-->

Minggu, 24 Maret 2013

         BAB I
PENDAHULUAN

al-Qur’an sebagai mukjizat Nabi Muhammad, terbukti mampu menampakkan sisi kemukjizatannya yang luar biasa, bukan hanya pada eksistensinya yang tidak pernah rapuh, tetapi juga pada ajarannya yang telah terbukti sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga ia menjadi referensi bagi umat manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia.al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang moralitas dan spritualitas, tetapi juga berbicara tentang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia.
al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril dengan menggunakan Bahasa Arab yang sempurna. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar akidah, kaidah-kaidah hukum, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan berbuat.Akan tetapi penjelasan itu tidak dirinci oleh Allah sehingga muncullah banyak penafsiran, terutama terkait dengan susunan kalimat yang singkat dan sarat makna.
Banyak ulama tafsir yang telah menulis beberapa karya tentang metode penafsiran al-Qur’an.Dari para ulama itu muncullah berbagai macam model dan metode penafsiran dalam rangka menyingkap pesan-pesan al-Qur’an secara optimal sesuai dengan kemampuan dan kondisi sosial mereka.Di antara metode penafsiran yang populer di kalangan para ulama tafsir adalah metode tahlili (analitik), metode ijmali (global), metodemuqaran (komparatif), dan metode mawdu’i (tematik).
Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba untuk menguraikan dua metode tafsir pertama, yaitu tahlili  saja, mengingat  metode ini telah menjadi pilihan banyak mufassir (ulama tafsir) dalam menafsirkan al-Quran. Metode- metode tahlili ini yang akan di bahas dalam makalah ini diantaranya ialah tafsir syufi, tafsir falsafi, tafsir fiqhi, tafsir ilmi, dan tafsir adabi wal ijtimai.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tafsir Sūfi
Tafsir sufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi atau ahli tasawuf. Tasawuf itu sendiri secara harfiah berarti mensucikan.Benci kepada kesenangan duniawi dengan berlaku zuhud, berpakaian buruk – buruk dan kotor.[1]Dalam agama Islam, tasawuf berarti mensucikan hati, bermunajat kepada Allah, dan menjernihkan ruh dapat berhubungan langsung dengan Allah sehingga meraih pelimpahan cahaya Ilahi dan ilham.
Sedangkan tasawuf sendiri dapat dipilah menjadi dua bagian utama, yaitu:
a.       Tasawuf teoritis, yakni tasawuf yang didasarkan atas hasil pembahasan dan studi yang mendalam.Dari kalangan tokoh-tokoh tasawuf lahir ulama yang mencurahkan waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami dan mendalami al-Qur’an dengan sudut pandang sesuai dengan teori-teori tasawuf mereka. Mereka menta’wilkan ayat-ayat al-Qur’an dengan tidak mengikuti cara-cara untuk menta’wilkan ayat al-Qur’an dan menjelaskannya dengan penjelasan yang menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal dan didukung oleh dalil Syar’i serta terbukti kebenarannya dalam bahasa Arab, yaitu dalam bab perihal Isyarat.
            Imam Al-Alusy dalam kitab tafsirnya mengemukakan, sebagai berikut: “Apa yang telah diungkapkan oleh tokoh-tokoh sufi tentang al-Qur’an adalah termasuk ke dalam bab isyarat terhadap pengertian-pengertian rumit yang berhasil diungkapkan oleh orang yang menguasai cara yang harus ditempuh untuk sampai kepada Allah dan pengertian-pengertian itu dapat dipadukan dengan pengertian-pengertian tekstual yang dikehendaki. Hal ini termasuk kesempurnaan iman dan pengetahuan yang sejati. Mereka berkeyakinan bahwa pengertian tekstual sama sekali bukanlah yang dikehendaki (pengertian batin, bukan tektual, itulah yang dikehendaki). Oleh karena demikianlah keyakinan aliran Bathiniyah yang ekstrim, maka mereka sampai menafikan syari’at secara keseluruhan.
Beberapa tokoh sufi tidaklah bersifat demikian, oleh karena itu mereka menganjurkan agar tetap dipelihara penafsiran dan pengertian tekstual. Mereka berkata: pada tahap pertama harus tetap dilakukan serta diketahui penafsiran dan pengertian tekstual, sebab tidak mungkin bisa sampai kepada penafsiran dan pengertian batin (non tekstual) dari suatu ayat sebelum penafsiran dan pengertian tekstualnya terlebih dahulu di ketahui. Barang siapa yang mengaku dapat memahami rahasia-rahasia Al-Qur’an sebelum mengetahui penafsiran dan pengertian tektualnya, maka ia seperti orang yang mengaku telah sampai ke bagian dalam Ka’bah sebelum ia melawan pintunya”.
Lebih jauh Al-Alusy berkata: “Tidaklah seyogyanya bagi orang yang kemampuannya terbatas dan keimanannya belum mendalam mengingkari bahwa Al-Qur’an mempunyai bagian-bagian batin yang dilimpahkan oleh Allah yang Maha Pencipta dan Maha Pelimpah batin-batin hamba-Nya yang dikehendaki.
b.      Tasawuf praktis, yakni tasawuf yang dihasilkan oleh praktik gaya hidup sengsara, zuhud dalam rangka melaksanakan melaksanakan ketaatan kepada Allah.[2]Mereka benar-benar menerapkan sikap-sikap hidup di atas untuk hidup, mereka  bersikap zuhud dialam kehidupan dunia dan selalu bersiap-siap diri menghadapi kehidupan di akhirat. Dr. Muhammad Husain al-Dzahaby berkata: “Kami tidak mendengar ada seseorang yang mengarang kitab tertentu tentang tafsir sufi teoritis yang menafsirkan ayat demi ayat demi ayat dalam al-Qur’an seperti dalam tafsir isyary (tafsir yang mengungkapkan makna-makna yang diisyaratkan oleh ayat Al-Qur’an), yang kami temukan adalah keterangan-keterangan yang terpencar-pencar (tidak dalam suatu kitab tertentu) yang termuat dalam penafsiran yang disandarka kepada  Ibn Araby dan kitab al-Futuhat al-Makkiyah, karangan beliau  sebagaimana sebagian yang lain dapat ditemukan dalam banyak kitab-kitab tafsir yang corak penafsirannya berbeda-beda”.
Dari pembagian kelompok tasawuf tersebut tampak mulai adanya ketidakmurnian dalam tasawuf, orang-orang yang bukan ahlinya mencoba mempelajari tasawuf dengan landasan ilmu yang dianutnya.Sehingga hal tersebut sangat berpengaruh pada bidang lainnya seperti fiqh, hadis dan tafsir.Pada masa ini pula bermunculan istilah-istilah seperti khauf, mahabbah, ma’rifah, hulul dan lain sebagainya.Dan sejak itu pula selanjutnya tasawuf telah menjadi lembaga atau disiplin ilmu yang mewarnai khazanah keilmuan dalam Islam, seperti halnya filsafat, hukum dan yang lainnya.
Perkembangan pemikiran Islam, khususnya dalam dimensi penafsiran esoteris terhadap ayat-ayat al-Qur’an memunculkan corak penafsiran sufi. Maka tidaklah mengherankan bila corak penafsiran semacam ini memang bukan hal yang baru, bahkan telah dikenal sejak awal turunnya al-Qur’ān kepada Rasulullah SAW, sehingga dasar yang dipakai dalam penafsiran ini umumnya juga mengacu pada penafsiran al-Qur’an melalui hierarkhi sumber-sumber Islam tradisional yang disandarkan kepada Nabi, para sahabat, dan pendapat kalangan Tabiin
Dalam perjalanannya, tafsir ini terbagi ke dalam dua bagian, yaitu:
1.   Tafsir shufiisyari, yaitu penafsiran al-Qur’an dalam bentuk ta’wil, yakni penafsiran yang bersifat esoteric atau batini. Penafsiran ini dapat diuji validitasnya ketika dibuktikan kesesuaiannya antara penafsiran yang batini dengan kenyataan lahiriah.
2.   Tafsir shufi nadzari, yaitu tafsir yang dibangun atas premis-premis ilmiah yang diterapkan dalam penafsiran al-Qur’an. Sedangkan tafsir shufi isyari tidak dibangun atas dasar premis-premis ilmiah. Ia dibangun atas dasar riyadhat ruhiyyah, yaitu latihan-latihan spiritual yang dilakukan seorang sufi hingga ia mencapai tingkat menemukan petunjuk melalui hati nuraninya (inkisyaf).
Ada beberapa kriteria tafsir sufi yang diterima yaitu :
1.      Tidak menafikan penafsiran lahiriah
2.      Ada kesaksian syar’i yang menguatkan penafsiranya
3.      Tidak bertentangan dengan hokum dan akal
4.      Ada kesadaran bahwa tafsir isyari itu  bukan satu – satunya yang di maksud Al Quran.
Contoh karya yang menampilkan corak tafsir sufi adalah Tafsir al-Qur’ān al-Karim, karya Sahl al-Tustarī (w.283 H); Haqā’iq al-Tafsīr karya Abu Abd al-Rahman al-Sulamī (w.412 H); Lata’if al-Isyarat karya al-Qusyairi, dan ‘Arā’is al-Bayān fī Haqā’iq al-Qur’ān karya al-Syirazī (w.606)[3]
B.     Tafsir Fiqhī
Tafsir fiqhi, yaitu penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh tokoh suatu madzhab untuk dijadikan sebagai dalil atas kebenaran madzhabnya.Tafsir fiqhi banyak ditemukan dalam kitab-kitab fikih dari berbagai madzhab yang berbeda.
Bersamaan dengan lahirnya corak tafsir bil ma’tsūr, corak tafsir fiqhī juga muncul pada saat yang bersamaan, melalui penukilan riwayat yang sama tanpa ada pembedaan di antara keduanya. Ini terjadi lantaran kebanyakan masalah yang muncul dan menjadi bahan pertanyaan para sahabat sejak masa awal Islam, sampai pada generasi selanjutnya adalah masalah yang berkaitan dengan aspek hukum. Di sini, keputusan hukum yang bersumber dari al-Qur’an bisa muncul dengan cara melakukan penafsiran terhadapnya. Pada awal Islam, ketika menemukan sebuah masalah, maka yang selalu dilakukan oleh para sahabat adalah mengembalikan permasalahannya kepada Nabi SAW.Dengan begitu, Nabi SAW kemudian memberikan jawaban.Jawaban-jawaban Nabi SAW ini digambarkan sebagai bentuk penafsiran bi al-ma’tsūr, yang dengan muatan penjelasan tentang hukum Islam dapat pula disebut dengan tafsir fiqhī.Oleh karena itu, boleh dikatakan pula bahwa tafsir fiqhi muncul dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya ijtihad, yang hasilnya tentu saja sudah sangat banyak, dan diteruskan dari generasi ke generasi secara tulus sejak awal turunnya al-Qur’ān sampai masa penyusunan aliran-aliran hukum Islam menurut madzhab tertentu.
Pada masa pembentukan madzhab, beragam peristiwa yang menimpa kaum muslimin mengantarkan pada pembentukan hukum-hukum yang sebelumnya mungkin tidak pernah ada. Maka masing-masing Imam madzhab melakukan analisis terhadap kejadian-kejadian ini berdasarkan sandaran al-Qur’ān dan al-Sunnah, serta sumber-sumber ijtihad lainnya. Dengan itu, para imam memberikan keputusan hukum yang telah melalui pertimbangan pemikiran di dalam hatinya, dan meyakini bahwa hal yang dihasilkan itu merupakan sesuatu yang benar, yang didasarkan pada dalil-dalil dan argumentasi (Dzahabi, al-Tafsir Wal Mufassirun, iii, 99).
Faktor yang cukup mencolok berkaitan dengan kemunculan corak tafsir fiqhi adalah karya-karya yang menampilkan pandangan fiqih yang cukup sektarian, ketika kita menemukan tafsir fiqhi sebagai bagian dari perkembangan kitab-kitab fiqh yang disusun oleh para pendiri madzhab.Meskipun begitu, ada pula sebagian yang memberikan analisis dengan membandingkan perbedaan pandangan madzhab yang mereka anut.
Di antara kitab-kitab yang tergolong tafsir fiqhī adalah Ahkām al-Quran karya al-Jassās (w. 370 H); Ahkām al-Quran karya Ibn al-‘Arabi (w. 543 H); dan Al-Jāmi‘ li ahkām al-Quran karya al-Qurtubī (w. 671 H).[4]
C.    Tafsir Falsafī
Tafsir falsafi adalah upaya penafsiran al-Qur’an dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat. Tafsir falsafi yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat al-Qur’an dapat ditafsirkan dengan menggunakan filsafat.Karena ayat al-Qur’an bisa berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat atau ditafsirkan dengan menggunakan teori-teori filsafat.
Dalam melakukan tafsir filsafat, dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1.      Metode ta’wil atas teks-teks agama dan hakikat umumnya yang sesuai dengan pandangan-pandangan filosofis.
2.      Metode pensyarahan teks-teks agama dan hakikat hukumnya berdasarkan pandangan-pandangan filosofis. [5]
Tafsir Falsafi berusaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi, seperti tafsir bi al-Ra`yi. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat. Seperti tafsir yang dilakukan al-Farabi, ibn Sina, dan ikhwan al-Shafa.Menurut Dhahabi, tafsir mereka ini di tolak dan di anggap merusak agama dari dalam.
Al-Qur’an adalah sumber ajaran dan pedoman hidup umat Islam yang pertama, kitab suci ini menempati posisi sentral dalam segala hal yaitu dalam pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan keislaman.Pemahaman ayat-ayat al-Qur’an melalui penafsiran mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya peradaban umat Islam.Di dalam menafsirkan Al Qur’an terdapat beberapa metode yang dipergunakan sehingga membawa hasil yang berbeda-beda pula, sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang masing-masing mufasir. Sehingga timbullah berbagai corak penafsiran seperti tafsir shufi, ilmi, adabi, fiqhi, falsafi dan lain-lain yang tentunya juga akan menimbulkan pembahasan yang luas serta pro-kontra dari zaman ke zaman.
Penafsiran terhadap al-Qur’an telah tumbuh dan berkembang sejak masa awal Islam.Sejalan dengan kebutuhan umat Islam untuk mengetahui seluruh segi kandungan al-Qur’an serta intensitas perhatian para ulama terhadap tafsir, maka tafsir al-Qur’an pun terus berkembang, baik pada masa ulama salaf maupun khalaf bahkan hingga sekarang.Pada tahapan-tahapan perkembangannya tersebut, muncullah karakteristik yang berbeda-beda baik dalam metode maupun corak penafsirannya.
Sejarah telah mencatat perkembangan tafsir yang begitu pesat, seiring dengan kebutuhan, dan kemampuan manusia dalam menginterpretasikan ayat-ayat Tuhan.Setiap karya tafsir yang lahir pasti memiliki sisi positif dan negatif, demikian juga tafsir falsafi yang cenderung membangun proposisi universal hanya berdasarkan logika dan karena peran logika begitu mendominasi, maka metode ini kurang memperhatikan aspek historisitas kitab suci.Namun begitu, tetap ada sisi positifnya yaitu kemampuannya membangun abstraksi dan proposisi makna-makna latent (tersembunyi) yang diangkat dari teks kitab suci untuk dikomunikasikan lebih luas lagi kepada masyarakat dunia tanpa hambatan budaya dan bahasa.
Dari pemahaman tersebut tidak terlalu berlebihan kiranya kalau kita mengharapkan nantinya terwujudnya tafsir falsafi ideal, sebuah konsep tafir falsafi yang kontemporer yang tidak hanya berlandaskan interpretasi pada kekuatan logika tetapi juga memberikan perhatian pada realitas sejarah yang mengiringinya. Sebab pada prinsipnya teks al-Qur’an tidak lepas dari struktur historis dan konteks sosiokultural di mana ia diturunkan. Dengan demikian, akan lahir tarfir-tafsir filosofis yang logis dan proporsional, tidak spekulatif dan diberlebih-lebihan.
Ada beberapa kitab tafsir falsafi seperti, Fushush al- Hikam karya Al Farabi, Mafatih Al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H), al-Isyarat, karya Imam al-Ghazali (w. 505 H), Rasail Ibn Sina, karya Ibn Sina (w. 370 H).
D.    Tafsir Ilmi
Tafsir ilmi adalah tafsir yang memperkenalkan istilah – istilah ilmiah dari al Quran dan ditandai dengan adanya usaha untuk menggali aneka ilmu dan pandanagan filsafat dari al Quran.[6]Kajian tafsir ini adalah untuk memperkuat teori-teori ilmiah dan bukan sebaliknya.Alasan yang melahirkan penafsiran ilmiah adalah karena seruan al-Quran pada dasarnya adalah sebuah seruan ilmiah. Yaitu seruan yang didasarkan pada kebebasan akal dari keragu-raguan dan prasangka buruk, bahkan al-Quran mengajak untuk merenungkan fenomena alam semesta, atau seperti juga banyak kita jumpai ayat-ayat al-Quran ditutup dengan ungkapan-ungkapan, “Telah kami terangkan ayat-ayat ini bagi mereka yang miliki ilmu”, atau dengan ungkapan, “bagi kaum yang memiliki pemahaman”, atau dengan ungkpan, “bagi kaum yang berfikir.”
Apa yang dicakup oleh ayat-ayat kauniyah dengan makna-makna yang mendalam akan menunjukkan pada sebuah pandangan bagi pemerhati kajian dan pemikiran khususnya, bahwa merekalah yang dimaksudkan dalam perintah untuk mengungkap tabir pengetahuannya melalui perangkat ilmiah yang berkenaan dengan itu. Walhasil, ketika sebagian ulama menangkap hakikat bahwa al-Qur’an mendorong manusia untuk berpikir dan menguasai ilmu pengetahuan, mereka menyusun tafsir ayat-ayat kauniyah, menurut kaidah bahasa dan kelazimannya, menurut ukuran yang mereka bisa terangkan sebagai bagian ilmu yang bersumber dari agama mereka berdasarkan kesimpulan analisis yang mereka dapatkan dari kenyataan pula.
Karya yang bisa digolongkan dalam kelompok tafsir ilmi adalah Tafsir al-Kabīr karya Imam Fakh al-Razî dan Tafsir al-Jawahir karya Tantawi Jauhari. Sebagian ulama ada juga yang memasukkan beberapa karya seperti Ihyā’ ‘ulūm al-dīn, dan Jawāhir al-Quran karya Imam al-Ghazāli; serta al-Itqan karya al-Suyūtī sebagai karya yang mencerminkan corak tafsir ilmi ini, akan tetapi bila tafsir dipahami sebagai genre untuk karya yang menampilkan penafsiran al-Qur’an berdasarkan tata urutan ayatnya sesuai dengan mushaf, sebagaimana corak ini tergolong kepada metode tafsir tahlili, maka ketiga karya yang disebut terakhir tidak bisa di masukkan ke dalamnya.
Setidaknya terdapat tiga kelompok utama berkenaan dengan tafsir ilmi.Pertama, kelompok yang mendukung keberadaan tafsir ilmi.Kedua, kelompok yang menolak.Ketiga, kelompok moderat yang mencoba mencari jalan tengah di antara dua kelompok yang bertolakbelakang secara diametral di atas.
Kelompok yang mendukung tafsir ilmi beralasan bahwa tafsir ilmi adalah sebuah keniscayaan sejarah dan bagian dari upaya mendialogkan al-Qur’an dengan aktualitas, dengan konteks, dan sebagai respon terhadap perkembangan zaman yang senantiasa bergerak.Kelahiran tafsir ilmi merupakan dinamika yang wajar dalam batang tubuh umat Islam.Keberadaan tafsir ilmi dapat membuka tabir-tabir makna yang selama ini belum terungkap dan bahkan dalam beberapa kasus dapat merevisi berbagai pandangan atau tafsiran yang sejatinya bertolak belakang dengan visi dan paradigma al-Qur’an sendiri.
Apalagi ibadah-ibadah utama dalam agama Islam berkaitan langsung dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti shalat yang membutuhkan ilmu geografi dan astronomi, penentuan puasa yang membutuhkan ilmu astronomi, dan lain sebagainya.Kelompok pertama ini didukung oleh Imam Al-Ghazali. Menurut Al-Ghazali, semua cabang ilmu pengetahuan terdapat dalam al-Qur’an, baik yang telah berhasil diungkap maupun yang belum terungkap. Kelompok ini mendasarkan pendapatnya pada ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah Swt. telah menerangkan segala sesuatu dalam Al-Kitab dan Allah Swt. menurunkan Al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu, petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
Kelompok yang pertama ini memberikan apresiasi yang berbeda terhadap penerapan tafsir limi. Ada yang menjelaskan ayat al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh sang mufasir, atau fungsi tabyin. Ada yang berkeinginan membuktikan kebenaran teks al-Qur’an menurut ilmu pengetahuan mutakhir, atau fungsi I’jaz.Hal ini member stimulant kepada umat Islam dan Ilmuan dalam meneliti dan observasi ilmu pengetahuan lewat teks-teks al-Qur’an.Terakhir, fungsi istikhraj al-‘ilm atau ta’ziz, yakni ayat-ayat al-Qur’an mampu melahirkan dan memperkuat teori-teori ilmu pengetahuan mutakhir.
Sementara itu, Imam Abu Ishak Ibrahim ibn Musa Al-Syatibi Al-Andalusi (w. 790 M) disebut-sebut sebagai orang yang menantang penggunaan tafsir ilmi terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Menurut Al-Syatibi, bahwa semua sahabat Nabi lebih mengetahui al-Qur’an dan apa-apa yang tercantum di dalamnya, tapi tidak seorang pun dari mereka yang menyatakan bahwa al-Qur’an mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan. Bahkan, menurut kelompok yang kedua ini, terbaca kesan pemaksaan penerapan tafsir ilmi terhadap ayat-ayat al-Qur’an.Kelompok kedua ini menolak penerapan tafsir ilmi terhadap al-Qur’an karena al-Qur’an bukanlah kitab ilmu pengetahuan, melainkan kitab hidayah, ishlah, dan tasyri’.
Sedangkan kelompok yang ketiga, kelompok moderat, mengambil jalan tengah di antara dua kutub Ghazalian dan Syatibian di atas.Bagi kelompok ini, pendapat Al-Ghazali yang menyatakan bahwa al-Qur’an mengandung segala sesuatu, adalah argumen yang dilebih-lebihkan.Sebab, meskipun ilmu Tuhan diyakini tidak terbatas, persoalannya adalah apakah ilmu-ilmu Tuhan telah dituangkan-Nya dalam al-Qur’an?Apakah setiap kata yang menyangkut disiplin ilmu merupakan bukti lengkapnya disiplin ilmu tersebut dalam al-Qur’an?
Untuk kelompok Al-Syatibi pendulum kritik diarahkan, bahwa umat Islam yang hidup di zaman ini tidak mungkin memahami al-Qur’an sebagaimana pemahaman sahabat dan orang-orang terdahulu. Sementara itu di sisi lain, al-Qur’an memerintahkan setiap muslim mempergunakan akal pikirannya serta merendahkan mereka yang hanya mengekor pendapat orang tua atau nenek moyangnya. Abbas Mahmud Aqqad adalah salah seorang yang dapat dimasukkan dalam kategori ketiga ini.
Menurut kelompok yang ketiga ini, tafsir ilmi dapat diterima dan diterapkan terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan catatan seorang mufasir memenuhi tiga syarat berikut ini.Pertama, penafsirannya sejalan dengan kaidah kebahasaan.Disebabkan al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, maka ketika menafsirkan ayat-ayat ilmiah, seorang mufasir harus paham dengan kaidah-kaidah bahasa Arab.Selain mengerti dengan ilmu I’rab, bayan, ma’ani, dan badi’, sesuai dengan kaidah-kaidah dalam kitab-kitab tafsir dan kamus, seorang mufasir juga harus memperhatikan dan mempertimbangkan perkembangan arti dari suatu kata.
Kedua, memperhatikan korelasi ayat (munasabat al-ayat).Selain menguasai kaidah kebahasaan, seorang mufasir ilmi harus juga dituntut untuk memperhatikan korealasi ayat, baik ayat sebelumnya maupun ayat sesudahnya.Hal ini penting, mengingat penyusunan al-Qur’an tidak berdasarkan pada kronologi turun ayat, melainkan berdasarkan pada korelasi makna ayat-ayatnya, sehingga kandungan ayat sebelumnya senantiasa berkaitan dengan kandungan ayat yang berikutnya.
Ketiga, berdasarkan pada fakta ilmiah yang telah mapan.Sebagaimana diketahui, sebagai kitab wahyu, kebenaran al-Qur’an diakui secara mutlak.Otentisitas dan validitasnya dapat diuji dari berbagai perspektif, baik dari perspektif sejarah, kebahasaan, berita ghaib, dan bahkan dari aspek ilmiah sekalipun.Oleh sebab itu, pensejajaran al-Qur’an dengan teori-teori ilmiah yang tidak mapan, tentu saja tidak dapat diterima.Dan, bila diperhatikan secara seksama, sesungguhnya menyandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki kebenaran mutlak dengan kebenaran temuan ilmiah yang bersifat relatif, adalah salah satu alasan utama kelompok yang menolak penerapan tafsir ilmi terhadap al-Qur’an.

E.     Tafsir Adabi wa Ijtima’i
Corak tafsir ini berusaha memahami teks al-Qur'an dengan cara, pertama dan utama, mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur'an secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh al-Qur'an tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan menarik, kemudian berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur'an yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada. Pembahasan tafsir ini sepi dari penggunaan istilah-istilah ilmu dan teknologi, dan tidak akan menggunakan istilah-istilah tersebut kecuali jika dirasa perlu dan hanya sebatas kebutuhan.[7]
Pembahasan tafsir ini sepi dari penggunaan istilah-istilah ilmu dan teknologi, dan tidak akan menggunakan istilah-istilah tersebut kecuali jika dirasa perlu dan hanya sebatas kebutuhan. Kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama dan tujuan-tujuan Alquran yaitu membawa petunjuk dalam kehidupan, kemudian menggabungkannya dengan pengertian-pengertian ayat tersebut dengan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.di samping itu pula juga dengan menekankan tujuan pokok diturunkannya Alquran, lalu mangaplikasikannya pada tatanan sosial, seperti pemecahan masalah-masalah umat islam dan bangsa pada umumnya, sejalan dengan perkembangan masyarakat. Dalam corak tafsir ini yang penting adalah bagaimana misi Alquran sampai pada pembaca.
Dalam penafsirannya, teks-teks Alquran dikaitkan dengan realitas kehidupan masyarakat, tradisi sosial dan system peradaban, sehingga dapat fungsional dalam memecahkan persoalan. Dengan demikian mufassir berusaha mendiagnosa persoalan-persoalan umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya, untuk kemudian mencarikan jalan keluar berdasarkan petunjuk-petunjuk Alquran, sehingga dirasakan bahwa ia selalu sejalan dengan dengan perkembangan zaman dan manusia.
            Metode al-Adabi al-Ijtima’i dalam segi keindahan (balaghah) bahasa dan kemu’jizatan Alquran, berusaha menjelaskan makna atau maksud yang dituju oleh Alquran, berupaya mengungkapkan betapa Alquran itu mengandung hukum-hukum alam raya dan aturan-aturan kemasyarakatan, melalui petunjuk dan ajaran Alquran, suatu petunjuk yang berorientasi kepada kebaikan dunia dan akhirat, serta berupaya mempertemukan antara ajaran Alquran dan teori-teori ilmiah yang benar. Juga berusaha menjelaskan kepada umat bahwa Alquran itu adalah Kitab Suci yang kekal, yang mampu bertahan sepanjang perkembangan zaman dan kebudayaan manusia sampai akhir masa, berupaya melenyapkan segala kebohongan dan keraguan yang dilontarkan terhadap Alquran dengan argument yang kuat yang mampu menangkis segala kebatilan, karena memang kebatilan itu pasti lenyap.
Semua hal di atas dikemukakan dan diuraikan dengan gaya bahasa yang sangat indah, menarik memikat, dan membuat pembaca terpesona serta merasuk kedalam kalbunya, sehingga tergugahlah hatinya untuk memperhatikan Kitabullah dan timbul minat serta gairah untuk mengetahui segala makna dan rahasia Alquran al-Karim tersebut. Metode tafsir Al-Adabi Al-Ijtima’i Dalam Analisis Tentang Unsur-unsur Terbentuknya Masyarakat.
Unsur yang membentuk masyarakat ada tiga yakni: Manusia, alam dan hubungan/interaksi social. Unsur ketiga yang harus kita kaji untuk menemukan di manakah letak posisi manusia dalam interaksi social, sesuai dengan konsepsi yang dikehendaki oleh Alquran. Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki ketergantungan (interdependensi) satu sama lain dalam kehidupannya. Bertolak dari kebutuhan sosiologisnya itu, seluruh manusia akan memiliki kecenderungan yang sama, yaitu membentuk kesatuan sosial, yang pada akhirnya melahirkan sebuah Negara.
Dilihat dari segi sifatnya, hubungan sosial tersebut terbagi dua, yaitu:
1. Hubungan fungsional                                    
2. Hubungan persaudaraan yang diikat kesamaan agama.               
Hubungan fungsional adalah hubungan sosial yang lebih bertendensikan kejasaan.Hubungan sosial dalam masyarakat, ini adalah hubungan antara manusia dengan sesamanya, berkaitan dengan pemerataan kesejahteraan, gesekan kebudayaan dan berbagai bidang kehidupan sosial lainnya.Permasalahan yang dihadapi di sini bukan lagi pertentangan antara manusia dengan alam tetapi berupa pertentangan sosial dan benturan kepentingan atau kemaslahatan antar sesama, problematika sosial dalam masyarakat memang sangat kompleks beragam dan dalam bentuk yang bermacam-macam.Akan tetapi pada hakikatnya satu subtansial yang berulang-ulang dan sangat umum, yakni pertentangan antara golongan lemah dan golongan kuat.semuanya bersumber pada antara kesenjangan mereka yang ada di posisi golongan kuat dan yang di posisi golongan lemah. Bahkan sering kali permasalahan itu timbul dari satu golongan yaitu golongan elit atas.
Pada hari akhir nanti Allah tidak menanyai manusia mengenai pendapat para mufassir, dan tentang bagaimana mereka memahami Alquran. Tetapi ia akan menanyakan kepada kita tentang kitab-Nya yang Ia wahyukan untuk membimbing dan mengatur manusia. Kesimpulannya adalah menjelaskan Alquran kepada masyarakat luas dengan maknanya yang praktis, bukan hanya untuk ulama’ professional. Masyarakat awam maupun ulama’, menyadari relevansi terbatas yang dimiliki tafsir-tafsir tradisional, tidak akan memberikan pemecahan terhadap masalah-masalah penting yang mereka hadapi sehari-hari. Agar para ulama itu yaqin, bahwa mereka seharusnya membiarkan Alquran berbicara atas nama dirinya sendiri, bukan malah diperumit dengan penjelasan-penjelasan dan keterangan-keterangan yang subtil.
Nuansa social kemasyarakatan yang dimaksud di sini adalah tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat Alquran dari:
1). Segi ketelitian redaksinya
2). Kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi dengan tujuan utama memaparkan tujuan-tujuan Alquran, eksentuasi yang menonjol pada tujuan utama yang diuraikan Alquran, dan
3). Penafsiran ayat dikaitkan dengan sunnatullah yang berlaku dalam masyarakat.
Nuansa tafsir sosial kemasyarakatan ingin menghindari adanya kesan cara penafsiran yang seolah-olah menjadikan Alquran terlepas dari akar sejarah kehidupan manusia, baik secara individu maupun sebagai kelompok. Akibatnya, tujuan Alquran sebagai petunjuk dalam kehidupan manusia terlantar.
Para Pelopor Dan Kitab Tafsir Corak al-Adabi al-Ijtima’i. Menganai penafsiran Alquran kontemporer adalah upaya melahirkan konsep-konsep Qurani sebagai jawaban terhadap tantangan dan problematika kehidupan modern dan upaya mempertemukan antara Qur’an dan sains modern yang selalu berkembang dengan cepat dalam batas yang wajar dan ditoleransi oleh islam, dengan motifasi lebih menegaskan I’jaz ilmi Alquran. Dalam bidang kemasyarakatan dan politik, maka tafsir yang sangat dibanyak dipelajari adalah tafsir yang terbit pada abad ke XIX dan XX.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tadi, penafsir metode al- Adab wal al ijtimai berusaha mengemukakan segi keindahan (balaghah) bahasa dan kemukjizatan al- Quran, berusa menjelaskan makna atau maksud yang dituju oleh al Quran, berupaya mengungkapkan betapa al Quran itu mengandung hokum-hukum alam raya dan aturan- aturan kemasyarakatan, dan bermaksud membantu memecahkan segala problema yang dihadapi oleh umat Islam melalaui petunjuk dan ajaran al Quran dan ajaranya, suatu petunjuk yang berorientasi kepada kebaikan dunia dan akhirat, serta berupaya mempertemukan antara ajaran al Quran dan toeri- teori ilmiah yang benar. Juga berusaha menjelaskan kepada umat bahwa al Quran itu adalah kitab suci yang kekal, yang mampu bertahan sepanjang perkembangan zaman dan kebudayaan manusia sampai akhir masa, berupaya melenyapkan segala kebohongan dan keraguan yang dilontarkan terhadap alQuran dengan argument yang kuat yang mampu menangkis segala kebatilan, kerna memang kebatilan itu pasti lenyap.
Semua hal di atas dikemukakan dan diuraikan dengan gaya bahasa yang sangat indah, menarik, memikat, dan membuat pembaca terpesona serta merasuk ke dalam hatinya, sehingga tergugahlah hatinya untuk memperhatikan Kitabullah dan  timbul minat serta gairah untuk mengetahui segala makna dan rahasia al-Qur’an al-Karim tersebut.Tokoh utama corak adabi ijtima’i ini adalah Muhammad Abduh sebagai peletak dasarnya, dilanjutkan oleh muridnya Rasyid Ridha, di era selanjutnya adalah Fazlurrahman, Muhammad Arkoun. Selanjutnya yang masih menjadi bagian dari para mufassir dengan corak ini akan disebutkan berikut ini bersama karya-karya tafsirnya.
1.Tafsir Al-Manar, oleh Rasyid Ridha (w. 1345 H).
2.Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, karya Al-Syekh Mahmud Syaltut .[8]

            BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari  penjelasandi atas  dapat penulis simpulkan bahwa yang termasuk dalam  corak- corak tafsir tahlili adalah sebagai berikut :
Pertama, tafsirsufi, yaitu penafsiran yang dilakukan para sufi yang pada umumnya dikuasai oleh ungkapan mistik. Ungkapan tersebut tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang sufi dan yang melatih diri untuk menghayati ajaran tasawuf. Di antara kitab tafsir sufi adalah kitab: Tafsir al-Qur’an al-’Adim, karya Imam al-Tusturi.
Kedua, tafsir fiqhi, yaitu penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh tokoh suatu madzhab untuk dijadikan sebagai dalil atas kebenaran madzhabnya.Tafsir fiqhi banyak ditemukan dalam kitab-kitab fikih dari berbagai madzhab yang berbeda.Di antara kitab tafsir dengan menggunakan metode fikih adalah Tafsir Ahkam al-Qur’an, karya Al-Jassah, dan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’ankarya Imam Al-Qurtubi.
Ketiga, tafsir falsafi, yaitu penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat.Contoh kitab tafsir falsafi adalah kitabMafatih al-Ghayb karya Fakhr al-Din al-Razi. Dalam kitab tersebut ia menempuh cara ahli filsafat dalam mengemukakan dalil-dalil secara utuh yang didasarkan pada ilmu kalam dan simantik (logika). Ia juga membeberkan ide-ide filsafat yang dipandang bertentangan dengan agama, khususnya dengan al-Qur’an, dan akhirnya ia dengan tegas menolak filsafat berdasar alasan dan dalil yang ia anggap memadai.
Keempat, tafsir ‘ilmi, yaitu penafsiran ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur’an, dengan cara mengaitkannya dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern. Kajian tafsir ini adalah untuk memperkuat teori-teori ilmiah dan bukan sebaliknya.Di antara kitab tafsir‘ilmi adalah kitab al-Islam Yata’adda, karya Wahid al-Din Khan.
Kelima, tafsir adabi ijtima’i, yairu penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan mengungkapkan sisi balaghah al-Qur’an dan kemukjizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran yang dituju al-Qur’an, mengungkapkan hukum-hukum alam, dan tatanan kemasyarakatan yang dikandungnya.Tafsir adabiijtima’i merupakan corak tafsir baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada al-Qur’an serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasia-rahasia al-Qur’an. Di antara kitab tafsir adabi ijtima’i adalah Tafsir al-Mannar karya Muhammad ’Abduh dan Rashid Rida.

B.     Saran
            Penulis menyarankan, sebagai umat Islam dalam menafsirkan dan mengeluarkan makna dari al Quran sebagai kitab suci umat Islam hendaklah menafsirkannya sesuai dengan ajaran yang telah di contohkan oleh nabi kita Muhammad saw. Agar dalam mengaplikasikan maknanya dan kandungan al Quran dalam kehidupan ini mendapatkan ridha Allah SWT.
            Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak luput dari segala kekurangan dan kekhilafan baik dalam segi sistematis tulisan maupaun dalam materi yang di bahas di dalamnya.Oleh karena itu penulis dengan rendah hati mengharapkan kritik dan saran kepada semua pihak yang telah membaca makalah ini.

 
   DAFTAR PUSTAKA
Al Farmawi, Abd. Al hay. 1996,  Metode Tafsir Mawdhu’iy, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
S. Praja, Juhaya. 2000, Tafsir Hikmah, Bandung: Rosda Karya
Mana’ul Quthan, 1995, Pembahasan Ilmu al Quran 2,Jakarta : Rineka Cipta
 

                        1 Mana’ul Quthan, , Pembahasan Ilmu al Quran 2,(Jakarta : Rineka Cipta, 1995) , h.198
2Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah, (Bandung: Rosda Karya, 2000), h. 14
3Abd. Al hay Al Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 18
4Ibid., h.h. 18-20
5Juhaya S. Praja, op cit., h. 15
6Juhaya S. Praja, opcit., h. 18
                7al- Tafsir wa al-Mufasirun, III,h. 214 (Di kutip dalam Buku Abd. Al Hayy Al Farmawi, op cit., h.h. 27-28)
8Ibid., h. 29



Baca Artikel Terkait: