-->

Selasa, 29 November 2016

Nestapa Rohingya Bisunya Demokrasi

UMAT Muslim di Myanmar terbilang minoritas. Tetapi, meski hanya kaum minoritas, tak membuat mereka sampai berpaling dari Islam. Mereka tetap berpegang teguh pada agamanya. Hingga, kini kita tahu bahwa mereka mengalami suatu ujian yang sangat berat. Dimana keberadaan mereka di negaranya sendiri tak aman lagi.

gbr: liputan6.com
Jika kita melihat sejarah masuknya muslim ke negara itu, mereka datang dengan perdamaian. Tak ada sedikit pun kekerasan yang terjadi. Sejarawan menyebutkan bahwa umat Islam tiba di wilayah Arakan bertepatan dengan masa Daulah Abbasiyah yang tengah dipimpin oleh Khalifah Harun al-Rasyid. Kaum muslimin tiba di wilayah tersebut melalui jalur perdagangan. Dengan cara damai. Bukan peperangan apalagi penjajahan.

Karena umat Islam semakin banyak dan terkonsentrasi di suatu wilayah, jadilah ia sebuah kerajaan Islam yang berdiri sendiri. Kerajaan tersebut berlangsung selama 3,5 abad. Dan dipimpin oleh 48 raja. Yaitu antara tahun 1430 – 1784 M. Banyak peninggalan-peninggalan umat Islam yang terwarisi di wilayah tersebut. Ada masjid-masjid dan madrasah-madrasah. Di antara masjid yang paling terkenal adalah Masjid Badr di Arakan dan Masjid Sindi Khan yang dibangun tahun 1430 M. Jadi, meski memang mereka bukan penduduk asli Rakhine, Namun sebagai pendatang yang damai, mereka telah menorehkan sejarah emas untuk Rakhine.

Setelah dua pekan pasca mencuatnya kabar dimulainya operasi militer Myanmar di Rakhine, fakta terbaru semakin mengiris nurani. Berdasarkan catatan terkini yang berhasil dihimpun PBB pada 21 November 2016, operasi militer tersebut telah menewaskan 150 warga Rohingya. Sekitar 30.000 orang telah mengungsi keluar dari kota Maungdaw, dan sebanyak 37.000 anak-anak menderita malnutrisi. Lebih dari 150.000 warga Rohingya kini membutuhkan bantuan pangan.

Kemelut Rohingya hingga kini masih membara. Ratusan ribu jiwa mencari suaka, bertaruh nyawa melintasi batas negara. Sudah lelah berpindah-pindah tempat bernaung, keberadaan mereka di tanah airnya sendiri tidak diakui. Mencoba berpindah ke negara lain pun belum tentu diterima.

Ko Ko Linn dari Organisasi Nasional Arakan Rohingya mengatakan, menurut sejumlah penduduk desa, sedikitnya 150 orang dibunuh pasukan keamanan sejak Sabtu. Verifikasi independen atas klaim yang dikeluarkan pemerintah atau aktivis sulit dilakukan karena pemerintah membatasi akses masuk ke kawasan tersebut.

Disaat seperti ini, organisasi-organisasi besar dunia seakan-akan buta, tuli dan bisu. Belum ada upaya serius menangani kasus kemanusiaan di Rohingya. Negeri – negeri muslim pun tidak ada yang bergerak membantu mereka. Ungkapan kecaman terhadap kesadisan militer dan kaum budha pun hanya sayup-sayup terdengar. Hanya lembaga-lembaga independent muslim yang berusaha menggalang bantuan, mengetuk pintu – pintu hati muslim lainnya untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan. Pun pula, akses mereka dibatasi.

Sungguh pemandangan yang sangat ironi. Ketika demokrasi dengan lantang menyuarakan perdamaian, ketika demokrasi dengan lantang menyuarakan persamaan hak, ternyata semua itu hanya jargon dan pepesan kosong. Ketika kaum muslimin minoritas dan ditindas, mereka diam. Ketika kaum muslimin mayoritas dan menyampaikan aspirasinya, mereka bilang toleransi. Sungguh, bisunya demokrasi atas kasus rohingya, semakin membuat terang benderang untuk siapa demokrasi ada.

Masihkah kita tetap berharap keadilan kepada demokrasi? Sanggupkah iya menjadi benteng manusia, dan kaum muslimin khususnya?
Sourche: islampos.com




Baca Artikel Terkait: