-->

Senin, 16 Januari 2023



Ayat Al-Qur’an merupakan dalil (petunjuk) kepada kalam nafsi Allah. Dari segi ini, ayat-ayat Al-Quran popular dikenal sebagai dalil-dalil hukum karena merupakan petunjuk kepada hukum yang dikandung oleh kalam nafsi Allah. Oleh karena yang dapat dijangkau oleh manusia hanyalahkalam lafzi Allah dalam bentuk ayat-ayat Al-Qur’an, maka popular di kalangan ahli-ahli Ushul Fiqh bahwa yang dimaksud dengan hukum adalah teks-teks ayat hukum itu sendiri yang mengatur amal perbuatan manusia.

Al-Qur’an adalah kalam Allah Yang Maha Kuasa, pencipta segala sesuatu dari ketiadaan. Al-Qur’an dalam kajian Ushul Fiqh merupakan objek pertama dan utama pada kegiatan penelitian dalam memecahkan suatu hukum. Apa yang menjadi kewajiban manusia adalah untuk berpegang teguh pada kitab suci yang Allah turunkan ini, dan menerimanya sebagai satu-satunya petunjuk hidup. (Moenawar Kholil, 1994: 141-142)

Diantara ciri-ciri khas Al- Quran ialah bahwa ia diturunkan dari Tuhan dengan pengertian dan kata-kata Arabnya seperti yang disebut oleh Al-Quran sendiri :

“kami turunkan wahyu berupa Al-Quran yang berbahasa Arab” (QS Yusuf :2)

Ciri khas ini menyebabkan Al-Quran berbeda dari wahyu Tuhan kepada Rasul-rasul sebelum Nabi Muhammad SAW. Juga menyebabkan ia berbeda dengan hadist-hadist Rasul, karena untuk Hadits-hadist hanya pengertiannya saja yang diilhamkan dari Tuhan, sedang kata-katanya adalah dari rasul sendiri.

Ciri khas lain ialah bahwa Al-Quran diriwayatkan dengan bertubi-tubi, masa demi masa, keturunan demi keturunan, tanpa mengalami perubahan atau pemalsuan sama sekali seperti yang dijadikan oleh Tuhan :

“Kamilah yang menurunkan Quran dan Kami pula yang menjaganya” (QS Al-Hijr : 9)

Cara periwayatan demikian menimbulkan keyakinandan kepastian tentang kebenaran Al-Quran dari Tuhan yang mengharuskan kita untuk memakai ketentuan-ketentuannya, dengan tidak boleh digantikan dengan ketentuan-ketentuan lain. Keadaan ini disebut qath’ijjul-wurud. Akan tetapi dari segi-segi pengertian dan maksud sesuatu ayat Al-Quran, maka kadang-kadang menimbulkan keyakinan tentang kepastian pengertian yang dituju, seperti kata-kata “nisfu” yang tidak bisa diartikan lain kecuali “separo”. Keadaan ini disebut qath’ijjud-dalalah. Kadang-kadang hanya menimbulkan dugaan kuat pada diri kita tentang kepastian pengertian yang dituju, seperti kata-kata, qurun yang bisa diartikan “haid” atau “suci”. (A Hanafi, 1970)
(https://tifiacerdikia.wordpress.com)



Baca Artikel Terkait: