-->

Minggu, 20 September 2015

Berbagai Peristiwa Sebelumnya

Pertempuran pertama dalam Islam, antara 314 kaum muslimin dan sekitar seribu orang pasukan kaum kafir Quraisy, oleh para ahli sejarah Islam sering disebut sebagai Perang Badar Kubra. Kalau ada Kubra (besar), apa ada juga yang disebut dengan Sughra (kecil), atau nama lainnya yang dinisbahkan kepada Badar?

Memang benar, setidaknya ada dua kejadian lagi, pertama disebut para ahli tarikh (sejarah) Islam sebagai Perang Badar Ula (Pertama). Yakni terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 2 hijriah, ketika Nabi SAW bersama 70 sahabat melakukan pengejaran orang-orang musyrik yang dipimpin Kurs bin Jabir al Fihry, karena mereka melakukan perampokan domba-domba gembalaan orang-orang Madinah. Beliau melakukan pencarian hingga Badr dan diteruskan hingga wadi Safawan, tetapi mereka dapat meloloskan diri. Disebut juga dengan Perang Safawan.

Yang kedua disebut dengan Perang Badar Sughra atau Tsani (Kedua), terjadi pada Sya’ban tahun 4 Hijriah, antara perang Uhud dan perang Ahzab. Perang ini merupakan ‘perjanjian’ yang diminta sendiri oleh kaum kafir Quraisy Makkah, karena mereka ingin membalas kekalahan di Perang Badr Kubra dan ‘menuntaskan’ kemenangan yang menggantung pada Perang Uhud. Rasulullah SAW melayani ‘tantangan’ Abu Sufyan bin Harb ini dengan senang hati. Pada hari yang ditentukan, beliau menggerakkan pasukan yang berkekuatan 1.500 orang ke Badr, dan menunggu kehadiran kaum musyrikin Quraisy Makkah.

Abu Sufyan juga menggerakkan pasukan sejumlah dua ribu orang dengan persenjataan lengkap. Tetapi ketika tiba di Zhahran, sejauh satu marhalah (jarak satu hari perjalanan di saat itu) dari Makkah, mereka dihinggapi keraguan dan ketakutan, baik Abu Sufyan atau anggota pasukan lainnya. Mereka mencari-cari atau membuat alasan yang ‘membenarkan’ sikapnya untuk membatalkan pertempuran itu, dan akhirnya mereka sepakat kembali ke Makkah. Pasukan muslimin menunggu hingga delapan hari di Badr, dan setelah tidak ada tanda-tanda kaum kafir Quraisy akan datang, mereka meninggalkan Badr. Mereka tidak langsung kembali ke Madinah, tetapi melakukan perniagaan dengan beberapa kabilah di sekitarnya, dan memperoleh keuntungan yang lumayan.

Ketika Nabi SAW membentuk pasukan ke Badar, baik Muhajirin maupun Anshar, beliau hanya sekedar menghimbau dan tidak mewajibkan, karena tujuan utama dari pasukan ini adalah menghadang kafilah dagang kafir Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb, sekembalinya dari perniagaannya di Syam. Sebenarnya ketika keberangkatannya ke Syam pada akhir Jumadil Ula tahun 2 Hijriah, Nabi SAW beserta 150 atau 200 orang sahabat berusaha menghadang dan mengejarnya hingga di Dzul Usyairah, tetapi mengalami kegagalan.

Salah satu tujuan Nabi SAW mengirim duabelas sahabat yang dipimpin Abdullah bin Jahsy ke selatan, yakni ke Nakhlah pada Rajab tahun 2 Hijriah adalah mengetahui keberadaan kafilah dagang tersebut. Tetapi mereka justru bertemu dan bentrok dengan kafilah dagang Quraisy lainnya, yang akhirnya menewaskan Amr bin Hadhramy, salah satu sekutu kaum kafir Quraisy.

Karena belum memperoleh kejelasan informasi, Nabi SAW mengirim lagi dua orang sahabat, yakni Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’id bin Zaid ke utara, yakni ke Syam dengan tugas yang sama. Mereka berhasil mengetahui keberadaan kafilah tersebut ketika di Haura, tetapi mereka tetap menyembunyikan diri karena telah cukup dikenali oleh orang-orang Quraisy tersebut. Untuk menyampaikan informasi itu kepada Nabi SAW, mereka mengirim orang upahan ke Madinah.

Atas dasar informasi itu Nabi SAW mulai menyusun pasukan dan menggerakkan mereka ke Badar. Sejumlah 313 orang (atau 317 pada riwayat lainnya), 82 orang Muhajirin, 61 orang Anshar suku Aus dan 170 orang Anshar suku Khazraj menyambut seruan Nabi SAW itu. Nabi SAW sendiri yang memimpin pasukan itu dan panji pasukan dibawa oleh Mush’ab bin Umair, seorang sahabat yang menjadi muballigh pertama di Madinah. Yang ditunjuk menjadi wakil beliau di Madinah adalah Abdullah bin Ummi Maktum, seorang sahabat yang buta, sekaligus muadzdzin beliau selain Bilal. Tetapi dengan berbagai pertimbangan, kemudian diganti dengan Abu Lubabah bin Abdul Mundzir.

Abu Sufyan yang memimpin kafilah dagang itu cukup hati-hati dan waspada. Ia menyadari bahwa perjalanan dagang ke Syam tidaklah semudah sebelumnya, yakni sebelum kaum muslimin hijrah ke Madinah. Beberapa upaya pencegatan yang dilakukan kaum muslimin memang mengalami kegagalan, termasuk ketika menghadang kafilahnya saat berangkat ke Syam, tetapi ia tidak mau gegabah. Apalagi ia telah mendengar berita peristiwa Nakhlah yang dilakukan oleh Abdullah bin Jahsy dan kawan-kawannya.

Karena itu ketika akan kembali ke Makkah, ia mencari informasi tentang aktivitas kaum muslimin di Madinah dari berbagai sumber, termasuk mengirim mata-mata, dan ia memperoleh kabar kalau Nabi SAW tengah menyusun suatu pasukan yang belum jelas tujuannya. Karena itu ia makin meningkatkan kewaspadaannya. Pada jarak beberapa marhalah dari Badr, jalur utama yang biasa dilaluinya, ia menghentikan kafilahnya, kemudian berjalan mendahului beberapa jauhnya hingga bertemu dengan Majdy bin Amr dari Kabilah Bani Juhanni yang menjadi sekutunya, sekaligus sekutu orang-orang Madinah. Abu Sufyan bertanya tentang pasukan muslimin dari Madinah, tetapi Majdy berkata, “Aku tidak melihat sesuatu yang mencurigakan, hanya saja tadi ada dua orang berdiri di atas bukit itu!!”

Abu Sufyan segera memacu tunggangannya ke bukit yang ditunjukkan Majdy dan mendapati kotoran unta di sana. Setelah memeriksa dan mendapati biji-bijian yang masih utuh, ia berkata pada dirinya sendiri, “Demi Allah, ini adalah makanan hewan dari Yatsrib!! Tentulah mereka itu mata-mata yang menyelidiki kafilah dagangku!!”

Abu Sufyan semakin yakin kalau Rasulullah SAW dan kaum muslimin benar-benar akan menghadang kafilah dagang yang dibawanya. Ia segera kembali ke kafilahnya, dan mengirim orang upahan, yakni Dhamdham bin Amr al Ghifary ke Makkah untuk meminta bantuan demi menyelamatkan kafilah dagangnya. Ia juga memberangkatkan kafilahnya dengan jalan memutar melewati pesisir, menghindari jalur utama sumur Badar yang diperkirakannya akan bertemu dengan pasukan muslimin di sana.

Ketika Dhamdham sampai di Makkah dan mengabarkan bahaya yang menimpa kafilah dagang Abu Sufyan, dengan pongahnya Abu Jahal berkata. “Apakah Muhammad dan kawan-kawannya mengira akan bisa berbuat seperti yang dilakukannya (yakni oleh Abdullah bin Jahsy pada peristiwa Nakhlah) terhadap kafilah Ibnul Hadramy?? Sama sekali tidak, demi Allah mereka pasti akan mendapati kenyataan yang berbeda!!”

Abu Jahal segera mengumpulkan para pemuka Quraisy dan segera membentuk pasukan, maka dalam sekejab saja telah berkumpul sebanyak 1.300 orang dengan persenjataan dan bekal yang sangat lengkap. Hampir semua tokoh-tokoh kaum Quraisy ikut serta dalam pasukan ini, kecuali Abu Lahab karena sakit, tetapi ia mengirimkan seseorang untuk mewakilinya. Mereka segera berangkat ke Badar sebagaimana diinformasikan oleh Dhamdham, untuk menghadang pasukan kaum muslimin.

Setelah Abu Sufyan berhasil meloloskan kafilahnya dari hadangan pasukan muslimin, ia segera mengirim utusan kepada Abu Jahal dan pasukannya yang telah sampai di Juhfah. Dalam suratnya itu Abu Sufyan memberitahukan kalau kafilah dagangnya telah selamat, dan meminta pasukan itu kembali ke Makkah, tidak perlu meneruskan ke Badr untuk bertempur dengan pasukan muslimin. Tetapi dengan pongahnya Abu Jahal menanggapi surat Abu Sufyan itu, “Demi Allah kita tidak akan kembali kecuali setelah tiba di Badr. Jika mereka (kaum muslimin) tidak ada di sana, kita akan akan berpesta selama tiga hari. Kita akan menyembelih hewan, makan besar dan minum arak sambil mendengarkan para biduan menyanyi untuk kita. Dengan demikian seluruh orang di Jazirah Arabia akan gentar kepada kita dan tidak akan berani lagi mengganggu kafilah dagang kita di perjalanan!!”

Tetapi tidak semua orang mendukung sikap Abu Lahab itu, sehingga mereka terpecah menjadi dua kelompok besar. Yang paling gigih menolak sikap Abu Jahal adalah Akhnas bin Syariq dari Bani Zuhrah, maka ia dan sekutunya sebanyak tigaratus orang segera bangkit meninggalkan pasukan itu dan kembali ke Makkah. Di kemudian hari, setelah nyata kalau pasukan kafir Quraisy dikalahkan kaum muslimin, Akhnas semakin disegani oleh kaumnya karena ketajaman pikiran dan nalurinya itu.

Setelah mengetahui dari mata-mata yang dikirimkan Nabi SAW, yakni Basbas bin Amr dan Ady bin Abu Za’ba dari Bani Jubahhy, kalau kafilah dagang Abu Sufyan telah lolos dan kini ‘disongsong’ oleh pasukan perang Makkah yang cukup lengkap sejumlah seribu orang di bawah pimpinan Abu Jahal, kaum muslimin menghadapi dilema. Yang jelas dari segi kekuatan persenjataan dan perbekalan mereka kalah jauh. Tetapi kalau harus kembali ke Madinah untuk menghindari pertempuran, jelas akan menghancurkan ‘image’ dan moral kaum muslimin lainnya, yang ujung-ujungnya bisa membuat Islam ‘mati suri’ dan akhirnya dilupakan sama sekali, mati sebelum berkembang.

Saat itu Nabi SAW sedang berada di Wadi Dzafiran, maka segera saja beliau mengadakan musyawarah dengan menjelaskan situasi gawat yang harus mereka hadapi. Para sahabat Muhajirin mendukung beliau untuk terus berperang walau mungkin kekuatan tidak berimbang. Bahkan Miqdad bin Amr berkata, “Wahai Rasulullah, majulah terus seperti diperlihatkan Allah kepada engkau, dan kami akan selalu bersama engkau. Demi Allah, kami tidak akan berkata sebagaimana kaum Bani Israel berkata kepada Nabi Musa : ‘Pergilah engkau sendiri bersama Rabb-mu dan berperanglah kalian berdua, sesungguhnya kami akan duduk menunggu di sini.’  Tetapi kami semua akan berkata : Pergilah engkau bersama Rabb-mu berperang dan sesungguhnya kami akan berperang pula bersama engkau. Demi Dzat Yang Mengutusmu dengan kebenaran, seandainya engkau membawa kami ke dasar sumur yang gelap, maka kami siap bertempur bersama engkau hingga mencapai tempat itu!!”

Nabi SAW menyambut gembira semangat kaum Muhajirin itu, dan secara khusus mendoakan kebaikan untuk Miqdad bin Amr. Namun demikian beliau masih saja bersabda, “Wahai semua orang, berilah aku masukan (pendapat)!!”

Sebenarnya apa yang disampaikan Miqdad itu telah mewakili pendapat semua pasukan kaum muslimin itu, tetapi tampaknya Nabi SAW ingin pendapat langsung dari kaum Anshar, karena mereka jumlahnya memang lebih banyak dan mereka pula yang akan menanggung beban biaya pasukan itu. Hanya saja beliau tidak mau langsung ‘tunjuk hidung’ agar mereka menyampaikan sikapnya, atau memaksa mereka mengikuti begitu saja pendapat kaum Muhajirin. Inilah salah satu contoh yang menunjukkan ketinggian akhlak Nabi SAW.

Tampaknya bahasa kinayah (sindiran) Rasulullah SAW itu ditangkap dengan baik oleh kaum Anshar, maka salah satu tokohnya, yakni sahabat Sa’d bin Mu’adz berkata, “Demi Allah, sepertinya yang engkau maksudkan adalah kami (kaum Anshar), ya Rasulullah??”

Nabi SAW bersabda, “Benar!!”

Sa’d berkata lagi, “Wahai Rasulullah, kami telah beriman kepada engkau dan kami telah  membenarkan engkau, kami juga telah memberikan sumpah janji untuk selalu patuh dan taat kepada engkau, maka majulah engkau untuk berperang sebagaimana engkau kehendaki. Demi Dzat Yang Mengutusmu dengan kebenaran, seandainya engkau bersama kami terhalang lautan, lalu engkau terjun ke dalam lautan itu, maka kami semua akan terjun pula bersama engkau, tak seorangpun di antara kami yang akan mundur. Kami sangat gembira jika esok engkau menghadapi musuh, kami berada di sisimu bersama-sama menghadapinya. Sesungguhnya kami dikenal sebagai orang yang sabar dan jujur di dalam pertempuran. Semoga Allah menunjukkan kepada engkau tentang diri kami, apa yang engkau senangi. Maka majulah bersama kami dengan limpahan barakah Allah!!”

Nabi SAW sangat gembira dengan tekad dan semangat kaum Anshar yang diwakii oleh Sa’d bin Mu’adz tersebut, dan beliau bersabda, “Majulah kalian semua, dan terimalah kabar gembira, karena Allah telah menjanjikan salah satu dari dua hal kepadaku (yakni kemenangan atau mati syahid). Demi Allah, seakan-akan aku bisa melihat tempat kematian mereka itu!!”

Rasulullah SAW dan kaum muslimin meneruskan perjalanan ke Badar dengan semangat baru. Tidak lagi ‘berharap’ untuk memperoleh keuntungan duniawiah dengan menghadang kafilah dagang Quraisy Makkah, tetapi semangat untuk mempertahankan akidah dan keimanan mereka dari rongrongan kesombongan kaum musyrikin. Semangat untuk menjaga kelangsungan risalah Islamiah di muka bumi ini, sehingga tidak jadi prematur, mati sebelum sempat tumbuh dan berkembang.

Nabi SAW menata ulang, atau lebih tepatnya melengkapi susunan pasukan yang kini diarahkan untuk bertempur. Komandan utama masih beliau dan pemegang panji pertempuran masih Mush’ab bin Umair, tetapi beliau menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai pimpinan kelompok Muhajirin, dan Sa’d bin Mu’adz sebagai pimpinan kelompok Anshar. Kelompok pasukan di sayap kanan dipimpin oleh Zubair bin Awwam sedang pada sayap kiri dipimpin oleh Miqdad bin Amr. Pada garis pertahanan di belakang, Nabi SAW menunjuk Qais bin Sha’sha’ah sebagai pemimpin. Dari sini tampak sekali kemampuan beliau dalam hal strategi pertempuran, walau ini merupakan ‘pengalaman’ pertempuran yang pertama kalinya.

Berbagai Peristiwa Menjelang Pertempuran

Ketika pasukan muslimin telah tiba di sisi bukit di dekat Badar, di tempat yang bernama Ad Dabbah, Nabi SAW dan Abu Bakar berjalan mendahului beberapa jauhnya untuk mencari informasi, yakni melakukan kegiatan mata-mata. Mereka bertemu seorang Arab yang sudah tua, maka dengan berpura-pura sebagai pihak ‘netral’, Nabi SAW menanyakan tentang keberadaan dua pasukan itu, yakni pasukan muslimin dan pasukan musyrikin. Orang tua Arab itu berkata, “Yang aku dengar, Muhammad dan kawan-kawannya berangkat pada hari ‘anu’, berarti saat ini mereka telah tiba di ad Dabbah. Sedangkan kaum Quraisy Makkah berangkat pada hari ‘anu, itu berarti mereka telah di sisi bukit itu di arah Udwatul Qushwa pada hari ini…!!”

Diam-diam Nabi SAW memuji kecermatan dan kecerdikan lelaki tua tersebut. Lelaki itu berkata, “Sebenarnya kalian berdua ini dari mana??”

Karena tidak ingin diketahui identitasnya, apalagi jika pihak Quraisy akan bertemu dengan lelaki tua Arab itu nantinya, Nabi SAW berkata diplomatis tanpa berbohong, “Kami berasal dari setetes air!!”

Lelaki tua itu tampak keheranan dan berkata, “Setetes air yang mana? Apakah setetes air dari Irak??”

Tetapi Nabi SAW dan Abu Bakar telah berlalu menjauh tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut.

Pada sore harinya, Nabi SAW mengirim beberapa sahabat, yakni Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Sa’d bin Abi Waqqash dan lain-lainnya untuk memata-matai keadaan musuh. Di dekat mata air Badar, mereka bertemu dua orang upahan kaum Quraisy yang sedang mengambil air. Mereka segera menangkap keduanya dan membawanya menghadap Nabi SAW. Saat itu beliau sedang shalat sunnah, sehingga mereka menginterogasinya lebih dahulu, dua orang itu berkata, “Kami pesuruh kaum Quraisy untuk menyuplai kebutuhan air mereka!!”

Para sahabat tampaknya tidak puas dengan jawaban itu. Mereka memukul keduanya dengan harapan akan memberikan ‘pengakuan’ kalau keduanya adalah pesuruh Abu Sufyan, kafilah dagang yang baru pulang dari Syam dan bukannya pasukan perang kaum Quraisy. Karena tidak tahan dengan pukulan para sahabat tersebut, akhirnya keduanya berkata, “Kami memang pesuruh Abu Sufyan!!”

Saat itu Nabi SAW telah selesai shalat dan mendekati mereka, beliau langsung berkata, “Ketika keduanya berkata jujur, kalian malah memukulinya, jika keduanya berkata dusta malah kalian membiarkan dan mempercayainya. Demi Allah, mereka itu jujur dan mereka memang pesuruh kaum Quraisy!!”

Nabi SAW menghadapi kedua orang itu dan berkata, “Dimanakah posisi kaum Quraisy??”

Mereka berkata, “Di balik bukit pasir itu, di arah Udwatul Qushwa!!”

Tepat sama seperti perkataan orang tua Arab itu, beliau berkata lagi, “Berapa jumlah mereka tepatnya??”

Mereka berkata, “Banyak sekali, tetapi kami tidak tahu persis tepatnya!!”

“Berapa ekor unta yang mereka sembelih setiap harinya?” Tanya Nabi SAW.

“Dalam sehari kadang sembilan, kadang sepuluh ekor!!”

Nabi SAW berkata, “Berarti jumlah mereka sembilanratus hingga seribu orang!!”

Beliau bertanya lagi, “Siapa saja pemuka Quraisy yang bergabung dalam pasukan itu??”

Mereka berkata, “Hampir semuanya, di antaranya adalah Utbah dan Syaibah bin Rabiah, Walid bin Utbah, Abul Bakhtary bin Hisyam, Hakim bin Hizam, sang singa Quraisy Naufal bin Khuwailid, Harits bin Amir, Thuhaimah bin Ady, Zam’ah bin Aswad, Abu Jahal bin Hisyam, Umayyah bin Khalaf…..!!”

Mereka masih menyebutkan beberapa nama lagi, setelah itu Nabi SAW menghadapkan diri ke semua anggota pasukan dan bersabda, “Wahai semua orang, inilah Makkah, yang telah menghantarkan jantung hatinya untuk kalian!!”

Nabi SAW melepaskan dua orang itu untuk kembali ke kaum Quraisy Makkah, tetapi beliau meminta untuk tidak menceritakan pertemuan itu kepada mereka.

Pada malam harinya Allah menurunkan hujan yang cukup deras, yang membuat kaum musyrikin Makkah menjadi basah kuyup dan terhambat melanjutkan perjalanan. Tetapi di sisi lain, hujan yang sama justru meneguhkan langkah kaum muslimin. Fisik dan jiwa mereka seolah disucikan dari berbagai kotoran dan was-was yang masih sempat menggelayuti pikiran. Semangat makin berkobar dan jiwa mereka makin menyatu dalam semangat jihad fi sabilillah.

Pada pagi harinya, kamis tanggal 16 Ramadhan 2 hijriah, Nabi SAW membawa mereka makin dekat pada mata air Badar, menghadap ‘arena’ pada pasir yang cukup luas, dan memerintahkan para sahabat untuk melakukan berbagai macam persiapan. Tiba-tiba seorang sahabat Anshar bernama Hubab bin Mundzir menghadap Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, mengenai berhenti di tempat ini, apakah ini merupakan wahyu yang diturunkan Allah kepada engkau, sehingga dengan demikian tidak ada pilihan bagi kami untuk maju dan mundur dari tempat ini. Ataukah ini hanya sekedar pendapat, siasat dan strategi pertempuran??”

Nabi SAW bersabda, “Ini hanya pendapatku saja, siasat dan strategi yang paling tepat!!”

Hubab berkata, “Bolehkan saya memberikan pendapat, ya Rasulullah??”

Beliau bersabda, “Katakanlah pendapatmu!!”

“Wahai Rasulullah,“ Kata Hubab lagi, “Menurut saya tidak tepat jika kita berhenti di tempat ini. Pindahkanlah orang-orang lebih dekat ke mata air, kita buat kolam di dekat kita dan kita alirkan air ke sana. Setelah itu kita timbun kolam-kolam air di dekat pasukan Quraisy. Setelah kita berperang, kita mempunyai persediaan air yang cukup sedang mereka akan kesulitan memperolehnya…..!!”

Nabi SAW tampak gembira dengan pendapat brillian yang disampaikan Hubab itu, dan mendoakan kebaikan bagi dirinya. Beliau segera memerintahkan para sahabat untuk pindah pada tempat diusulkan Hubab, hampir separuh malam mereka bekerja keras merealisasikan strategi membuat kolam-kolam baru dan mengalirkan air ke dalamnya, serta menimbun kolam-kolam yang lama.

Setelah semua itu selesai, lagi-lagi seorang sahabat Anshar, yakni Sa’d bin Mu’adz datang menghadap Nabi SAW dan berkata, “Wahai Nabiyallah, bagaimana jika kami mendirikan tenda khusus untuk engkau memberikan komando, dan menyiapkan tunggangan engkau di sisinya, dan biarkanlah kami yang berperang menghadapi musuh. Jika Allah memberikan kemenangan, maka itulah yang memang kita harapkan. Tetapi jika keadaan sebaliknya, engkau bisa segera duduk di atas tunggangan dan kembali orang-orang yang di belakang kami (yakni di Madinah). Di sana masih banyak orang-orang yang tidak bergabung bersama kami, tetapi demi Allah, ya Nabiyallah, kecintaan mereka kepada engkau jauh lebih besar daripada kecintaan kami. Jika mereka menganggap bahwa engkau harus berperang, mereka tidak akan berpaling (pergi) dari sisimu. Allah pasti akan membela engkau bersama mereka, mereka akan memberikan nasehat dan berjihad bersama engkau!!”

Nabi SAW menyetujui usulannya dan mendoakan kebaikan bagi Sa’d, dan segera saja para sahabat mendirikan tenda komando tersebut. Sa’d juga menugaskan beberapa sahabat Anshar untuk menjaga keselamatan Rasulullah SAW, bergiliran dengan beberapa sahabat Muhajirin lainnya.

Nabi SAW sempat berkeliling mengitari arena perang Badar yang saat itu sedang kosong, karena pasukan Quraisy terhambat hujan deras yang terjadi malam sebelumnya. Pada beberapa tempat beliau berhenti dan bersabda, “Ini tempat kematian si Abu Jahal, insyaallah…Ini tempat kematian si Fulan, insyaallah…!!”

Beberapa kali beliau bersabda seperti itu pada beberapa tempat yang berbeda, yang pada pertempuran keesokan harinya, para tokoh kafir Quraisy yang beliau sebutkan itu memang terbunuh di tempat itu.

Kamis malam atau malam jum’at, tanggal 17 Ramadhan tahun 2 hijriah, kebanyakan kaum muslimin tidur dengan pulas dan tenangnya seolah-olah tidak ada bahaya yang mengancam mereka. Beberapa orang sahabat saja yang tidak tidur karena ditugaskan menjaga, termasuk yang menjaga Rasulullah SAW. Tetapi sebaliknya dengan Nabi SAW, beliau hampir tidak tidur sepanjang malam itu, dan mengisinya dengan shalat dan berdoa memohon pertolongan Allah. Beberapa sahabat telah berganti menjaga, tetapi beliau masih tetap dengan aktivitasnya itu.

Ketika sahabat Khabbab bin Arat mendapat giliran menjaga Nabi SAW, ia tidak tahan untuk tidak bertanya, maka ia menghampiri Nabi SAW dan menanyakan tentang shalat beliau yang begitu ‘panjang’ itu. Nabi SAW bersabda, "Itu adalah shalat yang penuh harapan dan ketakutan, aku berdoa kepada Allah dengan tiga permintaan, dua dikabulkan dan satu lagi dicegah-Nya (tidak dipenuhi). Pertama aku berdoa : Ya Allah, janganlah umatku Engkau binasakan sampai habis karena kelaparan, dan Dia mengabulkannya. Kedua aku berdoa : Ya Allah, janganlah umatku Engkau binasakan sampai habis karena serangan musuh, dan Dia mengabulkannya. Ketiga aku berdoa : Ya Allah, janganlah terjadi perpecahan dan perselisihan di antara umatku, maka Dia mencegah doaku ini."

Tampaknya perpecahan dan perbedaan pendapat di antara umat Nabi SAW sudah menjadi kodrat dan sunnatillah sehingga beliau dicegah (artinya tidak dipenuhi) untuk meneruskan doa tersebut. Namun perbedaan dan perpecahan itu tidaklah menghalangi datangnya rahmat dan ampunan Allah kepada umat beliau, karena kasih sayang Allah yang begitu besarnya kepada Nabi SAW.

Perpecahan umat itu baru terjadi setelah wafatnya Umar bin Khaththab, karena Nabi SAW memang pernah menyabdakan kalau Umar adalah ‘gembok/kuncinya’ fitnah. Artinya, setelah wafatnya Umar, di mana wilayah Islam makin luas dan makin banyak orang yang memeluk Islam, termasuk orang-orang Romawi dan Persia, fitnah cinta dunia, cinta kedudukan dan jabatan makin menjangkiti kaum muslimin, sehingga tidak bisa tidak akhirnya menimbulkan perpecahan dan perbedaan pendapat di antara kaum muslimin. Namun demikian, ampunan dan kasih sayang Allah masih tetap terbuka lebar bagi umat Nabi SAW yang ingin kembali atau bertaubat, hingga kiamat tiba. Baik kiamat pribadi (yakni kematian) yang batasnya ketika nafas di tenggorokan, ataupun kiamat kubra yang batasnya ketika matahari terbit dari sebelah barat.

Pada hari kamis itu, pasukan kaum kafir Quraisy masih tertahan di sisi bukit, di arah Udwatul Qushwa, belum turun ke padang Badar. Mereka sempat mengirimkan Umair bin Wahb al Jumahi untuk menyelidiki pasukan kaum muslimin. Umair segera berangkat dan mengitari beberapa kali pasukan Muslimin, ia juga memacu tunggangannya jauh ke arah belakang pasukan muslimin, kalau-kalau ada pasukan pendukung dan pasukan tambahan yang datang dari arah Madinah, tetapi ia tidak menemukan apa-apa.

Setelah kembali ke kalangan pasukan Quraisy, Umair berkata, “Mereka berjumlah sekitar tigaratus orang, tidak ada tambahan atau bala bantuan pasukan lainnya. Tetapi wahai orang-orang Quraisy, aku melihat bencana besar seperti mimpi, kolam-kolam Yatsrib membawa kematian yang memilukan. Mereka memang tidak memiliki benteng atau tameng-tameng, kecuali hanya pedang-pedang mereka, tetapi demi Allah, mereka tidaklah akan mati terbunuh kecuali setelah membunuh salah satu atau beberapa dari kalian. Maka, pikirkanlah hal ini dengan cermat!!”

Entah apa yang dilihat Umair sehingga ia bisa berkata seperti itu, padahal jelas sekali persenjataan dan jumlah mereka jauh lebih banyak dan lebih lengkap daripada kaum muslimin. Tetapi bagi orang-orang tertentu, kepekaan rasa mereka terkadang mampu menangkap sinyal-sinyal berbahaya yang menghadang mereka di depan. Mungkin Umair termasuk orang-orang tersebut, termasuk juga Akhnas bin Syariq yang membawa pulang kabilahnya, Bani Zuhrah sebanyak tigaratus orang, urung mengikuti pasukan kafir Quraisy ke Badar.

Dengan adanya pendapat Umair itu, kelompok yang sebenarnya menentang Abu Jahal untuk terus berperang mulai berani berbicara. Dengan dimotori oleh Hakim bin Hizam, mereka menemui Utbah bin Rabiah dan berkata, “Wahai Abul Walid, engkau adalah pemuka Quraisy, pemimpin dan orang yang dipatuhi, apakah engkau ingin memperoleh kenangan manis sepanjang masa??”

“Apakah itu, wahai Hakim??”

“Pulanglah dengan orang-orangmu, dan bawalah urusan sekutumu, Amr bin Hadramy. Tidak ada gunanya kita berperang melawan Muhammad dan orang-orang Yatsrib itu!!”

Amr bin Hadramy yang terbunuh pada peristiwa Nakhlah oleh pasukan yang dipimpin Abdullah bin Jahsy, memang sekutu Utbah bin Walid dan bukannya sekutu Abu Jahal. Dialah yang memang lebih berhak ‘menangani’ masalah itu, dan ia bermaksud memberikan tebusan dan penggantian harta yang seharusnya menjadi milik Ibnu Hadramy itu.

Utbah sendiri tampaknya sependapat dengan Umair, Hakim dan beberapa orang lainnya, maka ia berdiri dan berkata, “Wahai orang-orang Quraisy, demi Allah, sebenarnya tidak ada gunanya kalian memerangi Muhammad dan rekan-rekannya. Kalau kalian bisa mengalahkannya, masih saja kalian akan melihat seseorang yang membuat kalian membencinya, karena ia yang membunuh saudara, kerabat atau paman kalian yang menjadi pengikut Muhammad. Pulanglah kalian, dan biarkanlah urusan Muhammad dengan orang-orang Arab (lainnya)….!!”

Abu Jahal yang saat itu tengah mengenakan baju perangnya, langsung berkomentar setelah mendengar seruan Utbah, “Demi Allah, tampaknya ia (yakni Utbah bin Rabiah) benar-benar ketakutan ketika melihat Muhammad, apalagi di antara mereka ada anaknya, sehingga ia menakut-nakuti kalian untuk berhadapan dengan Muhammad…!!”

Salah seorang putra Utbah, yakni Abu Hudzaifah bin Utbah memang memeluk Islam pada masa-masa awal beserta seluruh keluarganya. Bahkan budaknya bernama Salim yang ikut memeluk Islam langsung dibebaskannya, dan kemudian diangkatnya menjadi saudara. Sungguh suatu sikap yang ‘memalukan’ dalam pandangan tradisi jahiliah, tetapi suatu kemuliaan yang tiada tara di sisi Allah. Ia rela menanggalkan nama besar, kemuliaan keluarganya dan semua harta kekayaannya untuk bisa mengikuti hijrah ke Madinah.

Mendengar komentar Abu Jahal itu, Utbah menjadi panas hati, dengan geram ia berkata, “Perlu dilihat nantinya, siapa yang sebenarnya lebih takut, aku atau dirinya??”

Karena khawatir akan lebih banyak orang yang menentang niatnya untuk berperang, Abu Jahal memanggil Amir bin Hadramy, saudara dari Amr yang tewas di Nakhlah, dan berkata, “Ini dia sekutumu (yakni Utbah) ingin mengajak orang-orang untul pulang. Padahal engkau tahu sendiri siapa orang yang ingin engkau tuntut balas, maka bangkitlah, dan carilah orang yang telah membunuh saudaramu itu!!”

Amir bin Hadramy segera bangkit dan berkata lantang, “Demi Allah, demi Allah, perang sudah berkobar dan orang-orang sudah tidak sabar lagi. Mereka telah siap untuk menuntut balas, tetapi mereka justru dikacaukan oleh pendapat Utbah!!”

Utbah tidak mau berkomentar lagi, hatinya telah panas dan akal sehatnya tertutup. Kalau akhirnya ia ingin segera bertempur, tidak lepas dari kemarahannya kepada Abu Jahal yang mengatakannya kalau ia penakut.

Jalannya Pertempuran

Jum’at pagi tanggal 2 Ramadhan tahun 2 hijriah, pasukan muslimin telah siap siaga di padang Badar, sedangkan pasukan kafir Quraisy baru saja turun menuju arena pertempuran. Nabi SAW mengatur dan menginspeksi barisan, beliau melihat Sawad bin Ghaziyah agak bergeser sehingga beliau memukulnya dengan anak panah agar meluruskannya. Tetapi di luar dugaan, Sawad berkata, “Wahai Rasulullah, engkau telah menyakitiku, karena itu ijinkanlah aku membalasnya!!”

Para sahabat, termasuk Rasulullah SAW sendiri terkejut mendengar perkataan Sawad itu, banyak yang mencela sikapnya. Tetapi ternyata semua itu hanya ‘akal-akalannya’ saja agar bisa bersentuhan kulit dengan Nabi SAW, karena ia merasa akan menemui syahid di pertempuran itu.

Nabi SAW juga memberikan nasehat tentang keimanan dan kesabaran, termasuk strategi dalam bertempur. Secara khusus beliau meminta pasukan muslimin untuk tidak membunuh Abbas bin Abdul Muthalib dan orang-orang Bani Hasyim karena sebenarnya mereka tidak menginginkan bertempur, tetapi dipaksa untuk mengikutinya. Mendengar sabda beliau ini, Abu Hudzaifah bin Utbah berkata kurang senang, “Apakah kami dibolehkan (diperintahkan) membunuh bapak-bapak kami, anak-anak, saudara dan kerabat-kerabat kami, tetapi membiarkan Abbas dan Bani Hasyim? Demi Allah, seandainya aku bertemu dengannya, aku akan membabatnya dengan pedang!!”

Nabi SAW memandang Abu Hudzaifah sesaat, bukan kemarahan tetapi pandangan penuh kasihan, kemudian bersabda kepada Umar, “Wahai Abu Hafshah, layakkah paman Rasulullah dibabat dengan pedang??”

Umar berkata, “Wahai Rasulullah, ijinkanlah aku memenggal lehernya dengan pedang. Demi Allah, sungguh dia telah berbuat munafik!!”

Tetapi Nabi SAW melarang Umar berbuat seperti itu, dan tidak memperpanjang masalah ataupun juga mendebat (menasehati) Abu Hudzaifah, yang memang merupakan putra pemuka Quraisy, Utbah bin Rabiah. Beliau membiarkannya begitu saja. Abu Hudzaifah sendiri yang akhirnya menyadari kesalahannya dan peristiwa itu selalu menghantui perasaannya. Walau Nabi SAW telah memaafkan dan bersikap biasa terhadapnya, tetapi ia masih saja tidak tenang. Ia beranggapan bahwa tidak ada yang bisa menebus kegelisahan hatinya itu kecuali jika ia memperoleh kesyahidan. Maka ia selalu mengikuti dan bersemangat tinggi dalam setiap medan jihad, sehingga ia memperoleh kesyahidan pada Perang Yamamah, pada masa khalifah Abu Bakar ash Shiddiq.

Tentunya sikap dan nasehat Rasulullah SAW itu bukanlah ‘egoisme kekerabatan’ semata. Selama tigabelas tahun berdakwah di Makkah, Bani Hasyim dan Bani Muthalib mati-matian membela Nabi SAW walau mereka tetap dalam kekafiran dan kemusyrikannya. Bahkan mereka sempat juga diboikot oleh kaum Quraisy selama tiga tahun karena tidak mau menyerahkan Nabi SAW untuk dibunuh. Mereka sampai mengalami ‘paceklik’ hingga hanya makan dedaunan dan kulit-kulit binatang, sementara kaum Quraisy menguasai cadangan makanan yang berlimpah, padahal mereka sama-sama musyriknya.

Nabi SAW juga meminta agar Abul Bakhtary tidak dibunuh. Salah satu pemuka Quraisy ini memang seringkali melakukan pembelaan kepada Nabi SAW dan kaum muslimin lainnya. Ketika pemboikotan selama tiga tahun, seringkali Hakim bin Hizam, walau ia masih musyrik, menyelundupkan bahan makanan kepada Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Suatu ketika ia tertangkap basah menyelundupkan makanan, dan akan dihakimi oleh pemuka Quraisy lainnya. Maka Abul Bakhtary tampil memberikan pembelaan kepada Hakim. Bahkan Abul Bakhtary ikut berinisiatif membatalkan piagam pemboikotan itu.

Setelah semuanya siap, Nabi SAW kembali ke pos komandonya dengan dikawal oleh Sa’d bin Mu’adz. Beliau menghadapkan diri ke kiblat dan berdoa, “Ya Allah, inilah Quraisy yang datang dengan kecongkakan dan kesombongan, yang memusuhi-Mu dan mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah, yang kuharapkan adalah pertolongan-Mu seperti yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, binasakanlah mereka pagi ini…!!!” 

Dua pasukan telah berhadapan di padang Badar, ada semacam stagnasi (kebuntuan) dalam sesaat. Bagaimanapun juga mereka (kaum Muhajirin dan kafir Quraisy) masih bersaudara, selama puluhan tahun tumbuh dan bergaul bersama, tetapi kini berhadapan untuk saling membunuh. Tetapi tiba-tiba seorang Quraisy yang kasar perangainya, Aswad bin Abdul Asad keluar dari pasukan dan berkoar dengan sombongnya, mengancam akan menghabisi pasukan muslim. Maka Hamzah tampil menghadapinya, dan dalam sesaat saja ia telah bisa membunuhnya.

Lalu muncul tiga pemuka Quraisy yang masih bersaudara menantang duel, yakni Utbah bin Rabiah, Syaibah bin Rabiah dan Walid bin Utbah. Sedikit banyak Utbah masih terpengaruh panas hatinya oleh ucapan Abu Jahal, sehingga ia langsung  Tiga orang pemuda Anshar langsung keluar melayani tantangan duel tersebut, yakni, Auf dan Muawwidz bin Harits al Afra, serta Abdullah bin Rawahah. Tetapi para pemuka Quraisy itu menolak menghadapi tiga pemuda tersebut, mereka berkata, “Wahai Muhammad, keluarkanlah orang-orang terpandang dari kaum kami!!”

Maka Nabi SAW memanggil tiga pemuda Anshar itu untuk kembali ke pasukan, kemudian memerintahkan Hamzah bin Abdul Muthalib, Ubaidah bin Harits dan Ali bin Abi Thalib. Ubaidah yang paling tua berhadapan dengan Utbah bin Rabiah, Hamzah dengan Syaibah dan Ali melawan Walid. Hamzah dan Ali dengan mudah mematahkan serangan lawannya kemudian membunuhnya, sedangkan Ubaidah bertempur cukup seru melawan Utbah. Kekuatan mereka berimbang, saling menyerang dan melukai, hingga akhirnya sama-sama tidak berdaya dalam keadaan luka parah. Ali dan Hamzah menghampiri Utbah dan membunuhnya, kemudian membawa Ubaidah menuju tenda komando Rasulullah SAW.

Nabi SAW meletakkan Ubaidah dalam pangkuan beliau beberapa saat lamanya, sambil mendoakannya untuk kebaikan dan kesabaran. Ia terus bertahan dalam keadaan luka dan kesakitan selama empat atau lima hari, dan wafat di Shafra’ dalam perjalanan pulang ke Madinah. Beliau memakamnnya di sana.

Setelah kekalahan tiga orang pemuka dan pahlawannya dalam duel pembuka, kaum kafir Quraisy langsung mengadakan serangan gelombang demi gelombang, seolah ingin melibas habis pasukan muslimin yang hanya sepertiganya itu. Seperti perintah Nabi SAW, pada awalnya kaum muslimin bersikap defensif dengan menggunakan panah-panah mereka, yang ternyata cukup efektif mengurangi laju serangan kaum kafir Quraisy. Setelah makin dekat, barulah mereka mengeluarkan pedang dan bertempur dengan serunya, man to man. Kaum muslimin tidak henti-hentinya menyerukan kata : Ahad, ahad, sebagaimana dahulunya Bilal bin Rabah menyerukan kata itu ketika ia disiksa dengan hebatnya oleh tokoh-tokoh kaum Quraisy.

Sejak awal terjadinya duel, tak henti-hentinya Rasulullah SAW berdoa memohon pertolongan Allah. Ketika kaum musyrikin Quraisy itu bergelombang datang menyerbu kaum muslimin, Nabi SAW makin intensif berdoa, “Ya Allah, jika pasukan ini hancur pada hari ini, maka Engkau tidak akan lagi disembah lagi di muka bumi. Tolonglah kami, ya Allah, kecuali jika Engkau memang menghendaki untuk tidak disembah lagi setelah hari ini!!”

Begitu menghibanya Rasulullah SAW meminta pertolongan Allah, hingga tanpa disadari jubah atau mantel beliau terlepas dari pundak beliau jatuh  ke tanah. Abu Bakar yang berada di sisi beliau mengambil dan memakaikan lagi jubah tersebut, sambil berkata, “Cukuplah engkau berdoa, ya Rasulullah, sungguh Allah tidak akan meninggalkan engkau!!”

Tidak lama berselang turun Firman Allah QS Al Anfal 9, "Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.”

Tiba-tiba Nabi SAW merasakan kantuk yang tidak tertahankan dalam sesaat, tersadar kembali dan beliau mendongakan kepala ke atas, lalu beliau bersabda dengan gembiranya, “Bergembiralah wahai Abu Bakar, inilah dia Jibril yang datang di atas gulungan-gulungan debu!!”

Nabi SAW segera melompat keluar tenda dengan mengenakan baju besi, beliau mengambil segenggam pasir dan melemparkannya ke arah pasukan kafir Quraisy, dan bersabda, “Buruklah wajah-wajah kalian!!”

Rasulullah SAW memompa semangat pasukan muslimin dengan berbagai cara, antara lain beliau bersabda, “Demi diri Muhammad yang berada dalam genggaman-Nya, tidaklah seseorang yang berperang pada hari ini dengan kesabaran, mengharap ridha Allah dan maju terus pantang mundur, kecuali Allah akan memasukkannya ke dalam surga!!”

Beliau juga bersabda, “Bangkitlah kalian ke dalam jannah, yang luasnya seluas langit dan bumi!!”

Seorang sahabat Anshar bernama Umair bin Hammam berkata, “Bakh, bakh!!”

Nabi SAW langsung bersabda, “Wahai Umair, apa maksudmu berkata : Bakh, bakh??”

Umair berkata, “Tidak lain, ya Rasulullah, adalah harapan agar saya termasuk salah satu penghuninya!!”

Sebagai seorang ‘motivator’ ulung, Nabi SAW langsung bersabda, “Sesungguhnya engkau termasuk salah satu penghuninya (surga itu)!!”

Mata Umair berbinar-binar karena gembiranya, saat itu ia tengah mengambil kurma untuk dimakan, maka segera dilemparkannya dan berkata, “Untuk hidup sekedar memakan kurma ini rasanya terlalu lama!!”

Setelah itu ia meraih pedangnya dan menghambur menyerbu musuh yang terus datang bergelombang. Sikapnya ini ternyata diikuti oleh beberapa kaum muslimin lainnya, yang terpacu semangatnya untuk bisa memperoleh jaminan surga sebagaimana disabdakan Nabi SAW.

Seorang sahabat Anshar lainnya bernama Auf bin Harits al Afra menghampiri Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang bisa membuat Ar Rabb (yakni, Allah) tersenyum kepada hamba-Nya??”

Nabi SAW bersabda, “Jika dia menyerbu ke tengah-tengah musuh tanpa mengenakan baju besi….!!”

Tentunya maksud Nabi SAW bukannya ‘bunuh diri’. Tidak semua pasukan muslimin memiliki dan memakai baju besi dalam pertempuran tersebut, sehingga sedikit banyak, hal itu memberikan dampak psikologis bagi mereka untuk maju menyerbu kaum musyrikin, yang kebanyakan memang memakai baju besi.

Auf sendiri saat itu tengah mengenakan baju besi, maka setelah mendengar sabda beliau itu, ia melepas dan melemparkan baju besinya, kemudian menghambur menyerbu musuh dengan perkasanya. Ternyata tanpa memakai baju besi, Auf lebih leluasa bergerak dan menyerang sehingga merepotkan barisan kaum musyrikin itu. Tindakannya itu makin meningkatkan semangat pasukan muslimin dalam menahan gempuran pasukan musyrikin yang memang lebih banyak dan lengkap persenjataannya.

Begitulah, kemampuan Rasulullah SAW dalam memompa semangat jihad kaum muslimin membuat mereka begitu tegar menghadang serbuan kaum musyrikin yang seolah ombak di laut yang susul menyusul datang. Kaum musyrikin sendiri keheranan karena mereka tidak mampu ‘membungkam’ pasukan muslimin yang hanya seperti jumlahnya. Tentulah mereka tidak tahu, karena sebenarnya saat itu sepasukan malaikat yang dipimpin oleh malaikat Jibril telah membantu pasukan muslimin.

Iblis yang mewujudkan diri sebagai Suraqah bin Malik bin Ju’syum, seorang pemuka dari kabilah Bani Mudlij yang sempat membuntuti hijrahnya Rasulullah SAW, lari terbirit-birit dari pertempuran. Sebelumnya Iblis dalam bentuk Suraqah ini berjanji akan ‘memback-up’ pasukan kafir Quraisy hingga bisa membunuh Rasulullah SAW, tetapi begitu melihat pasukan malaikat datang, ia segera beranjak pergi. Gelagatnya itu diketahui oleh Harits bin Hisyam yang segera memegang tangannya dan berkata, “Hai Suraqah, mau kemana engkau? Bukankah engkau berjanji akan menjadi pendukung kami dan tidak akan pernah meninggalkan kami?”

Tentu saja Harits, saudara Abu Jahal ini, mengira ia benar-benar Suraqah bin Malik. Iblis memukul dada Harits hingga pegangannya lepas dan ia jatuh terjengkang. Iblis berkata, “Sungguh aku melihat apa yang tidak kalian lihat. Sesungguhnya aku sangat takut kepada Allah, siksaan Allah benar-benar sangat pedih!!”

Setelah itu Iblis melarikan diri begitu cepatnya dan menceburkan dirinya ke dalam lautan, karena begitu takutnya.

Pasukan muslimin yang dipimpin Rasulullah SAW dan pasukan malaikat yang dipimpin oleh Malaikat Jibril terus mendesak pasukan kafir Quraisy hingga mereka terus mundur. Tampak beberapa kejadian lucu dalam pertempuran. Seorang sahabat baru saja bergerak untuk menyerang, tiba-tiba orang musyrik itu telah terkulai jatuh dan mati, seolah-olah terkena serangan ‘tenaga dalam’. Seorang musyrik tengah mengayun pedang, tetapi tiba-tiba tangannya terputus, tanpa diketahui siapa yang membabatnya. Seorang muslim lainnya tengah mati-matian bertahan dari serangan musuh, tiba-tiba ia mendengar lecutan cambuk di atas kepalanya dan suara yang menggelegar, “Majulah wahai Haizum!!”

Dan orang musyrik yang menyerangnya terjerembab jatuh dan mati. Usai pertempuran, ketika sang sahabat menceritakan pengalamannya ini kepada Rasulullah SAW, dan menyatakan kalau malaikat membantunya, beliau bersabda, “Engkau benar, itu adalah pertolongan Allah dari langit yang ke tiga, Haizum adalah nama tunggangan malaikat Jibril!!”

Seorang sahabat lainnya bernama Abu Daud al Maziny, setelah bertempur dengan hebatnya, musuhnya itu lari menghindar. Maka ia mengejarnya untuk menebas kepalanya, tetapi sebelum pedangnya menyentuh tubuh musuhnya, orang musyrik itu tiba-tiba jatuh dan mati dengan kepala terpenggal.

Pemuka Quraisy yang masih saudara sepupu Nabi SAW, Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Muthalib, melihat pemandangan yang menakjubkan di mana sepasukan tentara berkuda yang berpakaian serba putih, berseliweran antara langit dan bumi tanpa menginjak tanah dan tidak meninggalkan jejak apapun, dengan sesuka hatinya menyerang dan menawan kaum Quraisy. Melihat hal itu, Abu Sufyan berlari sejauh mungkin dari pasukan muslimin, dan akhirnya ia bisa menyelamatkan diri hingga kembali ke Makkah.

Abbas bin Abdul Muthalib yang akhirnya tertawan oleh seorang sahabat Anshar, dengan tegas berkata di hadapan Rasulullah SAW, “Demi Allah, bukan orang ini yang tadi menyerang dan menawanku. Aku tadi ditangkap oleh seorang lelaki yang botak kepalanya, wajahnya sangat tampan, dan mengendarai kuda yang sangat gagah. Dan aku tidak melihat orang itu di antara kalian!!”

Sahabat Anshar itu berkata, “Wahai Rasulullah, akulah yang telah menawannya!!”

Maka Nabi SAW bersabda kepadanya, “Diamlah engkau, karena sesungguhnya Allah telah membantumu dengan seorang malaikat yang mulia.”

Ukasyah bin Mikhsan yang bertempur di dekat Nabi SAW, sekaligus menjaga keselamatan beliau, bertempur begitu hebatnya menghadang serangan kaum musyrikin, hingga pedangnya patah menjadi dua. Nabi SAW memanggilnya dan memberikan sepotong kayu dari akar pohon, sambil bersabda, “Bertempurlah dengan ini, wahai Ukasyah!!”

Ukasyah menghampiri beliau dan menerima ranting kayu tersebut, yang seketika itu berubah menjadi pedang yang panjang, mengkilat dan begitu tajamnya. Dengan pedang yang kemudian dinamakan Al Aun ini, Ukasyah makin garang menghadang dan menyerbu pasukan kaum musyrikin hingga mereka porak poranda.

Entah, apakah itu merupakan mu’jizat Rasulullah SAW yang merubah ranting menjadi pedang, atau memang malaikat yang mengganti atau menukar ranting kayu itu dengan salah satu pedang yang dipegangnya, wallahu a’lam.

Dan masih banyak lagi peristiwa keterlibatan malaikat dalam membantu pasukan muslimin dalam perang Badar ini, yang secara kasat mata memang tidak terlihat, sehingga terkadang tampak sebagai peristiwa yang ajaib, atau bahkan lucu kelihatannya.

Abu Bakar sempat bertemu dengan anaknya, Abdurrahman bin Abu Bakar yang berada di pasukan musyrikin, ia berkata, “Wahai anak kecil yang buruk, dimanakah harta bendaku??”

Abdurrahman berkata, “Yang ada hanyalah senjata dan kuda yang siap membabat orang tua yang telah renta (maksudnya bapaknya, Abu Bakar sendiri)….!!”

Abu Bakar sangat marah mendengar perkataan anaknya itu dan bersiap menyerangnya, tetapi Nabi SAW menghalangi maksudnya, dan menyuruh membiarkannya saja.

Dua orang pemuda Anshar, Mu’adz bin Amr bin Jamuh dan Muawwidz bin Harits al Afra,  berperang hingga menyeruak jauh ke depan, ke jantung pertahanan kaum kafir Quraisy. Mereka bertemu dengan Abdurrahman bin Auf di garis depan dan berkata, “Wahai paman, manakah orangnya yang bernama Abu Jahal??”

Ibnu Auf memandang pemuda itu keheranan, “Keponakanku, apa yang engkau lakukan terhadap dirinya??”

Salah satunya berkata, “Kudengar dia sering sekali mencaci maki Rasulullah SAW sewaktu di Makkah, demi diriku yang berada dalam genggaman-Nya, jika aku melihatnya, takkan kubiarkan dia lolos dari penglihatanku, hingga siapa yang terlebih dahulu mati di antara kami!!”

Pemuda satunya juga mengangguk-angguk menyetujui pendapat temannya. Maka Ibnu Auf memandang berkeliling mencari keberadaan Abu Jahal, begitu ketemu dan menunjukkannya, maka dua pemuda itu menghambur menuju tempatnya. Sebenarnya saat itu Abu Jahal tidak sendirian, beberapa orang Quraisy lainnya juga berkerumun di sekitarnya sambil menjaganya, tetapi kebanyakan mereka juga disibukkan dengan serangan pasukan muslimin yang makin gencar. Mu’adz dan Muawwidz membuka ‘jalan darah’ dengan fokus mendekatinya, sehingga di antara orang-orang Quraisy ada yang berkata, “Abul Hakam (yakni Abu Jahal) tidak akan bisa lolos kali ini!!”

Pada suatu kesempatan yang tepat, Mu’adz berhasil mendekatinya dan menyabet kakinya hingga putus pada betisnya. Tetapi saat itu datang anaknya, Ikrimah yang langsung menyerang Mu’adz mengenai pundak kirinya hingga hampir putus, lengannya bergantung karena masih tertahan oleh kulitnya. Mu’adz masih terus bertempur dalam keadaan seperti itu, dan karena terganggu sekaligus kesakitan karena lengan kirinya yang bergelantungan, ia memotongnya sekalian dan melanjutkan serangannya kepada kaum musyrikin.

Akan halnya Muawwidz yang bergerak bersamaan, begitu Abu Jahal tertebas kakinya oleh pedang Mu’adz, gantian ia yang menebas tubuh Abu Jahal dengan pedangnya sehingga terkapar tidak berdaya di tanah, tampaknya telah sekarat. Namun seperti halnya Mu’adz, ia langsung bergerak lagi menyerang pasukan musyrikin lainnya.

Saat itu pasukan muslimin terus bergerak maju, termasuk Rasulullah SAW dengan pengawalan ketat sekelompok sahabat yang dipimpin Sa’d bin Mu’adz. Mu’adz dan Muawwidz menghadap Nabi SAW dan berkata bersamaan , “Wahai Rasulullah, saya telah membunuh Abu Jahal??”

Nabi SAW memandang dua pemuda itu bergantian, kemudian bersabda, “Tunjukkanlah pedang kalian!!”

Mu’adz dan Muawwidz menyerahkan pedangnya kepada Rasulullah SAW bergantian. Setelah beberapa saat beliau memeriksa keduanya, yang tentunya didukung dengan ‘pandangan’ kenabian, beliau bersabda, “Kalian berdua yang telah membunuh Abu Jahal!!”

Kaum muslimin lainnya merawat dan mengobati luka yang dialami Mu’adz bin Amr bin Jamuh, sedangkan Muawwidz bin Harits al Afra melanjutkan kali kiprahnya memerangi kaum musyrikin yang makin porak poranda.

Pada awal pertempuran, Nabi SAW telah berwasiat untuk tidak membunuh Abul Bakhtary. Seorang sahabat Anshar dari kabilah Bani Ghanm, suku Khazraj bernama Abdullah bin Ziyad al Balwy bertemu dengannya yang tengah bertempur bersisian dengan sahabatnya. Teringat dengan pesan Nabi SAW tersebut, Ibnu Ziyad berkata, “Wahai Abul Bakhtary, Rasulullah telah melarang kami untuk membunuh engkau!!”

Abul Bakhtary berkata, “Bagaimana dengan temanku ini??”

“Kami tidak akan membiarkannya,“ Kata Ibnu Ziyad lagi.

“Kalau begitu, kami hidup bersama-sama, atau mati bersama-sama,“ Kata Abul Bakhtary.

Setelah itu keduanya menyerang sahabat Anshar itu dengan gencarnya. Sejak masa jahliahnya, Abdullah bin Ziyad digelari dengan Al Mujadzdzir, yang artinya Sang Pembongkar Urat. Gelar itu muncul karena ia seorang yang sangat kasar dan berangasan serta mempunyai kekuatan untuk ‘menghancurkan’ orang-orang yang memusuhinya. Walau setelah keislamannya watak kasarnya berangsur hilang, tetapi kekuatannya tidaklah lenyap. Serangan gencar dari dua pemuka Quraisy tidak menyulitkannya, hanya saja ia masih berusaha untuk tidak membunuh Abul Bakhtary sesuai pesan Nabi SAW. Tetapi ketika keadaan tidak memungkinkan lagi untuk terus menghindar, daripada mati konyol ia berbalik menyerang, dan dalam sekejab saja ia bisa membunuh keduanya.

Usai pertempuran Ibnu Ziyad meminta maaf kepada Nabi SAW karena telah membunuh Abul Bakhtary. Tetapi setelah ia menjelaskan situasi sulit yang dihadapinya, Nabi SAW bisa memaklumi dan memaafkannya.

Tokoh Quraisy lainnya, Umayyah bin Khalaf melihat kenyataan kalau pasukannya terus mundur terdesak, maka ia berusaha mencari jalan untuk menyelamatkan diri. Tampak olehnya Abdurrahman bin Auf, yang merupakan sahabatnya selama puluhan tahun di masa jahiliah, maka ia segera menghampirinya dan berkata, “Wahai Abdurrahman, tangkaplah aku dan anakku sebagai tawanan, maka kaum kerabatku akan menebusku dengan jumlah besar!!”

Saat itu Umayyah memang bersama anaknya, Ali bin Umayyah. Ada kebimbangan dalam diri Ibnu Auf, kalau kemudian ia memenuhi permintaannya, bukanlah semata-mata karena iming-iming harta tebusan, tetapi terlebih karena teringat akan kekerabatan dan persahabatannya di masa lalu yang begitu akrab. Tiba-tiba muncullah Bilal bin Rabah di antara mereka, yang di masa lalu merupakan budak milik Umayyah, dan mengalami penyiksaan yang tidak terperikan. Bilal segera berkata, “Dedengkot kemusyrikan adalah Umayyah bin Khalaf, aku tidak akan selamat kalau dia selamat!!”

Mendengar seruan Bilal itu, Abdurrahman bin Auf berkata, “Wahai Bilal, mereka adalah tawananku!!”

Bilal berkata lagi, “Pertempuran masih berlangsung, bagaimana mungkin ia telah menjadi tawanan??”

Tetapi Ibnu Auf masih mencoba melindungi dengan berkata, “Wahai Ibnus Sauda (nama gelaran Bilal), tidakkah engkau mendengar ucapanku??”

Bilal merasa kalau ia tidak mungkin terus mendebat Abduurahman bin Aus, maka ia berseru dengan kerasnya, “Wahai para penolong Allah (maksudnya kaum Anshar), dedengkot kemusyrikan adalah Umayyah bin Khalaf, aku tidak akan selamat kalau dia selamat!!”

Maka beberapa sahabat Anshar segera datang menyerang, dan Ibnu Auf berkata kepada keduanya, “Carilah selamat sebisamu, karena aku tidak bisa lagi menjamin keselamatan kalian di tempat ini!!”

Sekelompok sahabat Anshar langsung menyerang dan dalam waktu singkat mereka berdua mati terbunuh.

Umar bin Khaththab juga terlibat pertempuran dengan pamannya, Ash bin Hisyam bin Mughirah dan berhasil menewaskannya.

Dengan banyak terbunuhnya pemuka kaum kafir Quraisy itu, pasukan musyrikin makin kocar-kacir dan akhirnya melarikan diri. Sebagian besar bisa lolos dan kembali ke Makkah dalam keadaan terhina, dan sebagian kecil lainnya tertawan oleh pasukan kaum muslimin.

Perang Badar ini, bagi kaum Muhajirin bisa dikatakan sebagai perang saudara, karena mereka harus melawan orang-orang yang masih kerabatnya, teman sepermainan dan seperjuangan di masa lalu selama puluhan tahun lamanya. Kalaulah ada pilihan untuk hidup berdampingan tanpa harus saling menyerang dan memusuhi walau mungkin berbeda keyakinan, tentulah itu menjadi pilihan terbaik, sebagaimana ditanamkan Rasulullah SAW ketika mereka pertama kali tinggal di Madinah. Hidup berdampingan dan saling menjaga dengan kaum musyrikin Madinah, kaum Yahudi dan pemeluk keyakinan lainnya di sana.

Tetapi ketika dihadapkan pilihan antara saudara seiman dan sekeyakinan, dengan saudara sedarah dan seketurunan, yang mengancam akan mengkoyak dan merusak keimanan, tentulah keimanan dan keyakinan yang harus diutamakan.

Setelah Berakhirnya Pertempuran

Pertempuran berakhir dengan kemenangan di pihak kaum muslimin, hanya empatbelas orang yang syahid di medan jihad yang pertama ini, yakni enam sahabat Muhajirin dan delapan sahabat Anshar. Sedangkan dari pihak kaum kafir Quraisy terbunuh sebanyak tujuhpuluh orang, yang sebagian besar adalah para tokoh dan pemukanya, tujuhpuluh orang lainnya dalam keadaan tertawan. Harta benda mereka juga banyak yang ditinggalkan begitu saja, dan menjadi harta rampasan perang (ghanimah).

Sebanyak duapuluh empat jenazah para pemuka kafir Quraisy dikumpulkan dalam satu tempat, kemudian Nabi SAW berjalan memutari sambil bersabda, “Sungguh kalian ini kerabat paling buruk terhadap nabi kalian, yang berasal dari kalangan kalian sendiri. Kalian mendustakan aku selagi orang-orang lainnya membenarkanku, kalian menelantarkan aku selagi orang-orang lainnya menolongku, kalian mengusir aku selagi orang-orang lainnya menerima dan melindungi aku!!”

Setelah itu beliau memerintahkan para sahabat untuk memasukkan jenazah para pemuka tersebut ke dalam sebuah sumur kering yang kotor dan berbau. Jenazah kaum kafir lainnya dikuburkan bersama-sama dalam satu lubang. Ketika giliran jenazah Utbah bin Rabiah yang dimasukkan, Nabi SAW melihat kepada Abu Hudzaifah bin Utbah, dan bersabda, “Wahai Abu Hudzaifah, adakah sesuatu yang menghantui (menyedihkan) dirimu karena keadaan ayahmu??”

Bagaimanapun ada gurat kesedihan yang sulit disembunyikan, tetapi dengan tegarnya ia berkata, “Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah, aku tidak lagi ragu tentang ayahku dan kematian yang menimpanya (yakni dalam kekafiran). Tetapi tidak dipungkiri kalau aku masih mengakui ketajaman pikirannya, kelembutan hatinya dan keutamaannya, dan aku sungguh berharap ia memperoleh hidayah untuk memeluk Islam, tetapi ternyata ia mati dalam kemusyrikan. Karena itulah aku menjadi sedih!!”

Nabi SAW menerima sikapnya tersebut dan mendoakan kebaikan bagi dirinya.

Kaum muslimin tinggal selama tiga hari di Badr. Sebelum kembali ke Madinah, Nabi SAW berjalan ke sumur tempat ‘pembuangan’ jenazah para pemuka kaum kafir Quraisy dengan diikuti beberapa orang sahabat. Beliau berdiri di bibir sumur dan bersabda, “Wahai fulan bin fulan, wahai fulan bin fulan….”

Satu persatu Nabi SAW menyebutkan nama para pemuka Quraisy yang ‘terkubur’ dalam sumur kering, kotor dan berbau tersebut, kemudian melanjutkan, “… apakah kalian gembira telah menaati tuhan-tuhan kalian? Sesungguhnya kami telah mendapatkan bahwa apa yang dijanjikan Rabb kami adalah benar adanya, lalu apakah kalian juga telah mendapatkan bahwa apa yang dijanjikan rabb kalian itu juga benar??”

Umar bin Khaththab termasuk sahabat yang kritis, maka ia langsung berkomentar, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau berbicara dengan jasad-jasad yang tidak lagi memiliki roh, apakah mereka bisa mendengar engkau??”

Nabi SAW bersabda, “Demi yang diri Muhammad ada di tangan-Nya, kalian tidak lebih mendengar daripada mereka tentang apa yang aku katakan, hanya saja mereka tidak bisa menjawabnya!!”

Mush’ab bin Umair al Abdary, yang memegang panji pasukan muslimin, melewati seorang sahabat Anshar yang menawan saudara kandungnya, Abu Aziz bin Umair. Ia berkata kepada sahabat Anshar itu, “Eratkanlah ikatan tangannya, jangan sampai ia lolos. Ibunya adalah seorang yang kaya raya, siapa tahu dia akan menebusnya dengan jumlah yang besar, dan tebusan itu akan menjadi milikmu!!”

Abu Aziz memandang Mush’ab dan berkata, “Begitukah engkau memperlakukan saudara kandungmu??”

Mush’ab berkata, “Tetapi dia (yakni sahabat Anshar itu) juga saudaraku selain dirimu!!”

Ternyata kemudian Abu Aziz ditebus oleh ibunya dengan harga tertinggi dibanding tawanan lainnya, yakni sebanyak empatribu dirham. Dan sahabat Anshar itu sangat beruntung karena telah memenuhi saran yang diberikan Mush’ab.

Pada umumnya para tawanan ditebus dengan harga tigaribu, duaribu atau seribu dirham. Yang tidak mampu membayar, tetapi bisa baca tulis, diperintahkan Rasulullah SAW untuk mengajar anak-anak Madinah. Jika mereka telah mahir membaca dan menulis, para tawanan itu dianggap telah membayar lunas tebusannya dan bebas.

Menantu Rasulullah SAW, Abul Ash bin Rabi juga tertawan dalam pertempuran tersebut. Beliau mengikat perjanjian untuk membebaskannya, dengan syarat ia melepaskan istrinya, yakni putri beliau Zainab binti Muhammad. Tetapi belum sempat disepakati, ternyata Zainab telah mengirim utusan untuk menebus Abul Ash dengan kalung perhiasan miliknya, pemberian ibunya Khadijah. Nabi SAW memegang kalung itu dengan mata berkaca-kaca penuh haru, karena teringat dengan istri terkasih beliau itu.

Abul Ash dilepaskan, dan beliau mengirim Zaid bin Haritsah dan seorang sahabat Anshar untuk menjemput Zainab. Walau penjemputan itu tidak sukses dilakukan karena halangan yang dilakukan kaum Quraisy, tetapi akhirnya Zainab bisa hijrah juga beberapa hari selanjutnya dengan diantar oleh saudara Abul Ash, Kinanah bin Rabi, walaupun dalam keadaan terluka.

Di antara para tawanan itu, ada dua orang yang kemudian dihukum mati oleh Nabi SAW, karena mereka berdua termasuk paling keras dan paling kejam permusuhannya kepada Nabi SAW dan umat Islam lainnya ketika di Makkah. Bahkan dalam keadaan tertawan tersebut, sama sekali tidak ada penyesalan atas sikap mereka sebelumnya, masih saja dalam kesombongan jahiliahnya. Yang pertama adalah Nadhr bin Harits, yang dihukum mati ketika pasukan muslimin tiba di Shafra, pelaksananya adalah Ali bin Abi Thalib. Yang kedua adalah Uqbah bin Abu Mu’aith, yang dihukum mati ketika tiba di Irquzh Zhabyah, pelaksananya adalah Ashim bin Tsabit al Anshary, atau dalam riwayat lain, Ali bin Abu Thalib.

Kemenangan dalam perang Badar ini ternyata membawa dampak yang luar biasa bagi kaum muslimin, sehingga kaum Yahudi dan kaum musyrikin Madinah tidak lagi berani bersikap sembarangan. Sebagian masyarakat Madinah lainnya yang masih musyrik langsung memeluk Islam setelah kemenangan ini.

Sementara itu, Abdullah bin Ubay bin Salul yang sangat hasud kepada Nabi SAW dalam keadaan terjepit, pengikutnya makin sedikit dan pamornya juga makin turun saja. Akhirnya ia dan kelompok pendukungnya memutuskan memeluk Islam, tetapi hanya penampilan luarnya saja. Jauh di dalam hatinya mereka sangat membenci Nabi SAW dan kaum muslimin lainnya. Diam-diam mereka selalu mencari cara dan kesempatan untuk menghancurkan Islam. Kelompok inilah yang kemudian menjadi kaum munafik, yang sebenarnya jauh lebih berbahaya daripada orang-orang kafir dan musyrik, karena mereka ini layaknya musuh dalam selimut.




Baca Artikel Terkait: