-->

Rabu, 12 Oktober 2016

WAHYU DAN AKAL:
Perdebatan Klasik di Kalangan Teolog 

Dalam doktrin agama ada dua sumber untuk mendapatkan pengetahuan dan petunjuk kebenaran: al-ulum al-naqliyah (ilmu-ilmu naqli) berdasarkan wahyu; dan al-ulum aqliyah (ilmu-ilmu rasional) berdasarkan akal. Wahyu berasal dari bahasa Arab, al-wahy dan kata al-wahy, menurut Harun Nasution, adalah kata Arab asli dan bukan merupakan kata pinjaman dari bahasa asing. Wahyu berarti suara, api dan kecepatan. Sementara itu wahyu mengandung pengertian pemberian secara sembunyi-sembunyi dan cepat. Tetapi kemudian wahyu lebih dikenal sebagai penyampaian firman Allah kepada orang pilihan-Nya agar disampaikan kepada manusia untuk dijadikan pedoman dan pegangan hidup di dunia dan akhirat. Dalam Islam wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW terkumpul semuanya dalam al-Qur’an. Lebih jelasnya pembahasan tentang wahyu, lihat Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet. Ke-2, hal. 15.

Akal berasal dari bahasa Arab, dari kata: ‘aqala, ya’qilu, ‘aqlan. Secara etimologis bermakna mengikat atau menahan, mengerti dan membedakan. Berangkat dari pengertian ini, maka akal merupakan daya yang terdapat dalam diri manusia untuk dapat menahan atau mengikat manusia dari perbuatan jahat dan buruk. Demikian juga akal adalah salah satu unsur yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain, lantaran akal dapat membedakan dan mengerti antara perbuatan yang baik dan buruk.Term akal yang sudah melebur dalam bahasa Indonesia dengan arti yang sudah umum diterima, yaitu fikiran. Artinya, fikiran identik dengan akal.

Dalam bahasa Inggris, sebenaranya terjemahan yang paling cocok untuk term akal adalah “intellect” dan bukan rasio. Karena intelek dapat mengandung pengartian disamping pikir dan juga rasa. Untuk membedakan antara fikir dan akal disini ditegaskan bahwa akal adalah substansi yang dapat berfikir. Jadi fikir adalah merupakan cara kerja dari akal itu sendiri, sementara itu cara kerja akal yang lainnya adalah merasa. Meskipun antara fikir dan rasa terdapat pemisahan yang jelas, karena masing-masing berpotensi untuk bekerja sendiri-sendiri.Bahwa akal bukan semata-mata fikir dapat dibuktikan dari pengertiannya secara etimologis, yang berarti sebagai daya untuk berfikir dan menimbang baik dan buruk. Yang menimbang dan menentukan baik dan buruk tidaklah semata-mata oleh fikir, tetapi juga oleh rasa.

Dalam al-Qur’an, memang tidak pernah menyebut secara langsung kata “aqal” tetapi lewat kata kerjanya. Dan kata berakal dan berfikir dipergunakan al-Qur’an dalam konteks yang berbeda. Di beberapa tempat al-Qur’an menggunakan kata ya’qilun; sedang di tempat lain mempergunakan kata yatafakkarun; dan pada tempat yang lain pula dipergunakan kata tasy’urun. Ini menunjukkan bahwa eksistensi fikir dan rasa diakui dalam al-Qur’an. Dan bahwa kedua unsur tersebut adalah merupakan daya-daya yang dinamis yang dimiliki oleh manusia. (Lebih lanjut tentang akal ini dapat dilihat, H.M. Rasyidi, et.al., Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang: 1983), hal 6-7; Lihat juga, H. Fuad Hashem, Sirah Muhammad Rasulullah, (Bandung: Mizan, 1990), Cet. Ke-2, hal. 66; Bandingkan dengan Harun Nasution, Akal dan Wahyu: 5).

Dan pada galibnya, dipahami bahwa wahyu dan akal masing-masing dipandang sebagai objek dan subjek. Satu ilustrasi yang menarik yang diberikan oleh Fathurraman Jamil prihal akal dan wahyu. Di mana wahyu sebagai sumber hukum diandaikan sebagai “negatif film” yang akan menjadi dasar bagi terwujud sebuah foto. Sementara akal diibaratkan sebagai ”tukang cuci cetak foto” yang ikut serta menentukan hasil cetakan, apakah baik atau buruk hasilnya. Ditambahkan, tanpa negati film tukang cuci cetak tidak dapat mencetak foto yang dimaksud. Namun, perlu juga diingat bahwa tanpa tukang cuci maka negatif foto selamanya akan tetap menjadi negatif foto, gelap sulit untuk diketahui apa sesungguhnya yang ada di dalamnya. (Lihat, Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta: logos, 1995: 20).

Karenanya, kalau intrepretasi wahyu atas wahyu lebih dominan akan bersifat objektif; sebaliknya kalau intrepretasi akal atas wahyu lebih dominan akan bersifat subjektif. Sehingga pada gilirannya, sumber pengetahuan dan petunjuk kebenaran yang didasarkan atas wahyu bersifat absolut dan mutlak; sebaliknya yang didasarkan atas akal bersifaf relatif dan nisbi kebenarannya. Mengingat kedua sumber kebenaran tersebut sama-sama berasal dan/ atau “diciptakan” (?) Tuhan sehingga adalah absurd dan tidak intellegible kalau ternyata terdapat kontradiksi di dalamnya, sehingga merupakan suatu keniscayaan kalau hasil pencapaian antara wahyu dan akal adalah sama. (Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam: 67-68).

Wahyu dan akal sebagai sumber yang sama-sama berasal dari Tuhan [sumber kebanaran mutlak dan absolut]. Namun, kenapa kemudian muara kedua sumber tersebut terjadi klaim yang berbeda; akal menjadi relatif dan wahyu tetap absolut? Dan seharusnya tetap saja sama muaranya, sama-sama absolut. Untuk memecahkan persoalan ini, jawaban sederhananya yang sering diajukan bahwa akal adalah hasil oleh pikir manusia, dan sangat tidak mungkin tidak terjamin kebenaranya karena acap kali terkontaminasi dengan sifat kemanusiawian manusia. Artinya, anugrah akal sebagai sumber kebanaran dan pegetahuan sudah tidak dapat “terjamin”.

Namun persoalannya kemudian, bagaimana kalau sekiranya akal dapat terjamin pada diri orang tertentu? Sebutlah misalnya para orang-orang khawas, meminjam kategori pembagian manuia yang dilakukan oleh Muhammad Abduh. Kalau ini dapat dibenarkan, kebenaran yang diperoleh akal juga dapat bersifat absolut dan tidak lagi relatif. Wallahu ‘alam bi ash-Shawab. (Mengenai pembagian akal menurut golongan dan tingkatan manusia, (lihat, Muhammad Abduh, Risah al-Tawhid, (Cairo: tp., 1366): 127; bandingkan dengan Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah: 34).

Dalam sepanjang sejarah tradisi pemikiran dan intelektual Islam, menurut Harun Nasution, masalah relevansi dan univikasi antara wahyu dan akal telah menjadi bahan polemik yang akut dan perdebatan yang berkepanjangan di kalangan ulama-ulama (serjana-serjana Muslim) terutama di kalangan para teolog Muslim; di kalangan meraka ada yang memberikan peran dan kedudukan ataas otoritas wahyu yang lebih dominan dan besar, misalnya mereka dari kubu Mu’tazilah. Sebaliknya ada pula yang memberuikan peran dan kedudukan atas otoritas wahyu yang justru lebih dominan dan tinggi, mislanya kubu ini diwakili oleh Asy’ariyah.

Di kalangan teolog Muslim tersebut diskusi tentang akal dan wahyu menempati posisi sentral dalam wacana pemikiran dan intelektual meraka. Ini mudah untuk dipahami karena ilmu kalam sebagai ilmu yang membahas asoal-soal ketuhanan dan soal hubungan timbal balik antara manusia dengan Tuhan sudah barang tentu memerlukan akal dan wahyu sebagai sembernya. Akal dianugrahkan Tuhan secara potensial berupaya sedemikian rupa untuk membangun proposisi-proposisi yang logis sehingga dapat membawa sampai kepada pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan soal ketuhanan. Sedangkan wahyu yang diturunkan Tuhan kepada manusia membawa pengkhabaran yang berisi penjelasan-penjelasan yang perlu mengenai hal-hal yang menyangkut Tuhan sendiri, dan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan manusia serta kewajiban-kewajibannya terhadap Tuhan.

Dalam meresponi persoalan-persoalan teologis tersebut di anatara teolog Muslim mempunyai pendirian yang berbeda-beda. Dan ternyata perbedaan corak pandangan teologis meraka banyak ditentukan oleh bagaimana pandangan dan apresiasi meraka terhadap kedudukan dan peran akal dan wahyu. Barangkat dari padangan meraka tentang kedudukan dan peran akal dan wahyu secara general meraka dapat dipilah menajdi dua kelompok: Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Bagi Mu’tazilah, karena otoritas akal lebih dominan dan diutamakan, maka mereka perpihak kepada kebebesan kehendak manusia untuk melakukan perbuatannya; dan Tuhan tidak mempunyai kebebesan dan kehendak yang mutlak terhadap manusia. Sebaliknya, Asy’ariyah karena otoritas wahyu yang lebih dominan dan diutamakan, maka mereka mempunyai pandangan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan dan kehendak dalam perbuatannya, dan Tuhan adalah milik kebebesan dan kehendak yang mutlak tersebut.

Sementara itu, menurut Harun Nasution, bahwa persoalan kemampuan akal dalam mengetahui Tuhan dan mengatahui kebaikan-kejahatan, kemudian masing-masing terbagi menjadi: mengataui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan dan mengatahui kewajiban barbuat baik dan kewajiban meninggalkan perbuatan jahat. Sehingga lebih lanjut, menurut Harun Nasution, terumuskan sebagai berikut: (1) Apakah akal dapat mengetahui (adanya) Tuhan?; (2) Kalau ya, apakah akal dapat mengatahui kewajiban berterima kasih pada Tuhan?; (3) Apakah akal dapat mengatahui yang baik dan yang buruk?; (4) Kalau ya, apakah akal dapat mengatuai bahwa manusia wajib berbuat baik dan menjahui berbuat jahat?
Karena Mu’tazilah menempatkan akal pada kedudukan dan peran yang tinggi, kalau dirujuk kepada empat persoalan teologis di atas, tidak aneh kalau Mu’tazilah memandang keempat persoalan tersebut dapat diketahui oleh akal. Baginya, mengetahui hakekat ketuhanan dapat diketahui lewat pembuktian argumen kosmologis, sedangkan hakekat baik dan buruk tidak ditentukan oleh Tuhan, tetapi oleh essensi baik-buruk itu sendiri. Menurut Mu’tazilah adalah absurd bahwa dusta, mislanya, itu buruk karena Tuhan telah menentukan itu buruk dan hal itu akan menjadi baik jika Tuhan menghendaki dan mengatakan baik. Ini mustahil karena dusta essensinya memang buruk yang melekat pada dirinya, dengan demikian, maka peluang akal manusia untuk mengatahui sanagat besar. Artinya, baik dan buruk pada akhirnya dapat diketahui oleh akal bagi Mu’tazilah, dua pokok pertama dapat diketahui lewat akal. Sedangkan dua kewajiban berikutnya juga dapat diketahui oleh akal manusia dengan mengerahkan pemikiran yang sungguh-sungguh dan radikal.

Sebaliknya, bagi Asy’ariyah karena wahyu mempuyai kedudukan dan peran yang dominan dan besar, maka kalau diruju keempat persoalan teologis di atas, kedua kewajiban –mengetahui kewajiban (berterima kasih) kepada Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan meninggalan perbuatan jahat—hanya dapat diketahui lewat wahyu. Sementara itu, dalam mengetahui eksistensi Tuhan, di kalangakan Asy’ariah menyebutkan bahwa Tuhan dapat diketahui lewat dalil dan argumen penciptaan alam oleh Tuhan (argumen kosmologis). Ini artinya bahwa mengetahui eksistensi Tuhan dapat diketahui lewat akal. Sedangkan tentang soal baik dan buruk, karena essensi baik dan buruk ditentukan oleh Allah maka dengan sendirinya juga hanya dapat diketahui lewat wahyu.

Meskipun Mu’tazilah memberikan apresiasi terhadap otoritas akal yang sangat dominan dan besar, namun perlu ditegaskan bahwa mereka tidak pernah mengklaim bahwa akal merupakan satu-satunya sumber pengatahuan dan kebenaran. Misalnya, ketika Mu’tazalah menyatakan bahwa Tuhan wajib mengirim rasul bagi manusia adalah bukti bahwa Mu’tazilah memberikan tempat yang terhormat dan mulia bagi wahyu. Lebih lanjut, misalnya Mu’tazilah mengungkapkan keterbatasan akal yang harus dicover oleh kelebihan wahyu.

Pertama, akal betul dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, tetapi wahyulah yang menerangkan kepada manusia cara yang tepat untuk berterima kasih dan menyembah kepada Tuhan. Wahyu yang memberikan penjelasan rinci, misalnya berapa kali sholat sehari-semalam; bagaimana aturan-aturan zakat; kapan mesti menjalankan puasa; dan dimana seharusnya kita menunaiakn ibadah haji.

Kedua, Akal benar dapat mengatahui baik dan jahat, tetapi tidak seluruhnya; serta kewajiban mengerjakan kebaikan dan kewajiban meninggalkan kejahatan, hanya garis besarnya. Umpanya, akal dapat mengatahui sebagian kejahatan, misalnya ketidakadilan. Tetapi kejahatan, seperti zina tidak dapat diketahui oleh akal. Dan di antara perbuatan baik yang tidak dapat diketahui oleh akal, misalnya adalah penyembelihan hewan untuk keperluan tertentu.

Ketiga, akal tidak tahu kadar balasan pahala dari suatu perbuatan kebaikan dangan perbuatan kebaikan yang lainnya; (juga) akal tidak mengetahui kadar suatu hukuman perbuatan jahat dibandingkan dengan perbuatan jahat lainnya. Masalah ini hanya dapat diketahui lewat wahyu. Untuk itu, wahyu memberikan pencelasan rinci mengenai upah dan hukuman yang akan diterima manusia di akhirat kelak.

Keempat, wahyu berfungsi, menurut al-Khayyar, sebagaimana yang dikutip oleh Harun Nasution, lewat pengiriman rasul-rasul adalah untuk menguji manusia: siapa yang patuh dan siapa yang ingkar kepada Tuhan. Karenanya, Tuhan menyediakan dua tempat di akhirat: surga dan neraka; dan manusia diberi kebebasan untuk memelih salah satu di antara keduanya.

Kelima, fungsi lain dari wahyu adalah mengingatkan manusia atas kelalaian mereka dan mempersingkat jalan untuk (sampai) mengetahui Tuhan. Betul akal dapat mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, tetapi manusia kerap kali lalai, maka wahyu datang untuk mengingatkan manusia. Benar akal dapat mengenal Tuhan, namun lewat jalan yang berliku-liku, dan wahyu datang untuk memperpendek dan mempermudah jalan tersebut.

Dari paparan ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa fungsi wahyu bagi Mu’tazilah mempunayi fungsi konfirmasi dan informasi; memperkuat apa yang telah diketahui oleh akal dan menjelaskan apa yang belum /tidak diketahui oleh akal. Di antara kedua fungsi tersebut, diperoleh kesan bahwa wahyu di kalangan Mu’tazilah lebih banyak berfungsi sebagai konfiramsi ketimbang sebagai informasi. (Lihat misalnya, Harun Nasution, Wahyu dan Akal 76; Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, 54-55; Teologi Islam, (Jakarta: UI-Press, 1986): 80-118; al-Syarastani, al-Mihal wa al-Nihal, Cairo: t.p., 951: 45).

Mā Tawfiq illā bi Allāh,
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.

By Alimuddin Hassan Palawa, 
(Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies]
UIN Suska Riau).




Baca Artikel Terkait: