BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam merupakan salah satu agama yang sudah diberikan Allah secara sempurna kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dan di amanahkan untuk disampaikan kepada seluruh manusia di muka bumi sebagai pegangan hidup untuk menuju keselamatan didunia maupun diakhirat nantinya. Setelah amanah itu diajarkan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, Islam sangat disukai orang yang belum mengetahui akan ajaran islam itu, bahkan musuh-musuh Nabi Muhammad pun banyak yang masuk kedalam Islam atas kepribadian Nabi Muhammad itu bisa dijadikan orang menjadi pigur dalam kehidupan disaat kapnpun.
Ajaran Islam berkembang pesat dari zaman- kezaman apalagi dizaman Rasul orang bisa bertanya dan bertemu secara langsung dengan Rasul itu sendiri. Dilanjutkan zaman Sahabat yang masih dekat dengan Nabi dan lebih tahu akan prilaku dan ajaran Islam yang sebenarnya selama ini dilakukan dan dikerjakan oleh Nabi Muhammad Shallahu Alaihi wa Sallam. Islam sampailah kepada Tabi’in dan sampai kepadar Tabi’it tabi’in diteruskan oleh generasi- generasi selanjutnya. Genersi inilah yang melanjutkan ajaran Islam sampai saat sekarang, namun setelah generasi tabit tabi’in muncullah pemikir-pemikir yang mengkaji tentang Islam dengan berbagai pendapat. Dengan munculnya berbagai pemikiran yang mengkaji tentang Islam maka penulis ingin tau lebih jauh bagaimana pemikiran ajaran Islam itu menurut Sayyid Quthub.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Biografi Sayyid Quthub?
2. Bagaimana Pendidikan Sayyid Quthub?
3. Bagaimana Pemikiran Sayyid Quthub?
C. Tujuan Masalah
Dari rumusan masalah diatas tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui Biografi Sayyid Quthub.
2. Untuk Mengetahui pendidikan Sayyid Quthub.
3. Untuk mengtahui pemikiran Sayyid Quthub
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Sayyid Quthub
Sayyid Quthub salah seorang sastrawan dimasanya dan ia termasuk orang yang mencurahkan perhatiannya untuk membela ideologi jamaah ikhwan al-Muslimin. Sayyid Quthub lahir pada Septembar 1906 pada distrik Musya Propinsi Asyut, Mesir.[1] Nama lengkapnya Sayyid bin Haji Quthub bin Ibrahim. Di desa itu ayahnya cukup terkemuka dan terkenal sebagai anggota aktif partai Nasional pimpinan Mukhtafa Kamil. Sayyid Quthub mempunyai tiga orang saudara: Hamidah, Aminah, dan Muhammad.[2]
Beliau terlahir dalam sebuah keluarga pinggiran yang lebih sering mengalami kondisi sulit. Di negeri yang besar ini, dengan paduan antara warga muslim dan Kristen.[3] Kesulitan keluarganya tidak membuatnya berputus asa untuk beraktifitas diberbagai hal baik dalam bergaul begitujuga untuk menuntut ilmu. Ketekunan dan kesabaran yang membuat hidupnya semakin semanagat dalam kelangsungan hidupnya ditempat dia berada. Apalagi dia bertempat pada satu negeri yang luas sedikit banyaknya dia akan lebih cepat mendapat pengalaman dari otang-orang yang hidup serba berbeda terutama diperkantoran apalagi dibidang sosial dan tak asing lagi dibidang politik. Lantaran anak muda ini mempunyai kecendrungan pemikiran yang jelas dan karena keuangan keluarga dialokasikan untuk mengembalikan warisan keluarga yang memaksa kakek Sayyid Quthub melepaskan tanah sebidang demi sebidang.[4]
Keluarganya tidak hanya membiarkan Sayyid Quthub begitu saja, akan tetapi dengan penuh perhatian orangtuanya bahkan kakeknyapun ikut pula memperhatikannya dan memotivasi kecerdasan yang terdapat pada diri Sayyid Quthub tersebut. Perhatian orangtua dan kakeknya membuat ia semakin semangat dalam kehidupannya apalagi kakeknya membuktikan kesimpatisannya kepada Sayyid Quthub dengan cara menjual tanahnya sebidang demi sebidang untuk keperluan Sayyid Quthub walaupn dalam keadaan terpaksa demi melanjutkan cita-cita seorang cucunya.
Pada juli 1966, Mahkamah Tinggi Meliter Mesir menjatuhkan putusan hukuman mati terhadap Sayyid Quthub. Atas perintah Presiden Gamal Abdel Naseer akhirnya pada fajar Senin 29 Agustus 1966 sejumlah peluru panas menembus tubuhnya, ia wafat seketika itu dan tak salah lagi tokoh itu ialah Sayyid Quthub.[5]
B. Pendidikan Sayyid Quthub
Kesempitan yang dialami Sayyid Quthub seperti yang sudah dijelaskan diawal tadi tetapi kebiasaan masyarakatnya berjalan seperti biasa terutama di bidang pendidikan. Kebanyakan orang-orang Mesir yang berasal dari kawasan Mesir Selatan, pada masa kecilnya Sayyid Quthub memperoleh pendidikan agama dari ayahnya dan sekolah dasar di desanya. Ketika masih kecil itulah, ayahnya telah mengarahkannya untuk menghafal al- Qur’an. Tak heran ketika ia berumur 10 tahun, kitab suci itu telah dihafal seluruhnya. Tidak aneh pula bila kelak ia menaruh perhatian terhadap al-Qur’an dan dari tangannya lahir sebuah tafsir berjudul “Fi Zailal al- Qur’an”.[6]
Kecerdasan Sayyuid Quthub sudah tampak dari usia kecilnya tentang hafalan al-Qurannya. Ia masuk madrasah Ibtida’iyah di desanya tahun 1912 dan lulus tahun 1918. Lalu ia berhenti sekolah selama dua tahun, karena revolusi tahun 1919. Berhentinya Sayyid Quthub dari sekolah bukan karena ekonominya dan juga tidak karena kemalasannya apalagi ketidak mampuan otaknya, akan tetapi penghambat pendidikan Sayyid Quthub itu yang paling fatal adalah terputusnya transportasi.
Usai merampungkan pendidikan dasarnya, ia kemudian melanjutkan pendidikan menengahnya di Kairo. Ia memasuki kota yang padat itu pada 1920, setahun setelah terjadinya suatu pemberontakan terhadap pasukan pendudukan Inggris di kota itu.[7] Dan setelah selesai baru melanjutkan ke Dar al-Ulum. Pada masa ini Sayyid banyak mendapat pengaruh dari Abbas Mahmud al-Aqqad, seorang penulis mesir terkenal yang cendrung pada pemikiran Barat.[8] Walaupun kondisi saat itu tidak lancar jalannya roda pendidikan, namun Sayyid Quthub tidak mau pasrah begitu saja akan tetapi dia berusaha untuk bisa menambah ilmu pengetahuan dan selalu mengasah cara berpikirnya. Atas kemauannya yang kuat itu maka solusi yang ia inginkan akhirnya didapatinya walaupun tidak melalui jenjang pendidikan hanya bisa ikut dengan pamannya.
Sayyid Quthub menghabiskan empat tahun berikutnya bersama seorang pamannya, yang bekerja di sebuah harian berita yang mendukung partai Wafd, di salah satu kawasan ibu kota. Tidak ada informasi penting apapun pada masa itu. Dan pada tahun 1925, ia masuk ke pendidikan penyiapan guru. Rentang waktu tahun 1928 sampai 1929, setelah tamat, ia terus menghadiri kelas-kelas persiapan di Darul ‘Ulum, yaitu institusi pendidikan baru untuk menyiapakan tenaga pengajar yang didirikan tahun 1872, untuk menggantikan kekurangan-kekurangan di Kulliyatul I’dad Al Azhar yang waktu itu dianggap konservatif.
Kemudian ia diterima secara resmi di Darul ‘Ulum pada tahun 1930 dan tamat pada tahun 1933 pada angkatan ketujuh belas. Patut disebutkan bahwa Hasan Al Bana Sendiri mengajar di Darul ‘Ulum pada periode tahun 1923-1926.[9] Setelah dia menyelasikan perkuliahannya maka dia tidak cukup sampai disitu saja, akan tetapi ia ingin menerapkan dan mengembangkan disertai pengamalan ilmu yang ada pada dirinya dapat melalui bebagai jenjang pendidikan dan pengalaman. Tahun berganti tahun usaha Sayyid Quthub belum juga tampak menonjol bahkan namanya belum begitu muncul diberbagai instansi pemerintah maupun masyarakat.
Pada enam belas tahun berikutnya, Sayyuid Quthub bekerja di sebuah instansi depertemen pendidikan Masir, ia memulai kehidupan kerjanya dengan mengajar di berbagai tempat.[10] Sayyid Quthub diangkat sebagai penilik sekolah. Saat itulah ia mulai menaroh hati kepada seorang gadis Kairo. Hatinya begitu bergelora dan ia tuliskan perasaannya itu dalam karyanya “ Kepada seseorang yang pernah menempuh jalan berdiri bersamaku hingga ia dan aku berdarah dan merasa perih. Namun, kemudian ia menuju satu jalan, sementara aku meniti jalan yang lain”. Memang, kisah cinta Quthub ini berakhir menyedihkan. Si gadis ternyata mencintai dan menikah dengan orang lain.
Tampaknya dampak kisah cintanya itu begitu mendalamnya. Akibatnya, sepanjanga hayatnya, ia memutuskan untuk hidup membujang. Dalam keadaan hati yang luka dan perih itu, Sayyuid Quthub memasuki dunia ilmu. Malah, ia melepaskan jabatannya sebagai penilik sekolah dasar, agar bisa menguak dunia ilmu dengan leluasa.[11]
Begitulah pendidikan yang di lalui oleh Sayyid Quthub mulai dari tinkat sekolah dasar bahkan pendidikan yang diberikan ayahnya untuk menghafal al-Qur’an dilanjutkan ke tingkat ibtida’iyah sampai keperguruan tinggi bahkan pendek ceritanya Sayyid Quthub sudah dikenal orang terutama di bidang pendidikan.
C. Pemikiran Sayyid Quthub
Awal muncul pemikiran Sayyid Quthub sudah dimulai dari dewasa bahkan ketika dia mau berangkat ke Amerika pikirannya semakin tajam, dan ketika itu dia berpikir “ Apakah tujuan saya pergi ke Amerika sama seperti orang-orang awam, yang cukup dengan makan dan minum? Ataukah saya harus beda dengan mereka dengan cirri-ciri tertentu? Apakah Islam, ajaran, dan niulai-nilainya berubah ketika ia berada di tempat yang penuh dengan segala macam kemudahan hidup, dan kenikmatan haram?[12] Pemikiran Sayyid Quthub sudah mulai berkembang dengan cara kepergian dia ke Amerika dia tidak mau sama dengan berpikirnya orang-orang awam, yang sifatnya biasa-biasa saja, tetapi dia berkeinginan dia pergi membuat dirinya berkepribadaian tersendiri yang membuat dia berbeda dengan orang yang sudah pergi ke Amerika pada umumnya.
Makanya ketika menginjak usianya ke sembilan belas, ia hidup dalam ketidaktentuan. Di akuinya bahwa, masa ini adalah masa kekafiran. Dalam sebuah ungkapannya, “Aku tetap dalam kekafiran selama sebelas tahun, sampai akhirnya aku menemukan jalan Allah dan merasakan ketenangan iman”.[13] Kelulusan dari salah satu Universitas ketika itu, bahkan dia ikut serta dengan kelompok-kelompok yang sifatnya membela Islam maka sedikit banyaknya ia akan mempengaruhi cara berpikirnya dan pengamalan yang dilakukannya dalam kehidupannya sehari-hari.
Pada 1946 terbit karya ‘Abdullah ‘Ali al-Qashimi, “Hadzihi Hia al-Aghlal” . Dalam karyanya itu al-Qashaimi, antara lain menyatakan, semangat keagamaan bertentangan dengan semangat kehidupan. Menurut dia, orang yang sangat sadar agama tidak mungkin menikmati sukses duniawi. Al-Aqqad dan beberapa penulis Mesir memuji karya al-Qashimi itu. Lain halnya dengan Sayyid Quthub. Kini, sikapnya bertolak belakang dengan pandangan al-Aqqad. Ia mengkritik pedas “Hadzihi Hia al-Aghlal” Menurut Quthub, karya itu keliru dalam memahami “hakekat agama”.[14] Pertentangan pendapat mereka berdua membuat Sayyid Quthub ingin memehami secara mendalam tentang agama itu.
Pada tahun 1948, Sayyid Quthub meninggalkan Kairo menuju Amerika sebagai utusan Menteri Pendidikan untuk melanjutkan studi.Ternyata perjalanan itu merupakan awal perjalanannya kembali kepada Allah. Perjalanannya diatas kapal mengarungi laut tengah dan Samudra Atlantik. Diatas kapal itu ia mengalami beberapa kejadian, sehingga mengukirkan bekas-bekas yang sangat mendalam untuk kelanjutan hidupnya dalam menentukan jalan. Begitu sampai dan menapakkan kakinya di Amerika, ia langsung mengtahui jalan yang harus ditempuh, menentukan tugas yang diemban, dan menentukan jalan baru yang akan dilalui[15] perjalanannya yang mendorong pikirannya semakin tajam terutama dalam agama dengan berbagai pengalaman yang dijalaninya dalam kapal selama dalam penyeberangan itu tumbuh berbagai ilustrasi yang membuat pikirannya untuk melaksanakan sesuatu.
Terpikir dalam benak kami untuk melakukan shalat Jumat diatas kapal ditengah-tengah Samudra Atlantik Allah Maha Tahu bahwa mengadakan shalat Jumat diatas kapal saat itu bukanlah motif utama kami. Akan tetapi lebih didorong semangat keislaman kami menanggapi sikap aktif seorang misionaris di atas kapal itu yang menyeru para penumpang untuk masuk Kristen.[16] Setelah melaksanakan shalat jumat itu muncul lagi dalam pikiran Sayyid Quthub seperti kalimat diawal tadi tentang kepergiannya ke Amerika apakah sama dengan orang awam. Ketika itulah Sayyid Quthub memilih untuk menjadi pribadi muslim yang konsekwen terhadapa agamanya. Dalam pikirannya Allah mengujinya dalam berpikir apakah ia benar-benar dalam pilihannya atau hanya sekedar suara hatinya. Begitulah beberapa pemikiran yang ada pada diri Quthub.
Pada awalnya tokoh-tokoh Mesir termasuk pengagum Barat termasuk Sayyid Quthub, tapai setelah ia menyaksikan langsung di Amerika dari dekat akhirnya Sayyid Quthub berubah untuk menyerang Barat. Perubahan pemikiran Sayyid Quthub ini menurut Haddad ada dua hal:
Pertama, Ia melihat Barat membela dan mendukung berdirinya Negara zionis Israil, 1948. Ini dianggapnya sebagai sebuah penolakan terhadap hak-hak bangsa Arab. Ia melihat bagaimana dukungan luas pemerintah dan pers Amerika terhadap Israel. Kedua, Ia menyaksikan langsung keringnya peradaban Barat dari nilai-nilai spiritual. Sayyid Quthub menyaksikan sendiri orang-orang berada di gedung gereja. Inilah yang membuat Sayyid Quthub berubah dan menoleh pada Islam serta menjadikannya sebagai ideologi.[17] Pemikiran yang dihasilkan oleh tiga aliran yang sangat mempunyai kecendrungan untuk menyimpang dari koridor nilai Islam. Maksud koridor disini adalah sebagaimana yang banyak disepakati oleh pemahaman ulama baik salaf maupun kalaf. Pemikiran tersebut adalah Aliran wahabiyah adalah pengikut dari Muhammad bin Abdul Wahab An-Najdi (1206 H). Sedang Partai ikhwan al-muslimin adalah pengikut Sayyid Quthub Al-Misri (1387 H) dan Hizbu Tahrir adalah pengikut dari Taqiyyuddin An-Nabhani Al-Palistini (1400H).[18]
Disinilah Sayyid Quthub memandang Islam itu sebagai agama yang sempurna, bahkan semua permasalahan manusia itu sudah diatur dalam Islam, begitu juga masalah politik ketatanegaraan.
Islam mempunyai karakteristik yang tidak dimiliki oleh ideologi-ideologi ciptaan manusi. Ia memaparkan tujuh karakteristik konsepsi Islam tersebut yaitu:
Pertama, rabbaniyah (ketuhanan). Menurut Sayyid Quthub, rabbaniyyah merupakan konsep pertama dan utama yang menjadi sumber bagi karakteristik-karakteristik lainnya. Islam bersumber dari Al- Quran yang berasala dari Allah. Seabagai ajaran dari Tuhan. Manusia hanyalah menerima, memahami, beradabtasi dengannya, dan menerapkan tuntunannya dalam kehidupan mereka. Konsep rabbani yang diterima manusia dari Allah merupakan karunia laduni yang murni. Karena itu, orang-orang yang berusaha menciptakan konsep-konsep akidah menurut kemauan mereka dan menciptakan filsafat sendiri untuk menafsirkan realitas adalah orang-orang yang tersesat. Sayyid Quthub mencontohkannya pada gereja Barat yang telah mencampuradukkan ajaran Nasrani murni dengan pemikiran-pemikiran mereka. Mereka menurut Sayyid Quthub, melakukan penambahan, takwil, penyelewengan unsur-unsur pokok akidah Kristen yang rabbani dengan pemikiran akal.
Kedua, konstan. Dalam Islam, ada nilai-nilai universal yang bersifat konstan dan tidak boleh diubah-ubah. Ia tidak berkembang dengan berkembangnya fenomena-fenomena kehidupan. Nilai-nilai inilah yang mengendalikan gerak kemanusiaan dan perkembangan kehidupan manusia, sehingga mereka tidak tersesat. Pentingnya konsep yang konstan ini adalah supaya ada timbangan yang tetap yang menjadi rujukan manusia, sehingga bisa menimbangnya, di samping supaya tetap ada kendali bagi pemikiran manusia. Ini merupakan kebutuhan manusia untuk menjaga jiwa dan kehidupan mereka agar bergerak dan berputar pada proses yang telah ditetapkan. Dengan demikian, jiwa dan kehidupan manusia akan berjalan sesuai dengan sunah (hukum alami)
Ketiga, menyeluruh (universal). Karena Islam berasal dari Allah, maka ia bersifat universal, Islam terlepas dari segala kekurangan, kelemahan,kelalaian, dan kontradiksi. Bagi Sayyid Quthub, universalitas Islam ini berarti bahwa Islam tidak hanya mementingkan persoalan-persolan materil duniawi, tetapi juga persoalan-persoalan spiritual ukhrawi. Universalitas Islam tidak hanya memeberikan keterangan kepada fitrah manusia karena ia menghadapi fitrah tersebut dengan tabiatnya yang padu, tidak membebaaninya secara paksa dan tidak memecah belah eksistensinya, tetapi pada saat yang sama juga melindungi fitrah tersebut dari kecenderungan dari Allah. Ia menjaga agar tetap berada dalam batas-batas sistem dan syariat Allah dalam segala aspek kehidupan.
Keempat, Keseimbangan. Dalam cirri ini ada doktrin Islam yang bisa dipahami dan ada pula yang tidak bisa dipahami. Menurut Sayyid Quthub, sebuah akidah yang tak mengandung hal-hal gaib dan tak diketahui manusia, yang tak mengandung hakikat yang lebih besar dari yang sanggup dipahami manusia, bukanlah akidah.
Kelima, keaktifan. Dalam karakteristik ini agama yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, ini mengajarkan kepada ummatnya untuk bersikap aktif dalam kehidupan dunia. Manusia harus menciptakan kerja-kerja kreatif dan mengadakan gerakan positif dalam kehidupan riil mereka, karena manusia diciptakan Allah sebagai khalifah-Nya di muka bumi sebagai khalifah, manusia harus senantiasa progresif menciptakan kemajuan bagi kehidupan mereka. Sejauh tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.
Keenam, realistis. Islam berpijak pada hal-hal yang empiris realistis. Tidak ada ajaran-ajaran Islam yang tidak bersifat riil. Karena itu, ajaran Islam selalu sesuai dengan kondisi riil manusia dan Islam tidak membebankan sesuatu yang berada diluar kemampuan manusia.
Ketujuh, tauhid. Dokrin ini sebenarnya merupakan ajaran universal yang dibawa oleh setiap rasul Tuhan. Ajaran ini mengisyaratkan bahwa tidak ada hakim selain Allah, tidak ada pembuat syara’ selain Allah dan tidak ada pengatur kehidupan maniusia dan hubungan-hubunagan serta ikatan-ikatan mereka dengan alam, makhluk hidup, dan sesame mereka selain Allah. Dia hanya menerima Allah sebagai segala pengarahan dan syariat, system kehidupan dan tatanan sosial.[19] Dari tujuh karakteristik konsep islam menurut Sayyid Quthub pada umumnya selalu menkaitkan antara akidah dengan manusia ditambah lagi syariat. Maknya Sayyid Quthub menolak akan kedaulatan rakyat.
Baginya manusia hanyalah pelaksana kedaulatan dan hukum Tuhan dan tidak dibenarkan mereka menjalankan hukum, politik, dan sebagainya yang bertentangan dengan agama dan ajaran dan hukum Tuhan. Dari pendapat ini, Sayyid Quthub berpendirian bahwa hanya kaum muslimin saja yang dianggap sebagai kahalifah Allah. Karena itu, hak memilih dan dipilih sebagai kepala negara dan anggota-anggota majelis syura hanya dimiliki oleh ummat Islam saja. Ini melahirkan konsekuensi bahwa dalam Negara Islam terdapat dua warga negara, yaitu muslim dan kafir dzimmi.[20] Makanya Sayyid Quthub lebih dominan ia menekankan hanya Islam yang mengikat ummatnya dalam satu kesatuan negara yang supernasional.
Pemikiran Sayyid Quthub, salah satu yang paling berpengaruh bahwasanya; “ Barangsiapa yang memutuskan hukum menjalankan pemerintahan) dengan hukum selain Al-Quran berarti telah mentuhankan dirinya sendiri dan sekaligus menafikan ‘uluhiyah ‘(ketuhanan) dari Allah Subahana WaTa’ala”. Hal ini berlaku umum, walaupun keputusan hyukum yang diambil hanya dalam satu kasus hulum. Pemikiran Sayyid Quthub ini berpijak kepada interprestasi beliau kepada surah Al Maidah ayat 44 sebagai berikut:[21]
4 `tBur óO©9 Oä3øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÍÍÈ
Artinya: barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (Al Maidah:44)
Jadi menurut Sayyid Quthub orang-orang yang memutuskan satu perkara baik itu instansi begitu juga satu Negara maka dicap olehnya kafir. Aliran ini kemudian menjustifikasi hakim darahnya halal untuk dibunuh, berikut orang-orang yang berada dibawah perlindungan dari payung hukum tersebut. Interpretasi beliau dalam hal ini bertolak belakang dari hasil penafsiran dari Abdullah ibnu Abbas, seorang anak paman Rasulullah. Penafsiran Sayyid Quthub jelas bertolak belakang dengan Abdullah ibnu Abbas terutama kehalalan darah seorang hakim yang memutuskan satu perkara yang tidak berasal dari Allah. Keputusan yang datang dari selain Allah Sayyid Quthub tidak mengakui kebenarannya.
Sayyid Quthub menolak kedaulatan rakyat. Baginya, manusia hanyalah pelaksana kedaulatan dan hukum Tuhan, dan tidak dibenarkan mereka menjalankan hukum, politik, dan sebagainya yang bertentangan dengan ajaran dan hukum Tuhan. Dari pendapat ini Sayyid Quthub berpendirian bahwa hanya kaum muslimin saja sebagai khalifah Allah. Bahkan Sayyid Quthub tidak mempedulikan terhadap bangsa muslim yang mengucapkan dua kalimat syahadat, shalat, puasa, haji, dan menunaikan zakat hartanya. Dalam pandangan Sayyid Quthub, meskipun mereka telah menunaikan rukun Islam, mereka tetap saja kafir, karena mereka tidak melakukan oposisi terhadap pemerintah dan bahkan justru loyal kepadanya seperti mau mengikuti pemilihan umum yang menghasilkan perundang-undangan urusan dunia.[22] Dengan pemikiran seperti ini maka jelas sekali muncul sikap yang dianut oleh orang-orang Kharai dimasa yang lalu. Bahkan pemikiran ini ditudingkan kepada Sayyid Quthub dengan nama Khawarij Harqhus abad sekarang.
Datanglah Sayyid Quthub, Harqhush abad kedua puluh dengan membawa tiori hakimiyyah. Sayyid Quthub yang mengikuti jalan Khawarij, ia mengkafirkan ummat Islam, ia menghalalkan darah mereka bahkan ia membolehkan membunuh anak-anak kecil kaum muslimin, menawan istri-istri mereka dan merampas harat benda mereka, ketika menetapkan bahwa mereka termasuk umat jahiliyah, dengan mengklaim bahwa ummat Islam abad keduapuluh berada pada kondisi jahiliyah.
Setelah keluar dari pemikiran Khawarij , Sayyid Quthub mengarahkan seluruh daya, tenaga dan pikirannya untuk gerakan al-Ikhwan al-Muslimun. Gerakan ini menandai lahirnya keyakinan baru, penegasan diri, yang dirangkai dengan tekad menolak pengaruh budaya, politik, dan ekonomi barat.[23] Pada 1954 ia telah diangkat sebagai pimpinan redaksi surat kabar Al-ikhwan al-Muslimin, namun ia tidak sampai menduduki jabatan tertinggi dalam gerakan itu. Sebab ia belum lama bergabung dengan gerakan itu. Pada juli 1954 terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Gamal Abdul Nasser, namun gagal. Sebagai ekornya, al-Ikhwan al-Muslimun dituduh sebagai biang percobaan pembunuhan itu. Nasser pun memerintahkan penangkapan besar-besaran terhadap para tokoh al-Ikhwan, termasuk Sayyid Quthub. Sejumlah tokoh gerakan al-Ikhwan al-Muslimin dijatuhi hukum mati. Sayyid Quthub sendiri dijatuhi hukuman kerja paksa selama 15 tahun. Selama menjalani hukuman itu lahir karya-karyanya, anatara lain al-Islam wa al-Salam al-Alami, Hadza al-Din, al- Mustaqbal li Hadz al-Din dan karya tafsir al-Qur’annya yang terkenal fi Zilal al-Qur’an.[24] Hukuman yang diberikan kepada Sayyid Quthub tidaklah membuat dia untuk diam berbicara dan berpikir, akan tetapi semakin dihukum dia semakin bersemangat dia untuk membuat karya-karya yang membuatnya selalu hadir di tengah masyarakat walaupun dirinya tidak bebas berada bersama masyarakat namun pemikirannya tetap bergabung dan menyatu dengan masyarakatnya. Bahkan tafsirnya bertabur di kalangan masyarakat salah satu penapsirannya yang berkaitan alam akhirat.
Dari sinilah Al-Qur’an memindahkan mereka kedalam kancah pemikiran tentang alam akhirat, sebuah pemikiuran yang belum pernah terlihat dalam sejarah ummat manusia, bahkan belum pernah terlintas dalam angan mereka sejak pemikiran itu tumbuh dikalangan orang-orang mesir kuno. Kiranya, sajian tentang pemandangan-pemandangan hari kiamat ini bisa menjelaskan kepada hari akhirat dengan pertolongan Islam. Hingga serta merta mereka beriman kepada alam akhirat, surga dan neraka. Pahala dan siksa, keadailan yang mutlak dan keluasan rahmat Tuhan, dalam gambaran yang lebih paripurna dan utuh diibanding sergala gambaran terdahulu dalam sejarah panjang umat manusia.[25] Inilah salah satu tafsir Surat Al-Jaziyah ayat 24 yang diambil dari penafsiran Sayyuid Quthub.
Sayyid Quthub terkurung dibalik trail besi selama kurang lebih 10 tahun. Pada 1964, atas upaya presiden Irak ‘Abdus Salam ‘Arif yang menemui presiden Nasser di Kairo, dan Sayyid Quthub pun dibebaskan.[26] Kebebasan Sayyid Quthub tidak merubah prinsipnya terhadap pemikirannya yang sudah menyatu terhadap al-Ikhwan al-Muslimin. Keterikatan hatinya terhadap gerakan ini membuat pemerintahan selalu mengawasinya baik dalam berbagai gerakan dan langkah-langkahnya didalam pemerintahan ketika itu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sayyid Quthub lahir pada Septembar 1906 pada distrik Musya Propinsi Asyut, Mesir. Nama lengkapnya Sayyid bin Haji Quthub bin Ibrahim. Di desa itu ayahnya cukup terkemuka dan terkenal sebagai anggota aktif partai Nasional pimpinan Mukhtafa Kamil. Sayyid Quthub mempunyai tiga orang saudara: Hamidah, Aminah, dan Muhammad
Salah satu pemikiran Sayyid Quthub yang paling berpengaruh adalah : “ Barangsiapa yang memutuskan hukum menjalankan pemerintahan) dengan hukum selain Al-Quran berarti telah mentuhankan dirinya sendiri dan sekaligus menafikan ‘uluhiyah ‘(ketuhanan) dari Allah Subahana WaTa’ala”.
Sayyid Quthub menolak kedaulatan rakyat. Baginya, manusia hanyalah pelaksana kedaulatan dan hukum Tuhan, dan tidak dibenarkan mereka menjalankan hukum, politik, dan sebagainya yang bertentangan dengan ajaran dan hukum Tuhan. Dari pendapat ini Sayyid Quthub berpendirian bahwa hanya kaum muslimin saja sebagai khalifah Allah. Bahkan Sayyid Quthub tidak mempedulikan terhadap bangsa muslim yang mengucapkan dua kalimat syahadat, shalat, puasa, haji, dan menunaikan zakat hartanya. Dalam pandangan Sayyid Quthub, meskipun mereka telah menunaikan rukun Islam, mereka tetap saja kafir, karena mereka tidak melakukan oposisi terhadap pemerintah dan bahkan justru loyal kepadanya seperti mau mengikuti pemilihan umum yang menghasilkan perundang-undangan urusan dunia.
Selama menjalani hukuman itu lahir karya-karyanya, anatara lain al-Islam wa al-Salam al-Alami, Hadza al-Din, al- Mustaqbal li Hadz al-Din dan karya tafsir al-Qur’annya yang terkenal fi Zilal al-Qur’an.
Hukuman yang diberikan kepada Sayyid Quthub tidaklah membuat dia untuk diam berbicara dan berpikir, akan tetapi semakin dihukum dia semakin bersemangat dia untuk membuat karya-karya yang membuatnya selalu hadir di tengah masyarakat walaupun dirinya tidak bebas berada bersama masyarakat namun pemikirannya tetap bergabung dan menyatu dengan masyarakatnya. Bahkan tafsirnya bertabur di kalangan masyarakat salah satu penapsirannya yang berkaitan alam akhirat.
B. Saran
Makalah yang penulis buat ini jauh dari kesempurnaan baik dari segi buku reperensi, penulisan apalagi kata-kata yang tidak terurai dengan baik. Penulis mengharap kritikan dan masukan dari pembaca untuk perbaikan makalah ini kedepanya.
DAFTAR PUSTAKA
Al Quran in Word
Al Hadis
Antony Black, Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, terj. Abdullah Ali dan Mariana Ariestyawati, Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2006
Ali Syu’aibi dan Gills Kibil, terj. Muhtarom, Meluruskan Radikalisme Islam, Pustaka Azhary Jakarta, 2004
Ahmad Barmawi, 118 Tokoh Muslim Genius Dunia, Restu Agung Jakarta, 2006
Ali Syu’aibi, Sayyid Quthub inilah Baginya Terorisme, Pengkafiran dan Pertumpahan Darah, Duta Aksar Mulia, Surabaya, Cet ke-2, 2010
Muhammad Iqbal, Pemikiran Politik Islam Dari masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, Prenada Media Group Jakarta, 2010
Muhammad bin Abdul Aziz Al Misnad, Kafilah orang-orang Bertaubat, terj. Sarwedi Hasibuan, Aqwam, Solo, 2006
Sayyid Quthub, Bukti-bukti Hari Kiamat dalam Al-Qur’an, terj. Zainal Abidin, Pustaka Setia Bandung,
Saiful Hadi, 125 Ilmuan Muslim Pengukir Sejarah, PT Intimedia Cipta Nusantara, Jakarta, 2
[1] Ali Syu’aibi dan Gills Kibil, Meluruskan Radikalisme Islam, terj. Muhtarom, ( Jakarta: Pustaka Azhary, 2004), hlm. 14
[2] Saiful Hadi, 125 Ilmuan Muslim Pengukir Sejarah,( Jakarta: PT Intimedia Cipta Nusantara, 2009), hlm. 451
[3] Ali Syuaibi Gill Kibil, Op Cit., hlm. 14
[4] Ibid,
[5] Ahmad Barmawi, 118 Tokoh Muslim Genius Dunia, (Jakarta: Restu Agung, 2006), hlm. 41-42
[6] Saiful Hadi, Op Cit, hlm. 451
[7] Ahmad Barmawi, Op Cit., hlm. 42
[8] Muhammad Iqbal, Pemikiran Politik Islam Dari masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta : Prenada Media Group, 2010), hlm. 209
[9] Ali Syu’aibi, Op Cit, hlm. 15
[10] Ibid.
[11] Saiful Hadi, Op.Cit., hlm. 451-452
[12] Muhammad bin Abdul Aziz, Kafilah Orang-orang Bertaubat, Terj. Sawadi M. Amin Hasibuan, ( Solo: Aqwam, 2006), hlm. 35
[13] Ibid,
[14] Saiful Hadi, Op.Cit, hlm. 453
[15] Muhammad bin Abdul Aziz, Op.Cit., hlm. 36
[16] Ibid,
[17] Muhammad Iqbal, Op.Cit, hlm. 210
[18] Ali Syu’aibi, Op Cit., hlm, 134
[19] Ibid, hlm. 210-213
[20] Ibid., hlm. 214
[21] Quran in Word (Al Maidah:44)
[22] Ali Syu’aibi, Sayyid Quthub inilah Baginya Terorisme, Pengkafiran dan Pertumpahan Darah, (Surabaya:Duta Aksar Mulia Cet ke-2, 2010), hlm. 91
[23] Antony Black, Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, terj. Abdullah Ali dan Mariana Ariestyawati, (Jakarta:Serambi Ilmu Semesta, 2006), hlm. 574
[24] Saiful Hadi, Op.Cit., hlm. 455
[25] Sayyid Quthub, Bukti-bukti Hari Kiamat dalam Al-Qur’an, terj. Zainal Abidin, ( Bandung :Pustaka Setia, 1995), hlm. 32-33
[26] Saiful Hadi, Op.Cit, hlm, 456