-->

Sabtu, 17 Oktober 2015


Ilustrasi. (blogspot)

 Islam Nusantara menawarkan banyak faedah. Akan tetapi dibalik itu semua, tersimpan pula banyak bahaya. Masih pantaskah konsep ini dipertahankan?

Beberapa bulan yang lalu, umat Islam Indonesia dibuat geger oleh ulah seorang dosen universitas Islam ternama di Indonesia. Usut punya usut, dosen tersebut ternyata membaca Al-Quran dengan langgam Jawa. Lho, apa yang salah dengan hal tersebut? Bukankah mbah-mbah di kampung saya juga sering melakukannya.

Ternyata, yang membuat hal tersebut menjadi heboh adalah karena sang dosen membawakannya dalam acara peringatan Isra’ Mi’raj di istana negara. Sebuah acara yang notabene disiarkan langsung oleh stasiun televisi nasional, serta dihadiri oleh presiden, para menteri, dan tamu-tamu negara. Dengan demikian, acara ini dapat dianggap sebagai representatif sikap negara. Seolah mengatakan bahwa pemerintah lebih setuju masyarakat mengaji dengan langgam Jawa, daripada mengaji dengan aksen arab seperti biasa. Ditambah lagi kemudian pada acara yang sama Presiden Jokowi mengatakan sebuah istilah ‘Islam Nusantara’, yang kemudian membuat perdebatan semakin melebar.

Istilah Islam Nusantara sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi masyarakat Indonesia. Sudah banyak para cendekiawan Islam modern yang menggunakan istilah tersebut untuk mengacu pada cara berislamnya masyarakat nusantara. Misalnya saja Cak Nur menggunakan istilah Islam Nusantara di dalam bukunya, “Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Mizan, 1987)”.  Bahkan organisasi massa Islam terbesar Indonesia, Nahdlatul Ulama, menjadikan istilah Islam Nusantara sebagai salah satu pokok perjuangannya.

Akan tetapi peristiwa nge-langgami Quran yang terjadi  di Istana Negara di atas, membuka pikiran masyarakat mengenai adanya kemungkinan penafsiran lain dari istilah Islam Nusantara. Walhasil, pro dan kontra tidak dapat dihindari. Sebagian masyarakat mendukung, sebagian lagi menerima, dan sisanya ongkang-ongkang kaki tidak peduli. Namun menurut hemat penulis, isu ini merupakan isu yang penting untuk dirumuskan bersama, sebelum kemudian dilempar ke publik. Karena wacana Islam nusantara ini bisa menjadi suatu penentu kehidupan beragama dan bernegara di Indonesia. Apakah Indonesia dapat menjadi pemimpin dunia Islam untuk kembali merebut kejayaannya. Atau justru tercecar di luar arus persatuan umat.

Islam Nusantara Berbahaya bagi Umat Muslim?

Para penentang konsep Islam Nusantara beranggapan bahwa konsep ini hanya akan memecah belah persatuan umat. Para ulama yang berorientasi kepada sebuah organisasi berbasis khilafah ramai-ramai membuat tulisan dan pernyataan menentang konsep Islam Nusantara. Bahkan FPI, dengan semangat jihadnya yang berapi-api, terang-terangan menuduh bahwa Islam Nusantara merupakan upaya liberalisasi umat Islam Indonesia yang didanai oleh barat.

Ada beberapa alasan yang membuat golongan-golongan tersebut menentang Islam Nusantara. Pertama adalah, konsep ini berpotensi besar memecah belah persatuan umat Islam.  Jika ada istilah Islam Nusantara, maka kemudian akan menyusul pula istilah Islam Eropa, Islam Amerika, Islam China, Islam India, dan Islam-Islam lainnya. Padahal Islam adalah agama yang bersifat universal, tanpa melihat kesukuan dan daerah asal pemeluknya. Islam diturunkan Allah SWT dengan syariah dan hukum-hukum di dalamnya yang telah mencakup kebaikan bagi seluruh umat manusia. Sehingga konsep Islam Nusantara menjadi tidak relevan.

Menurut golongan ini, konsep Islam Nusantara hanyalah politik belah bambu, stick and carrot, yang digunakan barat untuk melemahkan dunia Islam.  Barat tidak pernah ingin umat Islam bersatu dan membentuk sebuah masyarakat Islam yang kuat. Persatuan umat Islam adalah suatu kekuatan yang sangat ditakuti oleh dunia barat. Dan salah satu cara untuk melemahkan persatuan itu adalah dengan menumbuhkan semangat kedaerahan umat Islam itu sendiri. Dengan demikian, umat Islam akan memiliki suatu kebanggaan nasional atau kedaerahan di atas kebanggaan agama.

Alasan yang kedua, adalah anggapan bahwa konsep Islam Nusantara merupakan upaya liberalisasi nilai-nilai Islam di masyarakat. Konsep Islam Nusantara akan membuat masyarakat semakin jauh dari syariah dan enggan mendekatinya. Karena akan banyak orang yang berkata, “Wah, hukum ini tidak sesuai dengan kebudayaan kita! Hukum ini ada karena pada saat itu ajarannya turun di arab.”

Contoh kasus di atas salah satunya ada pada masalah penggunaan hijab. Jika memakai logika liberalisasi Islam, maka akan merebak anggapan bahwa perempuan Indonesia tidak perlu menggunakan hijab karena memang tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Hijab diwajibkan pada saat itu karena memang sudah menjadi tradisi wanita arab untuk menggunakan hijab. Serta kondisi iklim arab yang panas membuat para wanita harus melindungi tubuhnya dengan hijab.

Peristiwa nge-langgami Al-Quran juga bisa masuk ke dalam ranah ini. Mula-mula sekedar nadanya yang pakai langgam Jawa, kemudian akan berlanjut menjadi ngaji Al-Quran pakai bahasa Jawa, dan kemudian akan berlanjut lagi munculnya dorongan untuk mengganti Al-Quran di Indonesia dengan tulisan berbahasa Jawa. Nah, dapat dilihat betapa ini merupakan sebuah kesalahan penafsiran Islam Nusantara yang sangat berbahaya.

Upaya liberalisasi ini sebelumnya sudah banyak dilakukan oleh kalangan JIL di bawah Ulil Abshar. Upaya ini bahkan mendapatkan dana yang sangat berlimpah dari Asia Development Bank yang berkantor di Amerika. Kelompok ini sudah lama berusaha menjauhkan umat Islam dari syariah dengan menghembuskan keragu-raguan di hati masyarakat. Keragu-raguan tersebut dapat dilakukan dengan membenturkan syariah dengan akal dan logika. Nah, hal yang sama sedang terjadi pada konsep Islam Nusantara, di mana syariah sedang dibenturkan dengan kebudayaan.

Beberapa alasan di atas adalah argumen-argumen yang biasa dikemukakan oleh para penentang Islam Nusantara. Apakah memang benar demikian adanya? Alangkah tidak baiknya jika hanya mendengarkan dari satu sumber saja tanpa mempertimbangkan sumber lainnya.

Islam Nusantara adalah Islam Faktual, Bukan Islam Ajaran Baru

Golongan yang pro terhadap Islam Nusantara selalu menekankan, bahwa orang yang tidak setuju dengan Islam Nusantara adalah orang-orang yang salah mengerti mengenai apa itu Islam Nusantara. Golongan yang pro ini sebagian besar berasal dari kalangan nahdiyin dan para cendekiawan muslim Indonesia.

Islam itu memiliki fungsi sebagai ajaran. Dalam hal ini, Islam bersifat universal dan tidak dapat diganggu gugat di manapun. Islam sebagai ajaran ini mencakup fiqih, Akhlak, Al-Quran, dan ulumuddin lainnya yang biasa kita dapatkan di pesantren atau madrasatud diniyah. Akan tetapi dalam aplikasinya, Islam sebagai ajaran ini akan diamalkan oleh pemeluknya. Dalam tahap ini, Islam akan bersentuhan dengan kebudayaan setempat sehingga menimbulkan Islam yang faktual yang mungkin akan berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.

Ranah Islam Nusantara ada pada bagian yang kedua, yaitu Islam faktual. Islam Nusantara adalah ajaran Islam yang kemudian diamalkan oleh orang-orang nusantara dengan kebudayaannya. Sehingga tidak akan ada ajaran Islam yang diubah, apalagi diingkari dengan adanya Islam Nusantara ini. Hal yang akan berbeda adalah Maqasidus Syari’ah (tujuan utama) dan penafsiran (furu’us syar’iyah), bagaimana tujuan syariah dirumuskan dan ditafsirkan. Pada level ini, sudah tentu latar belakang sosio-histori terlibat yang menyebabkan adanya pemahaman yang majemuk dan beragam.

Keberadaan Islam faktual ini adalah suatu hal yang tidak bisa dihindari dan memang biasa terjadi pada semua ajaran. Misalkan saja ajaran sosialisme yang ditafsirkan berbeda di tiap tempat meskipun berangkat dari satu dasar konsep yang sama, atau misalkan ajaran Kristen yang sangat berbeda antara Kristen Katolik dan ortodoks. Bukan bermaksud menyamakan Islam dengan ajaran-ajaran lainnya, karena sebagai muslim kita yakin bahwa Islam berada di posisi yang lebih mulia dan lebih terjaga dari ajaran-ajaran itu. Namun perbandingan tersebut lebih menekankan kepada sunnatullah yang ada. Bahwa apabila suatu ajaran bersentuhan dengan kebudayaan, maka keduanya akan saling memberi pengaruh, hingga membentuk ajaran yang faktual.

Islam Nusantara sebagai New Role Model Wajah Islam

Islam Nusantara adalah cara bagaimana orang-orang Nusantara mengamalkan Islam. Islam Nusantara adalah Islam yang toleran dan bersifat washathiyah, karena bersikap adil terhadap sesama. Sebuah Islam yang ramah dan tidak bersifat memaksa terhadap ajaran lainnya. Hal ini terbentuk karena memang kultur nusantara yang sudah sedemikian adanya, ditambah lagi ajaran Islam yang memang mendorong kita untuk berbuat demikian.

Lebih jauh lagi, Islam Nusantara harus dapat menjadi contoh bagi umat Islam lainnya, dan menjadi etalase wajah muslim yang baru bagi dunia barat. Karena memang sudah lama sekali citra Islam dicoreng dengan paradigma manusia yang hidup di gurun pasir, kasar, dan suka berperang. Memang benar bahwa saudara kita di negara arab tidaklah seperti itu, namun stereotipe itu telah menyebar dan tertanam akut di pikiran non muslim. Islam Nusantara adalah salah satu wadah untuk dapat mengubah gambaran itu. Bahwa kita harus mengatakan, “Ini loh Islam yang ramah. Dan dapat berjalan berkesinambungan dengan kebudayaan setempat.”

Sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak, Indonesia harus mengambil peran tersebut. Belum lagi menimbang prediksi para ekonom, yang meramalkan bahwa Indonesia akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. Jikalau itu benar terjadi, maka Indonesia akan benar-benar menjadi etalase muslim dunia.

Masyarakat Indonesia harus membuktikan bahwa Islam itu bukanlah sebuah agama yang dogmatis dan mengekang segala aspek kehidupan. Islam adalah agama yang fleksibel, dan mempersilahkan pemeluknya untuk menjadi kreatif, selama masih di dalam batasan. Oleh karena itu, Islam tidak akan menjadi penghalang kebudayaan, tetapi justru menghiasi dan memperindah kebudayaan tersebut.

Hati-Hati Penunggang Islam Nusantara

Dari argumen yang kedua di atas, maka sangat jelas bahwa tidak ada yang salah dengan Islam Nusantara. Islam Nusantara memiliki niat yang sangat baik dan tujuan yang sangat mulia demi kemajuan agama Islam di seluruh dunia. Seperti halnya tema muktamar NU ke-33 kemarin, “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Islam dan Dunia”.

Namun argumen-argumen dari golongan kontra juga tidak dapat diabaikan. Konsep Islam Nusantara masih terlalu luas dan mudah untuk di salah tafsirkan. Apa yang dilakukan pemerintah pada perayaan Isra Mi’raj di istana negara tempo hari yang lalu sungguhlah tidak nyaman dan tidak pas. Pemerintah yang seharusnya menjaga agar tidak terjadinya penyalahtafsiran Islam Nusantara, justru seperti membuka jalan dan inspirasi bagi masyarakat menyalah tafsirkan konsep tersebut.

Tidak ada yang salah dengan Islam Nusantara, namun pengaplikasiannya butuh pengawasan yang jeli dan adil. Sehingga tidak lagi terjadi kesalahpahaman di dalam masyarakat. Bukan berarti karena yang melakukan adalah pemerintah maka hal itu sudah pasti benar. Golongan yang mendukung Islam Nusantara harus kritis dan berani dalam menjaga niat baik Islam Nusantara. Agar tidak ditunggangi kepentingan lain yang justru menginginkan perpecahan Islam.

Wallahu a’lam.




Baca Artikel Terkait: