupkan senjata ke Gaza. Sudan diminta menghentikan “stasiun” transit senjata Iran ke Gaza melalui gurun Mesir dan Sinai. Saudi menilai, perjanjiannya dengan Sudan sebagai syarat normalisasi hubungan antara Riyadh dengan Khoutum. Inilah yang terjadi. 

Wartawan gaek Israel Ron Ben Yasha yang juga pengamat militer di Yediot Aharonot adalah orang yang pertama kali mengungkap peran Saudi dalam menghadapi penyelundupan senjata dari Sudan ke Gaza. 

Bagaimana dengan peran Arab dalam membendung Intifada yang dipicu oleh Al-Quds? Dalam laporan yang diterbitkan oleh Pusat Kajian dan Analsis Medis Israel (13/11), Amos Gilad, ketua dinas politik dan keamanan di Kementerian Pertahanan Israel mengatakan, sejumlah Negara Arab intervensi menghentikan provokasi unjuk rasa di Al-Quds dan masjid Al-Aqsha. Hal itu sebagai hasil usaha diplomasi politik Israel kepada Negara-negara Arab tersebut. Bahkan kata Amos, aksi penangkapan dan pengasingan dari masjid Al-Aqsha yang dilakukan Israel karena usaha diplomasi dengan Arab karena rezim Arab tidak ingin menciptakan kerusuhan di kawasan. 

Pihak politisi dan pejabat kemaanan di Tel Aviv juga menyebutkan perang Abu Dhabi (Emirat) dalam mengibarkan bendera ‘anti Islam politik’ dalam rangka mengubur usaha Arab membela Al-Aqsha. Emirat membeli 35 flat di Jerusalem dari pemiliknya dan dijual ke agen yahudi untuk mencari keuntungan. Sementara Syekh Abdullah Zayid menyatakan khawatir situasi di Al-Quds akan memicu meletusnya Intifada III yang bisa mengancam stabilitas kawasan. 

Petinggi Hamas: Intifadhah Mendatang Berdimensi Agama

Mesti tidak dipastikan kapan waktunya akan terjadi, namun tidak dipungkiri bahwa “Intifadhah Ketiga” melawan penjajah Zionis akan meletus. Kali ini akan memiliki dimensi agama. Demikian menurut analisa salah seorang petinggi Gerakan Perlawanan Islam Hamas Dr. Ahmad Yusuf, dalam wawancara khusus dengan Pusat Informasi Palestina. 

Dia menjelaskan, “Tidak diragukan bahwa eskalasi protes, penolakan terhadap penjajah dan praktek-praktek yang dilakukan para pemukim pendatang Zionis, semua itu tidak lain adalah pendahuluan bagi meletusnya intifadhah ketiga.

Penasehat mantan PM Palestina Ismail Haniyah ini menyatakan bahwa sekitarnya bukan karena Otoritas Palestina yang berupaya bertindak represif terhadap demo-demo yang terjadi di kota-kota Palestina di Tepi Barat, yang mungkin bisa kita katakan bahwa Intifadhah Ketiga sekarang benar-benar dimulai.

Dia menambahkan, sayangnya masih ada perhitungan-perhitungan tertentu dari Presiden Mahmud Abbas dan Dinas Keamanan Palestina di Tepi Barat, yang berusaha menekan demo-demo yang mungkin menjadi embrio intifadhah ketiga ini.

Dia menjelaskan, “Intifadhah akan dimulai karena latar belakang peristiwa agama dan kejadian-kejadian keagamaan. Terutama yang memiliki hubungan dengan masjid al Aqsha, upaya penjajah Zionis menodai kehormatannya, juga upaya Zionis menghadirkan ekstrimis Yahudi di dalam area masjid al Aqsha, sebagaimana terjadi di masjid Ibrahimi dan pembagian secara tempat dan waktu pada tempat suci tersebut.” 

Dia menambahkan, “Semua yang dilakukan pemukim Yahudi dan penjajah Zionis, bisa dikatakan itu sebagai awal dari rencana membangun kembali sinagog Yahudi dan klaim-klaim Zionis. Semuanya hanyalah pendahuluan untuk menguasai masjid al Aqsha dan tempat-tempat suci Islam sekitarnya.” (msa/infopalestina)


sumber: >



Baca Artikel Terkait: