-->

Senin, 02 April 2018

Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional  

Taufik Abdullah 
KALAU sejarah hanyalah one damned thing after another, sudah pasti hasil usaha rekonstruksi peristiwa masa lalu itu tidak bisa merangsang terjadinya perdebatan akademis dan politis, bahkan filosofis. Kalau memang demikian, kita dengan enteng bisa menghapal tanggal 5 Juli 1959 sebagai saat ketika Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa UUD Sementara 1950 tak berlaku lagi dan Indonesia kembali memakai UUD 1945. Tanggal itu diingat tanpa rangsangan emosional dan intelektual apa pun. Dalam suasana seperti ini pula kita bisa menghapal bahwa pada tanggal 10 November 1945 Kota Surabaya dibom tentara Sekutu secara besar-besaran, dan pada tanggal 19 Desember 1948 tentara Belanda berhasil menduduki Yogyakarta dan menawan presiden, wakil presiden, dan beberapa orang anggota kabinet. Semua hanya rentetan peristiwa belaka tanpa makna apa pun. Semua hanyalah rentetan peristiwa yang datang dan lewat begitu saja.

Akan tetapi, sayangnya, sejarah tidaklah semata-mata rentetan peristiwa. Ada patokan atau kriteria tertentu yang menyebabkan sebuah kejadian tercatat sebagai peristiwa sejarah, dan dari yang tercatat itu ada pula yang diperlakukan sebagai sesuatu yang penting. Lebih penting lagi, peristiwa yang dianggap penting itu kerap kali pula menjadi sasaran berbagai corak penilaian dan tafsiran. Tingkat significance dari kejadian yang terpilih untuk “masuk sejarah” itu biasanya dilihat dalam kaitannya dengan kejadian-kejadian yang terjadi sebelumnya, dan dengan berbagai kejadian yang kemudian datang menyusul. Jika dianggap penting maka peristiwa itu pun sering pula dijadikan sebagai batas dari yang “sebelum” dan yang “sesudah”. Kerap kali juga terjadi bahwa peristiwa yang dianggap “penting” itu dikenakan penilaian dan tafsiran yang bertolak dari luar sejarah-entah dari praduga teoretis dan filosofis, atau ideologis-dan malah juga dari kepentingan politik.

PERDEBATAN tentang makna atau significance peristiwa sejarah adalah hal biasa, karena orang ingin juga mengambil hikmah dan kearifan dari peristiwa itu. Setidaknya demikianlah halnya dari sudut anggapan yang mengatakan sejarah sebagai lukisan dari perilaku masyarakat dan manusia. Tetapi bukan tak mungkin, dengan pengajuan sebuah peristiwa sejarah orang ingin mendapatkan landasan legitimasi bagi klaim politik atau, bisa juga, ideologis. Atau, kebalikannya, peristiwa itu mungkin pula dipakai sebagai pembuktian dari sesuatu yang ingin diingkari. 

Oleh karena itu, tidak perlu diherankan benar kalau banyak juga orang yang melihat peristiwa 5 Juli 1959 sebagai awal dari zaman otoritarianisme dan sentralisme di Tanah Air. Bukankah sejak Dekrit Presiden itu dikeluarkan lembaga legislatif praktis tidak lagi berdaya menghadapi kekuasaan eksekutif? Bukankah pula sejak itu dorongan sentralisasi semakin kuat dan kencang juga? Semakin kuat pemerintahan, maka semakin kentallah otoritarianisme itu, dan semakin kuat pula sentralisasi kekuasaan. Hal ini berlanjut sampai dengan terjadinya lengser keprabon pada bulan Mei 1998 yang lalu. Sebaliknya, tentu tidak pula perlu dianggap sebagai suatu keanehan kalau ada juga yang bertahan dengan pendapat bahwa tanggal itu secara simbolis menandai awal keberhasilan Indonesia untuk menemukan kembali “kepribadian nasional”-nya. 

Pandangan itu bukan saja dikatakan oleh sang pencetus ide “demokrasi terpimpin”, Bung Karno, tetapi juga oleh ilmuwan asing. Dalam komentar panjangnya tentang buku Herbert Feith (The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia), Harry Benda praktis beranggapan demikian. Sebab ia mengatakan bahwa lahirnya Demokrasi Terpimpin bisa dilihat sebagai saat ketika Indonesia kembali ke jalur sejarahnya yang otentik. Hanya saja dengan mengatakan ini Benda kelihatannya ingin juga menekankan bahwa demokrasi bukanlah salah satu ciri dari kebudayaan Indonesia. Maka jangan heran kalau ada juga peneliti asing yang menyebut sistem Demokrasi Terpimpin itu sebagai “Mataram Baru”. Namun begitu, kalau ada orang yang lebih suka melihat peristiwa itu sesuai dengan judul pidato Presiden pada tanggal 17 Agustus 1959 yang mengatakan bahwa “kembali ke UUD ’45” adalah pertanda dari “the rediscovery of our Revolution“, tentu bisa dimaklumi juga. 

Kita tidak perlu memperdebatkan tepat atau tidaknya tafsiran yang beraneka ragam ini. Hanya saja salah satu kecenderungan umum dalam perdebatan sejarah ialah semakin sering makna sebuah “peristiwa” diperdebatkan, maka semakin pentinglah tempatnya dalam rekonstruksi sejarah. Kalau telah begini, berbagai pertanyaan hipotetis dan teoretis biasanya diajukan pula terhadap peristiwa yang dianggap penting itu. Apakah, umpamanya, peristiwa 5 Juli 1959 sebuah “keharusan sejarah” yang tidak terelakkan? Atau, barangkali, peristiwa ini sebuah “kecelakaan sejarah”, yang tak semestinya terjadi? Atau, boleh jadi juga peristiwa itu tak lebih daripada contoh dari pengingkaran konstitusional dari sebuah sistem kekuasaan? Apa pun mungkin jawab yang diberikan, yang pasti ialah segera setelah peristiwa itu terjadi proses pembentukan realitas baru pun bermula pula. Tragis atau bukan, realitas yang terbentuk itu sampai kini masih mewarnai kehidupan kenegaraan kita.

KALAU peristiwa 5 Juli 1959 itu dikaji kembali, maka sebuah kesimpulan yang tidak terhindarkan ialah bahwa peristiwa itu adalah klimaks dari rentetan krisis sosial-politik yang semakin mengental sejak hasil dari dua Pemilu 1955-satu untuk Parlemen dan satu lagi untuk Konstituante-diumumkan. Apa pun mungkin sifat dari Dekrit Presiden itu, yang pasti ialah bahwa setelah diumumkan Indonesia tidak lagi sama dengan keadaan sebelumnya. Peristiwa itu berdiri sebagai batas simbolis antara tatanan politik yang sebelum dan yang sesudahnya. Sejak saat itu Soekarno mempunyai kebebasan relatif untuk mewujudkan kebijaksanaan politiknya, sebagai Kepala Negara dan Pemerintah.
Ironis mungkin, tetapi sejak itu pula ia lebih bebas mengadakan intensifikasi dari peranannya sebagai pemimpin bangsa. Secara konstitusional ia adalah Kepala Negara dari sebuah sistem politik yang Presidensial dan-sebagaimana ia juga suka mengatakannya-Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, tetapi ia lebih suka menyebut dirinya sebagai Penyambung Lidah Rakyat dan Pemimpin Besar Revolusi.

Maka, apa pun mungkin corak penilaian sejarah atau politik terhadap Demokrasi Terpimpin, namun secara empiris harus dikatakan juga bahwa dalam episode ini Soekarno dengan sadar menjadikan dirinya sebagai perpaduan dari legitimasi konstitusional dengan keharusan dan kesahihan ideologis. Karena itu, barangkali tidaklah terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa dari sudut kajian sejarah episode Demokrasi Terpimpin bisa pula diperlakukan sebagai “laboratorium” penyelidikan tentang kepemimpinan Soekarno, sebagai Kepala Negara/Pemerintahan dan sebagai pemimpin bangsa. Bisakah keduanya saling mendukung? Atau, mungkin saling menjegal? Kalau seandainya demikian, yang manakah yang lebih keras bersuara? 

Saat-saat menjelang Dekrit Presiden 5 Juli adalah salah satu episode yang terpadat dalam sejarah kontemporer kita. Dalam waktu sekitar dua tahun itu sedemikian banyak peristiwa yang muncul bertubi-tubi bahkan berhimpitan satu dengan yang lainnya. Barangkali hanya “masa transisi Habibie” (Mei 1998-Oktober 1999) yang bisa menyaingi kepadatan episode ini. Semua bermula dari hasil Pemilu 1955 yang ternyata gagal meletakkan dasar kestabilan politik. Pemilu ini hanya menghasilkan keseimbangan kekuatan partai-partai yang bersaingan politik di Parlemen dan yang bertentangan ideologis di Konstituante. Pemilu ini juga seakan-akan menunjukkan bahwa secara politik dan ideologis Indonesia terdiri atas Jawa, yang didominasi oleh Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI), dan luar Jawa, yang sebagian besar berada di belakang Masyumi. Partai “modernis Islam” ini bukan saja merupakan satu-satunya partai yang mendapatkan kursi di semua daerah pemilihan, tetapi juga menjadi pemenang di sepuluh dari 15 daerah pemilihan.

DALAM konteks sistem kenegaraan yang mengharuskan perdebatan masalah sosial-politik diselesaikan di parlemen dan masalah dasar negara dan konstitusi di Konstituante, “kekikukan” dalam dinamika politik tidak terhindarkan. Sebuah partai bisa menemukan kesesuaian dengan partai lain di parlemen, tetapi berada dalam kubu yang berbeda di Konstituante atau sebaliknya.
Dalam suasana intensifikasi politik ini Hatta menyadari bahwa ia tak lagi bisa bekerja sama dengan Soekarno. Ia meletakkan jabatan sebagai Wakil Presiden (Desember 1956) dan secara simbolis meniadakan “perwakilan” luar Jawa dalam kepemimpinan puncak nasional. Kabinet Ali Sastroamidjojo II, yang merupakan koalisi PNI-Masyumi-NU dan beberapa partai kecil, akhirnya tak bisa menahan badai politik yang terjadi dalam tubuhnya.
Dalam suasana krisis kabinet ini Presiden Soekarno merasa perlu untuk menunjuk seorang “warga negara” biasa, yang kebetulan bernama Soekarno dan kebetulan pula seorang presiden, sebagai formatur kabinet. Di tengah tudingan tentang terjadinya tindakan inkonstitusional, kabinet ahli yang dipimpin Djuanda pun terbentuk. Tetapi perdebatan konstitusional dan politik semakin menaik. Usaha Kabinet Djuanda untuk mengadakan rekonsiliasi nasional, dengan mengusahakan kemungkinan kembalinya Hatta ke dalam pemerintahan gagal berantakan. 

Usaha pembunuhan Soekarno di sekolah Cikini bukan saja menimbulkan tragedi kemanusiaan, tetapi juga peristiwa politik yang menggagalkan usaha penyatuan “dwitunggal”. Konflik Irian Barat semakin meningkat dengan “diambil-alihnya” perusahaan-perusahaan Belanda oleh organisasi buruh, yang langsung atau tidak berafiliasi dengan PKI. Pemerintah pun terpaksa melakukan nasionalisasi. Maka sekian ribu warga negara Belanda pun meninggalkan Indonesia, dengan segala kerusakan ekonomi yang diakibatkannya. 

Peraturan Pemerintah Nomor 10 yang melarang keturunan Cina untuk berdagang di daerah pedesaan bukan saja menyebabkan terjadinya eksodus mereka-khususnya dari Jawa Barat-tetapi juga ketegangan RI dengan RRT. Sementara itu konflik daerah-pusat pun semakin menajam juga. Dalam proses selanjutnya batas-batas antara hasrat daerah dengan pertentangan politik dan ideologi pun menjadi kabur, seperti juga menjadi kaburnya batas antara perdebatan politik dengan teror politik, yang dialami para penentang “konsepsi Presiden”. 

Dalam suasana inilah para pembangkang militer di Sumatera mengeluarkan ultimatum yang menuntut penggantian Kabinet Djuanda dengan kabinet yang dipimpin oleh Hatta dan/atau Sultan Hamengku Buwono IX. Penolakan atas ultimatum ini menyebabkan mereka tidak mempunyai pilihan lain selain dari memproklamasikan PRRI. Dan Permesta pun segera menyusul. Perkiraan PRRI/Permesta bahwa pemerintah pusat akhirnya bersedia berunding, ternyata hanya impian belaka. Operasi militer dilancarkan dan menjelang pertengahan tahun 1958 sudah kelihatan bahwa pemerintah tandingan yang berpusat di Sumatera Barat itu tidak lagi merupakan ancaman yang serius. Sementara itu kekuatan politik yang beragam-ragam itu mengalami pengentalan, dengan Soekarno sebagai sumbunya. Maka yang tinggal hanya dua kemungkinan saja, yaitu pro atau anti-Soekarno. 

BEGITULAH-untuk memperpendek cerita-ketika akhirnya Presiden Soekarno terbujuk juga oleh argumen Nasution untuk “kembali ke UUD 1945”, Indonesia telah melalui berbagai corak krisis, mulai dari hubungan daerah-pusat dan pertentangan partai-partai di pusat pemerintahan sampai dengan konflik internasional. 

Ketika Dekrit 5 Juli dikeluarkan, Soekarno dan TNI AD telah merupakan kekuatan politik yang paling utama. Konflik presiden dan TNI yang terjadi dalam “Peristiwa 12 Oktober” (1952) telah memberikan pada keduanya pelajaran yang sangat berharga. Dengan ucapannya yang terkenal-“Aku tidak mau jadi diktator”-presiden menolak tuntutan TNI AD agar membubarkan parlemen, yang mereka anggap telah terlalu mencampuri urusan internal militer. 

Sejak itu Soekarno semakin menyadari bahwa kedudukannya sebagai Kepala Negara, yang dikatakan “can do no wrong“, bukanlah peranan yang sesuai bagi dirinya. Sejak itu pula AH Nasution mulai memikirkan tempat yang sesuai bagi militer dan UUD yang menjanjikan kestabilan politik. Dengan argumen sejarah ia mengajukan UUD 1945 dan dengan argumen sejarah juga ia menemukan “jalan tengah” bagi militer. Kesempatan untuk mewujudkan itu datang dalam berbagai gejolak radikalisasi politik. 

Pengambilalihan beberapa perusahaan Belanda yang dilakukan buruh menyebabkan pemerintah mengadakan nasionalisasi dan menugaskan TNI AD untuk menjalankannya. TNI AD mendapat kesempatan untuk “berkenalan dengan dunia bisnis”. Pemberontakan PRRI/Permesta, yang memancing intervensi asing sekaligus menaikkan wibawa TNI dan Soekarno. Keberhasilan TNI mengatasi ancaman PRRI/Permesta dan pelaksanaan SOB, hukum bahaya perang, bukan saja telah menjadikan TNI AD di bawah Nasution semakin terkonsolidasi, tetapi juga semakin merupakan kekuatan politik yang harus diperhitungkan. 

Sementara itu, sejak terbentuknya zaken Kabinet Djuanda dan dibubarkannya Konstituante dan juga parlemen hasil pemilu, partai-partai mengalami kemunduran yang luar biasa. Liga Demokrasi yang dilahirkan beberapa tokoh partai sebagai protes terhadap pembubaran parlemen hanya bisa bertahan sebentar. Masyumi, partai yang paling “menjengkelkan” Soekarno, dan PSI, dibubarkan (1960), dengan alasan bahwa ada tokoh dari kedua partai itu terlibat dalam PRRI/Permesta. Tetapi PKI, yang berada di luar percaturan elite politik di pusat pemerintahan, karena penolakan partai-partai lain dan militer, selangkah demi selangkah berhasil menggarap masyarakat bawah. 

Dalam pemilu daerah yang diadakan pada tahun 1957 di Pulau Jawa, PKI menunjukkan bahwa partai ini telah menjadi yang terbesar. Lebih penting lagi selama tahun-tahun krisis politik, di bawah pimpinan yang muda dan pragmatis, PKI berhasil mendekatkan dirinya dengan Soekarno. Partai ini selalu muncul sebagai pembela dan pendukung garis politik dan ideologis Presiden Soekarno. Sebaliknya, betapapun mungkin TNI AD ingin menghambat gerak maju PKI, presiden selalu tampil sebagai pembela. Jika perlu Presiden Soekarno bersedia membuka dengan resmi Kongres PKI yang dihalang-halangi TNI AD.

MAKA, demikianlah Demokrasi Terpimpin ditandai dengan semakin kuatnya kedudukan politik Soekarno, TNI AD, dan PKI. Masalah yang terberat dihadapi Soekarno ialah menjamin kesetiaan militer, memelihara dukungan politik PKI, dan menghalangi kemungkinan terjadinya konflik terbuka antara TNI AD dengan PKI. Bagaimana keseimbangan dari kedua kekuatan besar ini tanpa membiarkan salah satu menjadi lemah? Bagaimanapun juga TNI harus merupakan sebuah kekuatan yang disegani di dalam maupun di luar negeri. Bukankah perjuangan Irian Barat semakin meningkat? Bukankah pula ancaman kekuatan anti-revolusioner, sebagaimana dirumuskan Manipol-USDEK (dokumen politik yang dikatakan Soekarno sebagai “hadis-nya Pancasila”) masih gentayangan? Sebaliknya PKI bukan saja sebuah kekuatan revolusioner yang diyakini Soekarno “bisa dijinakkan”-nya, tetapi juga sebuah partai yang dianggapnya bisa dengan memahami orientasi pemikirannya. 

Alasan empiris dari pemberlakuan Dekrit Presiden 5 Juli ialah bahwa Konstituante telah gagal mendapatkan 2/3 suara untuk menentukan Indonesia kembali ke UUD 1945. Tetapi dalam pidatonya yang terkenal, The Discovery of Our Revolution, yang disampaikan pada peringatan ulang tahun kemerdekaan kelihatan bahwa ada dua alasan utama, yang sejak lama telah menjadi obsesi Bung Karno.

Pertama, bahwa demokrasi liberal bertentangan dengan “kepribadian nasional”. Dalam pidatonya, ia menekankan kembali pidatonya di hari kemerdekaan 1957. “Demokrasi kita adalah demokrasi, yang”-sambil mengatakannya dalam bahasa Belanda-“tak meninggalkan apa-apa selain dari kemerdekaan itu sendiri”. Karena itulah demokrasi kita harus bercorak “negara-sentris, bukan yang membawa orang menjadi ego-sentris atau kelompok-sentris atau partai-sentris atau kronis-sentris”. Maka demokrasi yang diinginkan adalah yang terpimpin yang sesuai dengan tradisi luhur bangsa, yaitu “musyawarah dan mufakat”.
Kedua, kembali mengulangi tema lamanya ialah “revolusi belum selesai”. Tema inilah yang paling keras mengental dalam pidatonya ini. “Inilah logika revolusi”, kata Bung Karno, “sekali telah kita mulai kita harus melanjutkannya sampai semua cita-citanya terwujud. Ini adalah hukum mutlak dari revolusi, yang tak bisa dibantah, tak bisa diperdebatkan lagi. Karena itu jangan katakan ‘Revolusi telah selesai’, padahal revolusi masih terus berjalan“. Ia pun menegaskan juga revolusi Indonesia yang “multikompleks” atau-sebagaimana, katanya, disebut seorang ilmuwan asing-“a summing-up of many revolutions in one generation” .

Kedua konsep ideologis ini-“revolusi yang multikompleks”-dan “kepribadian nasional” bukan hal baru, tetapi dikeluarkan sebagai pendukung dekrit, keduanya bisa berfungsi terobosan terhadap impas politik. The Discovery of Our Revolution dikeluarkan di saat wacana ideologis sedang mengalami kebuntuan dan di waktu perdebatan dasar negara sedang mengalami kemacetan. Tetapi, meskipun kedua pasang ideologi bisa sangat persuasif bagi mereka yang telah bosan dengan sistem demokrasi yang semakin mandul, kedua konsep menunjukkan dengan jelas sikap anti-pluralisme politik Soekarno.

Pada hakikatnya kedua konsep ini bercorak hegemonik dan anti-wacana. Bagaimanakah bisa dilawan dengan begitu saja konsep “kepribadian nasional”, betapapun kaburnya, tanpa dibayangi ancaman tuduhan “tidak nasionalis”. Bagaimanakah akan dihadapi wacana “revolusi belum selesai” tanpa ancaman tuduhan sebagai reaksioner? Dalam wacana yang semakin hegemonik ini, tidaklah terlalu sukar untuk menebak golongan masyarakat mana yang telah mulai kehilangan kepercayaan kepada sistem parlementer yang terlalu ingin mencampuri semua hal. Tidaklah pula terlalu sukar untuk memperkirakan, golongan mana atau partai apa yang melihat kedua pasang wacana itu sebagai wahana yang mungkin membebaskannya dari keterpencilan pembagian kekuasaan.

KONSEP Revolusi Indonesia yang dikatakan sebagai sesuatu yang “congruent with social conscience of man” dan yang “multikompleks” itu membagi dunia atas dua kekuatan yang antagonistik dan mengidentifikasi musuh-musuh revolusi dengan jelas. Dalam perwujudannya revolusi itu berarti “membongkar”, “membangun”, “retooling“, “rebuilding” dan “herodening” semuanya. 

Diterapkan ke dalam sistem dan perilaku politik maka konsep tentang revolusi ini memberikan kepada TNI suasana yang congenial, sesuai, bagi klaim sejarah mereka. Ajukanlah pertanyaan yang heroik tentang revolusi nasional, maka siapakah yang akan diuntungkan secara ideologis? Setelah para pemimpin Republik ditawan Belanda, siapakah yang melanjutkan perjuangan, kalau bukan TNI? Bukankah pula TNI selalu mengatakan bahwa mereka berasal dari rakyat, dan karenanya akan selamanya menghirup nilai yang hidup di kalangan rakyat. Jadi, mengapa tidak mereka menyokong konsep “kepribadian bangsa”? Bagaimanapun Bung Karno bukan saja seorang pemimpin bangsa dan ideolog, ia adalah pula Presiden/Panglima Tertinggi. Kalau demikian, sang Presiden pun mempunyai sekian peralatan kekuatan untuk menjaga jangan sampai kesetiaan TNI kepada panglimanya berkurang.

Bagi PKI “revolusi” adalah jalan yang harus ditempuh untuk mewujudkan masyarakat tanpa-kelas, sebagaimana diajarkan marxisme-leninisme. Maka, terlepas dari latar belakang sosial Bung Karno yang “borjuis”, PKI bisa melihat bahwa ajarannya sejajar dengan faham yang telah mereka anut. Bukankah Bung Karno berkali-kali mengatakan ia adalah penganut Marxist, meskipun bukan dalam pengertian ideologi dan filsafat, tetapi sebagai landasan teori sejarah dan sosial. Jika Manifesto Politik merumuskan makna revolusi, menunjukkan lawan dan kawan revolusi, dan sebagainya, maka USDEK berarti UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Nasional. 

Jadi, USDEK bisa juga dilihat PKI sebagai “nasionalisasi” dari keprihatinan ideologis mereka. Apalagi Bung Karno adalah juga seorang Presiden yang sewaktu-waktu bisa memberikan perlindungan politik dan hukum bagi kehadiran dan aktivitas partai ini. Maka bisalah dipahami kalau PKI melihat Soekarno sebagai “pelindung” dan menyebutnya sebagai “aspek pro-rakyat” dalam pemerintahan. Aidit bahkan membuat hipotesa sejarah, jika seandainya Bung Karno yang berkuasa (bukannya Hatta) di tahun 1948, maka “peristiwa provokasi Madiun” tidak akan terjadi. Ia pun mengatakan pula bahwa Bung Karno adalah gurunya dalam marxisme-leninisme.
Salah satu kelemahan dari ideologi yang bersifat hegemonik dan antiwacana ialah pengikutnya cenderung membuat interpretasi sesuai dengan kepentingan masing-masing. Sifat anti-wacana yang terlekat itu dengan mudah menutup pintu bagi pengujian terbuka keabsahan interpretasi.
Dalam situasi ini hanya ucapan sang “Nabi” yang menjadi ukuran keabsahan. Mestikah diherankan kalau dalam persaingan untuk mendekati Soekarno, Presiden dan Pemimpin Besar Revolusi, perbedaan penafsiran semakin lama semakin membesar juga. Kalau telah begini benih-benih konflik terbuka semakin tumbuh juga. Maka kalau perbedaan penafsiran ini dikenakan ke lapangan politik, maka kemungkinan terjadinya tabrakan kepentingan semakin tak terelakkan. Tanpa disadarinya, Soekarno telah menjadi satu-satunya penyangga dari konflik terbuka antara TNI AD, yang diejek PKI sebagai “kapitalis birokrat/kabir” (karena keterlibatannya dalam bisnis), dengan partai yang telah mendapat kehormatan sebagai unsur “kom” dari pilar politik Demokrasi Terpimpin, Nasakom. Ketika sang penyangga itu goyah, maka semua hambatan pun mencair. 

Sedemikian mencairnya hambatan itu, seakan-akan analogi literer Hatta bahwa Soekarno adalah kebalikan dari Mephistopheles (tokoh dalam drama Goethe, Faust), kekuatan jahat yang mendatangkan kebaikan, terwujud dalam kenyataan empiris yang prosais. Maka bersama Soekarno kita pun menangis, karena di hadapan kita telah terhampar lembaran yang terhitam dalam sejarah Indonesia.

Demikianlah, ternyata memang tanggal 5 Juli 1959 bukan hanya sebuah tanggal dari terjadinya sebuah peristiwa. Tanggal ini dan tanggal-tanggal lain yang dicatat sejarah sebagai “penting” bisa memberi berbagai rangsangan perasaan dan renungan intelektual tentang nasib bangsa, negara, dan kemanusiaan.

Sumber tulisan : Seratus Tahun Soekarno (Liputan Khusus Kompas) Edisi 1 Juni 2001



Baca Artikel Terkait: