-->

Jumat, 12 Juni 2015

Allah Ta’ala berfirman,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (QS. Al Baqarah [2]: 185).

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala telah mewajibkan untuk berpuasa di bulan Ramadhan dari awal sampai akhir bulan. Awal bulan Ramadhan diketahui dengan dua metode:

Metode Pertama, Melihat Hilal Bulan Ramadhan

Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلَالَ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ

“Jika kalian melihat hilal (bulan Ramadhan), maka berpuasalah. Jika kalianmelihat hilal (bulan Syawwal), maka berbukalah (berhari rayalah). Jika hilal tidak terlihat, maka genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari)” [1]

Imam Ahmad dan An-Nasa’i meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,beliau bersabda,

لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ، وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ

“Janganlah kalian berpuasa sampaimelihat hilal (bulan Ramadhan). Dan jangan berbuka (berhari raya) sampaimelihat hilal (bulan Syawwal).” [2]

Ath-Thabrani meriwayatkan dari Thalq bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu,

إِنَّ اللهَ جَعَلَ هَذِهِ الْأَهِلَّةَ مَوَاقِيتَ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا

“Sesungguhnya Allah menjadikan hilal ini sebagai tanda-tanda waktu. Jika kalian melihatnya (hilal bulan Ramadhan), maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya (hilal bulan Syawwal), maka berbukalah (berhari rayalah).” [3]

Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu ‘Umarradhiyallahu ‘anhuma,

جَعَلَ اللهَ الْأَهِلَّةَ مَوَاقِيتَ لِلنَّاسِ، فصُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ

“Allah menjadikan hilal sebagai tanda waktu bagi manusia. Berpuasalah karena melihatnya (hilal bulan Ramadhan). Dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya (hilal bulan Syawwal). [4]

Dalam hadits-hadits yang mulia ini, wajibnya berpuasa di bulan Ramadhan dikaitkan dengan melihat hilal bulan Ramadhan. Juga terdapat larangan untuk berpuasa tanpa melihat hilal. Allah Ta’alatelah menjadikan hilal (bulan) sebagai tanda (petunjuk) waktu bagi manusia, yang dengan hilal tersebut diketahuilah waktu-waktu ibadah dan muamalah mereka. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, ‘Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji’” (QS. Al Baqarah [2]: 189).

Hal ini adalah rahmat Allah Ta’ala dan kemudahan bagi umat manusia, ketika mengaitkan wajibnya puasa Ramadhan dengan suatu perkara yang jelas dan tanda yang nyata, yang bisa dilihat dengan penglihatan mereka. Dan tidaklah disyaratkan bahwa hilal tersebut harus dilihat oleh semua manusia. Jika sebagian mereka telah melihatnya, meskipun hanya satu orang, maka wajib bagi semua manusia untuk berpuasa.

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,”Seseorang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ’Aku telah melihat hilal.’ Yang dimaksud adalah hilal bulan Ramadhan. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ؟

‘Apakah Engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah?’

Orang tersebut berkata, ‘Ya’. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ؟

‘Apakah Engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?’

Orang tersebut berkata,’Ya’. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا

‘Wahai Bilal, umumkanlah kepada kaum muslimin untuk berpuasa besok hari.’” [5]

Diriwayatkan pula dari Ibnu ‘Umarradhiyallahu ‘anhuma,

تَرَائِى النَّاسُ الْهِلَالَ، فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَ، وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

”Banyak orang berusaha melihat hilal. Kemudian aku mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku sungguh-sungguh melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa” [6]

Metode Kedua, Menggenapkan Bulan Sya’ban Menjadi Tiga Puluh Hari

Berdasarkan metode penentuan awal masuk bulan Ramadhan dengan melihat hilal, jika hilal tidak terlihat, maka bulan Sya’ban digenapkan menjadi tiga puluh hari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ

“Jika hilal tidak terlihat, maka genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari).”

Maksud perkataan beliau, (غُمَّ عَلَيْكُم) adalah jika sesuatu menutupi hilal, sehingga tidak bisa dilihat pada malam ketiga puluh bulan Sya’ban, baik berupa mendung atau debu, maka hitunglah bilangan bulan Sya’ban secara sempurna, yaitu dengan menggenapkannya menjadi tiga puluh hari. Hal ini sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits yang lainnya,

فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا العِدَّةَ ثَلاَثِينَ

“Jika hilal tidak terlihat, maka genapkanlah (bulan Sya’ban) menjadi tiga puluh hari.” [7]

Maksudnya adalah larangan berpuasa pada hari yang diragukan. Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu,

مَنْ صَامَ هَذَا الْيَوْمَ، فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka sungguh dia telah durhaka kepada Abul Qasim (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).” [8]

Wajib atas setiap muslim untuk mengikuti petunjuk yang datang dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam ibadah puasa dan ibadah lain seluruhnya. Allah Ta’ala dan Rasul-Nyashallallahu ‘alaihi wa sallam telah membatasi pengetahuan tentang masuknya bulan Ramadhan dengan salah satu dari dua tanda yang nyata, yang diketahui oleh orang awam dan orang terpelajar, yaitu melihat hilal atau menggenapkan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Barangsiapa yang mendatangkan suatu metode untuk (menentukan) mulai wajibnya berpuasa (Ramadhan), selain metode yang telah dijelaskan oleh syariat, maka dia telah durhaka kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam [9]. Hal ini sebagaimana orang-orang yang mengatakan bahwa wajib untuk menggunakan hisab untuk menentukan masuknya bulan Ramadhan. Padahal dalam metode hisab mungkin terdapat kesalahan, dan juga sesuatu yang sulit (tersembunyi) yang tidak bisa dikuasai oleh semua orang.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyahrahimahullah berkata, ”Aku melihat manusia dalam bulan Ramadhan dan juga bulan lainnya, di antara mereka ada yang mendengarkan perkataan sebagian ahli hisab yang bodoh, bahwa hilal telah atau belum terlihat. Mereka mengikuti perkataan tersebut baik dalam batin mereka atau batin dan lahir mereka. Sampai-sampai datang berita kepadaku bahwa sebagian qadhi (hakim) ada yang menolak persaksian sejumlah orang shalih karena perkataan ahli hisab yang bodoh dan pendusta bahwa hilal telah atau belum terlihat. Maka mereka termasuk orang yang mendustakan kebenaran …” sampai perkataan Syaikhul Islam, “Maka kita telah mengetahui dengan pasti dari agama Islam bahwa menentukan hilal Ramadhan, haji, ‘iddah, atau ilaa’ [10] (dari hukum-hukum yang dikaitkan dengan hilal) berdasarkan perkataan ahli hisab (bahwa hilal telah atau belum terlihat) maka hal ini tidak diperbolehkan. Dalil-dalil tegas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal ini sangatlah banyak. Kaum muslimin telah bersepakat dengan hal ini, dan tidak diketahui sama sekali adanya perselisihan di antara mereka, baik generasi terdahulu atau pun generasi belakangan.” [11]

Dalam menentukan masuknya bulan Ramadhan dengan ilmu hisab ini terdapat kesulitan dan kesempitan bagi umat ini. Dan Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

“Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (QS. Al Hajj [22]: 78).

Maka kewajiban setiap muslim adalah membatasi diri atas apa yang telah ditetapkan oleh syariat Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.Sebagaimana wajib bagi kaum muslimin untuk membatasi diri atas apa yang telah Allah Ta’ala syariatkan dalam perkara selain hilal dan juga saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. [12]

***

Selesai diterjemahkan di pagi hari, Sint-Jobskade Rotterdam NL, Sabtu 5 Sya’ban 1436

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

 

Catatan kaki:

[1] HR. Bukhari (1900) dan Muslim (8/1080).

[2] HR. Bukhari (1906) dan Muslim (3/1080) dan lafadz di atas adalah milik keduanya. Di dalam hadits tersebut juga terdapat tambahan, yaitu kalimat terahir dalam hadits sebelumnya (hadits nomor 1), yaitu perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ

sebagaimana dalam riwayat Bukhari, dan

فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ

sebagaimana dalam riwayat Muslim.

[3] HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (8/397 nomor 8237).

[4] HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak(1/423), Ahmad dalam Al-Musnad (4/23), Daruquthni dalam Sunan-nya (2/163). Al-Hakim berkata,”Shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim.” Disepakati oleh Adz-Dzahabi.

[5] HR. Abu Dawud (2340 dan 2341).

[6] HR. Abu Dawud (2342). Dinilai shahih oleh Al-Albani.

[7] HR. Bukhari (1907) dan Muslim (1081).

[8] HR. Abu Dawud (2334); At-Tirmidzi (686); An-Nasa’i (2190); dan Ibnu Majah (1645). Abu ‘Isa At-Tirmidzi berkata,”Hadits hasan shahih.”

[9] Dan juga menambahkan dalam syariat yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya serta berbuat bid’ah dalam agama yang tidak ada dalilnya dalam syariat, “Dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”

[10] Al-ilaa’ adalah sumpah suami untuk tidak menyetubuhi istrinya dalam jangka waktu tertentu.

[11] Majmu’ Fatawa (25/131, 132)

[12] Diterjemahkan dari: Ittihaaf Ahlil Imaan bi Duruusi Syahri Ramadhan, karya Syaikh Dr. Shalih Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Daar ‘Ashimah Riyadh KSA, cetakan ke dua, tahun 1422, hal. 132-134.

___

Artikel Muslim.or.id




Baca Artikel Terkait: