Inilah Kronologi Bagaimana Peristiwa Rengasdengklok Terjadi di Indonesia
Peristiwa Rengasdengklok merupakan kejadian penting yang mendorong percepatan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kejadian ini juga menunjukkan konflik dan perbedaan pendapat antarkelompok, terutama golongan tua dan golongan muda dalam menentukan waktu proklamasi. Namun, konflik tersebut berakhir dengan sikap saling menghargai di antara mereka. Tanpa peran golongan muda, Indonesia mungkin belum memproklamasikan secepat itu. Hal itu menunjukkan bahwa para pemuda Indonesia mampu merespon keadaan secara sigap. Para pemuda pun tetap menghormati golongan tua, dengan tetap memerhatikan para tokoh yang perlu dihormati.
Para pemuda berpendapat bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia harus dilaksanakan oleh kekuatan bangsa sendiri, bukan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Menurut mereka, PPKI adalah buatan Jepang setelah mendengar Jepang menyerah kepada sekutu, Sutan Syahrir yang merupakan tokoh pemuda segera menemui Moh. Hatta di kediamannya. Syahrir mendesak agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta yang dapat disebut golongan tua belum bersedia. Mereka yakin bahwa bagaimanapun Indonesia tidak lagi tetap akan merdeka.
Pada Rabu, 15 Agustus 1945 sekitar jam 20.00, para pemuda mengadakan pertemuan di sebuah ruangan di belakang Laboratorium Biologi Pegangsaan Timur 17 (sekarang FKM UI). Pertemuan dihadiri oleh Chaerul Saleh, Darwis, Djohar Nur, Kusnandar, Subadio, Subianto, Margono, Aidit Sunyoto, Abubakar, E. Sudewo, Wikana, dan Armansyah.
Pertemuan yang dipimpin Chairul Saleh tersebut memutuskan bahwa "kemerdekaan Indonesia adalah hak dan soal rakyat Indonesia sendiri, tak dapat digantung-gantungkan pada orang atau kerajaan lain. Untuk menyatakan bahwa Indonesia sudah sanggup merdeka, dan sudah tiba saat merdeka, baik menurut keadaan atau kodrat maupun histroris. Dan jalannya hanya satu, yaitu: dengan proklamasi kemerdekaan oleh bangsa Indonesia sendiri, lepas dari bangsa asing, bangsa apapun juga". Segala ikatan dan hubungan dengan janji kemerdekaan dari Jepang harus diputuskan. Sebaliknya diharapkan diadakannya perundingan dengan Soekarno dan Hatta agar mereka diikutsertakan menyatakan Proklamasi mengingat usaha Sutan Syahrir belum berhasil.
Untuk menyampaikan hasil putusan Perundingan Pegangsaan ini kepada Soekarno, maka pada pukul 22.00 Wikana dan Darwis datang ke rumah Sukarno di Pegangsaan Timur 56. Namun Soekarno tetap pada pendiriannya bahwa Jepang masih berkuasa secara de facto. Soekarno bahkan mengingatkan bahwa musuh mereka bukan lagi Jepang, tetapi Belanda yang pasti segera datang setelah Jepang menyerah. Akhirnya pada pukul 24.00 para pemuda meninggalkan kediaman Soekarno. Akibat perbedaan tersebut, maka terjadilah peristiwa Rengasdengklok.
Mereka langsung mengadakan pertemuan di Jl. Cikini 71 Jakarta (seperti Sukarni, Yusuf Kunto, Chairul Saleh, dan Shodanco Singgih). Rapat memutuskan, seperti diusulkan Djohar Nur, "Segera bertindak, Bung Karno dan Bung Hatta harus kita angkat dari rumah masing-masing" . Chaerul Saleh yang memimpin rapat, menegaskannya sebagai keputusan rapat dengan berkata, "Bung Karno dan Bung Hatta kita angkat saja. Selamatkan mereka dari tangan Jepang dan laksanakan Proklamasi tanggal 16 Agustus 1945." Rencana mengamankan Sukarno dan Moh. Hatta pun disepakati. Shodanco Singgih ditunjuk untuk memimpin pelaksanaan rencana tersebut.
Kronologis Peristiwa Rengasdengklok
Pada dinihari sekitar pukul 03.00 itu terjadilah sepeti yang mereka rencanakan. Peristiwa ini kemudian terkenal sebagai Peristiwa Rengasdengklok. Segera kelompok yang diberi tugas mengamankan Soekarno melaksanakan tugasnya. Singgih meminta Bung Karno ikut kelompok Pemuda malam itu juga. Bung Karno tidak menolak keingingan para pemuda dan minta agar Fatmawati, Guntur (waktu itu berusia sekitar delapan bulan) serta Moh. Hatta ikut serta. Menjelang subuh (sekitar 04.00) tanggal 16 Agustus 1945 mereka segera menuju Rengasdengklok. Perjalanan ke Rengasdengklok dengan pengawalan tentara Peta dilakukan sesudah makan sahur, sebab waktu itu memang bulan Puasa.
Para pemuda memilih Rengasdengklok sebagai tempat membawa Soekarno dan Moh. Hatta dengan pertimbangan bahwa daerah itu relatif aman. Hal itu karena ada Daidan Peta di Rengasdengklok yang hubungannya sangat baik dengan Daidan Jakarta. Para pemuda menyadari Soekarno dan Moh. Hatta adalah tokoh penting sehingga keselamatannya harus dijaga. Jarak Rengasdengklok, sekitar 15 km dari Kedunggede, Kerawang. Sesampainya di Rengasdengklok, Sukarno dan Rombongan ditempatkan di rumah seorang keturunan Tionghoa Djiaw Kie Siong. Beliau adalah seorang petani kecil keturunan Tionghoa yang merelakan rumahnya ditempati oleh para tokoh pergerakan tersebut. Rumah Djiaw Kie Siong berlokasi di RT 001/09 Nomor 41 Desa Rengasdengklok Utara, Kecamatan Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Para pemuda berharap tanggal 16 Agustus 1945 itu Bung Karno dan Bung Hatta bersedia menyatakan Proklamasi Kemerdekaan. Ternyata Sukarno tetap pada pendiriannya. Soekarno tidak memenuhi ultimatum para pemuda yang menginginkan proklamasi kemerdekaan tanggal 16 Agustus. Namun, para pemuda inipun tidak memaksakan kehendak. Mereka mengamankan kedua tokoh itu agar bisa berdiskusi secara lebih bebas, dan sedikit memberikan tekanan tanpa bermaksud menyakiti kedua tokoh.
Pada 16 Agustus 1945 semestinya diadakan pertemuan PPKI di Jakarta, tetapi Soekarno dan Moh. Hatta tidak ada di tempat. Ahmad Subarjo segera mencari kedua tokoh tersebut. Setelah bertemu Yusuf Kunto dan kemudian Wekana terjadilah kesepakatan, Ahmad Subarjo diantara ke Rengasdengklok oleh Yusuf Kunto. Mereka tiba di Rengasdengklok pukul 17.30 WIB. Kemudian Ahmad Subarjo berbicara kepada para pemuda dan memberikan jaminan, bahwa proklamasi akan dilaksanakan tanggal 17 Agustus sebelum pukul 12.00. Akhirnya Shodanco Subeno mewakili para pemuda melepas Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan rombongan kembali ke Jakarta, maka berakhirlah Peristiwa Rengasdengklok.