BAB I
PENDAHULUAN
al-Qur’an
sebagai mukjizat Nabi Muhammad, terbukti mampu menampakkan sisi kemukjizatannya
yang luar biasa, bukan hanya pada eksistensinya yang tidak pernah rapuh, tetapi
juga pada ajarannya yang telah terbukti sesuai dengan perkembangan zaman,
sehingga ia menjadi referensi bagi umat manusia dalam mengarungi kehidupan di
dunia.al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang moralitas dan spritualitas,
tetapi juga berbicara tentang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan
umat manusia.
al-Qur’an
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril dengan
menggunakan Bahasa Arab yang sempurna. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai
dasar-dasar akidah, kaidah-kaidah hukum, asas-asas perilaku, menuntun manusia
ke jalan yang lurus dalam berpikir dan berbuat.Akan tetapi penjelasan itu tidak
dirinci oleh Allah sehingga muncullah banyak penafsiran, terutama terkait
dengan susunan kalimat yang singkat dan sarat makna.
Banyak ulama
tafsir yang telah menulis beberapa karya tentang metode penafsiran
al-Qur’an.Dari para ulama itu muncullah berbagai macam model dan metode
penafsiran dalam rangka menyingkap pesan-pesan al-Qur’an secara optimal sesuai
dengan kemampuan dan kondisi sosial mereka.Di antara metode penafsiran yang
populer di kalangan para ulama tafsir adalah metode tahlili (analitik),
metode ijmali (global), metodemuqaran (komparatif), dan
metode mawdu’i (tematik).
Dalam tulisan
ini, penulis akan mencoba untuk menguraikan dua metode tafsir pertama,
yaitu tahlili saja, mengingat metode ini telah menjadi pilihan banyak mufassir
(ulama tafsir) dalam menafsirkan al-Quran. Metode- metode tahlili ini yang akan
di bahas dalam makalah ini diantaranya ialah tafsir syufi, tafsir falsafi,
tafsir fiqhi, tafsir ilmi, dan tafsir adabi wal ijtimai.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tafsir Sūfi
Tafsir sufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi atau ahli
tasawuf. Tasawuf itu sendiri secara harfiah berarti mensucikan.Benci kepada
kesenangan duniawi dengan berlaku zuhud, berpakaian buruk – buruk dan kotor.[1]Dalam agama Islam, tasawuf berarti mensucikan hati, bermunajat kepada
Allah, dan menjernihkan ruh dapat berhubungan langsung dengan Allah sehingga
meraih pelimpahan cahaya Ilahi dan ilham.
Sedangkan tasawuf sendiri dapat dipilah menjadi dua
bagian utama, yaitu:
a.
Tasawuf teoritis, yakni tasawuf yang didasarkan atas hasil pembahasan
dan studi yang mendalam.Dari kalangan tokoh-tokoh tasawuf lahir
ulama yang mencurahkan waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami dan
mendalami al-Qur’an dengan sudut pandang sesuai dengan teori-teori tasawuf
mereka. Mereka menta’wilkan ayat-ayat al-Qur’an dengan tidak mengikuti cara-cara
untuk menta’wilkan ayat al-Qur’an dan menjelaskannya dengan penjelasan yang
menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal dan didukung oleh dalil
Syar’i serta terbukti kebenarannya dalam bahasa Arab, yaitu dalam bab perihal
Isyarat.
Imam Al-Alusy dalam kitab
tafsirnya mengemukakan, sebagai berikut: “Apa yang telah diungkapkan oleh
tokoh-tokoh sufi tentang al-Qur’an adalah termasuk ke dalam bab isyarat
terhadap pengertian-pengertian rumit yang berhasil diungkapkan oleh orang yang
menguasai cara yang harus ditempuh untuk sampai kepada Allah dan
pengertian-pengertian itu dapat dipadukan dengan pengertian-pengertian tekstual
yang dikehendaki. Hal ini termasuk kesempurnaan iman dan pengetahuan yang
sejati. Mereka berkeyakinan bahwa pengertian tekstual sama sekali bukanlah yang
dikehendaki (pengertian batin, bukan tektual, itulah yang dikehendaki). Oleh
karena demikianlah keyakinan aliran Bathiniyah yang ekstrim, maka mereka sampai
menafikan syari’at secara keseluruhan.
Beberapa tokoh sufi tidaklah bersifat demikian, oleh karena
itu mereka menganjurkan agar tetap dipelihara penafsiran dan pengertian
tekstual. Mereka berkata: pada tahap pertama harus tetap dilakukan serta
diketahui penafsiran dan pengertian tekstual, sebab tidak mungkin bisa sampai
kepada penafsiran dan pengertian batin (non tekstual) dari suatu ayat sebelum
penafsiran dan pengertian tekstualnya terlebih dahulu di ketahui. Barang siapa
yang mengaku dapat memahami rahasia-rahasia Al-Qur’an sebelum mengetahui
penafsiran dan pengertian tektualnya, maka ia seperti orang yang mengaku telah
sampai ke bagian dalam Ka’bah sebelum ia melawan pintunya”.
Lebih jauh Al-Alusy berkata: “Tidaklah seyogyanya bagi orang
yang kemampuannya terbatas dan keimanannya belum mendalam mengingkari bahwa Al-Qur’an
mempunyai bagian-bagian batin yang dilimpahkan oleh Allah yang Maha Pencipta
dan Maha Pelimpah batin-batin hamba-Nya yang dikehendaki.
b.
Tasawuf praktis, yakni tasawuf yang dihasilkan oleh praktik gaya hidup
sengsara, zuhud dalam rangka melaksanakan melaksanakan ketaatan kepada Allah.[2]Mereka
benar-benar menerapkan sikap-sikap hidup di atas untuk hidup, mereka
bersikap zuhud dialam kehidupan dunia dan selalu bersiap-siap diri menghadapi
kehidupan di akhirat. Dr. Muhammad Husain al-Dzahaby berkata: “Kami tidak
mendengar ada seseorang yang mengarang kitab tertentu tentang tafsir sufi
teoritis yang menafsirkan ayat demi ayat demi ayat dalam al-Qur’an seperti
dalam tafsir isyary (tafsir yang mengungkapkan makna-makna yang
diisyaratkan oleh ayat Al-Qur’an), yang kami temukan adalah
keterangan-keterangan yang terpencar-pencar (tidak dalam suatu kitab tertentu)
yang termuat dalam penafsiran yang disandarka kepada Ibn Araby dan kitab al-Futuhat
al-Makkiyah, karangan beliau sebagaimana sebagian yang lain dapat
ditemukan dalam banyak kitab-kitab tafsir yang corak penafsirannya
berbeda-beda”.
Dari pembagian kelompok tasawuf tersebut tampak mulai adanya
ketidakmurnian dalam tasawuf, orang-orang yang bukan ahlinya mencoba
mempelajari tasawuf dengan landasan ilmu yang dianutnya.Sehingga hal tersebut
sangat berpengaruh pada bidang lainnya seperti fiqh, hadis dan tafsir.Pada masa
ini pula bermunculan istilah-istilah seperti khauf, mahabbah, ma’rifah,
hulul dan lain sebagainya.Dan sejak itu pula selanjutnya tasawuf telah
menjadi lembaga atau disiplin ilmu yang mewarnai khazanah keilmuan dalam Islam,
seperti halnya filsafat, hukum dan yang lainnya.
Perkembangan
pemikiran Islam, khususnya dalam dimensi penafsiran esoteris terhadap ayat-ayat
al-Qur’an memunculkan corak penafsiran sufi. Maka tidaklah mengherankan bila
corak penafsiran semacam ini memang bukan hal yang baru, bahkan telah dikenal
sejak awal turunnya al-Qur’ān kepada Rasulullah SAW, sehingga dasar yang
dipakai dalam penafsiran ini umumnya juga mengacu pada penafsiran al-Qur’an
melalui hierarkhi sumber-sumber Islam tradisional yang disandarkan kepada Nabi,
para sahabat, dan pendapat kalangan Tabiin
Dalam perjalanannya, tafsir ini terbagi ke dalam dua
bagian, yaitu:
1.
Tafsir shufiisyari,
yaitu penafsiran al-Qur’an dalam bentuk ta’wil, yakni penafsiran yang
bersifat esoteric atau batini. Penafsiran ini dapat diuji validitasnya ketika
dibuktikan kesesuaiannya antara penafsiran yang batini dengan kenyataan
lahiriah.
2.
Tafsir shufi
nadzari, yaitu tafsir yang dibangun atas premis-premis ilmiah yang
diterapkan dalam penafsiran al-Qur’an. Sedangkan tafsir shufi isyari tidak dibangun atas dasar premis-premis ilmiah. Ia
dibangun atas dasar riyadhat ruhiyyah, yaitu
latihan-latihan spiritual yang dilakukan seorang sufi hingga ia mencapai
tingkat menemukan petunjuk melalui hati nuraninya (inkisyaf).
Ada beberapa kriteria tafsir sufi yang
diterima yaitu :
1.
Tidak menafikan penafsiran lahiriah
2.
Ada kesaksian syar’i yang menguatkan penafsiranya
3.
Tidak bertentangan dengan hokum dan akal
4.
Ada kesadaran bahwa tafsir isyari itu bukan satu – satunya yang di maksud Al Quran.
Contoh karya yang menampilkan corak tafsir sufi
adalah Tafsir al-Qur’ān al-Karim, karya Sahl al-Tustarī (w.283 H); Haqā’iq
al-Tafsīr karya Abu Abd al-Rahman al-Sulamī (w.412 H); Lata’if
al-Isyarat karya al-Qusyairi, dan ‘Arā’is al-Bayān fī Haqā’iq al-Qur’ān
karya al-Syirazī (w.606)[3]
B.
Tafsir Fiqhī
Tafsir fiqhi,
yaitu penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh tokoh suatu madzhab untuk
dijadikan sebagai dalil atas kebenaran madzhabnya.Tafsir fiqhi banyak
ditemukan dalam kitab-kitab fikih dari berbagai madzhab yang berbeda.
Bersamaan dengan
lahirnya corak tafsir bil ma’tsūr, corak tafsir fiqhī juga muncul pada saat
yang bersamaan, melalui penukilan riwayat yang sama tanpa ada pembedaan di
antara keduanya. Ini terjadi lantaran kebanyakan masalah yang muncul dan
menjadi bahan pertanyaan para sahabat sejak masa awal Islam, sampai pada
generasi selanjutnya adalah masalah yang berkaitan dengan aspek hukum. Di sini,
keputusan hukum yang bersumber dari al-Qur’an bisa muncul dengan cara melakukan
penafsiran terhadapnya. Pada awal Islam, ketika menemukan sebuah masalah, maka
yang selalu dilakukan oleh para sahabat adalah mengembalikan permasalahannya
kepada Nabi SAW.Dengan begitu, Nabi SAW kemudian memberikan
jawaban.Jawaban-jawaban Nabi SAW ini digambarkan sebagai bentuk penafsiran bi
al-ma’tsūr, yang dengan muatan penjelasan tentang hukum Islam dapat pula
disebut dengan tafsir fiqhī.Oleh karena itu, boleh dikatakan pula bahwa tafsir
fiqhi muncul dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya ijtihad, yang
hasilnya tentu saja sudah sangat banyak, dan diteruskan dari generasi ke generasi
secara tulus sejak awal turunnya al-Qur’ān sampai masa penyusunan aliran-aliran
hukum Islam menurut madzhab tertentu.
Pada masa pembentukan
madzhab, beragam peristiwa yang menimpa kaum muslimin mengantarkan pada
pembentukan hukum-hukum yang sebelumnya mungkin tidak pernah ada. Maka
masing-masing Imam madzhab melakukan analisis terhadap kejadian-kejadian ini
berdasarkan sandaran al-Qur’ān dan al-Sunnah, serta sumber-sumber ijtihad
lainnya. Dengan itu, para imam memberikan keputusan hukum yang telah melalui
pertimbangan pemikiran di dalam hatinya, dan meyakini bahwa hal yang dihasilkan
itu merupakan sesuatu yang benar, yang didasarkan pada dalil-dalil dan
argumentasi (Dzahabi, al-Tafsir Wal Mufassirun, iii, 99).
Faktor yang cukup
mencolok berkaitan dengan kemunculan corak tafsir fiqhi adalah karya-karya yang
menampilkan pandangan fiqih yang cukup sektarian, ketika kita menemukan tafsir
fiqhi sebagai bagian dari perkembangan kitab-kitab fiqh yang disusun oleh para
pendiri madzhab.Meskipun begitu, ada pula sebagian yang memberikan analisis
dengan membandingkan perbedaan pandangan madzhab yang mereka anut.
Di antara kitab-kitab
yang tergolong tafsir fiqhī adalah Ahkām al-Quran karya al-Jassās (w.
370 H); Ahkām al-Quran karya Ibn al-‘Arabi (w. 543 H); dan Al-Jāmi‘
li ahkām al-Quran karya al-Qurtubī (w. 671 H).[4]
C.
Tafsir
Falsafī
Tafsir falsafi adalah upaya penafsiran al-Qur’an
dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat. Tafsir falsafi yaitu tafsir yang
didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang
mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan
menggunakan teori-teori filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat al-Qur’an dapat ditafsirkan
dengan menggunakan filsafat.Karena ayat al-Qur’an bisa berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat atau ditafsirkan
dengan menggunakan teori-teori filsafat.
Dalam melakukan tafsir filsafat, dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu:
1.
Metode ta’wil atas teks-teks agama dan hakikat umumnya
yang sesuai dengan pandangan-pandangan filosofis.
2.
Metode pensyarahan teks-teks agama dan hakikat hukumnya
berdasarkan pandangan-pandangan filosofis. [5]
Tafsir Falsafi berusaha menafsirkan
ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi, seperti
tafsir bi al-Ra`yi. Dalam hal ini
ayat lebih berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran
yang menjustifikasi ayat. Seperti tafsir
yang dilakukan al-Farabi, ibn Sina, dan ikhwan al-Shafa.Menurut Dhahabi, tafsir mereka ini
di tolak dan di anggap merusak agama dari dalam.
Al-Qur’an adalah sumber ajaran dan pedoman hidup umat Islam
yang pertama, kitab suci ini menempati posisi sentral dalam segala hal yaitu
dalam pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan keislaman.Pemahaman
ayat-ayat al-Qur’an melalui penafsiran mempunyai peranan yang sangat besar bagi
maju mundurnya peradaban umat Islam.Di dalam menafsirkan Al Qur’an terdapat
beberapa metode yang dipergunakan sehingga membawa hasil yang berbeda-beda
pula, sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang masing-masing mufasir.
Sehingga timbullah berbagai corak penafsiran seperti tafsir shufi, ilmi, adabi,
fiqhi, falsafi dan lain-lain yang tentunya juga akan menimbulkan pembahasan
yang luas serta pro-kontra dari zaman ke zaman.
Penafsiran terhadap al-Qur’an telah tumbuh dan berkembang
sejak masa awal Islam.Sejalan dengan kebutuhan umat Islam untuk mengetahui
seluruh segi kandungan al-Qur’an serta intensitas perhatian para ulama terhadap
tafsir, maka tafsir al-Qur’an pun terus berkembang, baik pada masa ulama salaf
maupun khalaf bahkan hingga sekarang.Pada tahapan-tahapan perkembangannya
tersebut, muncullah karakteristik yang berbeda-beda baik dalam metode maupun
corak penafsirannya.
Sejarah telah mencatat perkembangan tafsir yang begitu
pesat, seiring dengan kebutuhan, dan kemampuan manusia dalam
menginterpretasikan ayat-ayat Tuhan.Setiap karya tafsir yang lahir pasti
memiliki sisi positif dan negatif, demikian juga tafsir falsafi yang cenderung membangun
proposisi universal hanya berdasarkan logika dan karena peran logika begitu
mendominasi, maka metode ini kurang memperhatikan aspek historisitas kitab
suci.Namun begitu, tetap ada sisi positifnya yaitu kemampuannya membangun abstraksi
dan proposisi makna-makna latent (tersembunyi) yang diangkat dari teks kitab
suci untuk dikomunikasikan lebih luas lagi kepada masyarakat dunia tanpa hambatan budaya dan bahasa.
Dari pemahaman tersebut tidak terlalu
berlebihan kiranya kalau kita mengharapkan nantinya terwujudnya tafsir falsafi
ideal, sebuah konsep tafir falsafi yang kontemporer yang tidak hanya
berlandaskan interpretasi pada kekuatan logika tetapi juga memberikan perhatian
pada realitas sejarah yang mengiringinya. Sebab pada prinsipnya teks al-Qur’an tidak lepas dari
struktur historis
dan konteks sosiokultural di mana ia diturunkan. Dengan demikian, akan lahir
tarfir-tafsir filosofis yang logis dan proporsional, tidak spekulatif dan
diberlebih-lebihan.
Ada beberapa kitab tafsir falsafi
seperti, Fushush al- Hikam karya Al Farabi, Mafatih Al-Ghaib,
karya Fakhr al-Razi (w. 606 H),
al-Isyarat, karya Imam al-Ghazali (w.
505 H), Rasail Ibn
Sina, karya Ibn
Sina (w. 370 H).
D.
Tafsir Ilmi
Tafsir ilmi adalah
tafsir yang memperkenalkan istilah – istilah ilmiah dari al Quran dan ditandai
dengan adanya usaha untuk menggali aneka ilmu dan pandanagan filsafat dari al
Quran.[6]Kajian
tafsir ini adalah untuk memperkuat teori-teori ilmiah dan bukan sebaliknya.Alasan
yang melahirkan penafsiran ilmiah adalah karena seruan al-Quran pada dasarnya
adalah sebuah seruan ilmiah. Yaitu seruan yang didasarkan pada kebebasan akal
dari keragu-raguan dan prasangka buruk, bahkan al-Quran mengajak untuk
merenungkan fenomena alam semesta, atau seperti juga banyak kita jumpai
ayat-ayat al-Quran ditutup dengan ungkapan-ungkapan, “Telah kami terangkan
ayat-ayat ini bagi mereka yang miliki ilmu”, atau dengan ungkapan, “bagi kaum
yang memiliki pemahaman”, atau dengan ungkpan, “bagi kaum yang berfikir.”
Apa yang dicakup oleh
ayat-ayat kauniyah dengan makna-makna yang mendalam akan menunjukkan pada
sebuah pandangan bagi pemerhati kajian dan pemikiran khususnya, bahwa merekalah
yang dimaksudkan dalam perintah untuk mengungkap tabir pengetahuannya melalui
perangkat ilmiah yang berkenaan dengan itu. Walhasil, ketika sebagian ulama
menangkap hakikat bahwa al-Qur’an mendorong manusia untuk berpikir dan
menguasai ilmu pengetahuan, mereka menyusun tafsir ayat-ayat kauniyah, menurut
kaidah bahasa dan kelazimannya, menurut ukuran yang mereka bisa terangkan
sebagai bagian ilmu yang bersumber dari agama mereka berdasarkan kesimpulan
analisis yang mereka dapatkan dari kenyataan pula.
Karya yang bisa
digolongkan dalam kelompok tafsir ilmi adalah Tafsir al-Kabīr karya
Imam Fakh al-Razî dan Tafsir al-Jawahir karya Tantawi Jauhari.
Sebagian ulama ada juga yang memasukkan beberapa karya seperti Ihyā’ ‘ulūm
al-dīn, dan Jawāhir al-Quran karya Imam al-Ghazāli; serta al-Itqan
karya al-Suyūtī sebagai karya yang mencerminkan corak tafsir ilmi ini, akan
tetapi bila tafsir dipahami sebagai genre untuk karya yang menampilkan
penafsiran al-Qur’an berdasarkan tata urutan ayatnya sesuai dengan mushaf,
sebagaimana corak ini tergolong kepada metode tafsir tahlili, maka ketiga karya
yang disebut terakhir tidak bisa di masukkan ke dalamnya.
Setidaknya terdapat
tiga kelompok utama berkenaan dengan tafsir ilmi.Pertama, kelompok yang
mendukung keberadaan tafsir ilmi.Kedua, kelompok yang menolak.Ketiga, kelompok
moderat yang mencoba mencari jalan tengah di antara dua kelompok yang
bertolakbelakang secara diametral di atas.
Kelompok yang mendukung
tafsir ilmi beralasan bahwa tafsir ilmi adalah sebuah keniscayaan sejarah dan
bagian dari upaya mendialogkan al-Qur’an dengan aktualitas, dengan konteks, dan
sebagai respon terhadap perkembangan zaman yang senantiasa bergerak.Kelahiran
tafsir ilmi merupakan dinamika yang wajar dalam batang tubuh umat
Islam.Keberadaan tafsir ilmi dapat membuka tabir-tabir makna yang selama ini
belum terungkap dan bahkan dalam beberapa kasus dapat merevisi berbagai
pandangan atau tafsiran yang sejatinya bertolak belakang dengan visi dan
paradigma al-Qur’an sendiri.
Apalagi ibadah-ibadah
utama dalam agama Islam berkaitan langsung dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi, seperti shalat yang membutuhkan ilmu geografi dan astronomi,
penentuan puasa yang membutuhkan ilmu astronomi, dan lain sebagainya.Kelompok
pertama ini didukung oleh Imam Al-Ghazali. Menurut Al-Ghazali, semua cabang
ilmu pengetahuan terdapat dalam al-Qur’an, baik yang telah berhasil diungkap
maupun yang belum terungkap. Kelompok ini mendasarkan pendapatnya pada ayat
al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah Swt. telah menerangkan segala sesuatu
dalam Al-Kitab dan Allah Swt. menurunkan Al-Kitab untuk menjelaskan segala
sesuatu, petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah
diri.
Kelompok yang pertama
ini memberikan apresiasi yang berbeda terhadap penerapan tafsir limi. Ada yang
menjelaskan ayat al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki
oleh sang mufasir, atau fungsi tabyin. Ada yang berkeinginan membuktikan
kebenaran teks al-Qur’an menurut ilmu pengetahuan mutakhir, atau fungsi
I’jaz.Hal ini member stimulant kepada umat Islam dan Ilmuan dalam meneliti dan
observasi ilmu pengetahuan lewat teks-teks al-Qur’an.Terakhir, fungsi istikhraj
al-‘ilm atau ta’ziz, yakni ayat-ayat al-Qur’an mampu melahirkan dan memperkuat
teori-teori ilmu pengetahuan mutakhir.
Sementara itu, Imam Abu
Ishak Ibrahim ibn Musa Al-Syatibi Al-Andalusi (w. 790 M) disebut-sebut sebagai
orang yang menantang penggunaan tafsir ilmi terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
Menurut Al-Syatibi, bahwa semua sahabat Nabi lebih mengetahui al-Qur’an dan
apa-apa yang tercantum di dalamnya, tapi tidak seorang pun dari mereka yang menyatakan
bahwa al-Qur’an mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan. Bahkan, menurut
kelompok yang kedua ini, terbaca kesan pemaksaan penerapan tafsir ilmi terhadap
ayat-ayat al-Qur’an.Kelompok kedua ini menolak penerapan tafsir ilmi terhadap
al-Qur’an karena al-Qur’an bukanlah kitab ilmu pengetahuan, melainkan kitab
hidayah, ishlah, dan tasyri’.
Sedangkan kelompok yang
ketiga, kelompok moderat, mengambil jalan tengah di antara dua kutub Ghazalian
dan Syatibian di atas.Bagi kelompok ini, pendapat Al-Ghazali yang menyatakan
bahwa al-Qur’an mengandung segala sesuatu, adalah argumen yang
dilebih-lebihkan.Sebab, meskipun ilmu Tuhan diyakini tidak terbatas,
persoalannya adalah apakah ilmu-ilmu Tuhan telah dituangkan-Nya dalam
al-Qur’an?Apakah setiap kata yang menyangkut disiplin ilmu merupakan bukti
lengkapnya disiplin ilmu tersebut dalam al-Qur’an?
Untuk kelompok
Al-Syatibi pendulum kritik diarahkan, bahwa umat Islam yang hidup di zaman ini
tidak mungkin memahami al-Qur’an sebagaimana pemahaman sahabat dan orang-orang
terdahulu. Sementara itu di sisi lain, al-Qur’an memerintahkan setiap muslim
mempergunakan akal pikirannya serta merendahkan mereka yang hanya mengekor
pendapat orang tua atau nenek moyangnya. Abbas Mahmud Aqqad adalah salah
seorang yang dapat dimasukkan dalam kategori ketiga ini.
Menurut kelompok yang
ketiga ini, tafsir ilmi dapat diterima dan diterapkan terhadap ayat-ayat
al-Qur’an dengan catatan seorang mufasir memenuhi tiga syarat berikut
ini.Pertama, penafsirannya sejalan dengan kaidah kebahasaan.Disebabkan
al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, maka ketika menafsirkan ayat-ayat
ilmiah, seorang mufasir harus paham dengan kaidah-kaidah bahasa Arab.Selain
mengerti dengan ilmu I’rab, bayan, ma’ani, dan badi’, sesuai dengan
kaidah-kaidah dalam kitab-kitab tafsir dan kamus, seorang mufasir juga harus
memperhatikan dan mempertimbangkan perkembangan arti dari suatu kata.
Kedua, memperhatikan
korelasi ayat (munasabat al-ayat).Selain menguasai kaidah kebahasaan, seorang
mufasir ilmi harus juga dituntut untuk memperhatikan korealasi ayat, baik ayat
sebelumnya maupun ayat sesudahnya.Hal ini penting, mengingat penyusunan
al-Qur’an tidak berdasarkan pada kronologi turun ayat, melainkan berdasarkan
pada korelasi makna ayat-ayatnya, sehingga kandungan ayat sebelumnya senantiasa
berkaitan dengan kandungan ayat yang berikutnya.
Ketiga, berdasarkan
pada fakta ilmiah yang telah mapan.Sebagaimana diketahui, sebagai kitab wahyu,
kebenaran al-Qur’an diakui secara mutlak.Otentisitas dan validitasnya dapat
diuji dari berbagai perspektif, baik dari perspektif sejarah, kebahasaan,
berita ghaib, dan bahkan dari aspek ilmiah sekalipun.Oleh sebab itu,
pensejajaran al-Qur’an dengan teori-teori ilmiah yang tidak mapan, tentu saja
tidak dapat diterima.Dan, bila diperhatikan secara seksama, sesungguhnya
menyandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki kebenaran mutlak dengan
kebenaran temuan ilmiah yang bersifat relatif, adalah salah satu alasan utama
kelompok yang menolak penerapan tafsir ilmi terhadap al-Qur’an.
E. Tafsir
Adabi wa Ijtima’i
Corak tafsir ini
berusaha memahami teks al-Qur'an dengan cara, pertama dan utama, mengemukakan
ungkapan-ungkapan al-Qur'an secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna
yang dimaksud oleh al-Qur'an tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan menarik,
kemudian berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur'an yang tengah dikaji
dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada. Pembahasan tafsir ini sepi
dari penggunaan istilah-istilah ilmu dan teknologi, dan tidak akan menggunakan
istilah-istilah tersebut kecuali jika dirasa perlu dan hanya sebatas kebutuhan.[7]
Pembahasan tafsir ini sepi dari
penggunaan istilah-istilah ilmu dan teknologi, dan tidak akan menggunakan
istilah-istilah tersebut kecuali jika dirasa perlu dan hanya sebatas kebutuhan.
Kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah
dengan penonjolan tujuan utama dan tujuan-tujuan Alquran yaitu membawa petunjuk
dalam kehidupan, kemudian menggabungkannya dengan pengertian-pengertian ayat
tersebut dengan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan
dunia.di samping itu pula juga dengan menekankan tujuan pokok diturunkannya
Alquran, lalu mangaplikasikannya pada tatanan sosial, seperti pemecahan
masalah-masalah umat islam dan bangsa pada umumnya, sejalan dengan perkembangan
masyarakat. Dalam corak tafsir ini yang penting adalah bagaimana misi Alquran
sampai pada pembaca.
Dalam penafsirannya, teks-teks
Alquran dikaitkan dengan realitas kehidupan masyarakat, tradisi sosial dan
system peradaban, sehingga dapat fungsional dalam memecahkan persoalan. Dengan
demikian mufassir berusaha mendiagnosa persoalan-persoalan umat Islam khususnya
dan umat manusia pada umumnya, untuk kemudian mencarikan jalan keluar
berdasarkan petunjuk-petunjuk Alquran, sehingga dirasakan bahwa ia selalu
sejalan dengan dengan perkembangan zaman dan manusia.
Metode al-Adabi al-Ijtima’i dalam segi keindahan (balaghah) bahasa dan
kemu’jizatan Alquran, berusaha menjelaskan makna atau maksud yang dituju oleh
Alquran, berupaya mengungkapkan betapa Alquran itu mengandung hukum-hukum alam
raya dan aturan-aturan kemasyarakatan, melalui petunjuk dan ajaran Alquran,
suatu petunjuk yang berorientasi kepada kebaikan dunia dan akhirat, serta
berupaya mempertemukan antara ajaran Alquran dan teori-teori ilmiah yang benar.
Juga berusaha menjelaskan kepada umat bahwa Alquran itu adalah Kitab Suci yang
kekal, yang mampu bertahan sepanjang perkembangan zaman dan kebudayaan manusia
sampai akhir masa, berupaya melenyapkan segala kebohongan dan keraguan yang
dilontarkan terhadap Alquran dengan argument yang kuat yang mampu menangkis
segala kebatilan, karena memang kebatilan itu pasti lenyap.
Semua hal di atas dikemukakan dan
diuraikan dengan gaya bahasa yang sangat indah, menarik memikat, dan membuat
pembaca terpesona serta merasuk kedalam kalbunya, sehingga tergugahlah hatinya
untuk memperhatikan Kitabullah dan timbul minat serta gairah untuk mengetahui
segala makna dan rahasia Alquran al-Karim tersebut. Metode tafsir Al-Adabi
Al-Ijtima’i Dalam Analisis Tentang Unsur-unsur Terbentuknya Masyarakat.
Unsur yang membentuk masyarakat ada
tiga yakni: Manusia, alam dan hubungan/interaksi social. Unsur ketiga yang
harus kita kaji untuk menemukan di manakah letak posisi manusia dalam interaksi
social, sesuai dengan konsepsi yang dikehendaki oleh Alquran. Manusia adalah
makhluk sosial yang memiliki ketergantungan (interdependensi) satu sama lain
dalam kehidupannya. Bertolak dari kebutuhan sosiologisnya itu, seluruh manusia
akan memiliki kecenderungan yang sama, yaitu membentuk kesatuan sosial, yang
pada akhirnya melahirkan sebuah Negara.
Dilihat dari segi sifatnya, hubungan
sosial tersebut terbagi dua, yaitu:
1. Hubungan
fungsional
2. Hubungan persaudaraan yang
diikat kesamaan agama.
Hubungan fungsional adalah hubungan sosial yang lebih
bertendensikan kejasaan.Hubungan sosial dalam masyarakat, ini adalah hubungan
antara manusia dengan sesamanya, berkaitan dengan pemerataan kesejahteraan,
gesekan kebudayaan dan berbagai bidang kehidupan sosial lainnya.Permasalahan yang
dihadapi di sini bukan lagi pertentangan antara manusia dengan alam tetapi
berupa pertentangan sosial dan benturan kepentingan atau kemaslahatan antar
sesama, problematika sosial dalam masyarakat memang sangat kompleks beragam dan
dalam bentuk yang bermacam-macam.Akan tetapi pada hakikatnya satu subtansial
yang berulang-ulang dan sangat umum, yakni pertentangan antara golongan lemah
dan golongan kuat.semuanya bersumber pada antara kesenjangan mereka yang ada di
posisi golongan kuat dan yang di posisi golongan lemah. Bahkan sering kali
permasalahan itu timbul dari satu golongan yaitu golongan elit atas.
Pada hari akhir nanti Allah tidak
menanyai manusia mengenai pendapat para mufassir, dan tentang bagaimana mereka
memahami Alquran. Tetapi ia akan menanyakan kepada kita tentang kitab-Nya yang
Ia wahyukan untuk membimbing dan mengatur manusia. Kesimpulannya adalah
menjelaskan Alquran kepada masyarakat luas dengan maknanya yang praktis, bukan
hanya untuk ulama’ professional. Masyarakat awam maupun ulama’, menyadari
relevansi terbatas yang dimiliki tafsir-tafsir tradisional, tidak akan
memberikan pemecahan terhadap masalah-masalah penting yang mereka hadapi
sehari-hari. Agar para ulama itu yaqin, bahwa mereka seharusnya membiarkan
Alquran berbicara atas nama dirinya sendiri, bukan malah diperumit dengan
penjelasan-penjelasan dan keterangan-keterangan yang subtil.
Nuansa social kemasyarakatan yang
dimaksud di sini adalah tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat Alquran
dari:
1). Segi ketelitian redaksinya
2). Kemudian menyusun
kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi dengan tujuan utama memaparkan
tujuan-tujuan Alquran, eksentuasi yang menonjol pada tujuan utama yang
diuraikan Alquran, dan
3). Penafsiran ayat dikaitkan dengan
sunnatullah yang berlaku dalam masyarakat.
Nuansa tafsir sosial kemasyarakatan ingin menghindari adanya kesan cara penafsiran yang seolah-olah menjadikan Alquran terlepas dari akar sejarah kehidupan manusia, baik secara individu maupun sebagai kelompok. Akibatnya, tujuan Alquran sebagai petunjuk dalam kehidupan manusia terlantar.
Nuansa tafsir sosial kemasyarakatan ingin menghindari adanya kesan cara penafsiran yang seolah-olah menjadikan Alquran terlepas dari akar sejarah kehidupan manusia, baik secara individu maupun sebagai kelompok. Akibatnya, tujuan Alquran sebagai petunjuk dalam kehidupan manusia terlantar.
Para Pelopor Dan Kitab Tafsir Corak
al-Adabi al-Ijtima’i. Menganai penafsiran Alquran kontemporer adalah upaya
melahirkan konsep-konsep Qurani sebagai jawaban terhadap tantangan dan
problematika kehidupan modern dan upaya mempertemukan antara Qur’an dan sains
modern yang selalu berkembang dengan cepat dalam batas yang wajar dan
ditoleransi oleh islam, dengan motifasi lebih menegaskan I’jaz ilmi Alquran.
Dalam bidang kemasyarakatan dan politik, maka tafsir yang sangat dibanyak
dipelajari adalah tafsir yang terbit pada abad ke XIX dan XX.
Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya tadi, penafsir metode al- Adab wal al ijtimai berusaha mengemukakan
segi keindahan (balaghah) bahasa dan kemukjizatan al- Quran, berusa menjelaskan
makna atau maksud yang dituju oleh al Quran, berupaya mengungkapkan betapa al
Quran itu mengandung hokum-hukum alam raya dan aturan- aturan kemasyarakatan,
dan bermaksud membantu memecahkan segala problema yang dihadapi oleh umat Islam
melalaui petunjuk dan ajaran al Quran dan ajaranya, suatu petunjuk yang
berorientasi kepada kebaikan dunia dan akhirat, serta berupaya mempertemukan
antara ajaran al Quran dan toeri- teori ilmiah yang benar. Juga berusaha
menjelaskan kepada umat bahwa al Quran itu adalah kitab suci yang kekal, yang
mampu bertahan sepanjang perkembangan zaman dan kebudayaan manusia sampai akhir
masa, berupaya melenyapkan segala kebohongan dan keraguan yang dilontarkan
terhadap alQuran dengan argument yang kuat yang mampu menangkis segala
kebatilan, kerna memang kebatilan itu pasti lenyap.
Semua hal di atas dikemukakan dan
diuraikan dengan gaya bahasa yang sangat indah, menarik, memikat, dan membuat
pembaca terpesona serta merasuk ke dalam hatinya, sehingga tergugahlah hatinya
untuk memperhatikan Kitabullah dan
timbul minat serta gairah untuk mengetahui segala makna dan rahasia
al-Qur’an al-Karim tersebut.Tokoh utama corak adabi ijtima’i ini
adalah Muhammad Abduh sebagai peletak dasarnya, dilanjutkan oleh muridnya
Rasyid Ridha, di era selanjutnya adalah Fazlurrahman, Muhammad Arkoun.
Selanjutnya yang masih menjadi bagian dari para mufassir dengan corak ini akan
disebutkan berikut ini bersama karya-karya tafsirnya.
1.Tafsir Al-Manar, oleh
Rasyid Ridha (w. 1345 H).
2.Tafsir Al-Qur'an Al-Karim,
karya Al-Syekh Mahmud Syaltut .[8]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
penjelasandi atas dapat penulis simpulkan
bahwa yang termasuk dalam corak- corak
tafsir tahlili adalah sebagai berikut :
Pertama, tafsirsufi, yaitu
penafsiran yang dilakukan para sufi yang pada umumnya dikuasai oleh ungkapan
mistik. Ungkapan tersebut tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang sufi
dan yang melatih diri untuk menghayati ajaran tasawuf. Di antara kitab tafsir
sufi adalah kitab: Tafsir al-Qur’an al-’Adim, karya Imam
al-Tusturi.
Kedua, tafsir fiqhi, yaitu
penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh tokoh suatu madzhab untuk dijadikan
sebagai dalil atas kebenaran madzhabnya.Tafsir fiqhi banyak
ditemukan dalam kitab-kitab fikih dari berbagai madzhab yang berbeda.Di antara
kitab tafsir dengan menggunakan metode fikih adalah Tafsir Ahkam
al-Qur’an, karya Al-Jassah, dan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’ankarya Imam
Al-Qurtubi.
Ketiga, tafsir falsafi,
yaitu penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat.Contoh kitab
tafsir falsafi adalah kitabMafatih al-Ghayb
karya Fakhr al-Din al-Razi. Dalam kitab tersebut ia menempuh cara ahli
filsafat dalam mengemukakan dalil-dalil secara utuh yang didasarkan pada ilmu
kalam dan simantik (logika). Ia juga membeberkan ide-ide filsafat yang
dipandang bertentangan dengan agama, khususnya dengan al-Qur’an, dan akhirnya
ia dengan tegas menolak filsafat berdasar alasan dan dalil yang ia anggap
memadai.
Keempat, tafsir ‘ilmi,
yaitu penafsiran ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur’an, dengan cara
mengaitkannya dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern. Kajian tafsir ini adalah
untuk memperkuat teori-teori ilmiah dan bukan sebaliknya.Di antara kitab tafsir‘ilmi
adalah kitab al-Islam Yata’adda, karya Wahid al-Din Khan.
Kelima, tafsir adabi ijtima’i,
yairu penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan mengungkapkan sisi balaghah
al-Qur’an dan kemukjizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran
yang dituju al-Qur’an, mengungkapkan hukum-hukum alam, dan tatanan
kemasyarakatan yang dikandungnya.Tafsir adabiijtima’i merupakan
corak tafsir baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada
al-Qur’an serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasia-rahasia
al-Qur’an. Di antara kitab tafsir adabi ijtima’i adalah
Tafsir al-Mannar karya Muhammad ’Abduh dan Rashid
Rida.
B.
Saran
Penulis
menyarankan, sebagai umat Islam dalam menafsirkan dan mengeluarkan makna dari
al Quran sebagai kitab suci umat Islam hendaklah menafsirkannya sesuai dengan
ajaran yang telah di contohkan oleh nabi kita Muhammad saw. Agar dalam
mengaplikasikan maknanya dan kandungan al Quran dalam kehidupan ini mendapatkan
ridha Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak
luput dari segala kekurangan dan kekhilafan baik dalam segi sistematis tulisan
maupaun dalam materi yang di bahas di dalamnya.Oleh karena itu penulis dengan
rendah hati mengharapkan kritik dan saran kepada semua pihak yang telah membaca
makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al Farmawi, Abd.
Al hay. 1996, Metode Tafsir Mawdhu’iy, Jakarta: Raja
Grafindo Persada,
S.
Praja, Juhaya. 2000, Tafsir Hikmah, Bandung:
Rosda Karya
Mana’ul
Quthan, 1995, Pembahasan Ilmu al Quran 2,Jakarta
: Rineka Cipta