-->

Jumat, 22 Mei 2015

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi Ibnu Sahnun?
2.      Apa saja karya Ibnu Sahnun?
3.      Bagaimana pandangan Ibnu Sahnun Tentang Pendidikan Islam?
B.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui bagaimana biografi Ibnu Sahnun
2.      Untuk mengetahui apa saja karya Ibnu Sahnun
3.      Untuk mengetahui bagaimana pandangan Ibnu Sahnun Tentang Pendidikan Isla 

BAB II
PEMBAHASAN
A.     Biografi Ibnu Sahnun.
Ibnu Sahnun adalah salah seorang tokoh pendidik angkatan pertama dikalangan umat Islam, sebelumnya ia dikenal sebagai ahli fiqh yang bermazhab Maliki. Pemikiran Ibnu Sahnun mengenai pendidikan banyak menyoroti tentang perilaku pendidik, dan yang paling diperhatiakan adalah berkenaan dengan kompetensi pendidik itu sendiri. Selain tanggung jawabnya dalam mengajar, seorang pendidik dituntut memiliki kemampuan atau kapasitas keilmuan yang mumpuni.
Untuk melengkapi pembahasan pemikiran pendidikan Ibnu Sahnun ini, akan disinggung mengenai riwayat hidup, karena karyanya, dan pemikirannya tentang pendidikan. Ibnu Sahnun, nama lengkapnya adalah Abdullah Muhammad bin Abd Sa’id Sahnun bin Sa’id bin Habib bin Hilal bin Bakkar bin Rabi’ah  at-Tanukhi. Sahnun berarti seekor burung yang memiliki pendangan tajam. Dijuluki “sahnun” karena ketajaman pemikirannya.
Ibnu Sahnun lahir dari keluarga ilmiah pada tahun 202 H. di kota Gadat, pusat kebangkitan azhab Maliki di Magrib, dibesarkan di tengah-tengah pengawasan ayahnya kemudian beliau dimasukkan ke al-Kuttab sebagaimana yang dilakukan masyarakat pada umumnya di masa itu, agar dapat mempelajari al-Qur’an dan dasar-dasar membaca. Orang tuanya sangat memperhatikan pendidikan Ibnu Sahnun setelah melihat tanda-tanda kecerdasan dan kesungguhan anaknya. Selain itu, orang tuanya meminta kepada pengajarnya agar tidak mendidiknya kecuali dengan pujian dan teguran yang lemah lembut, tidak dengan pukulan dan kekerasan.
Ibnu Sahnun menimba ilmu dari beberapa ula ifriqiyah, antaa lain: Ali bin Ziyad (183 H), Musa bin Mu’awiyah as-Samadihi (225 H), Abd Aziz bin Yahya al-Madani (420H), A bdullah bin Abi Hisan al-Yahsabi (226 H) dan mempelajari kitab Muwaththa’ karangan Imam Malik bin Anas, kemudian berangkat menuju Mesir tahun 188 H dan belajar kepada sahabat-sahabat terkenal Imam Malik, terutama ‘Ali Abdur Rahman bin al-Qasim (191 H) dan Ibnu ‘Abd al-Hakam, juga kepada ulama Mesir lainnya. Kemudian ia menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji serta belajar kepada para ulama Mekah.
Ibnu Sahnun memiliki ilmu yang sangat luas, sehingga ia pun dipercaya memegang jabatan pengadilan di Ifriqiyah pada tahun 233 H sampai beliau wafat tahun 204 H. Ibnu Sahnun berusaha memantapkan mazhab Maliki di utara Ifriqyah, bahkan di Magrib secara keseluruhan. Ibnu Sahnun memilkik karakter yang luar biasa, di antaranya keteguhan hati, akhlak yang tinggi, dan selalu penuh semangat (vitalitas). Ibnu Sahnun memiliki yang banyak, yang datang dari berbagai penjuru dunia islam. Tidak lebih dari 400 murid dalam setiap majlis ilmu yang digelarnya. Ibnu Sahnun adalah seorang guru dalam berbagai bidang ilmu, menjadi panutan masyarakatnya dalam kehidupan, dan contoh teladan yang baik. Hal ini disebabkan kedalaman ilmu dan kharismanya, kefasihan lidah, kepintaran perilaku, cara berpakaian, dan gaya hidupnya, serta keperkasaannya dalam bidang hokum, semuanya melambangkan seorang yang kamil pada masa itu.[1]
B.     Karya-Karyanya Ibnu Sahnun
Ibnu Sahnun menulis dalam berbagai bidang ilmu, hal ini terbukti dari banyaknya jenis buku yang ditulis oleh Ibnu Sahnun. Ibnu Sahnun telah menulis buku tidak kurang dari 200 buku, diantaranya adalah:
1.      adab al-Mu’allimin, berisi tentang pemikiran pendidikan, mulai dari pentingnya kerja sama yang baik antara orangtua murid dengan pendidik, kurikulum, badan pengawas (supervisor), dan lain-lain.
2.      ajwibah Ibnu Sahnun, berisi tentang jawaban-jawaban Ibnu Sahnun seputar persoalan-persoalan yang muncul di masyarakat pada waktu itu.
3.      kitab al-Jami’, merupakan karyanya yang paling besar, tidak kurang dari 100 juz, terhimpun berbagai jenis ilmu dan terutama ilmu fiqh.
4.      kitab al-Musnad al-Hadits, Risalah fi as-Sunnah, Kitab al-Ibadah, Kitab al-Wara’, Kitab al-Hujjah ‘ala an-Nasara, dan lain-lain.
Sebagian karya yang dihasilkan oelh Ibnu Sahnun tersebut menunjukkan kepada kita bahwa Ibnu Sahnun memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang ilmu agama.[2]

C.     Pemikiran Ibnu Sahnun Tentang Pendidikan Islam
1.      Kurikulum
Ibnu Sahnun membagi kurikulum pendidikan kepada dua bagian, kurikulum wajib, dan kurikulum pilihan. Kurikulum wajib meliputi al-Qur’an hadits, dan fiqh. Sedangkan kurikulum pilihan berkisar pada materi-materi: ilmu hitung, syair, al-Gahrib (kata-kata sulit), bahasa Arab, dan ilmu nahwu.
Kurikulum yang dirancang oleh Ibnu Sahnun pada dasarnya bertujuan untuk menanamkan sendi-sendi pendidikan berdasarkan norma-norma pengetahuan islam dan penerapan kurikulum pendidikan sejalan dengan filsafat islam yang mengajak manusia memiliki pengetahuan sesuai dengan nilai-nilai islam. Tujuan pendidikan yang dicanangkan Ibnu Sahnun berusaha membekali anak didik dengan pengetahuan-pengetahuan yang diperlukan untuk mengantisipasi situasi yang akan mereka hadapi dalam kehidupan dan melatih berpikir logis. Hal ini terlihat dari komposisi kurikulum yang diterapkan Ibnu Sahnun. Yakni berupa jenis pengetahuan dasar yang diperlukan seperti membaca, menulis, dan ilmu hitung.
2.      Peendidikan Kejiwaan..
Pendidikan kejiwaan adalah sesuatu yang penting untuk menghubungkan manusia dengan penciptanya. Pendidikan kejiwaan ditekankan untuk membentuk kepribadian anak agar memiliki kepribadian yang sempurna.
Program pendidikan Ibnu Sahnun menjadikan al-Kuttab sebagai gambaran mini dari suatu masyarakat, dimana anak didik diharapkan dapat menyesuaikan dirinya untuk hidup di masyarakat dengan didasari atas keserasian antara individu dan kebutuhan masyarakat, selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam
3.      Metode Pendidikan
Metode pendidikan yang dimaksud oleh Ibnu Sahnun adalah system-sistem atau langkah-langakah tertentu tentang situasi tertentu. Sebagai gambaran tentang metode yang dimaksudkan oleh Ibnu Sahnun, yaitu tentang kaidah yang harus diperhatikan para pendidik dalam pengajaran al-qur’an, antara lain:
a.       tidak menyentuh al-qur’an kecuali dengan wudhu, dan tidak ada salahnya bagi anak yang belum sampai usia tamyiz membaca ayat-ayat al-qur’an di papan tulis tanpa wudhu jika ia sedang belajar, demikian juga pendidik.
b.      Jika seorang pendidik membaca ayat sajadah sedangkan ia membacanya untuk anak didik maka tidak menjadi keharusan  bagi anak untuk sujud tilawah karena seorang anak tidak sebagai imam. Kecuali jika anak itu telah dewasa, tidak ada salah baginya untuk sujud,. Jika ia meninggalkan sujud tilawah pun tidak ada hukuman atasnya, karena sujud tilawah itu tidak wajib. Demikian juga jika seorang pendidik membaca ayat sajadah, ia boleh melakukan sujud dan boleh juga tidak.
Sedangkan metode pengajaran secara umum kepada anak didik, yang harus diikuti oleh pendidik adalah sebagai berikut.
a.       Seorang pendidik sepantasnya menyediakan waktu bagi anak didik untuk mengajar mereka berbagai kitab.
b.      Pendidik tidak boleh memindahkan mereka dari satu surat ke surat lain hingga mereka hafal, menguasai tata bacaan, dan tulisannya.
c.       Pendidik hendaklah menuyediakan waktu khusus untuk diskusi agar mereka belajar dasar-dasar diskusi dan tata karma mendengar. Pendidik hendaknya memberikan mereka kebebasan mengungkapkan pendapat.
d.      Pendidik hendaknya menyediakan waktu pada akhir pekan belajar untuk mendengarkan (mengulang), menegaskan (mengetahui) penguasaan murid melalui hafalan.
e.       Pendidik hendaklah bersifat adil di kalangan anak didik, memperlakukan mereka dengan sama, baik bangsawan atau orang biasa.
4.      Peranan pendidik
Ibnu Sahnun menekankan pentingnya pendidikan dalam proses pendidikan. Menurutnya pendidik tidak hanya terbatas pada pendidikan dan pengajaran, namun lebih dari itu seorang pendidik hendaklah berperan sebagai orang tua bagi anak didik. Oleh karena itu, Ibnu Sahnun memberikan penjelasan tentang beberapa hal yang seyogianya dimiliki oleh seoarang pendidik, yaitu:

a.       mencurahkan perhatiannya secara langsung terhadap anak didik,
b.      pada waktu seorang anak didik tidak hadir, pendidik harus menghubungi keluarga anak didik,
c.       pendidik senantiasa bersungguh-sungguh menyediakan waktu untuk anak didik,
d.      pendidik menguasai hafalan al-Qur’an, mengetahui ilmu fiqh, mengetahui ilmu nahwu, kaligrafi, dan lain-lain.
Selain ketentuan-ketentuan di atas, Ibnu Sahnun juga mempersyaratkan kepada pendidik tentang perilaku pendidik yang harus dimiliki, yaitu perilaku mulia, dimana pendidik dapat menerapkannnya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidik hendaknya berperilaku yang dapat memberikan suri teladan kepada anak didiknya, seperti ikhlas, takwa, mempunyai rasa tanggungjawab, dan sopan santun.[3]
5.      Konsep Pemberian Hukuman menurut Ibnu Sahnun.
Hukuman sebagai alat pendidikan sebenarnya tidak dapat terlepas dari sistem kemasyarakatan dan ketatanegaraan yang berlaku pada waktu itu.[4] Sistem dan ketatanegaraan yang dimaksud tentu bagi masyarakat khususnya di Qairawan yang secara karakteristik penduduknya dikenal keras adalah peraturan atau adat istiadat. Hukuman bukan hal yang asing jika ia diterapkan dalam hal pengajaran. Masalah hukuman merupakan masalah etis, yang menyangkut soal buruk dan baik, yaitu soal norma-norma yang berlaku. Sebagai pangkal uraian selanjutnya mengenai hukuman dalam proses pendidikan dapat definisikan sebagai berikut: “Hukuman ialah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh orang tua, guru dan sebagainya sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan atau kesalahan pada setiap anak didik”.[5] Ibnu Sahnun ketika membahas tentang pelaksanaan hukuman sebagai alat paedagogis, menyatakan bahwa pelaksanaannya tentu harus dibatasi sesuai dengan pelanggaran atau kesalahan anak didik. Dalam hal ini Ibnu Sahnun nampaknya menyadari betul terhadap dampak-dampak psikologis yang mundul dari hukuman terhadap perkembangan jiwa anak.
Dalam suatu dialognya bersama Sa’ad, Ibnu Sahnun mengungkapkan pemikirannya tentang pemberian hukuman terhadap anak. Suatu ketika Ibnu Sahnun duduk bersama Sa’ad datanglah seorang anak perempuan Sa’ad yang menangis, dan setelah diketahui penyebab tangisan tersebut yaitu karena ia telah dipukul oleh gurunya, Ibnu Sahnun kemudian berkata; “Ketahuilah demi Allah aku akan beritahukan hari ini bahwa Nabi SAW. Bersabda: “Bahwa sejahat-jahat umatku adalah mereka yang mengajar anak kecil dengan sedikit kasih sayangnya kepada anak yatim dan keras (pemarah) terhadap orang miskin.”
Dalam pemberian hukuman pada anak, pada dasarnya tidak ada ulama yang menghendaki digunakan hukuman sebagai alat untuk mendidik kecuali bila terpaksa.[6] Kemudian Ibnu Sahnun menambahkan bahwa hukuman yang didasarkan atas kemarahan yang tidak disertai dengan niat mendidik dan membawa manfaat merupakan perbuatan buruk yang akan mendapatkan balasan di akhirat.
Hukuman seperti memukul menurut Ibnu Sahnun dapat diberikan kepada anak didik dalam rangka tujuan mendidik asalkan tidak dilakukan secara berlebihan. Ibnu Sahnun bahkan secara tegas menyatakan bahwa hukuman yang dibolehkan harus dibatasi dalam pelaksanaannya seperti pukulan tidak boleh diberikan lebih dari tiga kali kecuali atas izin orang tua dari si anak didik yang membolehkan untuk lebih dari itu, dan itupun jika si anak terbukti telah menyakiti orang lain.[7]
Syarat-syarat Pemberian Hukuman menurut Ibnu Sahnun.
Secara lebih jelas persyaratan-persyaratan yang diajukan oleh Ibnu Sahnun apabila guru melaksanakan hukuman adalah sebagai berikut:
a.       Hukuman hendaknya diberikan dengan menggunakan kasih sayang.
b.      Tidak memukul karena semata-mata marah.
c.       Pukulan itu diberikan untuk kemaslahatan anak.
d.      Tidak boleh memukul lebih dari tiga kali , kecuali atas izin orang tua anak yang bersangkutan.
e.       Hendaknya memukul dengan alat yang tidak membahayakan, seperti tongkat kecil.
f.       Tidak sampai menyakiti fisik anak.
Ibnu Sahnun juga memberikan saran untuk mempertimbangkan pemberian hukuman fisik, antara lain:
a.       Memperhatikan akhlak murid.
b.      Menghormati hak asasi anak didik meskipun anak masih kecil.
c.       Hendaknya tidak sembarangan dalam memberikan hukuman.
d.      Ibnu Sahnun memahami betul tentang bahaya memberikan hukuman yang tidak terkendali terhadap perkembangan jiwa anak sehingga ia memberi batasan-batasan atau persyaratan bagi pelaksanaan hukuman sebagai alat paedagogis, yang dimaksudkan agar pendidik berhati-hati terhadap pemberian hukuman.
Dampak-dampak Pemberian Hukuman dalam Analisis Psikologis.
Dampak Negatif
a.       Menimbulkan perasaan dendam kepada si terhukum. Ini adalah akibat dari hukuman yang sewenang-wenang dan tanpa tanggung jawab. Akibat semacam inilah yang harus dihindari oleh pendidik.
b.      Menyebabkan anak menjadi lebih pandai menyembunyikan pelanggaran. Inipun akibat yang tidak baik, bukan yang diharapkan oleh pendidik, Memang biarpun hukuman itu baik, kadang-kadang bisa menibulkan akibat yang tidak disukai itu. Hukuman menurut teori menakut-nakuti sering menimbulkan akibat yang demikian itu.
c.       Mengakibatkan si pelanggar menjadi kehilangan perasaan salah, oleh karena kesalahannya dianggap telah dibayar dengan hukuman yang telah diterimanya.
d.      Si terhukum juga dapat memancing balasan.
e.       Apabila hukuman ini terlalu sering dilakukan akan menimbulkan ketakutan terhadap si penghukum.[8]
Dampak Positif
a.       Memperbaiki tingkah laku si pelanggar. Misalnya yang suka bercakap-cakap di dalam kelas, karena mendapat hukuman, mungkin pada akhirnya berubah juga kelakuannya.
b.      Akibat yang lain adalah memperkuat kemauan si pelanggar untuk menjalankan kebaikan itu. Biasanya ini adalah akibat dari hukuman normatif. Serin hukuman yang demikian tidak menunjukkan akibat yang kelihatan nyata.
Nampaknya hukuman memiliki pengaruh negatif yang lebih banyak daripada positifnya. Lantas bagaimana menggunakan penghukum potensial secara efektif dan berkemanusiaan? Psikolog cenderung tidak dapat menerima hukuman fisik karena telah mengetahui akibat buruknya yang luar biasa. Oleh karenanya untuk menghindari hukuman fisik tersebut ada beberapa langkah yang dapat dilakukan, hal ini berdasarkan penelitian yang seringkali dianjurkan:
a.       Ciptakan satu suasana yang bersahabat dan hangat dengan si anak.
b.      Pilihlah hukuman yang sedang saja, yang secara fisik maupun psikologis tidak membahayakan anak.
c.       Anda harus yakin betul bahwa anda akan dapat menguasai/ mengendalikan diri ketika melakukan hukuman.
d.      Berikan hukuman ini secara konsisten bagi respon yang muncul, di manapun.
e.       Arahkan hukuman ini hanya kepada tujuan sasaran perilaku yang akan diperlemah, jangan sesudahnya baru dipikirkan.
f.       Buatlah hukuman sesingkat mungkin.
g.      Ajarkan anak sedemikian rupa sehingga berperilaku yang baik itu dapat menghilangkan motivsi yang dapat menimbulkan respon yang tidak dikehendaki.
h.      Buatlah pasangan yang terdiri dari penghukum potensial dengan tanda petunjuk seperti misalnya “jangan” dan “tidak”.[9]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ibnu Sahnun adalah salah seorang tokoh pendidik angkatan pertama dikalangan umat Islam, sebelumnya ia dikenal sebagai ahli fiqh yang bermazhab Maliki. Pemikiran Ibnu Sahnun mengenai pendidikan banyak menyoroti tentang perilaku pendidik, dan yang paling diperhatiakan adalah berkenaan dengan kompetensi pendidik itu sendiri. Selain tanggung jawabnya dalam mengajar, seorang pendidik dituntut memiliki kemampuan atau kapasitas keilmuan yang mumpuni.
Adapun salah satu peikiran Ibnu Sahnun adalah tentang kurikulu. Ibnu Sahnun membagi kurikulum pendidikan kepada dua bagian, kurikulum wajib, dan kurikulum pilihan. Kurikulum wajib meliputi al-Qur’an hadits, dan fiqh. Sedangkan kurikulum pilihan berkisar pada materi-materi: ilmu hitung, syair, al-Gahrib (kata-kata sulit), bahasa Arab, dan ilmu nahwu. Program pendidikan Ibnu Sahnun menjadikan al-Kuttab sebagai gambaran mini dari suatu masyarakat, dimana anak didik diharapkan dapat menyesuaikan dirinya untuk hidup di masyarakat dengan didasari atas keserasian antara individu dan kebutuhan masyarakat, selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Berkaitan dengan metode, metode yang dimaksudkan oleh Ibnu Sahnun, yaitu tentang kaidah yang harus diperhatikan para pendidik dalam pengajaran al-qur’an, antara lain:
1.      Tidak menyentuh al-qur’an kecuali dengan wudhu, dan tidak ada salahnya bagi anak yang belum sampai usia tamyiz membaca ayat-ayat al-qur’an di papan tulis tanpa wudhu jika ia sedang belajar, demikian juga pendidik.
2.      Jika seorang pendidik membaca ayat sajadah sedangkan ia membacanya untuk anak didik maka tidak menjadi keharusan  bagi anak untuk sujud tilawah karena seorang anak tidak sebagai imam. Kecuali jika anak itu telah dewasa, tidak ada salah baginya untuk sujud,. Jika ia meninggalkan sujud tilawah pun tidak ada hukuman atasnya, karena sujud tilawah itu tidak wajib. Demikian juga jika seorang pendidik membaca ayat sajadah, ia boleh melakukan sujud dan boleh juga tidak

B.     Saran
Makalah yang penulis buat ini jauh dari kesempurnaan baik dari segi buku reperensi, penulisan apalagi kata-kata yang tidak terurai dengan baik. Penulis mengharap kritikan dan masukan dari pembaca untuk perbaikan makalah ini kedepanya.







[1] A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakart: Amzah, 2009) hlm. 54.
[2] M. Said, Pendidikan Abad Keduapuluh dengan Latar Belakang Kebudayaannya, (Jakarta: Mutiara, 2007), hlm. 49
[3] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada , 2001), hl. 189-191
[4] Baisyuri Majdidi, Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta: Al-Amin Press, 2005), hlm.24
[5] Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, (Bandung: Angkasa dengan UIN Jakarta Press, 2003), hal.55
[6] Ibid., hlm. 56
[7] Ibid., hlm. 57
[9] Linda L. Davidof, Psikologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 208-212



Baca Artikel Terkait: