-->

Jumat, 10 Maret 2023

 M A K A L A H

Fungsi Hukum Islam Dalam Kehidupan Bermasyarakat

Konsep Hak Azasi Manusia (HAM) dalam Islam

Perbedaan Prinsip antara Konsep HAM dalam Islam dan Barat

Kontribusi Umat Islam dalam Perumusan dan Penegakan Hukum di Indonesia



D

I

S

U

S

U

N

Oleh

SRI INDAH RAMBE

 NPM       :   22130004

MATA KULIAH : PENDIDIKAN AGAMA 

DOSEN PEMBIMBING  : AFHDAL ILAHI S.Pd ,M.Pd


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA & ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PENDIDIKAN TAPANULI SELATAN

TA. 2022 / 2023

KATA PENGANTAR


Segala  puji  hanya  milik  Allah SWT, Tuhan sumber segala ilmu pengetahuan yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik tepat pada waktunya.  Shalawat  dan  salam  selalu terlimpah curahkan kepada Rasulullah SAW.  Berkat rahmat-Nya penulis mampu  menyelesaikan  tugas  makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Tidak lupa penulis sampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini, karena berkatnya lah kami dapat menyusun makalah ini.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas kaitannya dengan Fungsi hukum Islam, konsep HAM dalam Islam, perbedaan Prinsip antara Konsep HAM dalam Islam dan Barat, serta kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan Hukum di Indonesia yang penulis sajikan dari berbagai sumber informasi dan referensi. Makalah ini disusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri sendiri maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya teman-teman. Penulis sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis menerima berbagai saran maupun kritikan yang bersifat membangun. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca.



Padangsidimpuan,    Februari  2023



Sri Indah Rambe

Penulis







DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR….. i

DAFTAR ISI………………………………………………………………………. ii


BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………..     1

Latar Belakang…………………………………………………………………..          1

Rumusan Masalah……………………………………………………………… 1

Tujuan Penulisan……………………………………………………………….. 1

Manfaat Penulisan…………………………………............................................ 1


BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………….. 2

2.1  Fungsi Hukum Islam…………………………………………………………………     2

2.2  Konsep Hak Asasi Manusia (HAM) Dalam Islam…………………………….. .      4

2.3  Perbedaan Prinsip antara Konsep HAM dalam 

       Pandangan Islam dan Barat……………………………………………………..          7

2.4  Kontribusi Umat Islam dalam Perumusan

       dan Penegakan Hukum Islam…………………………………………………     9



BAB III PENUTUP……………………………………………………………….. 14

 KESIMPULAN…….. 14

3.2  SARAN……………… 14


DAFTAR PUSTAKA….. 15








BAB I

PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang

Hak Asasi Manusia ( HAM ) adalah hak dasar atau hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa. Sedangkan menurut Meriam Budiardjo menegaskan bahwa hak asasi manusia sebagai hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan di bawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam masyarakat.

Secara definitif hak merupakan unsur nominatif yang berfungsi sebagai pedoman berprilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya.

Dalam Pasal 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia ( HAM ) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekatnya dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan yang Maha Esa, dan merupakan Anugerah-Nya yang wajib dihormati, di junjung tinggi dan di lindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.


1.2 RUMUSAN MASALAH

Apa saja fungsi hukum islam dalam kehidupan bermasyarakat?

Bagaimana konsep hak asasi manusia (HAM) dalam islam?

Bagaimana perbedaan prinsip antara konsep HAM dalam islam dan barat?

Apa kontribusi umat islam dalam perumusan dan keanekaan hukum di Indonesia?


1.3  Tujuan 

Agar kita mengetahui apa saja fungsi hukum islam dalam kehidupan bermasyarakat.

Supaya mengetahui konsep dari hak asasi manusia (HAM) dalam islam.

Supaya mengetahui perbedaan prinsip antara konsep HAM dalam islam dan barat.

Agar kita mengetahui bagaimana kontribusi umat islam dalam perumusan dan keanekaan hukum di Indonesia.


BAB II

PEMBAHASAN


 Fungsi Hukum Islam Dalam Bermasyarakat

Sebagaimana sudah dikemukakan dalam pembahasan ruang lingkup hukum Islam, bahwa ruang lingkup hokum Islam sangat luas. Yang diatur dalam hukum Islam bukan hanya hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, manusia dengan benda, dan antara manusia dengan lingkungan hidupnya.

Dalam Al Qur’an cukup banyak ayat-ayat yang terkait dengan masalah pemenuhan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia serta larangan bagi seorang muslim untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Bagi tiap orang ada kewajiban untuk mentaati hokum yang terdapat dalam Al Qur’an dan Hadits. Peranan hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat sebenarnya cukup banyak, tetapi dalam pembahasan ini hanya akan 

dikemukakan peranan utamanya saja, yaitu :

      2.1.1  Fungsi Ibadah

Fungsi utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Hukum Islam adalah ajaran Allah yang harus dipatuhi umat manusia, dan kepatuhannya merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan seseorang.

2.1.2Fungsi Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Hukum Islam sebagai hukum yang ditunjukkan untuk mengatur hidup dan kehidupan umat manusia, jelas dalam praktik akan selalu bersentuhan dengan masyarakat. Sebagai contoh, proses pengharaman riba dan khamar, jelas menunjukkan adanya keterkaitan penetapan hokum  (Allah) dengan subyek dan obyek hokum (perbuatan mukallaf). Penetap hokum tidak pernah mengubah atau memberikan toleransi dalam hal proses pengharamannya. Riba atau khamar tidak diharamkan sekaligus, tetapi secara bertahap.


Ketika suatu hukum lahir, yang terpenting adalah bagaimana agar hukum tersebut dipatuhi dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh. Penetap hukum sangat mengetahui bahwa cukup riskan kalau riba dan khamar diharamkan sekaligus bagi masyarakat pecandu riba dan khamar. Berkaca dari episode dari pengharaman riba dan khamar, akan tampak bahwa hukum Islam berfungsi sebagai salah satu sarana pengendali sosial.

Hukum Islam juga memperhatikan kondisi masyarakat agar hokum tidak dilecehkan dan tali kendali terlepas. Secara langsung, akibat buruk riba dan khamar memang hanya menimpa pelakunya. Namun secara tidak langsung, lingkungannya ikut terancam bahaya tersebut. Oleh karena itu, kita dapat memahami, fungsi kontrol yang dilakukan lewat tahapan pengharaman riba dan khamar. Fungsi ini dapat disebut amar ma’ruf nahi munkar. Dari fungsi inilah dapat dicapai tujuan hokum Islam, yakni mendatangkan kemaslahatan dan menghindarkan kemudharatan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

2.1.3Fungsi Zawajir

Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina, yang disertai dengan ancaman hokum atau sanksi hukum. Qishash, Diyat, ditetapkan untuk tindak pidana terhadap jiwa/ badan, hudud untuk tindak pidana tertentu (pencurian , perzinaan, qadhaf, hirabah, dan riddah), dan ta’zir untuk tindak pidana selain kedua macam tindak pidana tersebut. Adanya sanksi hokum mencerminkan fungsi hokum Islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang membahayakan. Fungsi hokum Islam ini dapat dinamakan dengan Zawajir.

2.1.4 Fungsi Tandhim wa Islah al-Ummah

Fungsi hokum Islam selanjutnya adalah sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera. Dalam hal-hal tertentu, hokum Islam menetapkan aturan yang cukup rinci dan mendetail sebagaimana terlihat dalam hokum yang berkenaan dengan masalah yang lain, yakni masalah muamalah, yang pada umumnya hokum Islam dalam masalah ini hanya menetapkan aturan pokok dan nilai-nilai dasarnya.

Perinciannya diserahkan kepada para ahli dan pihak-pihak yang berkompeten pada bidang masing-masing, dengan tetap memperhatikan dan berpegang teguh pada aturan pokok dan nilai dasar tersebut. Fungsi ini disebut dengan Tanzim wa ishlah al-ummah. Ke empat fungsi hokum Islam tersebut tidak dapat dipilah-pilah begitu saja untuk bidang hukum tertentu, tetapi satu dengan yang lain saling terkait. 







2.2  Konsep Hak Azasi Manusia (HAM) dalam Islam

 Islam sebagai agama sempurna mengandung ajaran yang bersifat universal -  komprehensif, serta memiliki konsep yang utuh dan  terpadu sebagai jalan hidup ideal bagi umat manusia sampai bumi ini tutup usia.

Permasalahan apapun di dunia ini, atau pandangan hidup baru dalam bentuk apapun yang diciptakan manusia, akan bisa dijawab oleh syariat Islam.

Dalam sudut pandang Islam, istilah ‘hak’ secara literal bermakna ‘milik’, dan ‘sesuatu yang pasti’ seperti tercantum dalam surat Yasin ayat 7 :


لَقَدْ حَقَّ الْقَوْلُ عَلَىٰ أَكْثَرِهِمْ فَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ

Yang artinya : “Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, kerena mereka tidak beriman.”

Para ahli fikih mengartikan hak sebagai perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan ketentuan syariat Islam. Secara teoritis, hak diklasifikasikan dalam trilogi spektrum, yakni hak Allah, hak hamba, dan perpaduan antara hak Allah dengan hak hamba. Yang dimaksud dengan hak Allah adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan umum, tanpa ada kekhususan bagi seseorang . Hak ini tidak bisa digugurkan dan tak ada seorang pun yang boleh meminta agar terlepas dari hak jenis pertama ini. Boleh dikata, hak Allah ini merupakan peraturan universal dalam ranah undang-undang syariat.  Hak Allah mencakup dua macam; pertama, suatu hal yang menjadi sarana ritual dan pengagungan kepada Allah. Kedua, suatu hal yang mengandung kepentingan umum, seperti menganggulangi kriminalitas dan kejahatan. Karakteristik hak ini tidak bisa gugur, tidak bisa diubah, dan tidak bisa diwariskan.

Sedangkan yang dimaksud dengan hak hamba atau hak individu adalah hak yang berkaitan dengan kemaslahatan individu. Seperti hak memiliki harta, pemeliharaan keluarga, kesehatan, rasa aman, perlindungan dari kejahatan, pemanfaatan fasilitas publik dari negara, dan lain sebagainya. Karakteristik dari hak ini adalah terdapat dispensasi hukum, bisa digugurkan dengan pengampunan dari pemilik hak, damai, pembebasan, atau pembolehan.

Dalam kenyataannya, terdapat semacam hak yang mengiris antara hak Allah dan hak manusia. Misalnya dalam kasus tuduhan zina. Tuduhan perbuatan zina merupakan dosa yang berkaitan dengan harga diri seseorang atau berujung ancaman sanksi bagi penuduh. Ketika hukuman atas perbuatan tuduhan zina itu direalisasikan, maka akan berpotensi menciptakan kemaslahatan umum karena akan menjauhkan manusia dari perbuatan serupa.

Kesempurnaan konsep hak dalam Islam sangat tampak dalam elaborasi detailnya. Sehingga tidak ada kecerobohan dalam syariat Islam, sebab ajaran Allah tersebut berhasil menyeimbangkan antara hak Allah dan hak hamba. Beda dengan hak yang diciptakan manusia (HAM), selain  terkesan dipaksakan, daya jangkaunya juga terbatas pada ketertiban yang bersifat kasat mata. Terbukti, dalam konsep HAM buatan manusia, unsur-unsur spiritual dan norma-norma transendental seringkali mendapat porsi lebih kecil, bahkan cenderung diabaikan. Padahal kebutuhan manusia akan nilai-nilai religiusitas merupakan kebutuhan primer yang paling mutlak dan mendasar.

Syeikh Wahbah al-Zuhayli dalam kitabnya Fiqh Islami mengartikan hak asasi manusia sebagai segala tindakan yang bertujuan untuk memelihara kemaslahatan manusia. Baik berupa hak-hak universal, seperti hak memperoleh kesehatan, menjaga keturunan, harta, dan lain-lain, atau juga hak khusus yang berupa hak pemilik untuk menjaga harta yang dimilikinya.

Dalama konteks ini Wahbah Zuhayli menuturkan metode aplikasi hak asasi manusia dalam tataran praktis sebagai upaya pencapain keselarasan dengan tuntuan syariat. Sehingga bentuk aktivitas apapun yang membahayakan orang lain, baik secara pribadi maupun kolektif, harus dicegah karena telah keluar dari wilayah syariat.

Dalam literatur Islam juga terdapat konseptualisasi hak secara komprehensif dengan berbagai sudut pandang, di antaranya adalah hak jiwa dan hak kebebasan. Hak jiwa lebih berkaitan dengan pemeliharaan atau perawatan jiwa manusia. Misalnya, manusia harus menkonsumsi makanan dan minuman untuk mendayagunakan dirinya. Makan dan minum adalah kebutuhan pokok, yang seandainya tanpa perintah pun orang akan melakukannya. Hak jiwa ini juga dapat diperluas ke aspek hak sosial-ekomoni dan hukum-hukum yang mengatur manusia.

Selanjutnya adalah hak kebebasan. Hak ini terbagi mejadi hak kebebasan berpikir, kebebasan berpendapat, dan pluralitas agama. Pertama, hak kebebasan berpikir atau intelektualitas. Dalam Islam hak jenis ini mendapatkan pengukuhan melalui teks normatif agama, misalnya dalam surat Yunus: 101, al-Baqarah: 164, al-Thariq: 6, Saba’: 46, dan al-Rum: 8, yang secara garis besar menekankan pada pengembangan akal pikiran dan intelektualitas.

Akal yang merupakan anugerah sempurna dari Allah semestinya dirawat sebaik mungkin dan tidak boleh dibiarkan sia-sia. Tanpa akal manusia akan tersingkirkan dari sejarah, dan akan merasakan hidup layaknya binatang yang tidak punya harga diri.

Kedua, kebebasan berpendapat. Sebagai hak setiap individu, dalam Islam ia mempunyai posisi yang sangat vital. Bahkan Islam mewajibkan menyuarakan pendapat atau aspirasi khususnya yang berkaitan dengan kepentingan bersama yang berbingkai dalam amar ma’ruf nahi munkar. Namun, kebebasan berpendapat ini tidak bersifat mutlak. Islam membatasi dengan norma-norma moral agar tidak bertentangan dengan perintah dan larangan Allah.

Ketiga, pluralitas agama. Kebebasan beragama ini merupakan gambaran yang selalu digembar-gemborkan oleh para pemikir post-modern. Al-Qur’an secara tegas telah melegitimasi hak kebebasan ini sejak awal dalam surat al-Maidah: 48 


Yang artinya : “ Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,”

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah bisa saja menjadikan manusia dalam satu agama jika Ia berkehendak. Akan tetapi Allah telah menciptakan manusia dalam sebuah jalan hidup yang plural dan beragam sebagai media atau jalan pengujian bagi manusia.

Dari uraian ini tampak sekali bahwa Islam memberikan perhatian yang besar terhadap kemaslahatan manusia. Kemaslahatan bagi manusia secara universal juga dapat ditemui dalam tujuan prinsip syariat. Prinsip itu mengatur secara lengkap terhadap semua kebutuhan manusia, baik yang bersifat elementer, komplementer, maupun suplementer. Konsep ini merupakan konsep samawi yang diproyeksikan untuk menjaga hak hidup, akal, agama, harga diri, hak milik, dan keturunan. Sementara itu, konsep HAM dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sangatlah bersifat ‘antroposentris’ atau hanya terpusat pada manusia saja. Artinya, HAM dalam Islam merupakan hak-hak yang mengakomodir aspek vertikal dan horizontal.

Hal ini dapat dibuktikan dengan eksistensi konsep modern tentang HAM yang hanya tertumpu pada apa yang diidealkan oleh tradisi pencerahan Eropa, bahwa manusia adalah subjek bebas dan otonom. Secara tegas, HAM dalam perspektif PBB menempatkan manusia dalam suatu kerangka di mana relasinya dengan Tuhan tidak disinggung sedikitpun. Sementara Islam menempatkan hak-hak manusia sebagai konsekuensi dari pelaksanaan kewajiban kepada Allah.

Dalam Islam, ekspresi kebebasan manusia harus ditempatkan dalam rangka keadilan, kasih sayang, dan persamaan kedudukan di hadapan Allah. Al-Qur’an sangat menaruh perhatian pada kebutuhan hak keadilan dan tanggungjawab pelakasaannya.


2.3 Perbedaan Prinsip antara Konsep HAM dalam Pandangan Islam dan Barat 

Kita  Sebagai manusia diberi kebebasan untuk memilih tindakanya. Kebebasan itu dibatasi oleh tanggung jawab manusia itu sendiri sesuai petunjuk Alquran dalam memanfaatkan kebebasan itu. Allah menunjukan bahwa manusia diberi kebebasan untuk bertindak dan berpendapat. Ia harus mempertanggung jawabkan kebebasanya tersebut, seluruh ebebasan dan pertanggungjawaban ini selanjutnya berhubungan penuh dengan HAM.

Bicara soal Hak Asasi Manusia atau HAM, pasti selalu ada pertentangan antara HAM versi Islam dan HAM versi para pemikir barat. Kedua perspektif ini, pada dasarnya selalu mempunyai aspek yang saling bertolak belakan dalam berbagai macam hal, terutama yang menyangkut Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, penulis akan sedikit menjabarkan HAM dari dua perspektif ini dengan cara mencari perbedaan dan persamaannya.

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak dasar yang wajib dimiliki oleh setiap manusia yang hidup di dunia tanpa terkecuali. Agama Islam sangat menjunjung tinggi dan menghargai HAM. Dalam Islam, kewajiban yang diperintahkan kepada manusia dibagi ke dalam dua kategori, yaitu huquuqullah dan huquuqul ‘ibad. Huquuqullah (hak-hak) Allah adalah kewajiban manusia kepada Allah yang diwujudkan dalam bentuk ritual ibadah. Sedangkan huquuqul ‘ibad (hak manusia) merupakan kewajiban manusia terhadap sesamanya dan terhadap makhluk Allah lainnya.

Ada dua macam HAM jika dilihat dari kategori huquuqul ‘ibad. Pertama, HAM yang keberadaanya dapat diselenggarakan oleh suatu Negara yang biasa disebut hak-hak legal. Kedua, HAM yang tidak dapat secara langsung dilaksanakan oleh Negara seperti hak-hak moral. Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada masalah pertanggung jawaban di depan Negara. Adapun masalah sumber, sifat, dan pertanggungjawaban di hadapan Allah adalah sama.

Dalam Islam keserasian kesucian HAM jauh lebih besar daripada hanya sekedar ibadah-ibadah ritual. Jika seseorang tidak memenuhi kewajibannya di hadapan Allah dia mungkin saja masih bisa diampuni. Namun tidak demikian dalam kasus tidak memenuhi kewajiban kepada sesama manusia.

Terdapat perbedaan yang mendasar antara konsep HAM dalam Islam dan Barat. HAM dalam Islam didasarkan premis bahwa aktifitas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Sedangkan dunia Barat percaya bahwa pola tingkah laku hanya ditentukan oleh Negara untuk mencapai aturan publik yang aman.

Selain itu, perbedaan mendasar terlihat dari cara memandang HAM itu sendiri. Di barat perhatian kepada individu timbul dari pandangan yang bersifat anthroposentris, dimana manusia merupakan ukuran terhadap gejala sesuatu. Sedangkan Islam menganut pandangan yang bersifat theosentris, yaitu Tuhan, dan manusia hanya untuk mengabdi kepadanya. Berdasarkan pandangan anthoposentris tersebut, maka nilai-nilai utama kebudayaan Barat seperti demokrasi, institusi sosial dan kesejahteraan ekonomi sebagai perangkat yang mendukung tegaknya HAM itu berorientasi pada penghargaan manusia. Dengan kata lain manusia dijadikan sebagi sasaran akhir dari pelaksanaan HAM tersebut.

Berbeda dengan Islam yang bersifat theosentris, larangan dan perintah lebih didasarkan ajaran Islam yang bersumber al-Quran dan Hadits. Al-Quran menjadi transformasi dari kualitas kesadaran manusia. Mengakui hak-hak manusai adalah sebuah kewajiban dalam rangka kepatuhan kepada-Nya.

HAM dalam perspektif pertama (Barat) menempatkan manusiA dalam suatu setting dimana hubungannya dengan Tuhan sama sekali tidak disebut. Hak asasi manusia dinilai sebagai perolehan alamiah sejak lahir. Sedangkan HAM dalam Islam, mengangap dan meyakini bahwa hak-hak manusia merupaka anugerah dari Tuhan dan oleh karenanya setiap individu akan merasa bertanggun jawab kepada Tuhan (Shihab, 1998).

Perbedaan antara Barat dan Islam dalam memadang HAM, yang pertama lebih bersifart sekuler karena orientasinya hanya kepada manusia sedangkan kedua bersifat religious (ketuhanan) karena orientasinya kepada Tuhan sehingga bertanggung jawab selain kepada manusia juga kepada Tuhan.

Tentunya kita sebagai kaum akademik dapat lebih mengerti seputar perbedaan terminologi HAM berdasarkan 2 perspektif ini. Penulis berharap, kita tidak saling membenturkan dua perspketif yang berbeda satu sama lain ini



  Kontribusi umat Islam dalam Perumusan dan Penegakan Hukum       Indonesia

Lahirnya UUD 1945

Peranan Umat Islam dalam Mempersiapkan dan Meletakkan Dasar-dasar Indonesia Merdeka.Dalam upaya mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, tidak disangsikan lagi peran kaum muslimin terutama para ulama. Mereka berkiprah dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dibentuk tanggal 1 maret 1945. Lebih jelas lagi ketika Badan ini membentuk panitia kecil yang bertugas merumuskan tujuan dan maksud didirikannya negara Indonesia. Panitia terdiri dari 9 orang yang semuanya adalah muslim atau para ulama kecuali satu orang beragama Kristen. Meski dalam persidangan-persidangan merumuskan dasar negara Indonesia terjadi banyak pertentangan antar (mengutip istilah Endang Saefudin Ansori dalam bukunya Piagam Jakarta) kelompok nasionalis Islamis dan kelompok nasionalis sekuler. Kelompok Nasionalis Islamis antara lain KH. Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, KH.Wahid Hasyim, Ki Bagus dan Abi Kusno menginginkan agar Islam dijadikan dasar negara Indonesia. Sedangkan kelompok nasionalis sekuler dibawah pimpinan Soekarno menginginkan negara Indonesia yang akan dibentuk itu netral dari agama. Namun Akhirnya terjadi sebuah kompromi antara kedua kelompok sehingga melahirkan sebuah rumusan yang dikenal dengan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, yang berbunyi :

Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syareat Islam bagi pemeluk-pemeluknya

Kemanusiaan yang adil dan beradab

Persatuan Indonesia

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Rumusan itu disetujui oleh semua anggota dan kemudian menjadi bagian dari Mukaddimah UUD 1945. Jadi dengan demikian Republik Indonesia yang lahir tanggal 17 Agustus 1945 adalah republik yang berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syareat Islam bagi pemeluk-pemeluknya Meskipun keesokan harinya 18 Agustus 1945 tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu dihilangkan diganti dengan kalimat “Yang Maha Esa”. Ini sebagai bukti akan kebesaran jiwa umat Islam dan para ulama. Muh. Hatta dan Kibagus Hadikusumo menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan” Yang Maha Esa” tersebut tidak lain adalah tauhid.

Saat proklamasipun peran umat Islam sangat besar. 17 Agustus 1945 itu bertepatan dengan tangal 19 Ramadhan 1364 H. Proklamasi dilakukan juga atas desakan-desakan para ulama kepada Bung Karno. Tadinya Bung Karno tidak berani. Saat itu Bung Karno keliling menemui para ulama misalnya para ulama di Cianjur Selatan, Abdul Mukti dari Muhammadiyah, termasuk Wahid Hasyim dari NU. Mereka mendesak agar Indonesia segera diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.



2. Lahirnya UU Perkawinan

Pengaturan perkawinan di Indonesia tidak dapat lepas dari keterlibatan tiga pihak/kepentingan, yaitu kepentingan agama, kepentingan negara dan kepentingan perempuan.M. Syura’i, S.H.I. dalam tulisannya tanggal 6 November 2010 yang berjudul “Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan” menjelaskan bahwa Kelahiran Undang-undang perkawinan telah mengalami rentetan sejarah yang cukup panjang. Bermula dari kesadaran kaum perempuan Islam akan hak-haknya yang merasa dikebiri oleh dominasi pemahaman fikih klasik atau konvensional yang telah mendapat pengakuan hukum, mereka merefleksikan hal tersebut dalam pertemuan-pertemuan yang kelak menjadi embrio lahirnya Undang-Undang Perkawinan. Arso Sosroatmojo mencatat bahwa pada rentang waktu 1928 kongres perempuan Indonesia telah mengadakan forum yang membahas tentang keburukan-keburukan yang terjadi dalam perkawinan di kalangan umat Islam. Hal tersebut juga pernah dibicarakan pada dewan rakyat (volksraad).

Umat Islam waktu itu mendesak DPR agar secepatnya mengundangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan bagi umat Islam, namun usaha tersebut menurut Arso Sosroatmodjo tidak berhasil.Simposium Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) pada tanggal 1972 menyarankan agar supaya PP ISWI memperjuangkan tentang Undang-Undang Perkawinan. Selanjutnya organisasi Mahasiswa yang ikut ambil bagian dalam perjuangan RUU Perkawinan Umat Islam yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang telah mengadakan diskusi panel pada tanggal 11 Februari 1973.

Pada tanggal 17-18 September, wakil-wakil Fraksi mengadakan forum pandangan umum atas RUU tentang Perkawinan sebagai jawaban dari pemerintah yang diberikan Menteri Agama pada tanggal 27 September 1973. Pemerintah mengajak DPR untuk secara bersama bisa memecahkan kebuntuan terkait dengan RUU Perkawinan tersebut.

Secara bersamaan, untuk memecahkan kebuntuan antara pemerintah dan DPR diadakan lobi-lobi antara fraksi-fraksi dengan pemerintah. Antara fraksi ABRI dan Fraksi PPP dicapai suatu kesepakatan antara lain:

Hukum agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi atau ditambah

Sebagai konsekuensi dari poin pertama itu, maka hal-hal yang telah ada dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1964 dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tetap dijamin kelangsungannya dan tidak akan diadakan perubahan

Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan dengan undang-undang perkawinan yang sedang dibahas di DPR, segera akan dihilangkan.

Hasil akhir undang-undang perkawinan yang disahkan DPR terdiri dari 14 (empat belas) bab yang dibagi dalam 67 (enam puluh tujuh) pasal, berubah dari rancangan semula yang diajukan pemerintah ke DPR, yaitu terdiri dari 73 pasal.



Lahirnya Peradilan Agama

Peradilan Islam di Indonesia yang kemudian dikenal dengan istilah Peradilan Agama telah ada dan dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka. Peradilan Agama ada dan seiring dengan perkembangan kelompok masyarakat di kala itu, yang kemudian memperoleh bentuk-bentuk ketatanegaraan yang sempurna dalam kerajaan Islam. Hal ini diperoleh karena masyarakat Islam sebagai salah satu komponen anggota masyarakat adalah orang yang paling taat hukum, baik secara perorangan maupun secara kelompok.Perjalanan lembaga Peradilan Agama hingga era satu atap ini mengalami pasang surut dan tantangan yang sangat berat, baik secara kelembagaan maupun secara konstitusional.

Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memperkokoh keberadaan pengadilan agama. Di dalam undang-undang ini tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pasa12 ayat (1) undang-undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam).

Suasana cerah kembali mewarnai perkembangan peradilan agama di Indonesia dengan keluarnya Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah memberikan landasan untuk mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sederajat dan memantapkan serta mensejajarkan kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan lainnya.

Dalam sejarah perkembangannya, personil peradilan agama sejak dulu selalu dipegang oleh para ulama yang disegani yang menjadi panutan masyarakat sekelilingnya. Hal itu sudah dapat dilihat sejak dari proses pertumbuhan peradilan agama sebagai-mana disebut di atas. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam, penghulu keraton sebagai pemimpin keagamaan Islam di lingkungan keraton yang membantu tug as raja di bidang keagamaan yang bersumber dari ajaran Islam, berasal dari ulama seperti KaBjeng Penghulu Tafsir Anom IV pada Kesunanan Surakarta. Ia pemah mendapat tugas untuk membuka Madrasah Mambaul Ulum pada tahun 1905. Namun sejak tahun 1970-an, perekrutan tenaga personil di lingkungan peradilan agama khususnya untuk tenaga hakim dan kepaniteraan mulai diambil dati alumni lAIN dan perguruan tinggi agama.

Dari uraian singkat tentang sejarah perkembangan peradilan agama tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa peradilan agama bercita-cita untuk dapat memberikan pengayoman dan pelayanan hukum kepada masyarakat.

Pengelolaan Zakat

Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat menetapkan bahwa tujuan pengelolaan Zakat adalah sebagai berikut:

Meningkatnya kesadaran masyarakat dalam penunaian dan dalam pelayanan ibadah Zakat.

Meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagaman dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.

Meningkatnya hasil guna dan daya guna Zakat. Guna untuk tercapainya tujuan yang lebih optimal bagi kesejahteraan umum untuk seluruh lapisan masyarakat, maka UU tentang Pengelolaan zakat mencakup pula tentang pengelolaan infaq, sodhaqah, hibah, wasiat, waris dan kafarat. Hanya saja sistem pengadministrasian keuangannya dilakukan secara terpisah. Terpisah antara zakat dengan Infaq, shodaqah, dan lain sebagainya.





















BAB III

PENUTUP


 KESIMPULAN

Berdasarkan paparan diatas dan pembahasan diatas dapat ditarik keimpulan berdasarkan beberapa analisis. Dari analisis diatas antara HAM yang berkembang di dunia internasional tidak bertentangan antara satu sama lain. Bahkan organisasi Islam internasional yang terlembagakan dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus 1990 mengeluarkan deklarasi HAM.

Kemudian Islam mematahkan bahwa dalam Islam telah dibicarakan sejak empat belas tahun yang lalu (Anas Urbaningrum, 2004;91). Fakta ini mematahkan bahwa Islam tidak memiliki konsep tentang pengakuan HAM. Ini dibuktikan oleh adanya piagam madinah (mitsaq Al-Madinah) yang terjadi pada saat Nabi Muhammad berhijrah ke kota Madinah. Dalam dokumen madinah atau piagam madinah itu berisi antara lain pengakuan dan penegasan bahwa semua kelompok di kota Nabi itu, baik umat yahudi, umat nasrani maupun umat Islam sendiri, adalah merupakan satu bangsa (Idris, 2004;102). Dalam dokumen itu dapat disimpulkan bahwa HAM sudah pernah ditegakkan oleh Islam.

Berdasar analisis diatas Islam mengandung pengaturan mengenai HAM secara tersirat. Dapat kita bagi menjadi sembilan bagian hak asasi manusia dalam islam yang pengaturannya secara tersirat.


 SARAN

Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis.

Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat diharapkan sebagai bahan evaluasi untuk ke depannya. Sehingga bisa terus menghasilkan penelitian dan karya tulis yang bermanfaat bagi banyak orang. 



DAFTAR PUSTAKA


Assyaf, Zyam.(15 Januari 2015). Kontribusi Umat Islam dalam Perumusan dan Penegakan Hukum Islam . Zyamassyaf.com. https://zyamassyaf.wordpress.com/2015/01/15/47/.


Izad, Rohmatul.(23 Oktober 2019). Konsep Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam. Pecihitam.org. https://pecihitam.org/konsep-hak-asasi-manusia-dalam-perspektif-islam/


Lubis, Novalia. (01 Juli 2016). HAM dalam Perspektif Islam dan Barat. Kitadanislamblog.

https://kitadanislamblog.wordpress.com/2016/01/07/ham-dalam-perspektif-islam-dan-barat/

Oktaviana, Widya Resti.(23 Desember 2021). Mengenal Hukum dalam Islam dan Fungsi – Fungsi Hukum Islam untuk Kesejahteraan Umat. Dream.co.id. https://www.dream.co.id/stories/mengenal-hukum-dalam-islam-dan-fungsi-fungsi-hukum-islam-untuk-kesejahteraan-umat-211222f.html

Shihab, Alwi.(1998). Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama.Bandung : Mizan.














1.4    Tujuan Penulisan

            Tujuan dari penulisan masalah ini selain untuk memenuhi tugas yang diberikan  oleh Bapak AFHDAL ILAHI S.Pd ,M.Pd selaku dosen pembimbing mata kuliah Agama Islam, dan penulis juga akan memberi gambaran tentang Fungsi hukum islam dalam kehidupan bermasyarakat, tentang konsep hak asasi manusia (HAM) dalam islam, tentang perbedaan prinsip antara konsep HAM dalam islam dan barat, dan tentang kontribusi umat islam dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia bagi pembaca atau masyarakat terkhusus mahasiswa.




Baca Artikel Terkait: