-->

Rabu, 23 November 2016

 

  Di beberapa belahan dunia, seperti di CAR dan Rohingya, umat Islam sedang mengalami bencana kemanusiaan. Bukan hanya mereka yang menjadi korban secara langsung dan berada dalam kondisi tak berdaya, namun dunia Islam pada umumnya tidak bisa berbuat banyak atas tragedi tersebut. Memang secara global, umat Islam sedang berada dalam kondisi inferior. Di negara-negara yang Muslim secara kuantitas merupakan mayoritas pun, mereka minoritas secara peran, terutama politik.
Kondisi lemah seperti ini pernah dialami Rasulullah dan kaum Muslimin ketika berada pada fase Makiyah. Ketika kaum Muslimin tidak memiliki kekuatan untuk menghadapi tekanan berat yang menimpanya, solusi alternatif yang diambil di antaranya adalah mencari perlindungan kepada pihak lain yang akomodatif terhadap Islam. Sebagian kaum Muslimin berhijrah ke negeri Habsyi, sedang sebagian yang lain memanfaatkan peran petinggi Qurays yang relatif toleran terhadap Islam seperti Abu Thalib.
Jika kondisi kaum Muslimin fase Makiyah segera beranjak menguat pasca hijrahnya Rasulullah ke Madinah, pada kondisi umat Islam sekarang ini justru ada indikasi yang semakin mengkhawatirkan. Di antaranya adalah peta geopolitik yang bergeser dari Barat ke Timur dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS yang membawa sentimen anti Islam.
Islam dan Barat, selama ini hubungan keduanya memang ada sisi positif dan negatifnya. Akan tetapi, selama ini kebebasan Barat relatif memberi ruang yang lebih baik bagi Islam daripada kediktatoran Timur. Di negara-negara Eropa dan Amerika sendiri, geliat Islam berkembang cukup pesat. Meski kurang memadai, Barat sudah banyak memainkan peran mereduksi tekanan yang menimpa umat Islam di berbagai belahan dunia lain.
Ketika antara Islam dan Barat cukup membaur dengan baik, hubungan keduanya kemudian teruji. Setidaknya ada pada dua hal utama yaitu terorisme dan Islamofobia. Bagi Barat, terorisme membangun persepsi bahwa Islam adalah ancaman bagi mereka, yang kemudian menjustifikasi penguatan Islamofobia tersebut.
Bagi dunia, sebenarnya perlu melakukan introspeksi lebih jernih atas terorisme dan Islamofobia tersebut. Perlu menelaah adanya indikasi pihak ketiga yang bermain di belakangnya, agenda untuk mengadu domba dan merusak hubungan antara Islam dan Barat. Di antara perebutan supremasi dunia antara Timur dan Barat, sangat dimungkinkan adanya proxy dari kompetitor untuk melemahkan Barat dan Islam itu sekaligus.
Bagi Muslim, perlu melakukan introspeksi lebih jernih jika terorisme itu bukan agenda untuk mewujudkan kemuliaan Islam, tetapi ada kepentingan lain yang bermain. Bagi Barat juga perlu melakukan introspeksi lebih jernih jika Muslim bukanlah ancaman bagi mereka, bahwa di balik seruan Islamofobia tersebut, ada kepentingan lain yang ingin melemahkan Barat itu sendiri, serta mengisolasi mereka dari pergaulan dunia.
Di antara pertarungan kekuatan politik global, serta dalam kondisinya yang sangat inferior, umat Islam menghadapi tantangan yang cukup berat. Menjadi penting bagi umat ini untuk menempatkan diri secara bijak dan memainkan peran yang lebih baik. Kita perlu memproporsionalkan posisi kita selama ini, terhadap Abu Thalibnya umat ini dan Abu Jahalnya umat ini, terhadap Romawinya umat ini dan Persianya umat ini, serta terhadap Herakliusnya umat ini dan Kisranya umat ini. Jika salah langkah, akan menjadi kontraproduktif terhadap Islam itu sendiri. Bahkan kita bisa kehilangan Najasyinya umat ini, yang semestinya berpotensi mensupport sisi-sisi kelemahan kita.
Di antara inferioritas yang dialami umat ini, keyakinan kita akan superioritas dinul Islam ini tetap harus menumbuhkan komitmen untuk menjadi solusi bagi permasalahan dunia. Islam pernah mentransfer pengetahuan kepada Barat yang mengeluarkan mereka dari masa kegelapan, dan sekarang kembali tugas berat menghadang umat Islam pasca terpilihnya Trump sebagai presiden AS, pada saat Barat sedang menghadapi ekspansi Timur, krisis demografi dan krisis moral
Sourche: dakwatuna.com



Baca Artikel Terkait: