-->

Jumat, 23 Januari 2015


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesempurnaan Islam dibuktikan dengan diturunkannya Al-qur’an sebagai doktrin langit yang maha suci kepada khotimu al anbiya’ Nabi Muhammad SAW dan di bumikan kepada seluruh umat manusia sebagai petunjuk utama dan pertama dalam mengarungi hidup dan kehidupanyang kemudian di ikuti dengan Sunnah nabi (hadits) setelahnya (Al-qur’an). Bahwa Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an Hampir sudah menjadi sebuah konsensus seluruh umat Islam (kecuali segelintir golongan yang dikenal dengan sebutan kelompok Ingkar Sunnah). Sabda, tingkah laku, dan ketetapan Nabi Saw. menjadi sebuah penjelas sekaligus penuntun kehidupan dan keberagamaan umat Islam di seluruh penjuru dunia.

Posisi hadits sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an membuat kajian tentangnya seakan tak pernah lapuk dimakan zaman. Sejak era khulafaurrasidin sampai hari ini para cendikiawan muslim dari berbagai kolong langit masih terus mengkaji hadits dan ilmu hadits. Salah satu kajian hadits yang selalu menarik perhatian para sarjana adalah kajian yang berkaitan dengan Nâsikh Manshûkh. Meskipun kajian ini termasuk kajian klasik, akan tetapi kajian ini memiliki daya tarik yang cukup luar biasa untuk dikaji di era modern ini. Setidaknya hal ini bukan hanya disebabkan karena kajian ini merupakan wilayah kajian hukum fikih (legal-formal), atau juga merupakan kajian-kajian teologis, maupun wilayah kajian ushul fikih. Melainkan, disebabkan juga karena Nâsikh Mansûkh juga merupakan bagian dari salah satu metode dalam menyikapi hadits-hadits yang secara zhahir kontradiktif

B. Rumusan Masalah

Dari penjelasan di atas rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Apa maksud dari ilmu nasikh wal mansukh hadis?

2. Bagaimana metode mengetahui ilmu nasikh wal mansukh?

3. Apa saja urgensi mengetahui ilmu nasikh wal mansukh?

4. Apa saja kitab yang ditulis tentang ilmu nasikh wal mansukh?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui apa maksud dari ilmu nasikh wal mansukh hadis

2. Untuk mengetahui bagaimana metode mengetahui ilmu nasikh wal mansukh

3. Untuk mengetahui apa saja urgensi mengetahui ilmu nasikh wal mansukh

4. Untuk mengetahui apa saja kitab yang ditulis tentang ilmu nasikh wal mansukh

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Nasikh wal Mansukh Hadis



Secara etimologi kata ناسخ adalah bentuk isim fa’il, sedangkan منسوخ adalah bentuk isim maf’ul dari kata kerja نسخ yang mempunyai beberapa makna, yaitu : اِزاله (menghapus),اِبطال (membatalkan), التبديلِ (mengganti), التحويل (mengalihkan), النقل (memindah).[1] Sehingga seolah-olah orang yang menasakh itu telah menghapuskan yang mansukh, lalu memindahkan atau menukilkannya kepada hukum yang lain. Sedangkan Nasakh secara terminologinya dapat diartikan:

النسخ هو الخطاب الدال على رفع الحكم الثابت بالخطاب المتقدم على جهة لولاه لكان ثا بتا مع تراخيه عنه

Yaitu khitab Allah yang menunjukkan hukum yang telah ditetapkan lebih dahulu dengan gambaran bahwa seandainya tidak ada khitab kedua pasti hukum akan tetap berlaku sebagaimana awal disyariatkannya. Atau secara sederhananya nasakh dapat diartikan:

النسخ هو رفع الحكم الشرعيعن المكلف بحكمشرعي مڽلهمتأخر

Yang berarti pembatalan hukum syara’ yang ditetapkan terdahulu dari seorang mukallaf dengan hukum syara’ yang sama yang datang kemudian.[2]

Menurut ulama ushul fiqh, nasikh adalah:



رفع الشارع حكما شرهيا بدليل شرعي متراخ عنه

“Pembatalan hukum syara’ oleh syari’ (pembuat syariah) dengan dalil syara’ yang datang kemudian.”[3]

Ilmu nasikh mansukh menurut ahli hadis adalah:

علم يبحث فيه عن الناسخح والمنسوخ من الا حا ديث


Ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang menasakh dan yang dinasakh.[4] Ulama kontemporer yang ketika mendefenisikan nasakh menitik beratkan pada definisi yang diutarakan oleh imam al-Qaadhi, beliau menyatakan ia adalah hukum yang menunjukan terhapusnya sebuah hukum tetap dengan hukum yang baru berdasarkan sebab yang jika bukan karenanya maka pasti hukum (pertama) itu tetap, juga karena keberadaan (hukum baru itu) terakhir.[5]

Mengenai konsep nasikh mansukh ringkasnya kami katakan sebagai penghapus dan dihapus; yaitu hukum baru menghapus hukum yang lama, seperti yang dianut oleh imam al-Suyuthi serta dikombinasikan dengan defenisi yang disampaikan oleh imam Qadhi di atas. Adapun imam al-Suyuti sebagaimana yang beliau jelaskan dalam bukunya Tadriib al-Raawi beliau katakan : 

“Penghapusan Allah terhadap suatu hukum lama dengan hukum yang baru”[6]

Kedua pengertian diatas sebenarnya tidak berbeda, hanya saja pada definisi kedua mengandung kemungkinan terjadinya naskh sebelum sebelum hukum yang dinasakhkan itu dilaksanakan oleh mukallaf.

Selanjutnya, secara spesifik dijelaskan bahwa ilmu nasikhil hadits dan mansukhnya, ialah:

الحكم حيڽ من بينها التوفيق يمكن لا التي المتعارضة الاحاديڽِ عن يبحڽ الذي العلم

منسوخا كان تقدمه ڽبت فما منسوخ بانه الاخرِ بعض على و ناسخ باٰنه بعضها على

ناسخاٰ كان تاٰخره ڽبت وما

“ilmu yang membahas hadis-hadis yang saling berlawanan maknanya yang tidak mungkin dapat dikompromikan dari segi hukum yang terdapat pada sebagiannya, karena ia sebagai Nasikh (penghapus) terhadap hukum yang terdapat pada sebahagian yang lain, dan ia sebagai Mansukh (yang dihapuskan), karena itu hadis yang mendahului adalah mansukh, dan yang terakhir adalah sebagai Nasikh.[7]

Ilmu yang membahas hadis-hadis yang berlawanan maknanya, kontradiktif yang tidak mungkin dikompromikan, dari segi hukum yang terdapat pada sebagiannya, karena ia sebagai nasikh (penghapus) terhadap hukum yang terdapat pada sebagian yang lain, karena ia sebagai mansukh (yang dihapus). Karena itu hadis yang mendahului adalah sebagai mansukh dan hadis yang terakhir adalah sebagai nasikh dari beberapa devinisi di atas dapat disimpulkan bahwa, ilmu nasikh wal mansukh adalah ilmu yang menerangkan hadis-hadis yang sudah dimansukhkan dan yang menasikhkannya. Yang tak mungkin dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian. Maka yang terkemudian itu dinamai Nasikh dan yang terdahulu dinamai Mansukh. 

Dari beberapa pengertian diatas, dapat dipahami bahwa ilmu nasikh dan mansukh adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang bermakna kontradiktif antara satu hadits dengan hadits lainnya yang diantaranya terdapat distance yang cukup lebar dan tak bisa disatukan/dikompromikan secara hukum, sehingga harus ada yang dihapuskan. Karena yang terkemudian itu dinamai Nasikh dan yang terdahulu dinamai Mansukh. [8]

B. Ilmu Nasikh Wal Mansukh Hadis



1. Syarat –syarat Nasakh



a. Adanya mansukh (yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang dihapus itu adalah berupa hukum syara’ yang bersifat ‘amali, tidak terikat atau dibatasi dengan waktu tertentu.

b. Adanya mansukh bih (yang digunakan untuk menghapus) dengan syarat datangnya dari syari’ (Rasulullah saw).

c. Adanya nasikh (yang berhak menghapus), dalam kaitan ini yaitu Rasulullah saw.

d. Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu adalah orang-orang yang sudah akil baligh atau mukallaf). Karena yang menjadi sasaran hukum yang menghapus atau yang dihapus itu adalah tertuju pada mereka.

Sedangkan ‘Abd ‘Azhim al Zarqany mengemukakan bahwa nasakh baru dapat dilakukan apabila :

a. Adanya dua hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan, serta tidak diamalkan secara sekaligus dalam segala segi.

b. Ketentuan hukum syara’ yang berlaku (menghapus) datangnya belakangan dari pada ketetapan hukum syara’ yang diangkat atau dihapus.

c. Harus diketahui secara meyakinkan perurutan penukilan hadits-hadits tersebut sehingga yang lebih dahulu dinukilan ditetapkan sebagai mansukh dan yang dinukilkan kemudaannya sebagai nasikh.[9]



2. Cara Mengetahui Nasakh wal Mansukh Hadis



Nasikh dan Mansukh dalam hadits dapat diketahui dengan salah-satu dari beberapa hal berikut ini:

a. Pernyataan dari Rasulullah, seperti sabda beliau,

كنت نهيتكم عن زيادة القبور فزوروها فانها نذكر الاخره.

“Aku dahulu telah melarang kalian untuk ziarah kubur, maka (sekarang) lakukanlah ziarah, karena dapat mengingatkan akhirat.”

b. Perkataan Sahabat


أخبرنا إسحاق إبراهيم قال أنبأنا إسماعيل وعبد الرزاق قالا حدثنا معمر عن الزهري عن عمر بن عبد العزيز عن إبراهيم بن عبد الله بن قارظ عن أبي هريرةقال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول توضئوا مما مست النار

Hadis diatas mansukh berdasarkan hadis yang juga diriwayatkan al Nasa’i:



لْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتْ النَّار تَرْكُ ا اللَّهِ كَانَ آخِرَ الأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ 



“Perkara yang terakhir dari (ketetapan) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam adalah meninggalkan wudhu dari makanan yang disentuh api.” 

Kedua redaksi hadith menjelaskan tentang makanan yang disentuh api (misal: dipanggang), namun isi dari kedua hadis tersebut bertentangan, yang pertama menerangkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan orang yang makan daging atau makanan lain yang disentuh api untuk berwudhu terlebih dahulu sebelum melaksanakan ritual salat, sedang hadis kedua menerangkan kebolehan salat setelah memakan makanan yang disentuh api, disini diketahui bahwa hadis yang kedua memposisikan diri sebagai Nasik, sedang hadis pertama mansukh.

Media pernyataan sahabat ini Ahli ushul mewajibkan adanya penjelasan bahwa hadits kedua dalam kronologisnya datang setelah hadits pertam









c. Mengetahui sejarah seperti hadits Syaddad bin Aus,

افطر الحا جم والمحجوم.

“Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya.” Dinasakh oleh hadis Ibnu Abbas, “Bawasanya Rasulullah berbekam sedangkan beliau sedang Ihram dan puasa.”

Dalam salah satu jalur sanad Syaddad dijelaskan bahwa hadis itu diucapkan pada tahun 8 hijriah ketika terjadi pembukaan kota Makkah, sedangkan Ibnu Abbas menemani Rasulullah dalam keadaan ihram pada saat haji wada’ tahun 10 hijriyah.

4. Ijma’ ulama. Seperti hadits yang berbunyi:

من شرب الخمر فا جلد وه فان عاد فيْ الرابعة فقتلوه.

“Barang siapa yang minum khamar maka cambuklah dia, dan jika kembali mengulangi yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.”

Imam An-Nawawi berkata, “Ijma’ ulama menunjukan adanya naskh terhadap hadits ini.” Dan ijma’ tidak bisa dinasakh dan tidak bisa menasakh, akan tetapi menunjukan adanya nasikh.[10]

3. Urgensi Ilmu Nasakh wal Mansukh

Untuk bisa menyelami dalamnya syariat Islam, tentu pemahaman yang mendalam dan universal terhadap hadits dan ilmu tentangnya merupakan keharusan yang tak terbantahkan. Dalam kaitan ini, ilmu nasikh dan mansukh termasuk bahagian penting dalam ilmu hadits yang harus dipahami. Karena seorang pembahas ilmu syariat tidak akan dapat memetik hukum dari dalil-dalil nash, dalam kaitan ini adalah hadits, tanpa mengethui dalil-dalil nash yang sudah dinasakh dan dalil-dalil nash yang menasakhnya.

Atas dasar itulah al Hazimy berkata : ”Ilmu ini termasuk sarana penyempurna ijtihad. Sebab sebagaimana diketahui bahwa rukun utama didalam melakukan ijtihad. Itu ialah adanya kesanggupan untuk memetik hukum dari dalil-dalil naqli (nash) dan menukil dari dalil-dalil naqli itu haruslah mengenal pula dalil yang sudah dinasakh atau dalil yang menasakhnya. Memahami khitab Hadits menurut arti literal adalah mudah dan tidak banyak mengorbankan waktu. Akan tetapi yang menimbulkan kesukaran adalah mengistinbathkan hukum dari dalil-dalil nash yang tidak jelas penunjukannya. Diantara jalan untuk mentahqiqkan (mempositifkan) ketersembunyian arti yang tidak tersurat itu ialah mengetahui mana dalil yang terdahulu dan manapula yang terkemudian dan lain sebaginya dari segi makna”.[11]

Peran penting ilmu nasikh dan mansukh ini sehingga dimasukkan dalam sarana penyempurna ijtihad cukup menyita perhatian para sahabat, para Tabi’in, dan ulama-ulama yang datang setelah mereka. Diriwayatkan dari Ali ibn Abi Thalib melalui seorang Qadli yang sedang memutuskan hukum, maka Ali bertanya kepadanya :

لناسخ اتعِرف ا؟ لا : قال وِالمنسوخ

“apakah kamu mengetahui Nasikh dan Mansukh?, Qadli berkata ; tidak”

Mendengar jawaban Qadli, Ali lantas berkata :

واهلكت هلكت

“engkau binasa dan engkau membinasakan pula orang lain”[12]

Dari riwayat diatas terlihat bagaimana ali menganggap penting ilmu nasikh dan mansukh dalam penetapan suatu hukum, tanpa ilmu nasikh dan mansukh, penetapan hukum akan berdampak celaka, baik bagi penetap hukum tersebut maupun masyarakat luas yang menjalankan ketetapan hukum itu. Karenaya, Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan peranan yang besar bagi para ahli ilmu agar pengetahuan tentang suatu hukum tidak kacau dan kabur. dan dengan ilmu nasikh dan mansukhpemahaman hadis akan menjadi benar dan tidak sempit.

Sedangkan hikmah mempelajari nasikh dan mansukh yakni :

a. Memelihara kepentingan hamba.

b. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.

c. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.

d. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika hal itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan[13]









4. Kitab-kitab Tentang Nasikh wa Mansukh

Sebenarnya ilmu nasikh dan mansukh ini sudah ada sejak periode hadis pada awal abad pertama, akan tetapi belum muncul dalam ilmu yang berdiri sendiri, kelahirannya sebagai ilmu dipromotori oleh Qatadah bin Di’amah As-Sadusi (wafat 118 H), kemudian pada rentang abad ke dua dan ketiga bangunlah ulama-ulama menulis kitab nasikh mansukh. Diantara kitab-kitab terseut yang masyhur adalah:

a. An-Nasikh wal-Mansukh, karya Qatadah bin Di’amah As-Sadusi (wafat 118 H), namun tidak sampai ke tangan kita.

b. Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya ahli hadits ‘Iraq, Abu Hafsh Umar Ahmad Al-Baghdadi, yang dikenal dengan Ibnu Syahin (wafat 385 H).

c. Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya Al-Hafidh Abu Bakar Ahmad bin Muhammad Al-Atsram (wafat 261 H), shahabat Imam Ahmad. Kitab ini terdiri dari tiga jilid kecil, juz yang ketiga bisa ditemukan di dar al kutub al mishriyyah dengan nomor 1587

d. Al-I’tibar fin-Nasikh wal-Mansukh minal-Atsar, karya Imam Al-Hafidh An-Nassabah Abu Bakar Muhammad bin Musa Al-Hazimi Al-Hamadani (wafat 584 H)

e. An-Nasikh wal-Mansukh, karya Abul-Faraj Abdurrahman bin ‘Ali, atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnul-Jauzi.[14]

5. Bentuk Nasakh Yang Berkaitan Dengan Hadits

a. Nasakh Hadist Dengan Hadist

Para ulama hadis sepakat menyatakan bahwa sabda Nabi tidak bertentangan satu dengan yang lainya, apabila terjadi pertentangan maka dalamhal ini telah terjadi kekeliruan.[15] Oleh sebab itu untuk mengatasi kekeliruan ini dibutuhkan ilmu dalam menelaah hadis. Ulama Usul al-Fiqh sepakat mengatakan hadist boleh dinasakhkan dengan hadist, yaitu mutawatir dengan mutawatir, mutawatir dengan masyhur dan mutawatir dengan ahad. Contohnya ialah hadist larangan menziarahi kubur dan menyimpan daging korban. Larangan-larangan ini pada mulanya thabit dengan hadist dan hadist sendiri yang membenarkannya. Oleh karena itu, nasakh ini dikatakan nasakh hadist dengan hadist. 



b. Nasakh Hadist Dengan al-Qur’an

Kebanyakan ulama termasuk ulama Zahiriyyah mengakui adanya nasakh hadist dengan al-Qur’an. Walau bagaimanapun, Imam al-Syafi’i tidak menerimanya. Jumhur berhujah bahawa nasakh seperti ini memang berlaku dengan mengemukakan contoh perpindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka`bah. Sembahyang dengan mengadap ke arah Baitul Maqdis sememangnya thabit tetapi dengan hadist bukan al-Qur’an. Al-Hazimi mengemukakan satu riwayat daripada al-Barra’ bin `Azib:



ان رسول الله صلى الله عليه وسلم كان اول ماقد المد ينة نزل على احداده من الاء نصاروانه صلى قبل بيت المقد س سته عشر شهرا اءوسبعه عشر شهر.

Artinya:”Daripada al-Barra’ bin `Azib bahawa perkara yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. apabila sampai di Madinah ialah menemui datuk neneknya dari kalangan Ansar dan baginda bersembahyang mengadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas bulan atau tujuh belas bulan”.

Hadist ini telah dinasakhkan oleh ayat berikut:

‰s% 3“ttR |==s)s? y7Îgô_ur ’Îû Ïä!$yJ¡¡9$# ( y7¨YuŠÏj9uqãYn=sù \'s#ö7Ï% $yg9|Êös? 4 ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ωÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# 4 ß]øŠymur $tB óOçFZä. (#q—9uqsù öNä3ydqã_ãr ¼çntôÜx© 3 ¨bÎ)ur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# tbqßJn=÷èu‹s9 çm¯Rr& ‘,ysø9$# `ÏB öNÎgÎn/§‘ 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷ètƒ ÇÊÍÍÈ 



Artinya:”Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”(QS. Al-Baqarah: 144)







c. Nasakh al-Qur’an Dengan Hadist

Jumhur ulama termasuk Zahiriyyah mengharuskan nasakh hadist dengan al-Qur’an sementara Imam al-Syafii menegahnya. Bagaimanapun golongan Hanafiyyah hanya mengharuskan nasakh al-Qur’an dengan hadist mutawatir dan masyhur kerana ianya tersebar luas di kalangan manusia. Golongan yang mengharuskannya berhujah dengan ayat wasiat kepada ibu bapa dan kaum kerabat.



=ÏGä. öNä3ø‹n=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.y‰tnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§‹Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒy‰Ï9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$Î/ ( $ˆ)ym ’n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ 



Artinya:”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 180)

Ayat ini telah dimansukhkan dengan hadist:

عن ابي امامة, قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسم يقو ل: " ان الله قد أعطى كل ذي حق حقه, فلا وصية لوارث" ابو داود .

Artinya: ”Daripada Abu Umamah, katanya: “Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: Sesungguhnya Allah s.w.t. telah menentukan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan hak masing-masing. Dengan itu, maka, tidak ada wasiat untuk waris (orang yang berhak menerima pusaka).” 

Tetapi golongan yang tidak mengharuskan bentuk nasakh ini menjawab bahawa ayat, wasiat itu sebenarnya dinasakhkan oleh ayat mawarith yaitu ayat 11 surah al-Maidah sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Abbas.

d. Apakah Semua Hadist Yang Dimansukhkan Itu Dipersetujui Oleh Semua

Oleh kerana penentuan nasakh merupakan perkara yang diijtihadkan, tentu sekali ada perbedaan pendapat ulama dalam menentukan sesuatu hadist itu dimansukhkan ataupun tidak. Tidak semua hadist yang dikatakan sebagai telah mansukh dipersetujui oleh semua pihak. Walau bagaimanapun terdapat juga, hadist yang disepakati oleh ulama sebagai mansukh. Dalam hal ini, Dr Yusuf al-Qaradhawi menyebut: “Banyak hadist yang didakwa sebagai telah dimansukhkan tetapi setelah dikaji ia tidaklah dinasakhkan. Ada hadist yang berbentuk `azimah dan ada pula yang berbentuk rukhsah. Kedua bentuk ini mempunyai hukum masing-masing pada tempatnya. Terdapat sesetengah hadist yang berkaitan dengan keadaan tertentu dan hadist yang lain pula berkaitan dengan keadaan yang lain, maka perbedaan keadaan itu bukan menunjukkan nasakh. [16



BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan 

Dari beberapa penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan :

1. Ilmu nasikh dan mansukh adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang bermakna kontradiktif antara satu hadits dengan hadits lainnya yang diantaranya terdapat distance yang cukup lebar dan tak bisa disatukan/dikompromikan secara hukum, sehingga harus ada yang dihapuskan. Karena yang terkemudian itu dinamai Nasikh dan yang terdahulu dinamai Mansukh

2. Cara mengetahui nasakh wal mansukh dengan perkataan dari Rasulullah, perkataan Sahabat, dari sejarah dan ijma’ ulama.

3. Adapun hikmah mengetahui ilmu nasakh wal mansukh adalah:

a. Memelihara kepentingan hamba.

b. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.

c. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.

d. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat.

B. Saran

Makalah yang penulis buat ini jauh dari kesempurnaan baik dari segi buku reperensi, penulisan apalagi kata-kata yang tidak terurai dengan baik. Penulis mengharap kritikan dan masukan dari pembaca untuk perbaikan makalah ini kedepanya.


DAFTAR PUSTAKA



Al Quran

Al Hadis

Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Bandung:Pustaka Setia, 2009

Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits , Jakarta: Bulan Bintang, 1980 

Fatchur Rahman, Ikhtisar Mustalahul Hadits, Bandung: Al-Ma’arif, 1970

Ibnu Musa, Muhammad Abu Bakr Zainud Dien, Al-I’tibar Fii al-Nasikh wa al-Mansukh Min al-Aatsaar, Haidar Abad- Dairatu al-ma’arif al-‘utsmaniyah 1359 H

Jalaluddin al-Suyuthi, Tadriib al-Raawib ,Beirut-Libanon :Muassasah al-Risalah, 2005

Khon Abdul Majid , Ulumul Hadis, Jakarta:Amzah, 2008 

Mahmud Yunus, Kamus arab Indonesia, Jakarta:Hidakarya Agung, 1990

Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010

Manna’ al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005

Manna’ khalil al-Qattan, Mabahis fi, Ulum Alur’an, Bogor : Pustaka Litera AntarNusa, 2009

Nasrun Harun, Ushul Fiqh I, Ciputat:Logos, 1996

Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, Ciputat: PT Mutiara Sumber Widya, 2010

T.M Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1981




























Baca Artikel Terkait: