-->

Selasa, 26 September 2017

Hukum Pidana Islam

I. Pengertian

Pengertian Hukum Pidana (Hukum Positif)
Secara tradisional, defenisi hukum pidana adalah “hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengandung keharusan dan larangan terhadap pelanggar yang diancam dengan hukuman berupa siksaan badan.” (Samidjo, 1985: 1). Defenisi lain adalah, “hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata “pidana” berarti hal yang dipidanakan, yaitu hal yang dilimpahkan oleh instansi yang berkuasa kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakan dan juga hal yang tidak dilimpahkan.
Menurut Sudarsono, pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.

Pengertian Hukum Pidana Islam
Kata Jinayat adalah bentuk jamak dari kata jinayah, yang berarti perbuatan dosa, kejahatan atau pelanggaran. Bab Al-jinayah dalam fiqih Islam membicarakan bermacam-macam perbuatan pidana (jarimah) dan hukumnya. Hukum had adalah hukuman yang telah dipastikan ketentuannya dalam nash al-Qur’an atau Sunnah Rasul. Sedangkan hukum ta’zir adalah hukuman yang tidak dipastikan ketentuannya dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hukum ta’zir menjadi wewenang penguasa untuk menentukannya.
Hukum Pidana Islam sering disebut dalam fiqih dengan istilah jinayat atau jarimah. Jinayat dalam istilah Hukum Islam sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Jinahah merupakan bentuk verbal noun (mashdar) dari kata jana. Secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah. Secara terminologi kata jinayat mempunyai beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abd al Qodir Awdah bahwajinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya.
Yang dimaksud dengan jinayat meliputi beberapa hukum, yaitu membunuh orang, melukai, memotong anggota tubuh, dan meghilangkan manfaat badan, misalnya menghilangkan salah satu panca indera. Dalam Jinayah (Pidana Islam) dibicarakan Pula Upaya-upaya prefentif, rehabilitative, edukatif, serta upaya-upaya represif dalam menanggulangi kejahatan disertai tentang toeri-teori tentang hukuman.
Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqoha’, perkataan Jinayat berarti perbuatan perbuatan yang dilarang oleh syara’. Meskipun demikian, pada umunya fuqoha’ menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang terlarang menurut syara’. Meskipun demikian, pada umumnya fuqoha’ menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqoha’ yang membatasi istilah Jinayat kepada perbuatan perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash, tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan ta’zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayat adalah jarimah, yaitu larangan larangan syara’ yang diancam Allah SWT dengan hukuman had atau ta’zir.
Secara umum, pengertian Jinayat sama dengan hukum Pidana pada hukum positif, yaitu hukum yang mengatur perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya.

II. Asas-asas Hukum Pidana Islam
Asas-asas Hukum Pidana Islam adalah asas-asas hukum yang mendasari pelaksanaan Hukum Pidana Islam, diantaranya:
Asas Legalitas
Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang menyatakannya. Asas ini berdasarkan pada Qur’an Surat Al-Isra’ ayat 15 dan Surat Al-An’am ayat 19.
Kedua ayat tersebut mengandung makna bahwa Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW supaya menjadi peringatan (dalam bentuk aturan dan ancaman hukuman) kepadamu. Selain itu, ayat lain dalam Al-Qur’an yang menyatakan asas ini ialah :
Q.s. asy-syura 208 yang berbunyi : “ dan kami tidak membinasakan suatu negeri pun melainkan sudah ada bagiannya yang memberi peringatan” dan 
Q.s. al-qashas 59 yang berbunyi : “ dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan, kota-kota sebelum dia mengutus kota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat kami kepada mereka, dan tidak pernah pula kami membinasakan kota-kota kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kedzaliman”
Dua ayat tersebut menjadi azas legalitas yang mana suatu negara atau kota yang tidak ada yang memperingati atau membacakan ayat-ayat dan tidak ada yang melakukan kedzaliman maka Negara atau kota itu tidak boleh menerapkan hukuman pidana.
Asas Larangan Memindahkan Kesalahan Pada Orang Lain
Asas ini adalah asas yang menyatakan bahwa setiap perbuatan manusia, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang jahat akan mendapat imbalan yang setimpal. Seperti yang tertulis pada ayat 38 Surat Al-Mudatsir yang artinya :
“ tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.”
Allah SWT menyatakan bahwa setiap orang terikat kepada apa yang dia kerjakan, dan setiap orang tidak akan memikul dosa atau kesalahan yang dibuat oleh orang lain.
Asas Praduga Tak Bersalah
Asas praduga tak bersalah adalah asas yang mendasari bahwa seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan dengan tegas persalahannya itu. Asas ini berdasarkan Al-Qur’an Surat Al-Hujuraat ayat 12 :
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain…”

III. Unsur-unsur Hukum Pidana Islam
Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai jarimah (tindak pidana), jika ada unsur formil (adanya UU/alquran dan hadis), materiil (sifat melawan hukum) dan unsur moral (pelakunya mukallaf) atau biasa bertanggung jawab terhadap tindakannya, sebuah pelanggaran tidak memenuhi unsur-unsur tersebut maka tidak dapat dikatakan jarimah (tindak pidana). Untuk menentukan suatu hukuman terhadap suatu tindak pidana dalam Hukum Islam, diperlukan unsur normatif dan moral, sebagai berikut:
Unsur Yuridis Normatif
Unsur ini harus didasari oleh suatu dalil yang menentukan larangan terhadap perilaku tertentu dan diancam dengan hukuman.
Unsur Moral
Adalah kesanggupan seseorang untuk menerima sesuatu yang secara nyata mempunyai nilai yang dapat dipertanggung jawabkan.

IV. Ciri-ciri Hukum Pidana Islam 
Ciri-ciri Hukum Pidana Islam adalah sebagai berikut:
1. Hukum Islam adalah bagian dan bersumber dari ajaran Agama Islam.
2. Hukum Islam mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dicerai-pisahkan dengan iman dan kesusilaan atau akhlak Islam.
3. Hukum Islam mempunyai istilah kunci, yaitu syariah dan fikih.
4. Hukum Islam terdiri dari dua bagian utama, yaitu hukum ibadah dan hukum muamalah dalam arti yang luas.
5. Hukum Islam mempunyai struktur yang berlapis-lapis seprti dalam bentuk bagan bertingkat.
6. Hukum Islam mendahulukan kewajiban dari hak, amal, dan pahala.
7. Hukum Islam dapat dibagi menjadi hukum Taklifi dan hukum Wadh’i.
* Hukum Taklifi menurut pengertian kebahasaan adalah hukum pemberian beban sedangkan menurut istilah adalah perintah Allah SWT  yang berbentuk pilihan dan tuntutan. Dinamakan hukum taklifi karena perintah ini langsung mengenai perbuatan seorang mukallaf (balig dan berakal sehat). Disebutkan tuntutan karena hukum taklifi menuntut seorang mukallaf untuk melakukan dan meninggalkan suatu perbuatan secara pasti. misalnya firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah (2:110), artinya: ” Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat.” Tuntutan Allah SWT untuk meninggalkan suatu perbuatan, misalnya firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’ (17:33), artinya:
” Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan sesuatu alasan yang benar.” 
Tuntutan Allah SWT mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya.
* Hukum Wadh’i merupakan perintah Allah SWT yang berbentuk ketentuan yang ditetapkan Allah SWT, tidak langsung mengatur pebuatan mukallaf, tetapi berkaitan dengan perbuatan mukallaf itu, dengan kata lain Hukum wad’i adalah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain. Bisa juga diartikan hukum wadh’i adalah hukum yang menjelaskan hukum taklifi atau yang menjadi akibat dari pelaksanaan hukum taklifi. Sebagai contoh, melihat anak bulan Ramadan menyebabkan wajibnya berpuasa. Ia berdasarkan firman Allah SWT:
“Oleh itu, sesiapa dari antara kamu yang menyaksikan anak bulan Ramadan (atau mengetahuinya), maka hendaklah dia berpuasa bulan itu…” (Al-Baqarah: 185).
Melalui contoh di atas, kita dapat memahami bahawa melihat anak bulan menjadi sebab wajibnya berpuasa.

V. Tujuan Hukum Pidana Islam
Tujuan hukum pada umumnya adalah menegakkan keadilan berdasarkan kemauan pencipta manusia sehingga terwujud ketertiban dan ketentraman masyarakat.
Namun bila tujuan Hukum Islam dilihat dari ketetapan hukum yang dibuat oleh Allah SWT dan Nabi Muhammad, baik yang termuat di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits, yaitu untuk kebahagiaan hidup manusia didunia dan akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah serta menolak segala yang tidak berguna kepada kehidupan manusia. Dengan kata lain tujuan Hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia baik jasmani maupun rohani individu dan masyarakat. Kemaslahatan dimaksud, dirumuskan oleh Abu Ishak Asy-Syathibi dan disepakati oleh ahli Hukum Islam lainnya seperti yang telah dikutip oleh H.Hakam Haq, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Salah satu hal yang membedakan Hukum Pidana Islam dan hukum pidana sekuler adalah adanya dimensi-dimensi ukhrawi dalam berbagai konsepnya. Dalam konsep tujuan pemidanaan misalnya, penjatuhan hukuman tidak hanya bertujuan sebagai pembalasan, perbaikan, pencegahan, dan restorasi, tetapi juga meliputi sebagai penebusan dosa. Tujuan pemidaan dalam Islam juga memperhatikan aspek-aspek keadilan dan kemaslahatan bagi korban dan pelaku kejahatan, sehingga kepentingan masing-masing pihak tidak dapat dinafikan begitu saja. Ayat yang menjelaskan mengenai penebusan dosa ialah :
“ Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. ” (Q.S. Al-Maidah ayat 45)

VI. Pelanggaran dan Kejahatan dalam Hukum Pidana (Hukum Positif) dan Hukum Pidana Islam.
Kejahatan dan Pelanggaran dalam Hukum Pidana (Hukum Positif)
Istilah kejahatan berasal dari kata “jahat”, yang artinya sangat tidak baik, sangat buruk, sangat jelek, yang ditumpukan pada tabiat dan kelakuan orang. Kejahatan berarti mempunyai sifat yang jahat atau perbuatan yang jahat. Dalam ketentuan pasal 86 KUHP sebagaI berikut:
“Apabila disebut kejahatan pada umumnya atau suatu kejahatan pada khususnya, maka dalam sebutan itu termasuk juga membantu melakukan itu, jika dikecualikan oleh suatu peraturan lain”.
KUHP menempatkan kejahatan di dalam Buku Kedua dan pelanggaran di dalam Buku Ketiga. Tetapi tidak penjelasan mengenai apa yang disebut kejahatan dan pelanggaran. Semuanya diserahkan kepada ilmu pengetahuan untuk memberikan dasarnya, tetapi tampaknya tidak ada yang sepenuhnya memuaskan.
Dicoba membedakan bahwa kejahatan merupakan rechtsdelictatau delik hukum dan pelanggaran merupakan westdelict atau delik undang-undang. Delik hukum adalah pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa keadilan, misalnya perbuatan seperti pembunuhan, melukai orang lain, mencuri dan sebagainya. Sedangakan delik undang-undang melanggar apa yang ditentukan oleh undang-undang, misalnya saja keharusan untuk mempunyai SIM bagi yang mengendarai kendaraan bermotor di jalan umum, atau mengenai helm ketika mengendarai sepeda motor. Disini tidak tersangkut sama sekali masalah keadilan. Pelanggaran adalah mengenai hal-hal kecil atau ringan yang diancam dengan hukum denda sedangkan Kejahatan adalah mengenai hal-hal besar yang diancam dengan pidana lainnya.
Terdapat dua cara pandang dalam membedakan antara kejahatan dan pelanggaran (Moeljatno, 2002:72), yakni pandangan pertama yang melihat adanya perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran dari perbedaan kualitatif. Dalam pandangan perbedaan kualitatif antara kejahatan dan pelanggaran dikatakan bahwa kejahatan adalah “rechtsdeliten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentantangan dengan tata hukum. Pelanggaran sebaliknya adalah “wetsdeliktern”, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian (Moeljatno, 2002:71).Pandangan kedua yakni pandangan yang menyatakan bahwa hanya ada perbedaan kuantitatif (soal berat atau entengnya ancaman pidana) antara kejahatan dan pelanggaran.Selain daripada sifat umum bahwa ancaman pidana bagi kejahatan lebih berat daripada pelanggaran, perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran yaitu (Moeljatno, 2002:74) :
1. Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan saja.
2. Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan (kesengajaan atau kelapaan) yang diperlukan di situ, harus dibuktikan oleh jaksa, sedangkan jika menghadapi pelanggaran hal itu tidak usah.
3. Percobaan untuk melakukan pelanggaran tak dapat dipidana (Pasal 54 KUHP). Juga pembantuan pada pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP).
4. Tenggang daluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek daripada kejahatan tersebut masing-masing adalah satu tahun dan dua tahun.
5. Dalam hal pembarengan (concursus) pada pemidanaan berbeda buat pelanggaran dan kejahatan. Kumulasi pidana yang enteng lebih mudah daripada pidana berat.

Bentuk-bentuk Kejahatan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang diatur dalam Buku Ke II:
1. Bab – I Kejahatan Terhadap Keamanan Negara
Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun. (Pasal 104 KUHP).
2. Bab – II Kejahatan-kejahatan Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden
3. Bab – III Kejahatan-kejahatan Terhadap Negara Sahabat dan Terhadap Kepala Negara Sahabat Serta Wakilnya
4. Bab – IV Kejahatan Terhadap Melakukan Kewajiban dan Hak Kenegaraan.
Contoh : membubarkan rapat badan pembentuk undang-undang, mengusir ketua atau anggota rapat, dll.
5. Bab – V Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum
6. Bab – VI Perkelahian Tanding
Dalam perkelahian tanding merampas nyawa pihak lawan atau melukai tubuhnya, maka diterapkan ketentuan-ketentuan mengenai pembunuhan berencana, pembunuhan atau penganiayaan., dll.
7. Bab – VII Kejahatan yang Membahayakan Keamanan Umum bagi Orang atau Barang
Contoh: menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir.
8. Bab – VIII Kejahatan Terhadap Penguasa Umum
Dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau hadan umum yang ada di Indonesia.
9. Bab – IX Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu
10. Bab – X Pemalsuan Mata Uang dan Uang Kertas
11. Bab – XI Pemalsuan Meterai dan Merek
12. Bab – XII Pemalsuan Surat
13. Bab – XIII Kejahatan Terhadap Asal-Usul dan Perkawinan
Contoh: menggelapkan asal-usul orang, mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu., dll.
14. Bab – XIV Kejahatan Terhadap Kesusilaan
Contoh; Zina, Pemerkosaan, Video Porno, dll.
15. Bab – XV Meninggalkan Orang yang Perlu Ditolong
16. Bab – XVI Penghinaan
17. Bab – XVII Membuka Rahasia
18. Bab – XVIII Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang
19. Bab – XIX Kejahatan Terhadap Nyawa
Contoh: Pembunuhan.
20. Bab – XX Penganiayaan
21. Bab – XXI Menyebabkan Mati atau Luka-luka Karena Kealpaan
22. Bab – XXII Pencurian
23. Bab – XXIII Pemerasan dan Pengancaman
24. Bab – XXIV Penggelapan
25. Bab – XXV Perbuatan Curang
26. Bab – XXVI Perbuatan Merugikan Pemiutang atau Orang yang Mempunyai Hak
27. Bab – XXVII Menghancurkan atau Merusakkan Barang
28. Bab – XXVIII Kejahatan Jabatan
29. Bab – XXIX Kejahatan Pelayaran
30. Bab – XXIX A Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan
31. Bab – XXX Penadahan Penerbitan dan Percetakan
Bentuk-bentuk Pelanggaran dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam Buku ke- III:
1. Bab I – Tentang Pelanggaran Keamanan Umum bagi Orang atau Barang dan Kesehatan.
Kenakalan terhadap orang atau barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan. Contoh: memasang ranjau perangkap, jerat, atau perkakas lain untuk menangkap atau membunuh binatang buas.
2. Bab II – Pelanggaran Ketertiban Umum
Contoh: Membikin ingar atau riuh pada malam hari, menarik keuntungan dari perbuatan cabul, dll.
3. Bab III – Pelanggaran Terhadap Penguasa Umum melanggar ketentuan peraturan penguasa umum yang telah diumumkan mengenai pemakaian dan pembagian air dari perlengkapan air atau bangunan pengairan guna keperluan umum,dll.
4. Bab IV – Pelanggaran Mengenai Asal-Usul dan Perkawinan Tidak melaporkan pada pejabat Catatan Sipil atau tentang kelahiran dan kematian.
5. Bab V – Pelanggaran Terhadap Orang yang Memerlukan Pertolongan
6. Bab VI – Pelanggaran Kesusilaan Contoh: enyanyikan lagu-lagu yang melanggar kesusilaan dimuka umum., dll.
7. Bab VII – Pelanggaran Mengenai Tanah, Tanaman dan Pekarangan Contoh: membiarkan unggas ternaknya berjalan di kebun, di tanah yang sudah ditaburi, ditugali atau ditanami., dll.
8. Bab VIII – Pelanggaran Jabatan
9. Bab IX – Pelanggaran Pelayaran Seorang nakoda kapal Indonesia yang tidak mempunyai di kapalnya kertas-kertas kapal, buku-buku dan surat-surat yang diharuskan oleh ketentuan undang-undang., dll.

Kejahatan dan Pelanggaran dalam Hukum Pidana Islam
Dalam khazanah hukum positif, hukum menurut isinya dapat dibagi menjadi Hukum Privat (Hukum Sipil) dan Hukum Publik. Hukum Sipil dalam arti luas meliputi Hukum Perdata (Burgelijkrecht) dan Hukum Dagang (Handelsrecht), sedangkan dalam arti sempit meliputi Hukum Perdata saja. Hukum Publik terdiri dari Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Internasional.
Berbeda dengan Hukum Positif, Hukum Islam tidak membedakan dengan tajam antara hukum perdata dengan hukum publik. Ini disebabkan karena menurut sistem Hukum Islam, pada hukum perdata terdapat segi segi publik dan pada hukum publik ada segi segi perdatanya. Itulah sebabnya maka dalam Hukum Islam tidak dibedakan kedua bidang hukum itu. Yang disebutkan hanyalah bagian bagiannya saja, seperti misalnya; Munakahat, Wirosah, Mu’amalat dalam arti khusus, jinayat atau âl uqubah, al ahkam as sulthoniyyah, siyar, danmukhosamat.

Jarimah (kejahatan) dalam Hukum Pidana Islam (Jinayat) meliputi, jarimah hudud, qishash diyat dan ta’zir. Abd Qodir Awdah membagi jarimah ta’zir menjadi tiga, yaitu:
1. Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur shubhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiyat, seperti pencurian harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan pencurian yang bukan harta benda.
2. Jarimah ta’zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas, tetapi sanksinya oleh syari’ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama.
3. Jarimah ta’zir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.

Dalam menetapkan jarimah ta’zir, prinsip utama uang menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharotan (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip syar’i.
Dalam Islam, sumber hukum bersumber dari Allah SWT dan Rasul-Nya, serta dari ijtihad para ulama (ahl ijtihad). Tujuan dari Hukum Islam itu adalah kemaslahatan umat. Islam yang memiliki ajaran yang sempurna dan universal juga mengandung ajaran tentang hukum pidana yang dalam hal ini dapat diistilahkan dengan jinayah, atau sebagian Ulama mengistilahkan dengan sebutan jarimah. Jinayah adalah suatu nama untuk perbuatan atau tindakan pidana yang dilakukan seseorang yang yang dilarang Syara’, baik itu perbuatan atas jiwa, harta atau selain jiwa dan harta. Jarimah adalah segala larangan-larangan yang haram karena dilarang oleh Allah SWT dan diancam dengan hukuman baik had ataupun ta’zir.

Abdul Aziz Amir membagi jarimah ta’zir secara terperinci kepada bebapa bagian, yaitu:
1. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pembunuhan.
Pembunuhan itu diancam dengan hukuman mati. Apabilaqishash dimaafkan maka hukumannya adalah diyat. Apabila diyatnya dimaafkan maka Ulul Amri berhak menjatuhkan ta’zir bila hal ini dipandang lebih maslahat.
2. Jarimah ta’zir yang berhubungan dengan pelukaan.
Menurut Imam Malik, hukuman ta’zir dapat digabungkan dengan qishash dalam jarimah pelukaan, karena qishash merupakan hak adami, sedangkan ta’zir sebagai imbalan atas hak masyarakat. Di samping itu, ta’zir juga dapat dikenakan terhadap jarimah pelukaan apabila qishashnya dimaafkan atau tidak bisa dilaksanakan karena suatu sebab yang dibenarkan oleh syara’. Hal ini didasarkan pada penjelasan surat al-Maidah ayat 45 :
“ Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”
Ayat ini diindikasikan bahwa setiap manusia mempunyai hak hidup dan tidak seorangpun yang boleh mengganggu hak hidup orang lain, sehingga jika terjadi perbuatan yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, meskipun dilakukan dengan ketidaksengajaan, maka pelakunya tidak dibiarkan begitu saja melainkan disuruh membayar ganti rugi.
3. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan dan kerusakan akhlak.
Jarimah macam ini berkaitan dengan jarimah zina, menuduh zina, dan penghinaan. Di antara kasus perzinaan yang diancam dengan ta’zir adalah perzinaan yang tidak memenuhi syarat yang dikenakan hukum had, atau terhadap syubhat dalam pelakunya, perbuatannya, atau tempat. Demikian pula kasus percobaan zina dan perbuatan-perbuatan prazina, seperti meraba-raba, berpelukan dengan wanita yang bukan istrinya, tidur bersama tanpa hubungan seksual dan sebagainya. Penuduhan zina yang dikategorikan kepada ta’zir adalah apabila orang yang dituduh itu bukan muhshan. Tuduhan-tuduhan selain tuduhan zina digolongkan kepada penghinaan dan statusnya termasuk kepada ta’zir, seperti tuduhan mencuri, mencaci maki dan sebagainya. Panggilan-panggilan seperti wahai kafir, wahai munafik, wahai fasik, dan semacamnya termasuk penghinaan yang dikenakan hukuman ta’zir. Karena panggilan tersebut termasuk perbuatan yang dilaarang oleh Allah SWT sebagaimana ditegaskan dalam surat Al-Hujurat ayat 11-12 :
11. “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri [1409] dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman [1410] dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.”
12. “ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
[1409] Jangan mencela dirimu sendiri maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karana orang-orang mukmin seperti satu tubuh.
[1410] Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: Hai fasik, Hai kafir dan sebagainya.
4. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan harta
Jarimah yagn berkaitan dengan harta adalah jarimah pencurian dan perampokan. Apabila kedua jaarimah tersebut syarat-syaratnya telah terpenuhi maka pelaku dikenakan hukuman had. Akan tetapi, apabila syarat untuk dikenakannya hukuman had tidak terpenuhi maka pelakuk tidak dikenakan hukuman had melainkan hukuman ta’zir. Jarimah yang termasuk jenis ini antara lain seperti percobaan pencurian, pencopetan, perjudian dan lain-lain.
5. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu
Termasuk dalam kelompok ini, antara lain seperti saksi palsu, berbohong di depan sidang pengadilan, menyakiti hewan, melanggar hak privacy orang lain misalnya masuk rumah orang lain tanpa izin.
6. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan umum
Jarimah yang termasuk dalam kelompok ini adalah :
a. Jarimah yang mengganggu keamanan Negara/pemerintah, seperti percobaan kudeta
b. Suap
c. Tindakan melampaui batas dari pegawai/pejabat atau tali dalam menjalankan kewajiban. Seperti penolakan hakim untuk mengadili suatu perkara
d. Pelayanan yang buruk dari aparatur pemerintah terhadap masyarakat
e. Melawan petugas pemerintah dan membangkang terhadap peraturan
f. Melepaskan narapidana dan menyembunyikan buronan
g. Pemalsuan tanda tangan dan stempel
h. Kejahatan yang berkaitan dengan ekonomi.

Source: https://muhammadapryadi.wordpress.com/tentang-ilmu-hukum/hukum-pidana-islam/




Baca Artikel Terkait: