-->

Minggu, 15 Juli 2018

Makalah Evaluasi Kurikulum Terlengkap

A.    Pengertian Evaluasi Kurikulum dan Peran Evaluasi Kurikulum

Evaluasi adalah suatu tindakan atau suatu proses untuk menetukan nilai dari sesuatu[1]. Evaluasi dalam pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses dalam usaha untuk mengumpulkan informasi yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk membuat keputusan akan perlu tidaknya memperbaiki sistem pembelajaran sesuai dengan tujuan yang akan ditetapkan.[2] Tyler seperti yang dikutip Sukmadinata menyatakan bahwa evaluasi adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan sudah tercapai atau terrealisasikan.

Sedangkan pengertian kurikulum, menurut Glatthorn dalam buku Zaini adalah sebagai rencana yang dibuat untuk membimbing anak belajar di sekolah, disjikan dalam bentuk dokumen yang sudah ditentukan, disusun berdasarkan tingkat-tingkat generalisasi, dapat diaktualisasikan dalam kelas, dapat diamati oleh pihak yang berkepentingan dan dapat membawa perubahan tingkah laku.[3]

Evaluasi dan kurikulum merupakan dua disiplin yang memiliki hubungan sebab akibat. Hubungan antara evaluasi dan kurikulum bersifat organis, dan prosesnya secara evolusioner.[4] Evaluasi merupakan kegiatan yang luas, kompleks dan terus menerus, untuk mengetahui proses dan hasil pelaksanaan system pendidikan dalam mencapai tujuan yang ditentukan.

Menurut Micheal Scriven dalam buku Nurgiantoro, mengemukakan bahwa proses penilaian terdiri dari tiga komponen, yaitu pengumpulan informasi, pembuatan pertimbangan, dan pembuatan keputusan. Ia mengartikan evaluasi sebagai “proses memperoleh informasi, mempergunakannya sebagai bahan pembuatan pertimbangan, dan selanjutnya sebagai dasar pembuatan keputusan”. Tyler dalam buku Hamalik, berpendapat bahwa evaluasi kurikulu pada dasarnya adalah suatu proses untuk mengecek keberlakuan kurikulum yang harus diberlakukan ke dalam empat tahap yaitu sebagai berikut:[5]

Evaluasi tehadap tujuan pembelajaran.Evaluasi terhadap pelaksanaan kurikulum atau proses pembelajaran yang meliputi metode, media dan evaluasi pembelajaran.Evaluasi terhadap evektifitas, baik evektifitas waktu, tenaga dan biaya.Evaluasi terhadap hasil yang telah dicapai.

Kegiatan evaluasi kebutuhan dan kelayakan terhadap kurikulum adalah suatu keharusan yang esensial dalam rangka pengembangan program kegiatan pendidikan pada umumnya dan peningkatan kualitas siswa pada khususnya. Hal ini terkait dengan pengembangan sumber daya manusia sebagai unsur utama pelaksanaan dan keberhasilan program pendidikan yang pada gilirannya membutuhkan pengelola dan pelaksana yang mampu menjalankan kegiatan pendidikan yang lebih berdaya.

Evaluasi kurikulum sebagai usaha sebagai usaha sistematis mengumpulkan informasi mengenai suatu kurikulum untuk digunakan sebagai pertimbangan mengenai mengenai nilai dan arti dari kurikulum dalam suatu konteks tertentu. Evaluasi kurikulum dapat mencakup keseluruhan kurikulum atau masing-masing komponen kurikulum seperti tujuan, isi, atau metode pembelajaran yang ada dalam kurikulum tersebut.

Secara sederhana, dapat disamakan dengan penelitian karena evaluasi kurikulum menggunakan penelitian yang sistematik, menerapkan prosedur ilmiah dan metode penelitian. Perbedaan antara evaluasi dan penelitian terletak pada tujuan. Evaluasi bertujuan untuk mengumpulkan, menganalisis dan menyajikan data untuk bahan  penetuan keputusan mengenai kurikulum apakah akan ada revisi atau diganti. Sedangkan penelitian memiliki tujuan yang lebih luas dari evaluasi yaitu mengumpulkan, menganalisis dan menyajikan data untuk mengui teori atau membuat teori baru.[6]

Evaluasi dan Kurikulum merupakan merupakan dua disiplin yang memiliki hubungan sebab akibat. Hubungan antara evaluasi dan kurikulum bersifat organis, dan prosesnya secara evolusioner. Evaluasi merupakan kegiatan yang luas, kompleks dan terus menerus, untuk mengetahui proses dan hasil pelaksanaan sistem pendidikan dalam mencapai tujuan yang ditentukan. Dimana semua tidak terlepas dari adanya berbagai criteria, mulai dari yang bersifat formal.

Evaluasi kurikulum memegang peran penting baik dalam penentuan kebijakansanaan pendidikan pada umumnya, maupun dalam pengambilan keputusan dalam kurikulum. Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijaksanaan pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebijakan pengembangan sistem pendidikan dan pegembangan model kurikulum yang digunakan. Hasil-hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guru-guru, kepala sekolah dan para pelaksana pendidikan lainnya, dalam memahami dan membantu perkembangan siswa, memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara penilaian, serta fasilitas pendidikan lainnya.[7]

Beberapa hasil evaluasi menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan keputusan. Pihak pengambil keputusan dalam pelaksanann pendidikan dan kurikulum adalah guru, murid, orang tua, kepala sekolah, para inspektur, pengembang kurikulum dan lain-lain. Namun demikian pada prinsipnya tiap pengambil keputusan dalam proses evaluasi memegang peran yang berbeda, sesuai dengan posisinya.

Salah satu kesulitan yang dihadapi dalam penggunaan hasil evaluasi bagi pengambilan keputusan adalah hasil evaluasi yang diterima oleh berbagai pihak pengambil keputusan adalah sama. Masalah yang timbul adalah apakah hasil evaluasi tersebut dapat bermanfaat bagi semua pihak. Jawabannya belum tentu, karena suatu informasi mungkin lebih bermanfaat bagi pihak tertentu tetapi kurang bermanfaat bagi pihak yang lain.[8]

Kesatuan penilaian hanya dapat dicapai melalui suatu konsesus. Konsesus tersebut berupa kerangka kerja penelitian yang dipusatkan pada tujuan-tujuan khusus, pengukuran prestasi belajar yang bersifat behavioral, analisis statistik dari prestasi tes post tes. Secara umum, langkah-langkah pokok evaluasi pendidikan meliputi tiga kegiatan utama yaitu persiapa, pelaksanaan dan pengolahan hasil.[9]

Peran evaluasi kurikulum dalam pendidikan berkenaan dengan tiga hal, yaitu sebagai berikut.[10]

Konsep sebagai moral judgement

Konsep utama dalam evaluasi adalah masalah nilai. Hasil dari suatu nilai berisi suatu nilai yang akan digunakan untuk tndakan selanjutnya. Hal ini mengandung dua pengertian yaitu:

Evaluasi berisi suatu skala nilai moral, berdasarkan skala tersebut suatu objek evaluasi daoat dinilaiEvaluasi berisi suatu perangkat kriteria praktis yang berdasarkan criteria-kriteria tersebutsuatu hasil dapat dinilaiEvaluasi dan penentuan keputusan

Beberapa hasil evaluasi menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan keputusan. Pihak pengambilan keputusan dalam pelaksanaan pendidikan dan kurikulum adalah guru, murid, orang tua, kepala sekolah, para inspektur, pengembangan kurikulum dan sebagainya.

Evaluasi dan konsesus nilai

Kesatuan penilaian dapat dicapai melalui suatu konsensus. Kosensus tersebut berupa kerangka kerja penelitian yang dipusatkan pada tujuan-tujuan khusus, pengukuran prestasi belajar behavioral, analisis statistik dari prestasi tes dan post tes. Ada dua dua kriteria dalam penilaian kurikulum:

Kriteria berdasarkan tujuan yang telah ditentukan atau sering disebut criteria patokanKriteria berdasarkan norma-norma atau standar yang ingin dicapai senagaimana adanya.B.     Implementasi dan Evaluasi Kurikulum

Kurikulum merupakan study intelektual yang cukup luas. Banyak teori tentang kurikulum. Beberapa teori menekankan pada rencana, pada inovasi, pada filosofi dan pada konsep-konsep yang diambil ari perilaku manusia. Secara sederhana teori kurikulum dapat diklasifikasikan atas teori-teori yang lebih menekankan pada evaluasi kurikulum, pada situasi pendidikan sertapada organisasi kurikulum.[11]

Terdapat beberapa perbedaan penekanan dalam kurikulum. Perbedaan penekanan dalam kurikulum tersebut mengakibatkan perbedaan dalam pola rancangan dan dalam pengembangannya. Konsep kurikulum yang menekankan isi memberikan perhatian besar pada analisis pengetahuan baru yang ada. Konsep situasi menuntut penilaian secara rinci tentang lingkungan belajar. Dan konsep organisasi memberikan perhatian besar pada struktur belajar. Perbedaan-perbedaan dalam rancangan tersebut mempengaruhi langkah-langkah selanjutnya.

Pengembangan kurikulum yang menekankan isi, membutuhkan waktu mempersiapkan situasi belajar dan menyatukannya  dengan tujuan pembelajaran yang cukup lama. Kurikulum yang menekankan situasi waktu mempersiapkannya lebih pendek, sedangkan kurikulum yang menekankan organisasi waktu persiapannya hamper sama dengan kurikulum yang menekankan isi.

Kurikulum yang menekankan isi sangat mengutamakan peran dimensi, mekipun umpamanya kurikulum itu kurang baik, mereka dapat melaksanakannya melalui jalur birokrasi. Tipe kurikulum ini mengikuti model penyebaran (difusi) dari pusat ke daerah. Sebaliknya, penyebaran kurikulum yang menekankan situasi sangat mementingkan penyiapan unsur-unsur yang terkait. Kurikulum yang menekankan organisasi, strategi penyebarannya sangat mengutamakan guru.[12]

Kurikulum yang menekankan organisasi, strategi penyebarannya sangat mengutamakan latihan guru. Penyebaran ini lebih merupakan pembaharuan dari dalam dan bukan karena paksaan atau keharusan dari luar. CARE (Centre for Applied Research in Education) di Universitas East Anglia Norwegia, aktif dalam mengadakan pelatihan guru. Salah satu proyeknya yang pertama adalah Nuffield/Schools Council Humanities Curriculum Projecttahun 1967. Proyek ini disiapkan untuk meningkatkan usia anak yang meninggalkan sekolah, disediakan bagi anak usia 14 sampai 16 tahun dan yang kecerdasannya di bawah rata-rata. Banyak kesulitan yang dialami dalam proyek ini, yang paling kritis adalah mengenai komunikasi antara tim proyek dengan guru-guru, para administrator, dan para siswa. Proyek ini juga memiliki suatu tim evaluasi. Salah satu kesimpulan dari hasil evaluasi mereka adalah hasil-hasil yang dicapai oleh guru-guru yang terlatih (yang mengerti maksud serta latar belakang proyek) tidak dapat dicapai oleh guru-guru yang tidak terlatih. Ini menunjukkan bahwa latihan guru memegang peranan penting dalam penyebaran program. Model evaluasi kaitannya dengan teori kurikulum.[13]

Dalam buku Nana Syaodih Sukmadinata mengatakan, pada kurikulum yang menekankan organisasi, tugas evaluasi lebih sulit lagi, karena isi dan hasil kurikulum bukan hal yang utama, yang utama adalah aktivitas dan kemapuan siswa. Salah satu pemecahan bagi masalah ini adalah dengan pendekatan Kurikulum Humaniti dari CARE. Dalam proyek itu dicari perbandingan materi antara proyek yang menggunakan guru yang terlatih dengan yang tidak terlatih, dalam evaluasinya juga diteliti pengaruh umum dari proyek, dengan cara mengumpulkan bahan-bahan secara studi kasus dari sekolah-sekolah proyek. Meskipun pendekatan perbandingan banyak memberikan hasil yang berharga, tetapi meminta waktu terlalu banyak dari evaluator. Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata bahan-bahan dari hasil studi kasus memberikan hasil yang lebih berharga bagi evaluasi kurikulum[14]

Perbedaan konsep dan strategi pengembangan dan penyebaran kurikulum, juga menimbulkan perbedaan dalam rancangan evaluasi. Model evaluasi yang berifat koperatif menekankan pada obyektif yang sangat sesuai bagi kurikulum yang bersifat rasional dan menekankan isi. Pendekatan yang bersifat goal free lebih memungkinkan untuk mengevaluasi kurikulum yang menekankan pada situasi. Pendekatan yang bersifat eklektif lebih cocok jika diterapkan dalam kurikulum yang menekankan organisasi.[15]

 

C.    Evaluator Kurikulum

Evaluasi kurikulum dilakukan oleh evaluator yang telah memenuhi syarat atau kualifikasi. Tidak semua orang boleh menjadi evaluator, kecuali orang-orang yang memang berkompeten di bidang kurikulum. Syarat-syarat tersebut antara lain adalah:[16]

Orang yang memiliki kemampuan untuk melakukan evaluasi baik secara teoritis maupun keterampilan praktis.Mempunyai kecermatan yang dapat melihat celah-celah dan detail serta bagian-bagian kurikulum.Bersikap obyektif dan tidak mudah terpengaruh oleh keinginan dan kepentingan pribadi sehingga dapat mengambil data dan kesimpulan yang sesuai dengan ketentuan.Sabar, tekun dan tidak gegabah dalam menjalankan tugas mulai perencanaan kegiatan, menyusun instrument, mengumpulkan data dan menyusun laporan.Hati-hati dalam menjalankan pekerjaan evaluasi dan bertanggung jawab terhadap segala tugas dan resiko kesalahan yang diperbuat

Evaluator kurikulum dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu sebagai berikut:[17]

Evaluator dalam (internal evaluator)

Evaluator dalam adalah pelaksanaan evaluasi kurikulum yang sekaligus berasal dari lembaga yang akan dievaluasi.

Kelebihan evaluator dalam adalah evaluasi menjadi tepat sasaran karena evaluator sangat memahami dan menguasai kurikulum yang akan dievaluasi. Hemat dari segi pendanaan, karen lembaga yang dievaluasi tidak perlu mengeluarkan banyak dana untuk membayar evaluator kurikulum.

Kelemahan evaluator dalam adalah adanya kemungkinan subyektifitas dari evaluator, yang hanya akan menyampaikan kepentingan pribadi. Kemungkinan adanya sikap tidak cermat evaluasi menurut versi dirinya

Evaluator luar (external evaluator)

Evaluator adalah evaluator yang berasal dan berada di luar lembaga yang akan dievaluasi dan tidak terlibat dalam implementasi kurikulum. Diharapkan evaluator ini mampu bertindak dan mampu bersikap independent, karena tidak memiliki kepentingan pribadi. Kelebihan evaluator luar adalah lebih obyektif dalam melaksanakan evaluasi karena ia tidak berkepentingan mengenai kategori keberhsilan atau kegagalan implementasi kurikulum yang telah berjalan. Apapun hasil evaluasi tidak akan direspon secara emosional oleh evaluator luar karena ia tidak ingin memperlihatkan bahwa kurikulum tersebut berhasil dengan baik. Kesimpulan yang akan diambil dan dibuat lebih sesuai dengan keadaan dan kenyataan.

Kelemahan evaluator luar antara lain adalah kurangnya pemahaman terhadap seluk beluk dan seluruh aspek kurikulum memungkinkan kesimpulan yang diambil kurang tepat. Pemborosan dana kerena pihak pengambil kebijakan harus mengeluarkan dana yang besar untuk membayar evaluator luar.

Mengingat masing-masing evaluator baik evaluator dalam mapun luar, memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan, maka sebaiknya dianjurkan evaluator itu gabungan dari dalam dan dari luar. Dengan demikian evaluator dalam bisa memberikan penjelasan dan pemahaman kepada evaluator luar tentang segala hal yang berhubungan dengan kurikulum. Hal ini menguntungkan pengambil kebijakan kere\na tidak perlu mengeluarkan banyak dana, dan menguntungkan bagi pelaksana kurikulum atau lembaga yang dievaluasi karena ada pihak dalam yang terlibat, yang tentu lebih memahami kurikulum tersebut dari pada orang luar.

Evaluator hendaknya terlebih dahulu mempelajari, menelaah dan mendalami seluruh aspek kurikulum yang akan dievaluasi, agar kesimpulan yang diambil tepat dan tidak merugikan pihak tertentu. Evaluator sering menghadapi delima pertimbangan etis, dalam menjalankan tugasnya seperti yang disinyalir Ronal G. Schnee dalam buku Muhammad Zaini yang  menyebutkan beberapa hal antara lain:[18]

Otonomi yang berkaitan dengan pelaksanaan program kurikulum, misalnya kepala sekolah dan guru. Mereka tentu akan menyanjung program kurikulum ketika diminta untuk mengevaluasi.Hubungan dengan klien, artinya evaluator ketika menjalankan tugasnya harus bekerja sama dengan klien atau pelaksana kurikulum di suatu sekolah.Evaluator dalam melaksanan tugasnya tidak boleh mengabaikan fakta politik dan konteks sosial, sehingga hasil kerja evaluasi kurikulum itu dapat bermafaat.Evaluator dalam dalam melaksanakan evaluasi tidak mungkin melepaskan diri dari nilai-nilai atau norma yang dianut dan dijadikan pedoman hidupnya.Evaluator hendaknya memilih dan mempertimbangkan rancangan dan metodologi, untuk mendapatkan hasil yang maksimal.Memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menelaah kembali (review) terhadap rancangan evaluasi, guna mengurangi adanya bias dan pemborosan.Evaluator hendaknya dengan jujur mencantumkan penjelasan tentang keterbatasan dan hambatan selama proses evaluasi berlangsung.Evaluator perlu menyertakan hasil evaluasi negativ agar data yang dilaporkan bermanfaat bagi peningkatan program berikutnya.Penyebar luasan hasil evaluasi, karena tujuan evaluasi adalah untuk mengumpulkan informasi bagi tindak lanjut program.Evaluasi tidak boleh melanggar hal-hal yang dilindungi sesuai dengan peraturan yang ada.Pelaksanaan program boleh menolak evaluator dengan alasan tertentu.

 

D.    Model Evaluasi Kurikulum

Evaluasi kurikulum merupakan suatu tema yang luas, meliputi banyak kegiatan, meliputi sejumlah prosedur, bahkan dapat merupakan suatu lapangan studi yang berdiri sendiri. Evaluasi kurikulum juga merupakan suatu fenomena yang multifaset, memiliki banyak segi.

Macam-macam model evaluasi yang digunakan bertumpu pada aspek-aspek tertentu yang diutamakan dalam proses pelaksanaan kurikulum. Model evaluasi yang bersifat komparatif berkaitan erat dengan tingkah laku individu. Evaluasi yang berorentasi tujuan berkaitan erat dengan meteri dan tingkah laku individu. Evaluasi yang menekankan tujuan berkaitan erat dengan kurikulum yang menekankan pada bahan ajar atau isi kurikulum. Model atau pedekatan antropologis dalam evaluasi ditunjukkan untuk mengevaluasi tingkah laku dalam suatu lembaga social. Dengan demikian, sesungguhnya terdapat hubungan yang sangat erat antara evaluasi dengan kurikulum sebab teori kurikulum juga merupakan teori dari evaluasi kurikulum.

Ada beberapa model dalam evaluasi kurikulum, yaitu sebagai berikut:[19]

1.      Evaluasi kurikulum model penelitian (research evaluation model)

Model evaluasi kurikulum yang menggunakan penelitian didasarkan atas teori dan metode tes psikologi serta ekperimen lapangan. Salah satu pendekatan dalam evalusai yang menggunakan eksperimen lapangan adalah comparative approach, yaitu dengan mengadakan perbandingan antara dua macam kelompok anak.

Model evaluasi kurikulum yang menggunakan model penelitian didasarkan atas teori dan metode tes psikologi dan serta eksperimen lpangan.[20] Tes psikologi atau tes psikometrik pada umumnya mempunyai dua bentuk, yaitu tes intelegensi yang ditunjukkan untuk mengukur kemampuan bawaan, serta tes bawaan yang mengukur perilaku skolastik.

Ada beberapa kesulitan yang dihadapi dalam eksperimen tersebut. Pertama, kesulitan administrative, sedikit sekali sekolah yang bersedia dijadikan sekolah eksperimen. Kedua, masalah teknis dan logis, yaitu kesulitan menciptakan kondisi kelas yang sama untuk kelompok-kelompok yang diuji. Ketiga, sukar untuk mencampurkan guru-guru untuk mengajar pada kelompok eksperimen dengan kelompok control, pengaruh guru-guru tersebut sukar dikontrol. Keempat,ada keterbatasan mengenai manipulasieksperimen yang dapat dilakukan.

2.      Model evaluasi kurikulum yang berorientasi pada tujuan (goal/objective oriented evaluation model)

Dalam model ini, evaluasi merupakan bagian yang sangat penting dari proses pengembangan kurikulum. Kurikulum tidak dibandingkan dengan kurikulum lain, tetapi diukur dengan seperangkat tujuan atau kompetensi tertentu. Keberhasilan pelaksanaan kurikulum diukur oleh penguasaan siswa akan tujuan-tujuan atau kompetensi tersebut.

Ada beberapa persyaratan yang harus dipeuhi oleh tim pengembang model obyektif, yaitu sebagai berikut:[21]

Ada kesepakatan tentang tujuan-tujuan kurikulumMerumuskan tujuan-tujuan tersebut dalam perbuatan siswaMenyusun materi kurikulum yang sesuai dengan tujuan tersebutMengukur kesesuaian antara perilaku siswa dengan hasil yang diinginkan

Dasar-dasar teori Tvlor dan Bloom menjadi prinsip sentral dalam berbagai rancangan kurikulum, dan mencapai puncaknya dalam system belajar berprogram dan system instruksional. Sistem pengajaran yang terkenal adalah IPI (Individually Prescribed Instruction). Dalam IPI anak mengikuti kurikulum yang mengikuti 7 unsur, yaitu:

Tujuan-tujuan pengajaran yang disusun dalam daerah-daerah, tingkat-tingkat dan unit-unitSuatu prosedur program testingPedoman prosedur penulisanMateri dan alat-alat pengajaranKegiatan guru dalam kelasKegiatan murid dalam kelasProsedur pengelolaan kelas.3.      Model evaluasi kurikulum yang lepas dari tujuan (goal free evaluation model)

Model ini dikembangkan oleh Micheal Scriven, yang cara kerjanya berlawanan dengan model evaluasi yang berorientasi pada tujuan. Menurut pendapat Scriven, seorang evaluator tidak perlu memperhatikan apa yang menjadi tujuan pembelajaran, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kerjanya.[22] Cara dengan memperhatikan dan mengidentifikasi penampilan yang terjadi, baik hal-hal positiv yang diharapkan maupun hal-hal negativ yang tidak diinginkan.

4.      Model campuran multivariasi

Model campuran multifariasi adalah strategi evaluasi yang menyatukan unsur-unsur dari beberapa model evaluasi kurikulum. Model ini memungkinkan perbandingan lebih dari satu kurikulum dan secara serempak keberhasilan tiap kurikulum diukur berdasarkan criteria khusus dari masing-masimg kurikulum.

Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam model evaluasi ini yaitu:

mencari dan  menentukan sekolah yang berminat untuk dievaluasi atau diteliti.Pelaksanaan program, bila tidak ada percampuran sekolah, maka tekanannya pada partisipasi yang optimal.Semetra tim menyusun tujuan yang meliputi semua tujuan dari pengajaran umpamanya dengan menggunakan metode global dan metode unsur, dapat disiapkan tes tambahan.Bila semua informasi yang diharapkan telah terkumpul, maka mulailah pekerjaan computer.Tipe analisis dapat juga digunakan untuk mengukur pengaruh bersama dari beberapa variable yang berbeda.[23]

Beberapa kesulitan yang dihadapi dalam model campuran multivareasi ini adalah:

Diharapkan memberikan tes statistic yang signifikan.Terlalu banyaknya variable yang perlu dihitung pada suatu saat.Meskipun model ini telah mengurangi masalah kontrol berkenaan dengan eksperimen lapangan tetapi tetap menghadapi masalah-masalah pembandingan.5.      Model evaluation program for innovate curriculumbs (EPIC)

Model ini menggambarkan keseluruhan program evaluasi kurikulum dalam sebuah kubus. Kubus ini memiliki tiga bidang, bidang pertama adalah perilaku (behavior) yang meliputi perilaku cognitive, affective, psychomotor. Bidang kedua adalah pembelajaran (instruction), yang meliputi organisasi, materi, metode fasilitas atau sarana dan pendanaan. Bidang ketiga adalah kelembagaan (institution) yang meliputi guru, murid, administrasi, tenaga kependidikan, keluarga dan masyarakat.

6.      Model CIPP (Contex, Input, Procces, and Product)

Model ini dikembangkan oleh Stufflebeam (1967) dan kawan-kawan di Ohio State University AS dan model ini paling banyak diikuti oleh para evaluator. Model ini memandang bahwa kurikulum yang dievaluasi adalah sebuah sistem, maka apabila evaluator telah menentukan untuk menggunakan model CIPP, maka evaluator harus menganalisis kurikulum tersebut berdasarkan komponen-komponen model CIPP.

Model ini mengemukakan bahwa untuk melakukan penilaian terhadap program pendidikan diperlakuakan empat macam jenis yaitu:

Penilaian konteks (context)yang bekaitan dengan tujuan.

Penilaian konteks adalah upaya untuk menggambarkan dan merinci lingkungan,  kebutuhan, populasi dan sample yang dilayani serta tujuan pembelajaran. Kebutuhan siswa apa saja yang belum terpenuhi, tujuan apa saja yang belum tercapai dan tujuan apa saja yang belum tercapai.

Penilaian masukan (input) yang berguna untuk pengambilan k eputusan desain.

Maksud evaluasi ini adalah kemampuan siswa dan kemapuan sekolah dalam menunjang pendidikan.

Penilaian proses (process) yang membimbing langkah operasional dalam pembuatan keputusan.

Penilaian ini menunjukkan pada kegiatan yang dilakukan dala program, apakah pelaksanaan kurikulum tetap sanggup melakukan tugasnya, siapa yang bertanggung jawab melaksanakannya, dan lain-lain.

Penilaian keluaran yang memberikan data sebagai tambahan erbuatan keputusan (product).

Penilaian keluaran adalah tahap akhir serangkaian evaluasi program kurikulum, yang diarahkan pada hal-hal yang menunjukkan perubahan yang terjadi pada siswa.

7.      Model Ten Brink

Ten Brink mengemukakan adanya tiga tahap evaluasi kurikulum yaitu; pertama, tahap persiapan, adapun langkah – langkahnya sebagai berikut:[24]

Melukiskan secara spesifik pertimbangan dan keputusan yang dibuat.Melukiskan informasi yang diperlukan.Memanfaatkan informasiyang adaMenentukan kapan dan bagaimana cara memperoleh informasiMenyusun dnn memilih instrument pengumpulan informasi yang digunakan.

Kedua, tahap pengumpuln data melalui dua langkah yaitu memperoleh informasi yang diperlukan dan menganalisis dan mencatat informasi. Ketiga, tahap penilaian yang berisi keiatan – kegiatan sebgai berikut:

Membuat pertimbangan yang digunakan sebagai dasar pembuatan keputusanMembuat keputusan yang merupakan suatu pilihan beberapa alternatif tindakanMengikhtisarkan dan melaporkan hasil penilaian8.      Model Pendekatan Proses

Evaluasi kurikulum model pendekatan proses ini tumbuh dan berkembang secara kualitatif, yang menjadi pendekatan yang penting. Karakteristik model ini adalah:[25]

Kriteria yang digunakanuntuk evaluasi tidak dikembangkan sebelum pelaksanaan (evaluator) berada di lapangan.Sangat peduli dengan masalah yang dihadapi oleh para pelaksana kurikulum.Evaluasi yang dilakukan terhadap kurikulum adalah merupakan satu kesatuan yang utuh, tidak terpecah belah dalam bagian-bagian tertentu.

Adapun prosedur evaluasi kurikulum model pendekatan proses adalah sebagai berikut:

Pengumpulan data dari berbagai sumber, misalnya kepala sekolah atau madrasah, guru dan tenaga kependidikanMenganalisis data setelah data terkumpul dari berbagai sumberPengambilan keputusan dan berpijak pada kelebihan dan kekurangan suatu kurikulum, sehingga akan melahirkan pemikiran alternativ untuk perbaikan atau inovasi kurikulum.9.      Model Evaluasi Kuantitatif[26]

Model kuantitatif ditandai oleh cirri yang menonjol dalam penggunaan prosedur kuantitatif untuk mengumpulkan data sebagai konsekuensi penerapan pemikiran paradigma positivisme. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, paradigma positivism menjadi tradisi keilmuan dalm evaluasi terutama melalui tradisi psikometrik.

Hal lain yang dapat dikemukakan mengenai model-model kuantitatif ini ialah persamaan mereka dalam fokus evaluasi yaitu pada kurikulum dimensi hasil belajar. Ada beberapa macam dalam model evaluasi kuantitatif yaitu:

Model balck box Tyler

Model Tyler dinamakan Black Box karena tidak ada nama resmi yang diberikan oleh pengembangnya. Tyler, yang mengajukan model ini menuliskan buah pikirannya tersebut tidak dalam satu tulisan lepas mengenai evaluasi kurikulum. Buku yang diberi judul Basic principles of curriculum and instruction ditulis ketika ia bertugas sebagai professor di Universitas Chicago.

Model yang dikemukakan dibangun atas dua dasar, yaitu: evalusai yang ditunjukkan kepada tingkah laku peserta didik dan evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku awal peserta didik sebelum suatu pelaksanaan kurikulum serta pada saat peserta didik telah melaksanakan kurikulum tersebut.

Dengan dasar evaluasi yang kedua, Tyler menghendaki evaluator dapat menetukan perubahan tingkah laku yang terjadi sebagai hasil belajar yang diperoleh dari kurikulum. Dalam pelaksanaannya, Tyler mengemukakan ada tiga prosedur utama yang harus dilakukan yaitu:

Menentukan tujuan kurikulum yang akan di evaluasiMenentukan situasi di mana peserta didik mendapatkan kesempatan untuk memperlihatkan tingkah laku yang berhubungan dengan tujuanMenentukan alat evaluasi yang akan digunakan untuk mengukur tingkah laku peserta didik.

Model evluasi Tyler memiliki keunggulan dalam kesederhanaannya. Evaluator dapat memvokuskan kajian evaluasinya hanya pada satu dimensi kurikulum yaitu dimensi hasil belajar. Keunggulan model Tyler pada sisi lain menjadi titik lemah model ini. Fokus pada hasil belajar dan mengabaikan dimensi proses adalah sesuatu yang tidak sejalan dengan pendidikan.

Faktor lain yang menyebabkan kelemahan model ini adalah kenyataan yang diungkapkan oleh banyak studi yang mengkaji dimensi proses. Kenyataan yang terungkap dari hasil studi tentang proses ini menyebabkan sukar untuk melakukan claim bahwa hasil yang diperlihatkan oleh peserta didik adalah hasil yang ditimbulkan kurikulum yang dievaluasi

Model teoritik Taylor dan Maguire

Model ini lebih mendasarkan dirinya pada pertimabangan teoritik suatu model evaluasi kurikulum. Unsur-unsur yang ada dalam model ini seperti sumber sosial tujuan, tujuan yang dikembangkan berdasarkan pendekatan behavioral, pengembangan strategi dan semangat psikometrik kiranya merupakan pengaruh Tyler yang mungkin tidak didasari Taylor dan Maguire.

Berdasarkan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan tersebut maka satuan pendidikan mengembangkan visi dan tujuan yang ingin dicapai satuan pendidikan tersebut. Tugas tugas tersebut yaitu:

Menjadi pengembang tanggung jawab para pengembang kurikulum ditigkat satuan pendidikanMencari data mengenai keserasian antara tujuan umum dengan tujuah behavioral dan hasilnya dimasukkan menjadi vektor lanjur matrik penafsiranMengevaluassi pengembangan tujuan tersebut menjadi pengalaman belajar.Model pendekatan sistem  Alkin

Pendekatan ini memiliki keunikan dibandingkan pakar evaluasi lainnya dimana ia memasukkan unsur pendekatan ekonomi mikro dalam pekerjaan evaluasi. Model ini dikembangkan berdasarkan empat asumsi yaitu:

Variable perantara adalah merupakan satu-satunya kelompok varabel yang dapat dimanipulasi.Sistim luar tidak langsung dipenaruhi oleh keluaran sistimPara pengambil keputusan sekolah tidak memiliki kontrol mengenai pengaruh yang diberikan sistim luar.Faktor masukkan mempengaruhi aktivitas faktor perantara

Pada dasarnya, model pendektan system Alkin dapat digunakan untuk melakukan kajian mengenai kurikulum di Indonesia terlebih-lebih ketika satuan pendidikan telah memiliki KTSP. Kekuatan model ini adalah keterkaitannya dengan sistem. Evaluasi suatu satuan pendidikan yang masing-masing sangat dimungkiinkan karena setiap satuan pendidikan itu merupakan unit yang dikendalikan secara khusus dengan berlakunya manajemen berbasis sekolah.

Kelemahan model ini terutama keterbatasannya dalam fokus kajian. Model ini hanya dapat digunakan untuk mengevaluasi kurikulum yang sudah siap dilaksanakan oleh sekolah. Dala situasi pengembangan kurikulum yang sekarang (KTSP) model ini dapat digunakan setelah kurikulum tersebut berhasil dikembangkan dan siap dilaksanakan di satuan pendidikan tersebut.

Model countenance stake

Model ini adalah model pertama evaluasi kurikulum yang dikembangkan Stake. Stake mengemukakan keseluruhan keiatan evaluasi yang harus dilakuakan dengan cara yang diinginkan bagaimana evaluasi tersebut dilakukan. Dalam buku ini model Stake dikelompokkan sebagai model evaluasi kuntitatif karena pada awalnya model ini dikembangkan dengn pendekatan kuantitatif. Tapi, apabila kemudian adaevaluator yang ingin menggunakan model ini dengan pendekatan kualitatif tentu saja.

10.  Model Ekonomi Mikro[27]

Model ekonomi mokro pada dasarnya adalah model yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Sebagaimana kebanyakan model kuantitatif, model ekonomi mikro memiliki fokus utama pada hasil (hasil dari pekerjaan, hasil belajar dan hasil yang diperkirakan).

Dalam mengukur hasil, digunakan suatu instrument yang sudah ditandarisasi. Penggunaan instrumen standar penting karena hanya dengan demikian perbandingan antara biaya dengan hasil dapat dilakukan secara berimbang. Kurikulum lain yang dikembangkan oleh satuan pendidikan lain mungkin didasarkan atas ide yng berbeda. Dalam pandangan teoritikkurikulum satuan pendidikan  tersebut dinyatakan baahwa seseorang yang telah menyelesaikan studinya harus memiliki pengetahuanyang cukup untuk dapat hidup produktif di masyarakat.

Persoalan mengenai persamaan tujuan kurikulum yang akan dibandinkan tidak akan dialami oleh evaluator yang akan menerapkan model cost-benefit. Hal penting lainnya ialah bahwa skala penilaian tersebut diukur pada pengukuran interval dan bukan ordinal.

Model terakhir dari kelompok mikro ekanomi ialah yang dinamakan model cost-feasibility. Berbeda dengan ketiga model terdahulu, model ini tidak berusaha mencari hubungan antara biaya dengan hasil tertentu. Perhitungan biaya masa depan perlu diperhitungkan agar kurikulum yang dikembangkan tersebut mendapat jaminan dalam implementasinya.

11.  Model Evaluasi Kualitatif[28]

Ciri khas dari model evaluasi kualitatif adalah selalu menempatkan proses pelaksanaankurikulum sebagai fokus utama evaluasi. Oleh karena itu kurikulum dalam dimensi kegiatan atau proses lebih mendapatkan perhatian dibandingkan dimensi lain suatu kurikulum walaupun harus dikatakan bahwa perhatian utama terhadap proses dimensi lain.

Model utama evaluasi kualitatif adalah studi kasus. Demikian kuatnya posisi studi kasus sebagai model utama dilingkungan evaluasi kualitatif sehingga setiap orang berbicara tentang model evaluasi kualitatif maka nama studi kasus segera muncul dalam kontak memorinya.

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Evaluasi kurikulum sebagai usaha sebagai usaha sistematis mengumpulkan informasi mengenai suatu kurikulum untuk digunakan sebagai pertimbangan mengenai mengenai nilai dan arti dari kurikulum dalam suatu konteks tertentu. Evaluasi kurikulum dapat mencakup keseluruhan kurikulum atau masing-masing komponen kurikulum seperti tujuan, isi, atau metode pembelajaran yang ada dalam kurikulum tersebut. Secara sederhana, dapat disamakan dengan penelitian karena evaluasi kurikulum menggunakan penelitian yang sistematik, menerapkan prosedur ilmiah dan metode penelitian. Perbedaan antara evaluasi dan penelitian terletak pada tujuan. Evaluasi bertujuan untuk mengumpulkan, menganalisis dan menyajikan data untuk bahan  penetuan keputusan mengenai kurikulum apakah akan ada revisi atau diganti. Sedangkan penelitian memiliki tujuan yang lebih luas dari evaluasi yaitu mengumpulkan, menganalisis dan menyajikan data untuk mengui teori atau membuat teori baru.

Kurikulum merupakan study intelektual yang cukup luas. Banyak teori tentang kurikulum. Beberapa teori menekankan pada rencana, pada inovasi, pada filosofi dan pada konsep-konsep yang diambil ari perilaku manusia. Secara sederhana teori kurikulum dapat diklasifikasikan atas teori-teori yang lebih menekankan pada evaluasi kurikulum, pada situasi pendidikan sertapada organisasi kurikulum. Terdapat beberapa perbedaan penekanan dalam kurikulum. Perbedaan penekanan dalam kurikulum tersebut mengakibatkan perbedaan dalam pola rancangan dan dalam pengembangannya. Konsep kurikulum yang menekankan isi memberikan perhatian besar pada analisis pengetahuan baru yang ada. Konsep situasi menuntut penilaian secara rinci tentang lingkungan belajar. Dan konsep organisasi memberikan perhatian besar pada struktur belajar. Perbedaan-perbedaan dalam rancangan tersebut mempengaruhi langkah-langkah selanjutnya

Evaluasi kurikulum dilakukan oleh evaluator yang telah memenuhi syarat atau kualifikasi. Tidak semua orang boleh menjadi evaluator, kecuali orang-orang yang memang berkompeten di bidang kurikulum. Evaluator kurikulum dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu sebagai berikut:

Evaluator dalam (internal evaluator)

Pelaksanaan evaluasi kurikulum yang sekaligus berasal dari lembaga yang akan dievaluasi.

Evaluator luar (external evaluator)

Macam-macam model evaluasi yang digunakan bertumpu pada aspek-aspek tertentu yang diutamakan dalam proses pelaksanaan kurikulum. Model evaluasi yang bersifat komparatif berkaitan erat dengan tingkah laku individu. Evaluasi yang menekankan tujuan berkaitan erat dengan kurikulum yang menekankan pada bahan ajar atau isi kurikulum. Model atau pedekatan antropologis dalam evaluasi ditunjukkan untuk mengevaluasi tingkah laku dalam suatu lembaga social

Evaluasi kurikulum model penelitian (research evaluation model)Model evaluasi kurikulum yang berorientasi pada tujuan (goal/objective oriented evaluation model)Model evaluasi kurikulum yang lepas dari tujuan (goal free evaluation model)Model campuran multifariasiModel evaluation program for innovate curriculumbs (EPIC)Model CIPP (Contex, Input, Procces, and Product)Model Ten Bink

 

B.     Saran

Kami sadar bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak terdapat kekurangan karena keterbatasan saya sebagai manusia biasa, untuk itu kritik dan saran amat kami harapkan demi kesempurnaan kami dalam menyelesaikan tugas-tugas dimasa yang akan datang.

 

 

 

 

 

[1] Wayan Nurkancana, Evaluasi Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), hal. 1

[2] Muhammad Zaini, Pengembangan Kurikulum Konsep Implementasi Evaluasi dan Inovasi, (Yogyakarta: TERAS, 2009), hal. 104

[3] Ahmad dkk, Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Pustaka Setia, 1989), hal. 15

[4] Suharsimi Arikunto dan Cepe Safrudin Abdul Jabar, Evaluasi Program Pendidikan Pedoman Teorotis dan Praktis bagi Praktis Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hal. 4

[5] Omar Homalik, Evaluasi Kurikulum,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990), hal. 52

[6]http://blog.elearning.unesa.ac.id/antok-saivul-huda/definisi-tujuan-dan-fungsi-evaluasi-kurikulum. diakses tanggal 09-05-2012

[7] Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1996), hal. 172

[8] Muhammad Zaini, Pengembangan Kurikulum, hal. 146

[9] M. Chabib Toha, Teknik Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,  2003), hal. 18

[10] Muhammad Zaini, Pengembangan Kurikulum,(Surabaya: eLKAF, 2006) hal. 105

[12] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997), hal. 170

[13] http://popeye-hijau.blogspot.com/2010/09/model-evaluasi-kurikulum.html. diakses 09-05-2012

[14] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, hal. 178

[15] Muhammad Zaini, Pengembangan Kurikulum, hal. 148

[16] Ibid, hal. 148

[17] Ibid, hal. 149

[18] Ibid, hal. 151

[19] Ibid, hal. 152

[20] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, hal. 185

[21] Ibid, hal. 186

[22] Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 122

[23]Muhammad Zaini, Pengembangan Kurikulum, hal. 154

[24] Burhan Nurgiantoro, Dasar-dasar Pengembanagan Kurikulum Sekolah, (Yoyakarta: BPFE, 1998), hal. 191

[25] Muhammad Zaini, Pengembangan Kurikulum, hal. 158

[26] Hamid Hasan, Evaluasi Kurikulum, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 187

[27] Ibid, hal. 223

[28] Ibid, hal. 228

Sumber: https://muhammadbushairi.wordpress.com/2012/06/28/makalah-evaluasi-kurikulum/




Baca Artikel Terkait: