-->

Jumat, 22 April 2016


RA Kartini

Telah sehari berlalu, namun pergunjingan hari Kartini masih belum juga usai hari ini. Setelah 2 (dua) hari yang lalu saya titip tulisan ‘imut’ nan singkat tentang ‘gerakan’ Kartinian di media Islam online ini, kembali saya titip tulisan  tentang Kartini di hari ini.

Hampir seluruh wanita di Indonesia sepakat untuk mengikrarkan diri sebagai Kartini, bangga dengan Kartini, dan bercita-cita meneladani serta meneruskan perjuangan Kartini. Namun, hampir semua yang sepakat tadi tidak memahami sejarah kehidupan Kartini yang sebenarnya dan perjuangannya untuk menemukan sisi kodratinya sebagai wanita (muslimah) melalui pencarian yang panjang dalam fase-fase kehidupannya. Hal ini disebabkan karena banyak catatan-catatan dalam halaman sejarah Kartini yang sengaja dihilangkan dan ‘dirobek’. Dan kemudian halamannya diganti dengan dongeng-dongeng feminisme absurd oleh penjajah kolonial Belanda yang kemudian diteruskan oleh kaum orientalis untuk menjauhkan wanita dari pemahaman akan kodratnya. Sehingga tidak dapat dimungkiri, saat ini sebagian besar wanita dan kaum Kartinian di Indonesia hanya mengenali sosok Kartini dari sumber-sumber yang se-madzhab dengan Irshad Manji yang kemudian dinisbatkan dengan pemahaman “Katanya”, lalu  mengunyahnya mentah-mentah, tanpa mau mencari dan menggali sejarahnya. Celakanya, sejarah “Katanya” inilah yang justru diamini dan banyak dipakai oleh Muslimah sebagai hujjah untuk ikut ber-emansipasi atas kaumnya.  

Iya, saya pribadi memang sepakat dan berpendapat sama dengan kaum wanita dan para Kartinian di negeri ini.  menurut saya sangat wajar --jika sampeyan tidak berkenan disebut dengan 'sangat layak'-- jika Kartini digelari sebagai Pahlawan. Kemampuan, kecerdasan, dan keberaniannya yang 'revolusioner' pada masa penjajahan serta kebudayaan Jawa yang patriarki, yang apa-apa serba dilarang, serba 'ora ilok' alias pamali, dan apa-apa yang serba terikat serta dibatasi oleh tata aturan (baik hukum positif maupun normatif) melalui pemikiran beliau yang transedensi.

Kartini melampui semua itu melaui fase-fase perjuangannya ketika mencapai kedewasaan dengan terus belajar, hingga akhirnya menemukan fase hakiki secara kodrati dalam kehidupannya sebagai seorang wanita. 

Pada fase kedewasaan inilah sebenarnya Kartini mendapatkan fikrul mustanir (kecermelangan berfikir).  Fase ketika Kartini menemukan jalan terang. Fase dimana ia menemukan sosok Kyai Sholeh Darat. Fase dimana Kartini yang sebelumnya suka memprotes dogma agama yang dianutnya, Islam, sebagai agama warisan yang tidak dikehendaki, agama dengan kitab suci yang tidak bisa/boleh dipahami, agama yang selalu disindirnya "terlalu suci" bagi dirinya, yang kemudian bertransformasi menjadi Kartini yang memahami kodratnya sebagai wanita dan memahami hakekatnya sebagai seorang muslimah. 

Fase dimana Kartini memahami surat Al Fatihah dan kandungan Alquran. Fase dimana Kartini bisa mempelajari terjemahan Alquran lewat kitab "Faidh al-Rahman fi Tafsir Al-Qur’an", tafsir Al Qur'an berbahasa jawa berhuruf Arab (pegon) pertama di Nusantara yang ditulis oleh Kyai Sholeh Darat, sebagai kado (hadiah) perkawinan Kartini. Fase dimana Kartini dengan gembira dan suka cita mengucapkan; "Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami”. 

Fase dimana Kartini mengabarkan kegirangan dan semangatnya untuk kembali belajar tentang agamanya kepada sahabat sahabat pena Belandanya; "Seorang tua di sini karena girangnya, menyerahkan kepada kami semua kitab-kitabnya naskah bahasa Jawa, banyak pula yang ditulis dengan huruf Arab. Kami pelajarilah kembali membaca dan menulisnya,”. Fase dimana Kartini menemukan kalimat terindah yang belum pernah ditemuinya hingga menyentuh kalbu dan menggerakkan batinnya. kalimat "Minadz dzulumaati ilan nuur" yang disampaikan kepada teman Belandanya, JH Abendanon, dalam Bahasa Belanda “Door Duisternis Tot Licht”, yang kemudian diterjemahkan secara "puitis" sehingga kehilangan makna yang sebenarnya oleh Amrijn Pane menjadi "Habis Gelap Terbitlah Terang". 

Fase dimana akhirnya Kartini menyampaikannya kekaguman mendalam akan agama yang dianutnya, Islam, kepada kawan-kawan Belandanya melalui surat-surat yang beberapa dikirim sejak 1902 hingga dua bulan sebelum beliau dinikahi Bupati Rembang, KRM. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. 

Berikut diantaranya surat-surat yang ditulis Kartini kepada teman-teman Belandanya mengenai kekagumannya akan Islam:

- Surat bertanggal 21 Juli 1902 kepada Nyonya Abendanon:

“Yakinlah nyonya, kami akan tetap memeluk agama kami yang sekarang ini. Serta dengan nyonya kami berharap dengan senangnya, moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama kami patut disukai.”

- Surat bertanggal 21 Juli 1902, kepada Nyonya Van Kol:

"Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai."

- Surat bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Nyonya Abendanon:

"Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban. Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.”

- Dan surat bertanggal 1 Agustus 1903, kepada Nyonya Abendanon;

"Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah."

Fase-fase sejarah perjalanan hidup seorang Kartini inilah yang kemudian disembunyikan, dan tidak disampaikan dalam pembelajaran "katanya" buku sekolah, "katanya" narasumber acara Kartinian, dan "Katanya" kaum feminis yang mondar-mandir nongol di TV dan media massa lainnya. 

Fase-fase sejarah perjalanan hidup seorang Kartini yang sengaja 'dirobek' oleh kolonial dan para kaum penganut dan pengusung "Katanya.”/suara islam




Baca Artikel Terkait: