-->

Jumat, 22 April 2016


Sekolah Kartini

Tujuh tahun setelah meninggalnya Kartini, buku Door duisternis tot licht  yang berisi surat-surat Kartini sejak 1899-1904 kepada teman-teman Belandanya, terutama Rosa Manuela Abendanon-Mandri, istri mantan direktur pendidikan, agama, dan industri Hindia Belanda Mr Jacques Henry Abendanon, yang disunting secara selektif dan diterbitkan pada 1911. Buku tersebut meraih sukses besar di kalangan publik Belanda, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Indonesia, Melayu, Sunda, dan Jawa.

Hasil dari penjualan buku ini rencananya akan digunakan untuk mendirikan sekolah Kartini, yang menurut penuturan Abendanon merupakan keinginan Kartini sebelum meninggal. Di akhir 1911, Komite Sementara pun dibentuk. Diketuai oleh Baronesse van Hogendorps Jacob, dengan anggotanya antara lain pasangan JH Abendanon. Komite ini lalu menunjuk van Deventer –waktu itu menjadi anggota de Eerste Kamer (Majelis Tinggi) Parlemen Belanda– untuk pergi ke Hindia Belanda untuk menyampaikan maksud dan tujuan Komite.

Setelah bertamu kepada Gubernur Jenderal Idenburg, van Deventer melakukan perjalanan keliling Jawa untuk bertemu berbagai kalangan dan membicarakan tujuannya. Beberapa bulan kemudian, dia mengirimkan hasil perjalanannya ke Komite di Den Haag bahwa kota Semarang tepat untuk mendirikan sekolah siang bagi gadis-gadis Jawa.

Menurut Menurut sejarawan Soekesi Soemoatmaja (Sekolah Kartini Suatu Usaha untuk Menyebarkan dan Meningkatkan Kecerdasan Wanita pada Permulaan Abad ke-20,) dalam makalahnya tentang Sekolah Kartini yang disampaikan pada Seminar Sejarah Nasional III, 10-15 November 1981, usaha yang dilakukan oleh Komite Sementara ini berhasil, “Banyak tanggapan positif datang dari kalangan orang Belanda yang berpandangan maju,” ungkapnya.

Pada akhir Agustus 1912, van Deventer mengajukan permohonan kepada gubernur jenderal untuk mendapatkan subsidi dari pemerintah guna sekolah yang akan didirikannya. Dan pada 26 Februari 1913, Komite Sementara mengadakan pertemuan dan menghasilkan Vereeniging Kartinifonds (Perkumpulan Dana Kartini). 

Kampanye dan penggalangan dana Perkumpulan Dana Kartini di Belanda dilakukan oleh Hilda de Booy-Bolssevain, istri ajudan Gubernur Jenderal Rooseboom di Bogor ketika suaminya berdinas di sana. Hampir selama satu tahun Hilda berkampanye ke seluruh pelosok Belanda. Perkumpulan Dana Kartini kemudian mendirikan cabang di Semarang dengan nama Kartini Vereeniging (Perkumpulan Kartini) pada 1913. Di tahun yang sama, Perkumpulan Kartini mendirikan sekolah putri berasrama di Semarang. 

Perkumpulan Kartini ini terus mengembangkan kegiatannya dengan mendirikan sekolah serupa –tidak semuanya berasrama—di tahun selanjutnya secara berturut-turut di 6 (enam) kota di Indonesia, yakni; Batavia (1914), Bogor (1914, berasrama), Madiun (1914), Malang (1915), Cirebon (1916), dan Pekalongan (1916). Setiap sekolah mendapat subsidi dari Perkumpulan Dana Kartini rerata f. (gulden) 500 per tahun. Selain Sekolah Kartini, sekolah perempuan lain yang mendapat subsidi dari Perkumpulan Dana Kartini adalah Pamulangan Istrischool di Bogor dan Kemajuan Istrischool di Jatinegara. 

Namun begitu, meskipun disubsidi, Sekolah kartini menetapkan biaya sekolah perbulan kepada para siswanya sebesar  dua gulden. Sehingga, yang bisa menikmati Sekolah Kartini hanyalah masyrakat kelas menengah dan kaum bangsawan saja. Hal ini menegaskan , bahwa tidak ada tempat bagi perempuan miskin pribumi di sekolah. Seperti yang disampaikan oleh Guru Besar Sejarah Universitas Amsterdam, Frances Gouda, Dalam bukunya yang berjudul “Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942”; “Royalti buku tersebut, bersama dengan sumbangan pribadi dan subsidi pemerintah, mendanai pendirian Yayasan Kartini pada 1913, yang pada 1916 telah membuka tujuh sekolah swasta yang khusus memberi pendidikan dasar kepada anak-anak perempuan bangsawan pribumi.”

Sedangkan, Perkumpulan Kartini sendiri hanya bertugas menerima dan menyalurkan bantuan dari Perkumpulan Dana Kartini dan membuat laporan sekolah-sekolah yang menerima dana tersebut. Dana pertama yang disalurkan berasal dari hasil penjualan buku Door duisternis tot licht, lumayan besar. Dari tahun 1913 penjualan edisi Belanda di Belanda mencapai f. 5.809.75 dan edisi bahasa Inggris di Amerika Serikat selama tahun 1920 menghasilkan f. 903.55.

Seperti disampaikan diatas, pendiri Perkumpulan Kartini adalah Conrad Theodore van Deventer (1857-1915) yang merupakan seorang ahli hukum Belanda dan juga tokoh Politik Etis. Dengan kondisi masih berlakunya politik etis di Indonesia pada saat itu, apakah mungkin pemerintah kolonial Belanda secara tulus ingin memajukan tingkat pengetahuan dan pendidikan masyarakat pribumi, terutama kaum wanita pribumi, kecuali adanya ‘hidden agenda’. 

Pemerintah kolonial mengerti betul, bahwa mengontrol pendidikan inlander sangat penting. Jangan sampai muncul pemikiran kritis tentang kolonialisme sehingga memunculkan pemberontakan atas kekuasaan kolonial Belanda. Biarlah kaum pribumi, terutama para bangsawan, tetap mengagumi Belanda dan Eropa sebagai peradaban besar dengan tingkat keilmuan yang tinggi, melebihi bangsa pribumi. Melaui jalur sekolah lah agenda ini bisa dilaksanakan. 

Belanda memanfaatkan ‘jasa’ Kartini untuk mendapatkan dana guna memuluskan agenda mereka, yakni mempertahankan kekuasaan kolonialisme mereka di nusantara. Jadi, dapatlah diketahui, sebenarnya untuk kepentingan siapakah Sekolah Kartini ini didirikan.(suaraislam)




Baca Artikel Terkait: