-->

Sabtu, 24 Januari 2015

A. Pendahuluan
Secara garis besar, pembahasan ilmu hadits dibagi atas dua bagian. Ilmu hadits riwayat dan ilmu hadits dirayat. Ilmu hadits riwayat adalah ilmu untuk mengetahui segala apa yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa ucapan, perbuatan, taqrir maupun sifat dan segala yang disandarkan kepada sahabat maupun tabi’in. Sedangkan ilmu hadits dirayah adalah ilmu untuk mengetahui keadaan perawi dan riwayatnya, apakah dapat diterima atau tidak.

Dalam kaitannya dengan ilmu hadits dirayah, yang menurut ulama kemudian dinamakan dengan ilmu ushul al-hadits, akan kita ketemukan berbagai macam cabang pembahasan ilmu hadits. Di antara cabang-cabang ilmu tersebut, dan yang paling pokok, adalah ilmu jarh wa ta’dîl, ilmu rijâl al-hadîts, ilmu mukhtalaf al-hadîts, ilmu gharîb al-hadîts, ilmu nâsikh al-hadîts wa mansûkhuhu dan ilmu ‘ilal al-hadîts.

Dari beberapa disiplin ilmu hadits yang kami paparkan di atas, yang akan menjadi topik bahasan kita di sini adalah berkaitan dengan ilmu ‘ilal al-hadîts. Di antara beberapa riwayat hadits, ada yang asli, ada yang mengalami perubahan pada lafadh atau penambahan, atau pemalsuan, dan seterusnya. Semuanya ini hanya dapat diketahui oleh ulama yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang ilmu ini. Sedangkan ta’lil dapat disimpulkan dari sanad, hanya dapat ditunjuk dengan praktek, dan untuk memaparkan contoh-contohnya di sini akan terlalu panjang lebar.

B. Pengertian ‘ilal al-hadis

Menurut bahasa i’lal adalah penyakit المرض ) ) yang berasal dari kata ‘alla-ya’illa-i’talan ( علّ – يعلّ – واعتلّ ) artinya penyakit yang disebabkan karena cacat dan di qiyaskan dengan kata ma’alun-mu’allalun ( معل - معلل ).[1]

Akan tetapi sebagian Ulama hadis dan sebagian ahli bahasa kata ma’lul ( معلول ) jarang menggunakan kata ini.[2]

Sementara itu menurut pendapat lain hadis ’ilal ism maf’ul ( معلول ) dari mu’al atau yang dicacatkan. Adapun nama lain dari mu’al ( معل ) adalah ma’alun dan mu’alalun ( معلل ). Kata mu’alalun ( معلل )banyak dipakai Ulama hadis, sedangkan ma’lulun ( معلول )jarang dipakai, disebabkan penggunaan bahasa yang dinilai dhaif atau lemah secara bahasa.[3]

Pendapat lain mengatakan ’ilal hadis secara bahasa artinya penyakit, sebab alasan atau halangan. Dengan demikian, tidak ’ilalnya hadis tersebut tidak berpenyakit, tidak ada sebab yang melemahkannya dan mengahalanginya. Sedangkan menurut istilah ’ilal adalah suatu sebab yang tidak nampak atau samar-samarnya yang dapat mencacatkan keshahihan suatu hadis. Dengan demikian, jika dikatakan hadis tersebut tidak ber’ilal, berarti hadis tersebut tidak memiliki cacat, adapun yang dimaksud samar-samar, karena jika dilihat dari segi lahirnya, hadis tersebut terlihat shahih. ’Ilal hadis mengakibatkan kualitas hadis menjadi lemah, tidak shahih.[4]

Menurut istilah hadis ’ilal ialah sebab yang tersembunyi yang merusakkan kualitas hadis. Keberadaan hadis ’ilal yang pada lahirnya terlihat berkualitas sahih menjadi tidak sahih.[5]

Ulama hadis umumunya menyatakan,’ilal hadis kebanyakan berbentuk :[6]
Sanad tampak muttashil dan marfu’ ternyata muttashil tetapi mawquf 
Sanad yang tampak muttashil dan marfu’, teryata muattasil tetapi mursal (hanya sampai ke al-tabi’iy) 
Terjadi percampuran hadis dengan bagian hadis lain 
Terjadi kesalahan penyebutan periwayat, karena ada lebih dari seorang periwayat memiliki kemiripan nama sedang kualitasnya tidak sama-sama siqat. 

Pada sanad hadis yang disebutkan diatas pada bagian pertama merupakan sanad ahdis terputus, untuk bagian yang kedua ’ilal yang disebutkan terakahir berupa periwayat tidak dhabith.

‘Ilal al-hadis adalaha kitab-kitab hadis yang disusun untuk menghimpun hadis yang memiliki cacat, disertai penjelasan tentang cacatnya itu. Penyusunan kitab sejenis ini bagi para muhadissin merupakan puncak prestasi kerjanya karena pekerjaan ini membutuhkan ketekunan, kerja keras dan tabah dalam waktu yang cukup panjang dalam meneliti sanad, memusatkan pengkajian, dan mengulanginya untuk mendapatkan kesimpulan atas samara-samar yang terdapat hadis tersebut sehinnga terlihat pada bentuk luarnya mengesankan bahwa hadis bersangkutan shahih.[7]

C. Objek ’ilal al-hadis

Menurut pembagiannya para ulama ilmu hadis sepakat bahwa ’ilal al-hadis ada tiga macam yaitu : 

1. ‘Ilal hadis pada sanad

Pengertian ’ilal disini bukanlah pengertian umum tentang sebab kecacatan hadis, misalnya karena periwayatan pendusta atau tidak kuat hafalan. Melainkan cacat yang dapat mengakibatkan juga lemahnya sanad. Periwayatan yang cacat dapat pula memberi petunjuk keterputusan sanad.[8]

Terhadap cacat umum tersebut ulama tidak mengalami kesulitan untuk menelitinya, sedangkan terhadap ’ilal yang pembahasan lebih khusus tidak banyak ulama hadis yang mampu menelitinya. Karena, hadis yang ber’ilal tampak berkualitas shahih.[9]

Dalam hubungan ini, ’Abd al-Rahman bin Mahdiy, (wafat 194H / 814 M) menyatakan, untuk mengetahui ‘ilal hadis diperlukan intuisi (ilham). Sebagian Ulama menyatakan, orang yang mampu meneliti ’ilal hadis hanyalah orang yang cerdas, memiliki hafalan hadis yang banyak, paham akan hadis yang dihafalnya, mendalam pengetuhaunnya tentang berbagai tingkat kedhabithan periwayatan dan ahli di bidang sanad dan matn hadis. Al-Hakim al-Naysabury berpendapat, acuan utama penelitian ’ilat hadis ialah hafalan, pemahaman dan pengetahuan yang luas tentang hadis. Semua pernyataan Ulama ini memberikan petunjuk bahwa penelitian ’ilal hadis sangat sulit.

Menurut ’Aliy bin al-Madiniy dan al-Khatib al-Baghdady, untuk mengetahui ’ilal hadis, terlebih dahulu semua sanad yang berkaitan dengan hadis yang diteliti dihimpunkan. Hal ini dilakukan, bila hadis yang bersangkutan memiliki tawabi’ dan syawahid. Sesudah itu, seluruh rangkaian dan kualitas periwayat dalam sanad itu diteliti berdasarakan pendapat para kritikus periwayat dan ’ilal hadis. Dengan jalan demikian baru dapat ditentukan, apakah hadis tersebut ber’ilal ataukah tidak ber’ilal.

’Ial hadis, sebagaimana juga syudzudz hadis, dapat terjadi di matn , di sanad, atau di matn dan sanad sekaligus , Akan tetapi yang ternbayak, ’ilal hadis terjadi di sanad.

Al-Hakim telah mengemukakan sepuluh macam contoh hadis yang mengandung ’ilal. Kesepuluh macam hadis itu tampak berkualitas sahih, pada hal setelah diteliti lebih mendalam, ternyata sebagian besar hadis dimaksud sanad nya terputus dan sebagian lagi periwayatan lemah. Adapun contoh hadis yang dinyatakan ber-‘ilal oleh al-Hakim. tesebut disannggah oleh al-‘Iraqy dan sanggahan itu disetujui oleh Ahmad Muhammad Syakir. Hadis yang oleh al-Hakim dinyatakan ber’ilal tetapi oleh al’Iraqy dinyatakan tidak ber’ilal itu bunyi sanad dan matn sebagai berikut :

حدّثنا أبو العباس محمّد بن يعقوب قال :حدّثنا محمّد إسحاق الصغانى قال : حدثنا حجاج بن محمّد قال , قال ابن جريج عن موسى بن عقبة عن سهيل بن أبى صالح عن أبيه عن أبى هريرة عن النبي صلّى الله عليه وسلّم قال : من جلس مجلسا كثر فيه لغطه فقال قبل أن يقوم : سبحانك اللهمّ وبجمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك إلا غفر له ما كان في مجلسه ذلك.[10]

Nama-nama Sanad pada hadis diatas:

1. Abi Hurairah

2. Abu Abbas Muhammad ibn Ya’qub

3. Muhammad Ishaq ah-Shagani

4. Hajjaj ibnu Muhammad

5. Ibnu Juraij

6. Musa Bin Uqbah

7. Suhail Ibnu Saleh

Artinya:Telah memberitakan kepada kami Abu al-‘Abbas Muhammad bin Ya’qub, telah memberitakan kepada kami Muhammad bin Ishaq al-Shaghaniy. Dia (al-Shaghaniy) berkata, telah memberitakan kepada kami ( Hajaj ) menyatakan, telah memeberitakan kepada kami Hajajj bin Muhammad. Dia ( Hajjaj ) menyatakan, telah berkata Ibn jurayj, ( riwayat berasal ) dari Suhayl bin Abi Shali, dari ayahnya, dari Aby Hurairah, dari Nabi Saw, sabdanya : ” Barang siapa yang duduk di suatu mesjid yang didalamnya banyak kegaduhan, kemudian sebelum berdiri dia mengucapkan ”Subhanaka allahumma wa bi hamdika la illa Anta astagfiruka wa atubuilaiKa’ (Maha Suci Engkau ya Allah dan dengan puji-Mu, tidak ada tuhan kecuali Engkau, aku mohon ampun dan bertobat ke hadirat-Mu) maka dia diampuni dosanya selama dia berada dalam majelis itu.

Penilaian al-Hakim didasarkan pada hasil penelitian al-Bukhariy. Menurut al-Bukhariy, Musa bin Uqbah tidak pernah mendengar atau menerima hadis dari Suhayl bin Abi Shalih. Periwayat yang menerima hadis dari Suhayl ialah Musa bin Ismail. Karenanya, hadis atau sanadnya mengandung cacat atau ’ilal. Dalam hal ini terputusnya antara Musa bin ’Uqbah dengan Suhyl bin Abi Shalih.[11] ’ilal al-hadis pada sanad banyak juga ditemukan di sanad hadis maupun di matb hadis, seperti contoh diatas, tetapi adakalnya cacat pada sanad tidak terdapat pada matn. Contoh : 

عن عمران بن أبى أنس عن مالك بن أوس بن الحدثان عن أبي ذر قال : قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم : " فى الابل صدقتها , و فى الغنم صدقتها , وفى البقر صدقتها , وفى البرّ صدقتها " .[12]

Artinya :Dari Ibnu Juraij dari ‘Imran bin Abi Anas dari Malik bin Ais al-Haddasan dari Abi Zarr berkata ia : Rasullah Saw. bersabda : “ Pada Unta itu ada sedekahnya, dan kambing itu ada sedekahnya, dan pada Lembu itu juga ada sedekah, dan pada gandum itu ada sedekah.” 

2. ’Ilal hadis pada matn

Contoh ’ilal hadis pada matn : 

عبد الله بن مسعود قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " الطيرة من الشرك , وما منا إلا , ولكنّ الله يذهبه باالتوكل " .[13]



Artinya: Dari Abdullah Bin Mas’ud, Bersabda Rasulullah SAW: congkak atau sombong termasuk dari syirik, dan hal tersebut bukan termasuk golangan kami (Rasulullah atau orang-orang yang beriman). Kecuali mereka mohon ampun kepada Allah dengan bertawakal.

قال أبو عيسى وفي الباب عن ابي هريرة و حابس التميمي و عائشة و ابن عمر و سعد وهذا حديث حسن صحيح لا نعرفه إلا من حديث سلمة بن كهيل وروى سليمان بن حرب يقول هذا الحديث وما منا ولكن الله يذهبه بالتوكل قال سليمان هذا عندي قول عبد الله بن مسعود وما منا قال الشيخ الألباني : صحيح.[14]

3. ’Ilal hadis pada sanad dan matn

- حدثنا عمرو بن عثمان بن سعيد بن كثير بن دينار الحمصي . حدثنا بقية بن الوليد . حدثنا يونس بن يزيد الأبلي عن الزهري عن سالم عن ابن عمر قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( من أدرك ركعة من صلاة الجمعة أو غيرها فقد أدرك الصلاة ) . قال الشيخ الألباني : صحيح[15]

Artinya : Di riwayatkan oleh ( An-Nasai dan Ibnu Majah ) dari hadits Baqiyyah dari Yunus dari Az-Zuhri dari Salim dari Ibnu Umar dari Nabi SAW berkata ia : ” Barang siapa yang meninggalkan satu rakaat dari shalat Jum’at dan selainnya maka ia telah meninggalkan solat itu ”. 

D. Sejarah awal dan perkembangannya ’ilal al-hadis

Pada abad kedua Hijriah perkembangan ilmu penegtahuan Islam peasat sekali dan telah melahirkan para imam mujtahid di berbagai bidang, di antaranya di bidang fiqh dan ilmu kalam. Pada dasarnya para imam mujtahid tersebut, meskipun dalam berbagai hal mereka berbeda pendapat, mereka saling menghormati dan menghargai pendapat masing-masing. Akan tetapi, para pengikut ketiga Hijriah, berkeyakinan bahwa pendapat gurunya (imamnya) lah yang benar, dan bahkan hal tersebut sampai menimbulkan bentrokkan pendapat yang semakin meruncing.Diantara pengikut mazhab yang fanatic, akhirnya menciptakan hadis-hadis palsu dala rangka mendukung mazhabnya dan menjatuhkan mazhab lawannya.

Di antara mazhab Ilmu Kalam, khususnya Mu’tazilah, sangat memusuhi ulama hadis sehingga terdorong untuk menciptakan hadis-hadis palsu dalam rangka memaksakan pendapa mereka. Hal ini terutama setelah Khalifah al-Ma’mun berkuasa dan mendukung golongan Mu’tazilah. Perbedaan pendapat mengenai kemahlukan al-Quran menyebabkan Imam ibn Hambal, seorang tokoh ulama hadis, terpaksa di penjarakan dan disiksa. Keadaan ini berlanjut terus menerus pada masa pemerintahan al-Mu’tashim (W.227 H ) dan al-Wastiq (w.232 H ) dan barulah setelah pemerintahan Khalifah al-Mutawakkil, yang mulai memerintah pada tahun 232 H, keadaan berubah dan menjadi positif bagi ulama hadis. 

Penciptaan hadis-hadis palsu tidak hanya dilakukkan oleh mereka yang fanatik madzhab, tetapi momentum pertentangan madzhab tersebut dimanfaatkan ileh kaum zindik yang sangat memusuhi Islam, untuk menciptakan hadis-hadis palsu dalam rangka merusak ajaran Islam dan menyesatkan kaum Muslimin.[16]

E. Kedudukan dan Urgensi Mempelajari ilal pada Hadis

1. Menjaga Sunnah nabi Muhammad Rasulullah saw.

2. Untuk memisahkan atau membedakan apa yang terdapat di dalam diri seorang perawi dari kesalahann, lupa dan keraguan pada dirinya.

3. Untuk membedakan mana hadis yang cacat dan mana hadis yang terhindar dari cacat.[17]

F. Langkah-Langkah Praktis Penelitian Illat Hadis

Langkah-langkah penelitian hadis meliputi penelitian sanad dan penelitian matan hadis. Adapun penelitian tersebut akan di jelaskan dibawah ini:

1. Penelitian Sanad dan Rawi Hadis

a. Meneliti ilal pada Sanad dan Rawi dengan melakukan takhrij hadis.

b. Itibar, yaitu menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu, dan hadis tersebut pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang rawi saja, dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada rawi yang lain atau tidak untuk bagian sanad dari sanad yang dimaksudkan. Langkah itu tidak dapat ditingggalkan sama sekali, mengingat sebelum melakukan penelitian terhadap karakteristik setiap rawi, perlu dilakukan penelitian terhadap karakteristik setiap rawi, perlu diketahui lebih dahulu rangkaian para rawi yang terlibat dalam periwatan hadsi yang bersangkutan. Langkah ini dilakukan denan membuat skema sanad.

c. Meneliti nama para rawi yang tercantum dalam skema sanad. Langkah ini dilakukan dengan mencari nama secara lengkap yang mencakup nama, nisbat, kunyah, danlaqab setiap rawi dalam kitab-kitab Rijal al-hadis, seperti kitab Tahzib at-Tahdzib .

d. Meneliti tarikh ar-rawat, meneliti al-masyayikh wa al-talamidz (guru dan murid) dan al-muwalid wa al-wafayat (tahun kelahiran dan kematian). Dengan langkah ini, dapat diketahui bersambung atau tidaknya sanad.

e. Meneliti al-jarh wa at-ta’dil untuk mengetahui karakteristik rawi yang bersangkutan, baik dari segi aspek moral maupun aspek intelektualnya (keadilan dan kedhabitan).

2. Penelitian Matan

Sebagai langkah terakhir, adalah penelitian terhadap matan hadis, yaitu menganalisis matan untuk mengetahui kemungkinan adanya illat dan syududz padanya. Langkah ini dapat di katakana sebagai langkah yang paling berat dalam penelitian suatu hadis, baik teknik maupun pelaksanaanya maupun aspek tanggung jawabnya. Hal itu karena kebanyakan pengamalan suatu hadis justru lebih bergantung pada hasil analisis matannya daripada sanadnya.

Langkah ini memerlukan wawasan yang luas dan mendalam.Untuk itu, seorang peneliti dituntut untuk menguasai bahasa Arab dengan baik, menguasai kaidah-kaidah yang bersangkutan dengan tema matan hadis tersebut, memahami isi kandungan Al-Qur’an baik tekstual maupun kontekstual, memahami prinsip-prinsip ajaran Islam, mengetahui metode istinbath, dan sebagainya. Dengan memerhatikan hal-hal tersebut, insya allah penarikan atau kesimpulan akan terhindar dari kekeliruan. [18]

lebih jelasnya penulis memaparkan suatu contoh hadis tentang “pajak, kepemimpinan dan fai, bab : mengangkat menteri” hadis yang diriwayatkan oleh abu daud untuk melihat ilal pada sanad hadis dengan melakukan tahkrij hadis dengan panduan buku metodologi kritik sanad.[19]

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عَامِرٍ الْمُرِّيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِالْأَمِيرِ خَيْرًا جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ صِدْقٍ إِنْ نَسِيَ ذَكَّرَهُ وَإِنْ ذَكَرَ أَعَانَهُ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهِ غَيْرَ ذَلِكَ جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ سُوءٍ إِنْ نَسِيَ لَمْ يُذَكِّرْهُ وَإِنْ ذَكَرَ لَمْ يُعِنْهُ

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Musa bin 'Amir Al Murri, telah menceritakan kepada kami Al Walid telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Muhammad dari Abdurrahman bin Al Qasim, dari ayahnya, dari Aisyah, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Apabila Allah menghendaki kebaikan pada diri pemimpin maka Allah akan menjadikan baginya menteri yang jujur, apabila ia lupa maka ia akan mengingatkannya dan apabila ia ingat maka ia akan membantunya. Dan apabila Allah menghendaki selain itu (keburukan) pada diri seorang pemimpin maka Allah jadikan baginya menteri (pembantu) yang buruk, apabila ia lupa maka ia tidak mengingatakannya, dan apabila ia ingat maka ia tidak membantunya.[20]

1. Kualitas Sanad dilihat dari Skema Sanad:

Rasul Saw.

Aisyah binti Abi Bakar
Ash Shiddiq
Al Qasim bin Muhammad bin
Abi Bakar Ash Shiddiq
Abdur Rahman bin Al Qasim
bin Muhammad bin Abi
Bakar Ash Shiddiq
Zuhair bin Muhammad
Al Walid bin Muslim
Musa bin 'Amir bin Umarah
Abu Daud

G. Kesimpulan

1. Pengertian Ilal

Menurut bahasa i’lal adalah penyakit المرض ) ) yang berasal dari kata ‘alla-ya’illa-i’talan ( علّ – يعلّ – واعتلّ ) artinya penyakit yang disebabkan karena cacat dan di qiyaskan dengan kata ma’alun-mu’allalun ( معل - معلل).

Menurut istilah hadis ’ilal ialah sebab yang tersembunyi yang merusakkan kualitas hadis. Keberadaan hadis ’ilal yang pada lahirnya terlihat berkualitas sahih menjadi tidak sahih

2. Objek ’ilal al-hadis

Menurut pembagiannya para ulama ilmu hadis sepakat bahwa ’ilal al-hadis ada tiga macam yaitu : 

a. ‘Ilal hadis pada sanad

b. ’Ilal hadis pada matn

c. ’Ilal hadis pada sanad dan matn

4. Kedudukan dan Urgensi Mempelajari ilal pada Hadis

a. Menjaga Sunnah nabi Muhammad Rasulullah saw.

b. Untuk memisahkan atau membedakan apa yang terdapat di dalam diri seorang perawi dari kesalahann, lupa dan keraguan pada dirinya.

c. Untuk membedakan mana hadis yang cacat dan mana hadis yang terhindar dari cacat.

5. Langkah-Langkah Praktis Penelitian Hadis

Langkah-langkah penelitian hadis meliputi penelitian sanad dan penelitian matan hadis. Adapun penelitian tersebut akan di jelaskan dibawah ini:

a. Penelitian Sanad dan Rawi Hadis

b. Penelitian Matan

H. Saran 

Makalah ini masih jauh dari nilai sempurna, tetapi paling tidak hasil dari makalah ini dapat menggambarkan tentang sekilas pembahasan Ilal Hadis. Oleh karena itu jika ada kesalahan dalam isi makalah ini adakalanya kepada semua pembaca dapat memberikan kritikan, saran atau yang lainnya. 

DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakr Ahmad Ibnu Husain Ibnu Ali Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubro, Mesir: Dairoh Al-Ma’arif, 1344 H

Abu Daud, Sumber : Abu Daud, Kitab : Pajak, Kepemimpinan dan Fai, Bab : Mengangkat menteri, No. Hadist : 2543
Dame Siregar, Metodologi Kritik Sanad, Padang: Rios Multi Cipta, 2013

M. Syuhdi Ismail, Kaedah Keshihan Sanad hadis, Jakarta : Bulan Bintang, 1995

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indoenesia, Jakarta: PT Hida Karya Agung, 1989

Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, Beirut : Dar al-Fikr,1981
Muhammad Ibnu Isa Abu Isa At-Tirmidzi As-Salimy, Jami’us Shahih Sunan Tirmidzi (Beirut: Dar Ihya at-Tiros al-Arabi, tth



Muhammad Ibnu Yazid, Sunan Ibnu Majah, Beirut: Dar al-Fikr, tth



Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 2001

Nuruddin ITR, Ulum al-Hadis 1, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1997

Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, Bandung : Cita Pustaka, 2005

Syarif Mahmud al-Qudhah, al-Manhaj hajul hadis fil uluml hadis, Kuala Lumpur : Dar tajadid at-Toba’atu wa nasru wa tarjamtu, 2003



Syuhdi Ismail, Kaedah Keshihan Sanad hadis, Jakarta : Bulan Bintang, 1995

___________ , Metode Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992

[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indoenesia (Jakarta: 1989, PT Hida Karya Agung), hal. 276 


[2] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis (Beirut : Dar al-Fikr,1981), hal. 291 


[3] Syarif Mahmud al-Qudhah, al-Manhaj hajul hadis fil uluml hadis (Kuala Lumpur : Dar tajadid at-Toba’atu wa nasru wa tarjamtu, 2003), hal.143 


[4] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis (Bandung : Cita Pustaka, 2005), hal. 170 


[5] Syuhdi Ismail, Kaedah Keshihan Sanad hadis (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), hal.116 


[6] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 2001), hal.133-134. 


[7] Nuruddin ITR, Ulum al-Hadis 1 (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1997), hal.194 


[8] Ibid., hal. 447 


[9] Ibid., hal.448 


[10] Abu Bakr Ahmad Ibnu Husain Ibnu Ali Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubro ( Mesir: Dairoh Al-Ma’arif, 1344 H), hal. 425 


[11] Nuruddin ITR, Manhaju Naqdil fil Ulumu Hadis (Beirut:Dar Fikri, 1997), hal.449 


[12] Ibid, hal. 453 


[13] Muhammad Ibnu Isa Abu Isa At-Tirmidzi As-Salimy, Jami’us Shahih Sunan Tirmidzi (Beirut: Dar Ihya at-Tiros al-Arabi, tth), hal. 160 


[14] Ibid., 


[15] Muhammad Ibnu Yazid, Sunan Ibnu Majah (Beirut: Dar al-Fikr, tth), hal. 356 


[16] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 2001), hal.133-134 


[17] M. Syuhdi Ismail, Kaedah Keshihan Sanad hadis (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), hal.116 


[18] Syuhudi Ismail , Metode Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal. 51 


[19] Dame Siregar, Metodologi Kritik Sanad (Padang: Rios Multi Cipta, 2013), hal. 23-69 


[20] Abu Daud, Sumber : Abu Daud, Kitab : Pajak, Kepemimpinan dan Fai, Bab : Mengangkat menteri, No. Hadist : 2543



Baca Artikel Terkait: