-->

Senin, 23 Januari 2023

Pegiat gender kembali menggugat sejumlah Undang-undang yang berlaku di Indonesia.  Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, Dian Kartikasari, dalam sebuah acara diskusi terkait Hari Perempuan Internasional 2016 di Jakarta  menuturkan setidaknya ada tujuh Undang-undang yang harus diubah atau direvisi karena dinilai belum memperhatikan aspek keadilan gender. 

"UU Perkawinan, UU PPLN (Perlindungan dan Penempatan Pekerja Luar Negeri), UU Perlindungan Nelayan, UU Kesetaraan dan Keadilan Gender, UU Kekerasan Seksual, UU Perlindungan PRT, dan UU Kesejahteraan Sosial," tutur Dian di Jakarta, Minggu (6/3/2016). 

Dalam UU Perkawinan, misalnya, Dian menyayangkan batas usia anak perempuan diperbolehkan menikah adalah 16 tahun. Dengan batas umur yang sangat dini tersebut, dampak yang diberikan terhadap perempuan sangat banyak. Salah satunya terhadap pendidikan, di mana banyak perempuan yang hanya bisa menempuh pendidikan hingga tingkat SLTA karena batas umur perkawinan tersebut. Bahkan, pada Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan disebutkan pula perihal dispensasi umur. Di mana dalam pasal tersebut, dispensasi umur pernikahan anak bisa diminta kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. 

"Ada dispensasi. Kadang digunakan orang tua untuk menikahkan anaknya di usia 13 atau 14 tahun," kata Dian. (kompas.com, 6/3/2016).

Begitulah para pegiat gender senantiasa berupaya untuk merusak tatanan keluarga muslim. Karena memang kunci dari kebangkitan Islam adalah berawal dari keluarga muslim yang akan melahirkan generasi-generasi pejuang Islam. Sebenarnya dalam  UU Perkawinan tersebut bukanlah usia yang menjadi permasalahan. Melainkan kesiapan dari kedua calon mempelai untuk menikah baik dari segi mental dan ilmu dalam berumah tangga. Sayangnya, saat ini banyak pernikahan yang terjadi bukanlah karena kesiapan melainkan keterpaksaan akibat hamil di luar nikah.

Ironis, Indonesia dengan populasi muslim terbesar di dunia ternyata menyumbang sebanyak 13,7% populasi dunia di bidang anak dan remaja hamil di luar nikah. Jika usia nikah dinaikkan menjadi 18 tahun, semakin sulit anak-anak kita menjaga dirinya dari zina. Pun dengan Undang-undang lainnya yang digugat oleh pegiat gender, intinya mereka menuntut keseteraan gender antara laki-laki dengan perempuan. Menurut mereka Undang-undang tersebut berlaku diskriminasi terhadap kaum perempuan.

Kemunculan gagasan  kesetaraan gender, yakni upaya menyetarakan perempuan dengan laki-laki, beranjak dari sebuah asumsi tentang kondisi perempuan. Kaum perempuan diasumsikan berada dalam kenyataan buruk seperti keterkungkungan, kemiskinan, ketertinggalan, ketertindasan, dan sebagainya. Kondisi buruk itu terjadi akibat beban-beban yang dipikul kaum perempuan yang menghambat kemandiriannya. Beban-beban berat itu antara lain perannya sebagai ibu: hamil, menyusui, mendidik anak dan mengatur urusan rumah tangga. Lalu kaum perempuan diarahkan untuk meninggalkan kodratnya. Mereka diprovokasi agar berlomba mensejajarkan diri dengan laki-laki yang tidak memiliki beban serupa.

Dengan dalih peduli terhadap nasib perempuan, ‘kemajuan perempuan Barat’ dengan ide kesetaraan gender-nya yang rusak dan asumtif itu dijadikan standar ideal bagi kemajuan perempuan Muslim. Aturan-aturan Islam yang dianggap mengukuhkan ketidakadilan terhadap perempuan—seperti masalah perwalian, nasab, pakaian, waris, kepemimpinan, juga nafkah—menjadi sasaran rekonstruksi gender.

...atas nama pemberdayaan ekonomi perempuan, kesehatan reproduksi perempuan, peningkatan partisipasi politik perempuan dan program-program ’bermadu’ lainnya, para aktifis gender menyuntikkan pemikiran-pemikiran beracun untuk membius kaum perempuan hingga lupa pada jatidirinya sebagai Muslimah


Selanjutnya, atas nama pemberdayaan ekonomi perempuan, kesehatan reproduksi perempuan, peningkatan partisipasi politik perempuan dan program-program ’bermadu’ lainnya, para aktifis gender menyuntikkan pemikiran-pemikiran beracun untuk membius kaum perempuan hingga lupa pada jatidirinya sebagai Muslimah, serta lupa pada komitmennya terhadap keluarga dan tugas mempersiapkan generasi.

Kemudian, gagasan-gagasan seputar ’kemandirian dan pembebasan perempuan’ serta isu-isu gender lain ala Barat pun menjadi topik-topik hangat yang diperbincangkan perempuan-perempuan Muslimah di berbagai forum diskusi, seminar-seminar, pengajian-pengajian, bahkan obrolan-obrolan kecil ibu-ibu perumahan. Semakin hari semakin banyak Muslimah yang merasa bangga menjadi pejuang gender dan feminisme.

Ide-ide kesetaraan gender secara empiris telah merapuhkan dan bisa meruntuhkan bangunan keluarga, juga merusak perempuan dan generasi. Sebagai seorang Muslim kita harus selalu waspada terhadap ide-ide tersebut agar tidak terbius untuk meyakininya dan tersangkut sebagai pengembannya.

Bahkan sudah sepatutnya kita mencampakkan pemikiran rusak dan merusak itu dari benak kaum Muslim. Kita harus meyakini bahwa aturan-aturan Allahlah yang benar dan harus senantiasa dipegang teguh, karena dengan itulah kita akan mendapatkan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Wallahu ‘alam bi ash showab.[voa-islam.com]

 




Baca Artikel Terkait: