-->

Jumat, 13 Januari 2023



ARSITEKTUR SEBAGAI SENI-STRUKTUR

Istilah “arsitektur” berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari suku kata “arkhe’ yang berarti “asli” dan suku kata “tekton’ yang berarti “kokoh”. Jadi dalam pengertiannya yang semula “arsitektur” dapat diartikan sebagai sesuatu cara asli untuk membangun secara kokoh.memang sejak manusia keluar dari gua-guanya untuk membangun, apakah itu rumahnya atau tempat peribadatannya, ia terus-menerus bergulat melawan kekuatan-kekuatan alam : gaya tarik bumi, hembusan angin kencang, goncangan gempa, teriknya sinar matahari atau dinginnya salju.

Melalui proses coba-mencoba (trial and error) selama bergenerasi terbentuklah suatu tradisi membangun yang khas (yang asli) dengan menggunakan bahan bangunan-bangunan yangkokoh terhadap kekuatan alam sekitarnya. Kemudian, karena kesadaran akan keindahan merupakan naluri alami manusia, maka dalam semua tradisi membangun masuklah unsur estetika atau unsur seni tertentu yang mewarnai ciri arsitektur pada kurun waktu tertentu. Adakah konsekuensi logis bahwa sejak awal perkembangan peradaban manusia, seorang arsitek merupakan tokoh masyarakat yang unik : ia adalah seorang teknorat dan seorang seniman sekaligus, seorang perancang dan seorang ahli membangun sekaligus. Personifikasi arsitek seperti ini mencapai puncaknya pada diri Michelangelo yang dalam zaman renanaissance menjelmalkan sirinya sebagai : perancang, pembangunan, pelukis dan pematung sekaligus (a.l. pada gereje St.Petrus di Roma).

Berpangkal pada pengertiannya seperti dikemukakannya diatas, arsitektur telah berkembang sesuai dengan perkembangan lingkungannya. Di Eropa misalnya, factor-faktor kekuatan alam tidak terlalu berpengaruh terhadap kekokohan struktur bangunan yang di bangun dengan cara tradisional, pengertian arsitektur mengalami perubahan.unsur seni (art) yang masuknya ke dalam pengertian arsitektur justru terjadi belakangan, masalah semakin menonjol : sebaliknya unsur strukturnya semakin memudar. Dengan perkembangannya teknologi, termasuk teknologi membangun, timbullah reaksi terhadap perkembangan arsitektur demikian.

Sekelompok pemikir ingin mengembalikan arsitektur ke dalam relnya yang semula dengan menyatakan bahwa arsitektur adalah jalur insinyur dan bukan jalur seniman. Maka timbullah pertentengan pendapat mengenai isyu ini yang tak ada habis-habisnya sampai masa kini yang telah melanda hampir seluruh dunia (Ecole des arts vs Ecole polytecthique di Prancis :Harvard vs MIT di Amerika Serikat : dan sebagainya),termasuk di Indonesia.

Di Jepang perkembangannya lain sama sekali. Lingkungan alam yang kejam dan ganas yang setiap saat mengancam kelangsungan hidup manusia dengan gempa-gempa dahsyat yang dapat menyerang setiap saat dan topan-topan kencang yang datang secara berkala, telah menanamkan dampak yang kuat dalam perkembangan arsitektur adalah urusan insiyur dan bukan urusan seniman. Architectural Institute of Japan ( A.I.J.) adalah lembaga tertinggi di jepang yang sampai saat ini mengurusi segala hal ikhwal mengenai bangunan. Tetepi yang diurus bukanlah urusan seni melainkan urusan struktur.lembaga ini adalah yang menerbitkan berbagai peraturan mengenai perencanaan bangunan tahan gempa, peraturan beton, baja, dan segi-segi struktur lainnya.

Bagaimana sekarang di Indonesia? Seperti telah dikemukan diatas, Indonesia telah ikut terseret ke dalam pertentangan isu apakah jalur arsitek itu jalur insinyur ataukah jalur seniman. Hali ini dapat dimengerti mengingat para pendiri pondasi bagi perkembangan arsitektur di Indonesia adalah orang-orang Belanda yang dengan sendirinya sangat terpengaruh oleh perkembangan arsitektur di Eropa (karsten, MacLine Pont, Van Romondt, Dicke,dan lain-lain) yang jelas adalah, bahwa perkembangan teknik struktur di Indonesia relative lambat masuknya sehingga tidak sempat berintegrasi dengan baik ke dalam perkembangan arsitektur. Tidak mengherankan bahwa, sempat terjadi pembudayaan konsep-konsep bentuk bangunan dari Eropa yang tidak cocok dilihat dari ketahanannya tehadap gempa. Suatu contoh yang sangat menyolok yang kiranya sempat membekas pada arsitek-arsitek Indonesia adalah kecenderungan yang salah untuk menggambar atau merencanakan kolom-kolom bangunan berbentuk persegi panjang, yang seperti kita ketahui hanya mempunyai kekuatan yang besar satu arah saja. Hali ini terjadi, karena mereka tidak sempat diajari, bahwa gempa itu biasa terjadi dari segala arah. Andai kata pengertian struktur telah disadarkan dengan tepat, segyogyanya kolom-kolom bangunan itu direncanakan berbentuk bulat atau bujur sangkar (bukan persegi panjang), karena bentuk demikian mempunyai kekuatan yang (praktis) sama ke segala arah.

Kembali kepada isu apakah arsitek itu alur insinyur ataukah jalur seniman, di Indonesia terjadi suatu perkembangan tersendiri. Secara formal para arsitek lulusan universitas diberi gelar “insinyur”(Ir). Secara operasional pengertian arsitektur di Indonesia dewasa ini kiranya dapat dilukiskan sebagai berikut :
Tugas utama arsitek adalah memecahkan maslah kebutuhan manusia modern beserta lingkungannya dengan menciptakan ruang dan bentuk yang memadai (Nuttgens, 1980: Architecture is an expression of human experience in the creation of husable space).


Namun disadari benar, bahwa kekuaan struktur (dan segi-segi teknologi lainnya) haru ikut terpecahkan dan ini adalah tuga para ahlu yang bersangkutan.


Arsitektur tradisional ialah suatu bangunan yang bentuk, struktur fungsi, ragam hias, dan cara pembuatannya diwariskan secara turun menurun serta dapat dipakai untuk melakukan aktivitas kehidupan dengan sebaik-baiknya. Berdasarkan aktivitas kehidupan yang ditampungnya, arsitektur tradisional dapat dikelompokan ke dalam beberapa jenis bangunan, yakni bangunan tempat tinggal atau rumah, bangunan tempat ibadah, bangunan tempat musyawarah, dan bangunan tempat menyimpan. Semua jenis bangunan yang termasuk ke dalam arsitektur tradisional itu akan diinventariskan dan didokumentasikan dengan mengingat komponen-komponen di atas. Namun karena adanya keterbatasan memperoleh sumber mungkin saja ada satu atau beberapa unsur lainnya yang belum dapat diungkapkan.

Contoh nyata yang akan kita ambil di sini adalah daerah Jawa Barat. Bangunan-bangunan tempat tinggal atau rumah yang terdapat di daerah penelitian memiliki nama-nama yang beda, perbedaan antara bangunan yang satu dengan bangunan yang lainnya. Perbedaan itu disebabkan oleh bentuk atap dan pintu rumah yang berbeda beda pada masing-masing bangunan tempat tinggal. Di lihat dari bentuk atapnya, rumah-rumah tradisional di daerah penelitian ternyata menunjukkan perbedaan dengan rumah-rumah tradisional yang terdapat di daerah-daerah lain di luar Jawa Barat, seperti nampak pada Rumah Gadang di Sumatera Barat, Aceh,Batak atau Rumah Toraja. Beberapa nama bangunan tempat tinggal, di daerah penelitian jika dilihat dari bentuk atapnya, ialah: suhunan jolopong, tagong anjing, badak heuay, parahu kumureb, dan jubleg nangkub. Sedangkan kalau dilihat dari pintu masuknya dikenal pula rumah buka palayu dan buka pongpok.
Tipologi:


Suhunan Jolopong, bentuk Jolopong memiliki dua bidang atap saja. Kedua bidang atap ini dipisahkan oleh jalur suhunan di tengah bangunan rumah, balikan jalur suhunan itu sendiri merupakan rangkap dari kedua bidang atap. Batang suhunan sama panjangnya dan sejajar dengan kedua sisi bawah bidang atap yang sebelah menyebelah. Sedangkan pasangan sisi lainnya lebih pendek dibanding dengan suhunan dan memotong tegak lurus .


Tagong Anjin

Bentuk atap tagong anjing memiliki dua bidang atap yang berbatasan pada garis batang suhunan. Bidang atap yang pertama lebih lebar dibanding dengan atap lainnya, serta merupakan penutup ruangan. Sedangkan atap lainnya yang sempit, memiliki sepasang sisi yang sama panjang dengan batang suhunan bahkan batang suhunan itu merupakan puncaknya. Tiang-tiang depan pada bangunan dengan atap tagong anjing lebih panjang dibandingkan dengan tiang-tiang belakangnya, batang suhunan terletak di atas puncak-puncak tiang depan.


Badak Heuay

Bangunan dengan atap yang sangat mirip dengan tagong anjing, perbedaannya hanya pada bidang atap belakang. Bidang atap ini langsung ke atas melewati batang suhunan sedikit. Bidang atap yang melewati suhunan ini dinamakan ‘rambut’.


Parahu Kumureb

Bentuk atap ini memiliki empat buah bidang atap. Sepasang bidang atap sama luasnya berbentuk trapesium sama kaki. Letak kedua bidang atap ini sebelah menyebelah dan dibatasi oleh garis-garis suhunanyang merupakan sisi bersama.


Jubleg Nangkub

Bentuk atap memiliki lima buah bidang atap, satu bidang berbentuk trapesium siku-siku, satu bidang berbentuk segi tiga sama kaki, dan pada sisi lainnya tidak berbidang atap. Pada bentuk tap terdapat dua buah batang kayu yang menhubungkan satu di antara ujung batang suhunan kepada kedua sudut rumah, secara landai sehingga terbentuknya satu bidang atap segi tiga.


Julang Ngampak

Bentuk atap yang melebar di kedua sisi bidang atapnya jika dilihat dari arah muka rumahnya. Bentuk atap demikian menyerupai sayap dari burung julang yang sedang merentang. Bentuk-bentuk demikian dapat dijumpai di daerah-daerah Garut, kuningan dan termpat-tempat lain di Jawa Barat.
Ruangan yang terletak di bagian yang disebut ’emper’ fungsinya untuk menerima tamu. Pada waktu dulu ruangan ini dibiarkan kosong tanpa perkakas rumah. Ruangan ‘balandongan’ yang terletak paling depan dari ruangan lain, berfungsi untuk menambah kesejukan bagi penghuninya di dalam rumah. Ruangan yang disebut ‘pangkeng’ dipergunakan sebagai tempat tidur. Sejenis dengan pangkeng ialah ‘jobong’ uyang dipergunakan untuk menyimpan barang-barang atau disebut gudang. Ruangan bagian tengah disebut ‘tengah imah’ bagian ini dipergunakan sebagai tempat berkumpulnya keluarga.

Bangunan tempat ibadah
Mesjid merupakan bangunan dengan denah bangunan yang berbentuk bujur sangkar. Pada mesjid-mesjid yang lebih muda umumnya, di samping denah bujur sangkar terdapat pula serambi-serambi di depan, kiri dan kanan. Serambi-serambi itu merupakan ruangan-ruangan hasil penambahan kemudian. Ciri utama yang menandai bangunan mesjid adalah bentuk atapnya yang besar dan lebar yang terletak diatas bangunan utama. Bagian inilah yang memiliki empat tiang utama yang lazim disebut ‘saka guru’. Saka ini berfungsi untuk menyangga seluruh gaya berat bangunan tersebut. Atap dari ruangan mesjid yang berbentuk bujur sangakar adalah atap tumpng yang tersusun makin kre atas makin kecil. Tingkatan yang paling atas, biasanya ditutupi dengan atap lainnya dalam bentuk limas. Bagian paling atas ini disebut ‘momolo’. Bagian-bagian pokok daripada mesjid adalah mihrab, mimbar, dan ruangan sembhayang,

Bangunan tempat musyawarah
Nama bangunan tempatmusyawarah atau yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan bale desa. Menuruti pola rumah tinggal dengan sistem kolong, mungkin pula bangunan tersebut tidak berdinding, sehingga memudahkan orang untuk datang berkunjung.
Bentuk-bentuk bagian:
Atap berbentuk atap jure, disebut juga atap limasan. Atap ini ditandai oleh adanya kayu kayu jure yang menghubungkan ujung susuhunan ke arah empat sudut bangunan. Tiang-tiang bangunan yang berbentuk segi empat berukuran masing masing segi tidak kurang dari 20cm, tiang tiang ini berjumlah empat buah yang berfungsi menunjang rangka atas bagian atas. Pintu bale berbentuk empat persegi panjang, kecuali pintu-pintu masuk di kanan kiri bangunan. Pintu-pintu masuk itu merupakan pintu-pintu pendek yang tersusun dari lempengan kayi berjarak tertentu. Tangga untuk naik ke dalam bangunan ini, terdapat di bagian kiri dan kanan di depan pintu-pintu masuk yang terbuat dari kayu berumpak. Dinding banngunan bagian belakang yang disebut pangkeng terbuat dari anyaman bamboo. Dinding ini dipasang setinggi tiang-tiang bangunan dari ujung lantai ke ujung tiang. Dinding-dinding pagar yang dipasang di bagian pinggir bangunan dan berukuran setengah badan manusia. Di bagian bawah rangka atap, terdapat langit-langit, disebut ‘gelebeg’ terbuat dari papan-papan kayu separti pada lantai. Lantainya terbuat dari palupuh yakni papan-papan kayu yang disusun rapat melintang sepanjang bangunan.

Bangunan tempat menyimpan
Bangunan tempat menyimpan bagi masyarakat sunda disebut ‘leuit’. Sebutan leuit terdapat di daerah Priangan dan Banten. Di daerah Cirebon disebiut ‘lumbung’.

Tipologi:
Bentuk leuit ini melambangkan kemakmuran dari kesuburan setiap keluarga petani. Pada masa lampau , ketika bangunan leuit masih terhitung banyak, ukuran kekayaan seseorang atau keluarga dapat dilihat dari besar kecilnya leuit. Banyak leuit yang didirikan seseorang petani, menentukan kedudukan orang tersebut dalam pandangan masyarakat. Leuit memiliki denah segi empat atau bujur sangkar dan atapnya berbentuk perisai. Biasanya bangunan ini lebih tinggi dari badan manusia, karena itu seseorang harus mempergunakan tangga untuk naik ke dalam leuit.
Bagian-bagian Leuit:
Umpak, bagian ini terletak paling bawah dari seluruh bangunan. Bagian ini terbuat dari batu atau batu bata, bagian ini berfungsi untuk menahan pangkal daripada tiang leuit agar tidak menancap ke dalam tanah. Tiang leuit, berupa balok kayu dari jenis yang kuat berjumlah empat buah, fungsinya untuk menahan seluruh gaya berat bangunan. Bilik yaitu dinding yang terbuat dari anyaman bamboo untuk menutupi ruangan leuit. Iga, yaitu papan yang dipasang melintang di luar bilik. Fungsinya untuk menjepit bilik atau menahan bila ada tekananakibat isi leuit yang padat. Cangkok, yaitu kayu-kayu yang dipasang mendatar di tepi bagian leuit. Anting-anting kayu pendewk yang dipadsang melintang dengan tiang leuit, fungsinya untuk memperkuat dan menahan atap serta tiang leuit. Cabrik yaitu penutup atap samping kanan dan kiri. Ontob yaitu kayu untuk penutup atap ujung bawah. Ampig, yaitu kayu-kayu yang disusun penutup bagian kiri dan kanan rangka atap bangunan. Panto leuit, yaitu bagian dari leuit berletrak di bagian ampig berukuran krecil yang fungsinya untuk jalan keluar masuknya padi yang akan disimpan dan dikeluasrkan. Hateup yaitu atap leuit yang terbuat dari genteng atau bahan lainnya. Paparan, yaitu bagian amping terletak di atas leuit, sdehingga menyerupai para atau ruangan atas pada rumah tinggal.



Baca Artikel Terkait: