-->

Jumat, 27 April 2018

Sebelum Islam datang, Kerajaan Gowa telah berdiri dengan Tomanurung sebagai raja pertama. Namun, tak banyak catatan sejarah yang menyebutkan perjalanan kerajaan tersebut. 
Kapan tepatnya berdiri kerajaan pun tak ada data sejarah yang mengabarkan. Menurut Prof Ahmad M Sewang dalam Islamisasi Kerajaan Gowa: Abad XVI Sampai Abad XVII, Kerajaan Gowa diperkirakan berdiri pada abad ke-14.
Sebelum kerajaan tersebut berdiri, kawasannya sudah dikenal dengan nama Makassar dan masyarakatnya disebut dengan suku Makassar. Wilayah ini pun pernah menjadi bagian kekuasaan Majapahit.
Gowa dan Tallo pra-Islam merupakan kerajaan kembar milik dua bersaudara. Berawal di pertengahan abad ke-16, pada masa pemerintahan Gowa IV Tonatangka Lopi, ia membagi wilayah Kerajaan menjadi dua bagian untuk dua putranya, Batara Gowa dan Karaeng Loe ri Sero. Hal ini dikarenakan kedua putranya sama-sama ingin berkuasa.
Batara Gowa melanjutkan kekuasaan sang ayah yang meninggal dunia dengan memimpin Kerajaan Gowa sebagai Raja Gowa VII. Sedangkan adiknya, Karaeng Loe ri Sero, mendirikan kerajaan baru bernama Tallo.
Dalam perjalanannya, dua kerajaan bersaudara ini dilanda peperangan bertahun-tahun. Hingga kemudian pada masa Gowa dipimpin Raja Gowa X, Kerajaan Tallo mengalami kekalahan. Kedua kerajaan kembar itu pun menjadi satu kerajaan dengan kesepakatan “Rua Karaeng se’re ata” (dua raja, seorang hamba). 
Sejak keduanya menyepakati perjanjian maka siapa pun yang menjabat sebagai Raja Tallo, menjabat sebagai mangkubumi Kerajaan Gowa. Para sejarawan kemudian menamakan kedua kerajaan Gowa dan Tallo dengan Kerajaan Makassar.
LETAK KERAJAAN GOWA-TALLO
Kerajaan Gowa dan Tallo lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak di daerah Sulawesi Selatan. Makassar sebenarnya adalah ibukota Gowa yang dulu disebut sebagai Ujungpandang. Secara geografis Sulawesi Selatan memiliki posisi yang penting, karena dekat dengan jalur pelayaran perdagangan Nusantara. Bahkan daerah Makassar menjadi pusat persinggahan para pedagang, baik yang berasal dari Indonesia bagian timur maupun para pedagang yang berasal dari daerah Indonesia bagian barat. Dengan letak seperti ini mengakibatkan Kerajaan Makassar berkembang menjadi kerajaan besar dan   berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara. Berikut adalah peta Sulawesi Selatan pada saat itu.
KERAJAAN GOWA-TALLO / KERAJAAN MAKASSAR
 Lambang Kerajaan Gowa-Tallo
Era baru pun dimulai ketika Gowa dan Tallo bersatu. Inilah masa ketika kerajaan mulai bangkit menjadi kekuatan besar di Sulawesi Selatan. Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 menyebutkan, Gowa memiliki sebuah sistem wewenang ganda yang timbul akibat aliansi politik antara Kesultanan Gowa dan Tallo. Para sultan berasal dari garis keturunan Gowa, sedangkan perdana menterinya berasal dari garis Tallo. Sistem ketatanegaraan dibentuk sedemikian rupa sehingga tidak menghilangkan sama sekali kekuasaan Raja Tallo. Sejak saat itu, orang sering menyebut Gowa Tallo secara bersama-sama sebagai Kerajaan Makassar.
Setelah dua kerajaan bersatu, tepatnya pada masa Tonipalangga (1546-1565 M) dengan perdana menteri dari Tallo, Nappakata’tana Daeng Padulung, ditetapkan sebuah program politik ekspansi untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan tetangga. Politik itu pun berjalan baik. Pedalaman Bugis dan perairan Bone mampu dikuasai Gowa-Tallo.
Kebesaran Kerajaan Gowa-Tallo / Makassar tidak lain terjadi karena beberapa faktor, antara lain:
1| Letaknya strategis.
2| Memiliki Pelabuhan yang baik.
3| Jatuhnya Malaka pada tahun 1511 ke tangan Portugis yang menyebabkan pedagang Islam pindah ke Makassar.
Lambang Kerajaan Tallo
MASA PEMELUKAN ISLAM, MENJADI KESULTANAN MAKASSAR
Ketika kerajaan Gowa – Tallo memperluas wilayah dan pada saat yang sama banyak pedagang dari kepulauan nusantara yang menetap di Makassar. Mereka terdiri atas pedagang Melayu dari Pahang, Patani, Johor, Campa, Minangkabau, dan Jawa.
Berdasarkan Lontara Pattorioloang (Lontara Sejarah), pada masa pemerintahan Raja Gowa X Tonipalangga, terdapat sebuah perkampungan Muslim di Makassar. Penduduk kampung Muslim terdiri atas para pedagang Melayu tersebut. Bahkan, pada masa pemerintahan raja berikutnya, Tonijallo (1565-1590 M), berdiri sebuah masjid di Manggallekanna, tempat para pedagang itu bermukim.
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di Indonesia menuturkan, baik sumber asing maupun naskah kuno memaparkan, kehadiran Islam di Makassar telah ada sejak abad sebelum kedatangan Tome Pires (1512-1515 M).
Pasalnya, penjelajah Barat itu menceritakan bahwa Makassar sudah melakukan hubungan perdagangan dengan Malaka, Kalimantan, dan Siam. Akan tetapi, penguasa-penguasa lebih dari 50 negeri di Pulau Sulawesi saat itu masih menganut berhala atau belum Islam.
Meski telah ada permukiman Muslim dan masjid di sana, Islam baru benar-benar tampak saat Kerajaan Gowa-Tallo memeluk Islam. Menurut Sewang, para pemukim dari Melayu berinisiatif mendakwahkan Islam kepada para raja. Mereka pun kemudian mengundang tiga ulama dari Kota Tengah (Minangkabau) untuk mengislamkan Kerajaan Gowa-Tallo.
Inisiatif untuk mendatangkan mubaligh khusus ke Makassar sudah ada sejak Anakkodah Bonang (Nahkodah Bonang 3), seorang ulama dari Minangkabau sekaligus pedagang, berada di Gowa pada 1525. Akan tetapi, baru berhasil setelah memasuki awal abad 17 dengan kehadiran tiga orang mubaligh yang bergelar datuk dari Minangkabau.
Para mubaligh yang datang ke Makassar disebut dengan Dalto Tallu (Tiga Dato) atau sumber lain menyebut Datuk Tellue (Bugis) atau Datuk Tallua (Makassar). Ketiganya bersaudara dan berasal dari Kota Tengah, Minangkabau. Mereka, yakni Dato’ri Bandang (Abdul Makmur atau Khatib Tunggal), Dato’ri Pattimang (Dato’ Sulaemana atau Khatib Sulung), Dato’ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib Bungsu).
Prof Andi Zainal dalam Sejarah Sulawesi Selatan menuturkan, ketiga ulama tersebut tidak datang serta-merta langsung mendakwahkan Islam kepada para raja. Mereka terlebih dahulu mempelajari kebudayaan Bugis-Makassar di Riau dan Johor.Pasalnya, di dua tempat tersebut banyak etnis Bugis-Makassar bermukim. Baru setelah sampai di Makassar, mereka menemui para pedagang Melayu yang tinggal di sana. Dari keterangan merekalah diketahui bahwa raja yang paling dihormati adalah Datuk Luwu’, sedangkan yang paling kuat dan berpengaruh ialah Raja Tallo dan Raja Gowa. Maka, tiga raja itulah yang menjadi objek dakwah para ulama Melayu tersebut.
Pada awalnya para mubaligh tersebut berhasil mengislamkan Raja Luwu, yaitu Datu’ La Patiware’ Daeng Parabung dengan gelar Sultan Muhammad pada 15-16 Ramadhan 1013 H atau 4-5 Februari 1605 M. Kemudian, mereka pun berhasil mengislamkan Kerajaan Gowa-Tallo.
Karaeng Matowaya dari Tallo yang bernama I Mallingkang Daeng Manyonri (Karaeng Tallo) mengucapkan syahadat pada Jumat sore, 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605 M. Ia pun kemudian bergelar Sultan Abdullah. Selanjutnya, Karaeng Gowa I Manga’ rangi Daeng Manrabbia mengucapkan syahadat pada Jumat, 19 Rajab 1016 H atau 9 November 1607 M. Secara resmi, raja dari kerajaan Gowa-Tallo memeluk agama Islam.
Maka, dengan Islamnya kerajaan tersebut, dakwah Islam pun kemudian menyebar dengan pesat. Jika Aceh merupakan “Serambi Makkah” Indonesia, Gowa-Tallo adalah “Serambi Madinah”-nya. Karena di Gowa-Tallo, syariat Islam diterapkan kemudian didakwahkan ke timur Indonesia.Setelah Kerajaan Gowa-Tallo memeluk Islam, penyebaran Islam di Sulawesi dan bagian timur Indonesia sangat pesat. Kerajaan Gowa-Tallo berhasil menorehkan tinta emas sejarah peletakan dasar dan penyebaran Islam di bagian timur negeri ini.
Prof DR Ahmad M Sewang MA dalam Islamisasi Kerajaan Gowa: abad XVI sampai abad XVII menuturkan, peristiwa masuk Islamnya Raja Gowa-Tallo merupakan tonggak sejarah dimulainya penyebaran Islam di Sulawesi Selatan.
Pasalnya, terjadi konversi Islam secara besar-besaran pascaperistiwa tersebut. Penerimaan Islam dimulai dari sebuah dekrit yang dikeluarkan pemimpin Gowa-Tallo, Sultan Alauddin, pada 9 November 1607 M. Dekrit tersebut menyatakan Islam sebagai agama resmi kerajaan dan agama masyarakat.
Saat dekrit dikeluarkan, dakwah Islam masih berlangsung dengan damai. Kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan Gowa-Tallo pra-Islam pun dengan sukarela menerima agama Allah ini. Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.
Namun, hambatan dakwah mulai muncul ketika Raja Gowa-Tallo menyerukan Islam ke tiga kerajaan Bugis. Ketiga kerajaan yang tergabung dalam aliansi Tellunpoccoe menolak seruan tersebut. Maka, terjadilah perang antara Kerajaan Makassar yang terdiri atas Kerajaan Gowa dan Tallo dan Kerajaan Bugis yang terdiri atas Kerajaan Bone, Soppeng, dan Wajo.
Menurut artikel Islam di Kerajaan Gowa-Tallo; Menelusuri Jejak-jekak Islam dalam Kaitannya dengan Penyebaran Islam di Sulawesi di laman Wacana Nusantara, kerajaan yang menolak dakwah Gowa-Tallo merupakan kerajaan Bugis dan Mandar yang secara pemerintahan telah kuat.
Mereka khawatir Gowa-Tallo akan menjajah mereka. Faktor penolakan lain juga karena mereka sukar meninggalkan kegemaran makan babi, minum tuak, sabung ayam dengan berjudi, dan kebiasaan negatif lain.
Kepada yang menolak itu dikirimkan peringatan. Namun setiap kali ada pesan, setiap itu pula ditolak. Dengan alasan mereka itu mau membangkang dan melawan, maka terpaksa Gowa mengangkat senjata menundukkan mereka.
Namun, angkatan perang Gowa-Tallo yang terkenal sangat tangguh itu pun berhasil mengalahkan mereka. Satu per satu kerajaan Bugis dapat ditaklukkan. Dimulai pada 1609 M, tentara Gowa dikirim ke pedalaman untuk mengislamkan kerajaan Bugis dari yang terkecil, yakni Ajatappareng (Suppak, Sawitto, Rappang, dan Sidenreng).
Baru kemudian pada tahun yang sama, mereka bergerak ke Kerajaan Soppeng dan berhasil. Tahun berikutnya, Kerajaan Wajo pun menerima Islam, lalu pada 1611 M Kerajaan Bone memeluk Islam.
Menurut Sewang, terlepas dari motivasi Sultan Alaudin untuk berperang dengan kerajaan tetangga tersebut, perang itu sendiri justru sangatlah menguntungkan dari segi Islamisasi di Sulawesi Selatan. Hal tersebut karena raja-raja yang ditaklukkan kemudian memeluk Islam. “Raja Bone merupakan raja terakhir dari aliansi Tellunpoccoe yang menerima Islam setelah ia mengalami kekalahan dalam perang  pada 1611 M. Dengan masuknya Islam Raja Bone, sebagian besar wilayah Sulawesi Selatan telah memeluk Islam, kecuali Tana Toraja,” ujarnya.
Mengutip Noorduyn, De Islamisering van Makassar, Islamisasi Sulawesi Selatan terbagi atas tiga tahap. Pertama, datangnya orang-orang Islam untuk pertama kalinya di suatu daerah.Kedua, masuknya agama Islam yang berarti penduduk setempat telah memeluk agama Islam. Ketiga, penyebaran Islam, yaitu setelah Islam mulai disebarkan ke dalam masyarakat atau disebarkan ke luar daerah di mana Islam pertama kali diterima.

Sumber : https://vracarsa.blogspot.co.id/2016/06/sejarah-kerajaan-gowa-kerajaan-gowa.html?m=1



Baca Artikel Terkait: