-->

Sabtu, 11 November 2023

Mengetahui mashdar (sumber) dan manhaj (metode) pengambilan akidah ahlusunnah wal jama’ah –atau yang dikenal dengan manhaj talaqqi- merupakan hal yang sangat urgen. Kesalahan dalam hal ini akan melahirkan penyimpangan. Munculnya kelompok kelompok sesat dalam tubuh umat islam tidak lain disebabkan karena kesalahan dalam pengambilan sumber. Baik memang sumbernya yang salah, atau sumbernya benar namun cara pengambilannya yang salah.

Syiah Rafidhah1 menyimpang karena menjadikan imam mereka yang dua belas sebagai sumber ma’shum (bebas dari dosa) seperti halnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Sufi pun demikian, menjadikan ilham dan mimpi mimpi laksana wahyu yang harus diikuti. Atauahlul kalam seperti jahmiyah, mu’tazilah maupun Asy’ariyah2 yang menjadikan akal sebagai sumber pasti yang menghukumi wahyu. Begitu juga dengan kelompok kelompok sempalan lainnya.

Adapun Ahlusunnah, mereka memilikimanhaj talaqqi yang jelas. Yang telah diwarisi secara turun temurun dari generasi ke generasi. Sehingga tidak kita temukan adanya perbedaan akidah di antara mereka.3

Dalam manhaj Ahlusunnah, sumber ilmu akidah berbeda dengan sumber ilmu fiqih. Ilmu akidah bersifat tauqifi, tidak ada ruang untuk ijtihad. Ilmu akidah juga tidak menggunakan qiyas, mashlahat mursalah, istihsan, istishab dan sebagainya4sebagaimana ilmu fiqih. Akidah dibangun diatas ketundukan terhadap wahyu, baik berupa al qur’an maupun As Sunnah.5Yang dengan wahyu ini kemudian kita mengetahui nilai akal dan fitrah manusia sebagai alat untuk berijtihad memahaminash-nash yang ada dan bagaimana mengamalkannya. Bukan kemudian menolak nash dengan alasan berbenturan dengan akal. Karena keduanya merupakan pemberian dari Allah ta’ala. Maka tidak mungkin ada pertentangan antara keduanya.

Al Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ sesuai pemahaman Salafus Sholih

Al Qur’an dan Sunnah serta ijma paraulama merupakan sumber asas dalam pengambilan akidah6. Allah ta’alaberfirman (yang artinya), ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs. An Nisa : 59).

Al Qur’an merupakan sumber utama. Didalamnya terdapat petunjuk bagi orang beriman. Siapa yang berpegang teguh kepadanya, dia tidak akan tersesat dan celaka. Sebagaimana Ibnu AbbasRadhiyallahu ‘Anhu berkata, “Allah ta’ala telah menjamin siapa yang membaca al Qur’an dan mengamalkan isinya tidak akan tersesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat”.7

Dan Allah ta’ala telah menjamin akan keotentikannya hingga hari kiamat. Tidak akan terjadi adanya penyelewengan berupa penambahan maupun pengurangan terhadap Al Qur’an, sebagaimana terjadi dengan kitab kitab suci sebelumnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “sesungguhnya kamilah yang menurunkan Ad Dzikro (Al Qur’an) dan kamilah yang akan menjaganya” (Qs. Al Hijr : 9),

Dalam memahami Al Qur’an para ulama memiliki metode tafsir yang dikenal dengan tafsir bil ma’tsur. Para ulama mengatakan, “sebaik baik metode penafsiran adalah tafsir Al Qur’an dengan Al Qur’an, kelau tidak ada maka dengan Sunnah, kalau tidak ada maka dengan perkataan para sahabat yang sahih, dan jika tidak ada (juga) maka dengan kesepakatan para tabi’in”.8

Adapun As Sunnah, maka Allah ta’ala telah menjadikannya sebagai pendamping daripada Al Qur’an. Allah ta’ala berfirman, “Dan Dia mengajarkan mereka al Kitab (Al Qur’an) dan Al Hikmah (Sunnah)” (Qs. Al Baqoroh : 129). Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “sesungguhnya aku diberi Al Qur’an dan yang semisalnya (As Sunnah)9.

Allah mensejajarkan keduanya dikarenakan baik Al Qur’an maupun As Sunnah berasa dari wahyu.10 As Sunnah merupakan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Yang mana Allah telah menjaga beliau dari kesalahan dalam menyampaikan risalah Nya. Sehingga semua perkataan beliau wajib diterima. Dan tidak ada yang menyandang sifat ini setelah beliau Shallallahu ‘alaihi Wasallam.

Kemudian para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum Ajma’in telah bersungguh sungguh menyampaikan dan menyebarkan As Sunnah yang mereka dapatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallamkepada generasi selanjutnya. Begitu juga seterusnya secara turun terumurun dari generasi ke generasi kaum muslimin berusaha menjaga dan menyebarkan As Sunnah. Sehingga sampai pada masa penulisan, As Sunnah menjadi terbukukan dalam kitab-kitab sunnah seperti Sahih Bukhari, MuslimSunan An Nasa’i dan sebagainya.

Namun sebagiamana diketahui, tidak semua hadis yang ditulis dalam buku buku sunnah bernilai sohih bersumber dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasalam. Adanya campur tangan para pendusta dalam periwayatan hadis menjadi sebab munculnya hadis hadis lemah (dha’if) bahkan palsu (maudhu‘). Yang karenanya para ulama sangat berhati hati dalam mengambil hadis sebagai sumber, terutama dalam masalah akidah. Merekapun berusaha membedakan antara hadis hadis yang sohih dengan yang dhoif melalui metode takhrij yang mu’tabar di kalangan ulama hadis. Dan Ahlussunnah -dalam kaitannya dengan mashdar talaqqi- hanya menjadikan hadis sohih sebagai sumber akidah, tanpa membedakan antara hadis yang bersifat ahad maupun mutawatir.

Dalam memahami Al Qur’an maupun As Sunnah para ulama memahaminya sebagaimana yang nampak secara zahir11, hal ini dikarenakan ajaran islam yang jelas, yang mudah dipahami bahkan oleh orang awam sekalipun. Tanpa memerlukan takwilan-takwilan makna sebagaimana yang dilakukan oleh ahlul bid’ah seperti jahmiyah, mu’tazilah dan yang lainnya. Rasululah Shallallahu ‘Alaihi Wasallambersabda, “telah aku tinggalkan kalian diatas sesuatu yang sangat jelas dan terang, yang (saking jelasnya) malamnya seperti siangnya, tidak menyimpang darinya kecuali binasa12

Kemudian dalam memahami Al Qur’an maupun As Sunnah mereka kembalikan kepada pemahaman pendahulu merekasalafussalih, terutama para Sahabat NabiShallallahu ‘Alaihi Wasallam.13 Hal ini dikarenakan wahyu turun di tengah tengah mereka dan dengan bahasa mereka. Menjadikan merekalah orang yang paling mengerti tentang makna yang benar dari Al Qur’an dan Sunnah. Selain itu juga mereka semua kredibel (uduul)14. Sehingga kepercayaan penerus estafet ajaran nabi berupa Al Qur’an dan Sunnah diamanatkan kepada mereka.

Catatan kaki

1 Pembahasan tentang masdhar talaqqiSyiah Rofidhoh bisa dibaca di bukuMashodir At Talaqqi Wa Ushulul Istidlal Indal Imamiyah (Dar Tadmuriyah, Cet 1; 1429 H). Merupakan risalah magister Dr Iman Solih Al Ulwani (Jamiah Ummul Quro, Makkah)

2 Pembahasan Masdar talaaqi menurutasyairoh bisa dibaca dalam kitab Manhajul Asyairoh Fil Akidah (Darus Sofwah, Cet 1:1434 H), Dr. Safar Hawali, Hal. 42-47

3 Kecuali memang ada beberapa perbedaan kecil yang bersifat furu’ dalam ilmu akidah, seperti perbedaan antara ibnu Abbas dan Aisyah Radhiyallahu ‘Anhum dalam masalah apakah Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melihat Allah dalam peristiwa Isro Mi’roj.

4 Qiyas, Mashlahah Mursalah, istishab dll termasuk dalil yang digunakan oleh para ulama ushul untuk menyimpulkan suatu hukum, bisa dipelajari di kitab kitab ushul fiqh.

5 Lihat Muqoddimah wa Qowaid Manhajis Salaf Fil ‘Aqaid, Dr. Nasir Al Aql (Darul Fadhilah, Cet 1; 1436 H) Hal. 74

6 Lihat : Manhajut Talaqqi Wal Istidlal baina Ahlusunnah Wa Ahlul Bid’ah (Majallatul Bayan, Cet 3; 1422 H), Ahmad bin Abdurrahman As Shuwaiyan, Hal. 29

7 Dikeluarkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrok dan disohihkan oleh Ad Dzahabi. Lihat Syarah akidah At Tohawiyah, Ibn Abil Izz. Hal. 126

8 Lihat : Muqoddimah tafsir, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Syarah Syaikh Al Utsaimin (Madarul Wathon Lin Nasyr, 1433 H) Hal. 130-132

9 Hr. Ahmad (6/8) Abu Dawud (4604) dan Tirmidzi (2665)

10 Lihat Qs. An Najm : 3

11 Lihat pembahasan tentang hal ini dalam Risalah Tadmuriyah, Ibnu Taimiyah (Darul Minhaj, Riyadh Cet I; 1431 H) Kaedah ke 3, Hal. 69-78

12 HR Ibnu Majah (5) dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Sahihah (2/308)

13 Sebagaimana Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu ketika bercerita tentang sifat para sahabat berkata, “mereka adalah umat ini yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling tidak berlebih lebihan (takalluf), paling lurus petunjuknya, paling bagus keadaannya, mereka adalah suatu kaum yang Allah telah memilih mereka menjadi sahabat sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam” (Jami’ Bayanul Ilmi (2/947)-dinukil dari Al Madkhol Ila Tsaqofah Islamiyah, Hal. 88).

14 Tentang kredibelitas (‘adalah) sahabat bisa dibaca di kitab ‘Adaalatus Shohaabah Indal Muslimiin, Muhammad Mahmuud Lathiif. (Maktabah Rusyd, Riyadh).

Penulis: Abdullah Hazim

Source: Muslim.Or.Id




Baca Artikel Terkait: