TUGAS PORTOPOLIO
ZAMAN KEBANGKITAN ISLAM
DUNIA ARAB
Oleh
Afdhal Ilahi
Tampa
pedoman Allah manusia mereka sedang membangun sebuah keajaiban di atas usaha
yang mereka lakukan padahal kenyataanya mereka sedang meruntuhkan sebuah peradaban
tampa mereka sadari[1]
BAB
PENDAHULUAN
Kebangkitan
Islam merupakan fenomena sejarah nasional yang menumbuhkan kembali semangat
iman, stagnasi pemikiran dan fikih, serta gerakan (harakah) dan jihad.
Kebangkitan ini juga membawa ujian-ujian bagi umat Islam sehingga mendorong
mereka mencari sebab-sebab kejatuhan dan kehinaan yang menimpa. Beranjak dari
kesadaran ini, mereka menemukan kesadaran baru, yaitu: menghidupkan iman,
mengaktifkan pemikiran, dan menggairahkan gerakan Islam. Dalam hal ini,
Al-Qur'an telah mengisyaratkan melalui kisah perjalanan Bani Israil (awal surat
al-Israa') dan Al-Hadits yang menjelaskan tentang lahirnya pembaharu setiap
satu abad. Sejarah Islam pun membuktikan isyarat ini.
Kebangkitan
yang sedang kita perbincangkan ini merupakan fase kesadaran baru yang sedang
marak di Dunia Arab Islam pasca fase kehinaan akibat kolonialisme.[2]Kebangkitan
ini semakin mengakar dalam organisasi-organisasi Islam yang membawa kesadaran
baru. Berdirilah misi-misi Islam yang mengembalikan kepercayaan mengenai
kebenaran Islam dan kebesaran sejarahnya. Kebangkitan Islam mengambil bentuk
aktivitas sosial yang mendidik generasi muda, memakmurkan masjid, dan
membersihkan sifat-sifat tercela. Selain itu, kebangkitan Islam bergerak dalam
bidang politik untuk menempatkan Islam dalam politik dan jihad. Mungkin
sebagian besar perhatian ditujukan kepada al-Ikhwan al-Muslimun dan Jihad
Islam, namun sebenarnya kebangkitan ini digerakkan oleh banyak organisasi
Islam, meskipun tidak seluruhnya menarik untuk diperbincangkan.
Bahkan,
gerakan kebangkitan Islam tidak bisa hanya dihubungkan dengan pemikiran para
pionir aktivis yang terorganisir an sich, melainkan harus pula melihat
kecenderungan-kecenderungan pemikiran yang lain. Fenomena sosial yang luas dan
kesadaran membaja untuk memisahkan diri dari gaya hidup Eropa dan kembali ke
pangkuan Islam telah mendorong umat untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam
realitas kehidupan.
Persoalan
kebangkitan tidak terbatas pada gerakan kebangsaan, sebab disetujui atau tidak,
sistem pemerintahan pun ikut memainkan peran tertentu dalam konteks
kebangkitan. Peran tersebut tampak pada perilaku politik, apalagi dalam dunia
pers dan pendidikan hukum, serta terutama dalam upaya menerapkan syariat Islam.
Dapat ditarik suatu hipotesis bahwa kebangkitan Islam telah menjadi kekuatan
sejarah yang sempurna.
Kebangkitan
Islam menimbulkan berbagai pengaruh bagi Dunia Arab. Kebangkitan merupakan
respon terhadap berbagai tantangan dan bekerja sama dengan kekuatan sejarah
lain yang bergerak di negeri-negeri lain. Dalam pengertian, kebangkitan Islam
tidak hanya bergumul dengan ideal-ideal Islam saja, melainkan juga dengan
realitas serta berbagai aliran dan paham. Karenanya, kita terkadang masih perlu
mengembalikan wacana tentang kebangkitan Islam kepada akar-akar pemikiran Arab
secara keseluruhan. Ini karena esensi kebangkitan tidak dapat dipahami tanpa
mengembalikannya kepada akar-akar ini.
Penyertaan
Qatar dalam pembahasan ini hanyalah sebagai negara yang mewakili tipe pemerintahan
dalam masyarakat yang mempertahankan eksistensi keeropaan dan keislaman menuju
satu kesatuan yang melampaui batas-batas geografis. Oleh karenanya, pembahasan
ini terkadang tertuju kepada fanatisme nasional yang mengarah pada pemeliharaan
negeri Qatar.
Bila kita
berbicara mengenai kebangkitan sistem pemerintahan negara-negara Arab, maka
sebaiknya kita mengingat bahwa masalah integrasi atau disintegrasi tidak dapat
dikesampingkan. Meskipun secara teoretis, yang dijadikan objek kajian adalah nilai-nilai
Qatar dan keintegrasiannya, namun situasi yang diamati adalah dampak
kemerdekaan masyarakat Qatar dan integrasi dengan nilai-nilai Islam. Dampak
langsung dari integrasi adalah tenggelamnya sistem lama di Qatar dan menangnya
sistem lain. Kita akan mencermati contoh tersebut pada pembahasan mendatang.
Negara-negara
Arab tidaklah terputus dari lingkungan sekitarnya. Demikian pula kebangkitan
Islam tidak hanya mengakar di bumi Arab. Islam merupakan agama mayoritas
masyarakat Arab, Afrika, dan Asia. Dalam perspektif historis, gerakan-gerakan
Islam saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain.
Dewasa ini,
kebangkitan Islam merupakan fenomena internasional dengan berbagai macam topik
diskursus yang menantang. Hal ini disebabkan oleh eksistensi Islam yang mencoba
merespon situasi yang dihadapi dunia, yaitu: imperialisme politik, serangan
kebudayaan Barat, kegagalan sistem sekular yang ditinggalkan kaum imperialis
kepada negeri-negeri Islam, dan revolusi kebangkitan Islam dalam bentuk
revolusi hubungan elite. Kebangkitan Islam-Arab bekerja sama secara
revolusioner dan intelektual dengan kebangkitan-kebangkitan di berbagai tempat
dan situasi. Realitas Dunia Arab berhubungan dengan realitas Dunia Islam dan
internasional. Berbagai kendala dan situasi kebangkitan Islam tak dapat
dipahami tanpa menyinggung dimensi internasional.
BAB
PEMBAHASAN
Islam
menyatukan antara ideal-ideal absolut dan realitas nisbi. Ideal-ideal ini diabstraksikan
dalam ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin syariah. Realitas merupakan
kejadian-kejadian material dan situasional yang melingkupi kehidupan manusia.
Sedangkan keberagamaan adalah kepercayaan psikis terhadap doktrin-doktrin
kebenaran yang absolut, dan usaha kesejarahan merupakan upaya mendekatkan
realitas dengan doktrin-doktrin, mengkontekstualkan iman dalam bentuk realitas
yang paling ideal, dan selanjutnya berusaha terus menerus mengembangkan
keagamaan menuju titik kesempurnaan ideal.
Bentuk negara
Islam yang pertama dalam sejarah adalah negara Madinah yang dipandu oleh
Al-Qur'an dan As-Sunnah. Untuk keperluan pertumbuhan regional, Rasulullah saw.
menggariskan aturan-aturan regional. Al-Qur'an pun menetapkan pada akhir surat
al-Anfal mengenai batasan-batasan loyalitas masyarakat yang terdiri atas
penduduk asli dan imigran agar saling menjaga dan membantu.
Negara
Madinah merupakan realitas regional yang berwawasan internasional. Negara ini
telah melampaui realitas zamannya, sebab penduduknya percaya bahwa mereka
merupakan bagian dari mata rantai umat Islam sebelumnya yang dipimpin para
Rasul. Secara psikis, Madinah pun telah melampaui realitas regionalnya, sebab
penduduknya telah terlibat aktif dalam konflik internasional dengan Persia dan
Romawi, khususnya dalam konflik ekonomi, politik, dan agama. Negara Madinah
dengan kondisinya tersebut kemudian mengokohkan Dunia Arab dan seluruh umat
manusia di sana sebagai basis dan alat integrasi. Hal itu dikarenakan Arab
mempunyai misi samawi.
Negara ideal
berikutnya adalah Khilafah Rasyidah. Dalam sistem ini, penguasa menjadi pusat
dan dorongan umum berangkat dari pusat kekuasaan. Dakwah dijalankan secara luar
biasa hingga terbentuklah wilayah-wilayah baru yang berjauhan dan dihuni oleh
masyarakat yang plural. Dipergunakanlah ungkapan-ungkapan politik syar'i yang
sebagian kembali kepada masa kenabian. Negara-negara Arab merupakan dasar
pembagian wilayah pemerintahan umum, peradilan, dan distribusi kekayaan. Dalam
potret semacam ini, kesatuan kepemimpinan khilafah dijalankan tanpa pembagian
kekuasaan. Di samping itu, terdapat kesatuan geografis Islam yang semula tidak
mengenal kendala-kendala internal.
Meski
terjadi perpecahan di kalangan penguasa serta fanatisme wilayah, etnis, dan
golongan --setelah terjadi sistem pewarisan khilafah-- namun pola umum negara
masih tetap berpedoman pada sistem kesatuan (integrasi). Para fuqaha yang juga
merupakan para pemimpin bangsa dan idola masyarakat. Meskipun bersikap wajar
terhadap para pemberontak, tetapi mereka tetap mentolerir pembagian wilayah dan
upaya integrasi. Sedangkan dalam hal pemikiran, mereka mengakui eksistensi
mazhab-mazhab dan kebebasan mengikutinya.
Pola ini
berjalinan dengan faktor-faktor pengimbang yang ditemakan oleh masyarakat
muslim dalam keluasan dan kecepatan ekspansinya untuk mewadahi pluralitas
masyarakat dan kebudayaan. Ketika kondisi tersebut tidak diimbangi dengan
usaha-usaha integrasi, maka khalifah pada gilirannya hanya menjadi simbol dan
hanya mampu bertahan ketika kekuatan pusat pemerintahan semakin menurun.
Sehingga kondisi kritis mulai terjadi, fanatisme kelompok bermunculan, dan
wilayah-wilayah lain beroposisi untuk membangun pola baru dalam realitas
politik umat Islam.
Pola yang
meniscayakan Dunia Islam hingga saat ini adalah satu bentuk pemerintahan dengan
kesatuan umat (integrasi) dan meninggalkan kesatuan politik karena tersebar
luasnya negara-negara Islam. Sebagian negara Islam mengalami perkembangan
karena kemampuannya membuka diri untuk menyelesaikan masalah-masalah yang yang
ditimbulkan akibat letak wilayah yang jauh dari pusat.
Pemerintahan
Islam telah memelopori bahwa batasan-batasan regional tidak membagi-bagi kaum
muslimin sebagaimana yang dilakukan oleh penguasa-penguasa politik. Hanya ada
satu lapangan ilmiah, pasar ekonomi, dan konteks kebangsaan. Kesatuan
undang-undang juga menjaga dominasi hukum-hukum syariat sehingga berkembanglah
mazhab-mazhab fikih dan metode-metode tasawuf untuk menegaskan kesatuan umat
dalam paguyuban tarekat. Suatu prediksi dapat dikemukakan bahwa wilayah Islam
akan semakin menyatu secara peradaban melalui tersebarnya berbagai mazhab dan
tarekat, pertukaran ilmu dan kebudayaan, dan komunikasi melalui migrasi
manusia, ilmu, dan agama. Hal itu terjadi dalam kurun waktu yang panjang pasca
runtuhnya pusat politik dan kediktatoran para penguasa di negara-negara Arab.
Islam, pemanduan syariat, dan terbukanya kawasan merupakan faktor-faktor
penjaga kesatuan umat.
Ketika Islam
tidak lagi difungsikan sebagai pengikat hati antar umat, dihapuskannya syariat,
dan penjajahan imperialis, maka negara-negara Arab pun terpecah belah. Tak ada
yang tersisa dari wilayah Islam kecuali hanya persaudaraan dalam jiwa kaum
muslimin, kegetiran masa lampau, dan mimpi masa depan.
Perkembangan
negara-negara Eropa disebabkan oleh terlepasnya mereka dari agamanya, konflik
berkepanjangan dalam masyarakat dan pemerintahan, dan terlampau beratnya
penderitaan yang mereka rasakan. Sementara itu, ekspansi Islam menjanjikan
kehidupan baru bagi mereka. Sejarah Eropa menengarai bahwa kejatuhan tersebut
bukan disebabkan oleh kelengahan, melainkan karena mengingkari dasar-dasar
agama mereka. Jika cita-cita kebangkitan kaum muslimin diilhami oleh Kitab Suci
yang terjaga (Al-Qur'an), maka masyarakat Barat menoreh sejarah mereka dengan
revolusi anti-agama.
Mayoritas
masyarakat Eropa berada di bawah pengaruh Kristen selama lebih dari sepuluh
abad. Menurut mereka, kondisi tersebut merupakan contoh ideal tentang
nasionalisme dan peradaban bagi dunia internasional. Dalam pandangan mereka,
contoh ideal tersebut berupa kebesaran imperium dan hubungan harmonis dalam hak
milik nasional dan negara-negara Eropa. Kemudian nasionalisme mulai memberi
kekhususan kepada para raja. Negara-negara kawasan ini semakin kokoh menuju
terbentuknya Eropa modern.
Kehancuran
sistem internasional lama telah memicu lahirnya teori-teori kekuasaan yang
memberi penekanan pada dominasi absolut dalam batas-batas regional seperti
teori Machiavelli. Dominasi ini tampak jelas pada propaganda-propaganda
imperium, Paus, dan kaum feodal. Teori-teori sosial itu mengokohkan dominasi
raja dan para penguasa secara absolut.
Kemudian
pemikiran politik mulai berkembang dan menyuarakan dominasi bangsa dan ide
liberalisme demi keuntungan individu[3],
kelompok-kelompok reformasi cita-cita umum (teori Rousseau), pelestarian
sejarah masyarakat (teori Hegel), dan komunisme-materialisme (teori Karl Marx).
Nasionalisme
telah menguatkan posisi negara yang mengambil bentuk politik, ekonomi, dan
solidaritas sebagai pengisi kekosongan agama. Tumbuhlah perasaan khusus
nasionalisme serta kekhususan bahasa dan tata bahasanya. Sejarah nasionalisme
bergerak melemahkan kekhususan-kekhususan tersebut dengan berbagai utopia dan
data. Nasionalisme membanggakan hal tersebut. Isme ini tumbuh di benua Eropa
dan Amerika.
Meskipun
dominasi nasionalisme di Eropa membawa pertumbuhan material, namun akhirnya
Eropa merasa gamang terhadap penyimpangan pola negara semacam ini. Mungkin
kegamangan tersebut merupakan dampak tradisi kebudayaan yang plural,
perkembangan teori kemanusiaan, berbagai konflik nasional, dan terbatasnya
ekspansi Eropa. Maka berdirilah sistem negara-negara Eropa di atas kaidah
undang-undang negara. Negara-negara ini mempunyai kawasan yang terbatas, namun
tenggelam dalam konflik pada masalah-masalah yang telah disepakati kaum
muslimin di kawasan Daulah Islamiah.
Kawasan
negara-negara Arab telah keluar dari kekuasaan administratif kekhalifahan
Utsmani. Pada umumnya, negara-negara tersebut memisahkan diri karena pengaruh
kemerdekaan politik negara-negara imperialis. Pemisahan perdana merupakan
sarana munculnya nasionalisme Arab, sebab hal itu merupakan bentuk pemerdekaan
dari ikatan keagamaan dan beralih menjadi nasionalisme. Kalau di Mesir bangkit
nasionalisme Mesir dan dibagian Arab lainya lahir nasionalisme Arab yang segera menyebar dan mendapat sambutan hangat sehingga nasionalisme itu terbentuk atas
dasar kesamaan bahasa.[4]Fenomena
tersebut tidak persis sama dengan yang terjadi di Eropa, sebab ia bukan hasil
perkembangan teoretis dan material sebagaimana yang terjadi di Eropa.
Nasionalisme Eropa merupakan produk yang terkait dengan eksperimen dan
faktor-faktor Eropa.
Eksperimen
yang pernah dilakukan orang-orang Islam dan mayoritas orang-orang Nasrani Arab
berbeda dengan yang terjadi dalam sejarah Eropa. Masyarakat Barat meyakini
eksperimen Eropa sebagai eksperimen murni dan memandang dirinya sebagai pusat
kebangkitan dan contoh ideal pencerahan umat manusia.
Padahal yang
harus diketahui adalah bagaimana strategi Eropa dalam menghadapi kekhilafahan
Utsmani di medan perang dan kepiawaian memanfaatkan propaganda, hubungan
politik, dan diplomasi demi keuntungan mereka. Selain itu, terjadi perang
intelektual antar keduanya. Walaupun sebenarnya persatuan umat Islam dalam
kekhalifahan Utsmani masih terasa, tetapi tidak mencapai prestasi nasionalisme
Eropa karena perbedaan perkembangan sejarah masing-masing.
Sekiranya
Arab keluar dari kekuasaan Utsmani dan berdiri di atas landasan nasionalisme,
tentu ia tidak mampu. Malah sebagai ganti penguasaan kekhilafahan Utsmani,
berdirilah imperialisme di Dunia Arab. Akhirnya imperialisme membagi-bagi
pengaruh dan batas-batas wilayah Arab berdasarkan realitas regional historis
masing-masing wilayah yang sebelumnya bersatu.
Ketika
bangkit keinginan melepaskan diri dari cengkeraman imperialisme[5],
gerakan pembebasan Arab segera memisahkan diri dari kelompok-kelompok yang
terpengaruh kebudayaan Eropa. Kelompok-kelompok nasional gigih memperjuangkan
tercapainya kemerdekaan bagi negara yang mandiri, tetapi dengan konsep-konsep
Eropa.
Masyarakat
merasa perlu mengedepankan warisan keagamaannya untuk mengisi kesenjangan dan
memfungsikan simbol-simbol keagamaan untuk membangkitkan semangat melawan
kekuatan asing yang kafir. Dalam konteks ini, Islam merupakan unsur pembentuk
jati diri negara dan pemantik semangat kebangsaan. Sangat memungkinkan untuk
menggunakan faktor kekuatan Islam itu bila perjuangan menemui jalan buntu.
Seluruh wilayah Afrika Utara adalah contoh terbaik dari kasus ini, apalagi
perjuangan kaum muslimin Aljazair melawan imperialisme Perancis. Gema Islam pun
terdengar hingga di Sudan, meskipun kontrol Arab-Islam di negara ini melemah.
Peran Islam
dikenal pula dalam perjuangan nasional di luar negara-negara Arab, termasuk di
negara-negara Asia seperti Iran, Afganistan, dan Pakistan. Peran ini tampak
pada syiar yang ditonjolkan pasca-kemerdekaan. Akan tetapi, meski masyarakat
muslim berkuah darah dalam perjuangan nasional, tetapi yang menikmati kue
kemerdekaan adalah para nasionalis, sedangkan orang-orang Islam hanya menjadi
penonton. Peran yang dilakoni dalam perjuangan kini tinggal kenangan. Itulah
sebabnya, Islam tidak berperan lagi dalam mempengaruhi proses integrasi
negara-negara Arab yang mandiri.
Meskipun
kelompok pembebasan nasional di Dunia Arab berpedoman sekularisme dalam
pembangunan negara, tetapi upaya tersebut tidak sukses sebagaimana keberhasilan
Turki Muda mendepak sistem kekhalifahan. Mereka hanya berhasil mendirikan
dasar-dasar negara nasional dan mempersoalkan integrasi. Konsep negara sekular
semakin mendorong negara-negara Arab untuk meninggalkan sistem syariat dan
mengembangkan sistem perundang-undangan yang tidak berdasarkan Islam. Sebagai
contoh adalah Hizbul-Wafd (Partai Wafd) dan Hizbud-Dustuuri (Partai
Perundang-undangan) di Tunisia.
Sebagian
negara Teluk Arab selamat dari sekularisasi. Negara-negara tersebut tidak
mungkin berdiri dengan batas-batasnya sendiri kecuali dengan desakan imperialisme
atau situasi sejarah.
Walau
negara-negara Arab memupuk fanatisme dan nasionalisme --bukan solidaritas
kawasan-- namun hal tersebut tidak sampai memutuskan hubungan antar bangsa
seperti di Eropa. Sejarah Arab kontemporer mencatat adanya berbagai ikhtiar
untuk berintegrasi yang tak menyerupai bentuk integrasi apa pun di muka bumi,
sebab negara-negara Arab mengupayakan integrasi dengan nasionalisme dan
agamanya. Libya berusaha berintegrasi dengan lima negara Arab, serta Mesir dan
Suriah masing-masing dengan empat negara. Tidak ada negara Arab yang tidak
berusaha untuk berintegrasi, meskipun kenyataannya
mereka masih terpecah-pecah.
D. Aliran Kebangkitan dan Pendiriannya1. Kontribusi Kebangkitan Fiqih terhadap Masalah Kawasan
Jika kebangkitan menyandarkan sebagian
usahanya pada landasan doktrin agama dengan ijtihad baru, maka warisan fikih
Islam yang demikian melimpah membutuhkan pemecahan ijtihadiyah bagi berbagai
problema negara-negara Arab.
Secara umum dapat dikatakan bahwa fikih
politik lahir pada era belakangan, sedangkan fikih-fikih lainnya telah
berkembang pesat jauh sebelumnya. Barangkali citra negatif fikih politik
disebabkan oleh tragedi politik yang terpisah dari etika keislaman dan
aturan-aturan syara' sehingga para fuqaha dan penguasa saling menjaga jarak.
Demikianlah, keimanan telah melemah dalam aspek politik, sedangkan ambisi
kekuasaan, gejolak fanatisme, dan konflik kekuatan makin memuncak. Bila
aktivitas kesyariahan dilakukan secara tertutup, maka ilmu pengetahuan pun
menjadi tertutup. Ini mengakibatkan pakar politik tidak lagi memperhatikan
hukum Islam dan kredibilitas para fuqaha dalam merumuskan permasalahan
politik dan solusinya.
Seluruh dimensi fikih mengalami
stagnasi ketika muncul fenomena berdirinya bermacam-macam negara di kawasan
Islam. Sedangkan fikih tetap saja --sebagaimana dibahas dalam kitab-kitab
tentang hukum kerajaan-- berkutat dengan persoalan integrasi kepemimpinan
negara, kecuali sebagian fuqaha yang berusaha memahami kemajemukan para
pemimpin dan otentisitasnya berdasarkan keniscayaan berjauhannya kota-kota.
Para fuqaha juga telah mengabaikan pemisahan yang terkadang terjadi antara
sistem imamah dan imarah (kerajaan), padahal pemisahan tersebut berwatak agak
sekular. Mereka pun mengabaikan berdirinya wilayah-wilayah yang mandiri
secara de facto.
Al-Qur'an dan As-Sunnah mengemukakan
masalah loyalitas dan tolong-menolong dalam ruang lingkup kenegaraan,
sedangkan fikih mengedepankan problema-problema lokal berdasarkan pluralisme
mazhab dan kaidah 'ijma dan mempersoalkan distribusi zakat dan hukum-hukum
semacam itu. Para fuqaha merasa cukup dengan menjelajahi berbagai corak fikih
yang berkembang antara yang khusus dan yang umum seiring dengan dominasi
wilayah Islam yang belum mengenal batasan-batasan geografis. Mungkin cacat
pensyariahan kekuasaan merupakan penyebab para fuqaha mengabaikan realitas
tersebut secara sengaja, sebagaimana mereka mengabaikan peran pemerintah
dalam dasar-dasar hukum dan Al-Qur'an.
Kebangkitan kontemporer pada dasarnya
mulai menggeluti masalah tersebut, tetapi belum optimal, meskipun persoalan
umum dan khusus telah mencuat dalam kehidupan bernegara, bahkan dalam
kenyataan langsung pada lingkungan politik tempat berkembangnya kebangkitan.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa
kebangkitan pertama di Dunia Arab dipelopori oleh para ulama, namun mereka
belum banyak menyentuh pemikiran politik negara untuk memecahkan problema
negara-negara Arab yang diwarisi dari Barat.
Penyebab lainnya adalah bahwa
kebangkitan Islam belum menyaksikan dinamika persoalan ini dalam sejarah Arab
kontemporer. Masalah ini belum begitu tampak pada masa pemisahan diri dari
kekhalifahan Utsmani dan belum mengkristal pada masa setelah merdeka dari
imperialisme. Akan tetapi, kebangkitan Islam kemudian sempat menyaksikannya
ketika terjadi kebangkitan nasional, eksperimen negara-negara Barat, dan
upaya yang dilakukan negara-negara Arab untuk meresponnya dengan
program-program integrasi dan ide-ide nasionalisme.
Pemikiran kebangkitan Islam secara umum
telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi perjuangan nasional dan
kemerdekaan, sebab pemikiran tersebut berkonsentrasi pada masalah-masalah dan
konsep-konsep keterbelakangan. Sementara dalam persoalan negara-negara Arab
yang berakhir dengan perjuangan itu.[6]Sayangnya,
ketika seruan nasionalisme memuncak di Dunia Arab dan maraknya ajakan kepada
isme ini yang melampaui kawasan Arab bahkan mengatasi Arabisme, kebangkitan
Islam menghadapinya dengan menggalang solidaritas yang membahayakan loyalitas
kebangsaan tinimbang mengajukan alternatif teoretis yang sebanding. Maka
pengajuan alternatif-alternatif sebagaimana penulis katakan, merupakan
periode yang belum dicapai kebangkitan Islam.
Ketika kebangkitan Islam telah mencapai
periode tersebut dan mengalami kedewasaan, situasi politik tangan besi muncul
memberangus kebebasan yang merupakan syarat bagi perkembangan, kehidupan, dan
pertumbuhan bagi setiap pemikiran. Intimidasi turut menyibukkan keberadaan
kebangkitan Islam dan menghalang-halanginya mengadakan dialog internal dan
eksternal yang perlu dilakukan untuk mengembangkan ijtihad.
Pemikiran kebangkitan Islam harus
membentangkan sayap untuk melawan, mendorong, serta memegangi dan berkomitmen
pada dasar-dasar dinullah dalam menghadapi sistem nasionalisme bermuatan
islami (sintesis antara nasionalisme dan Islam,) Oleh karena itu,
berkembanglah pemikiran Sayyid Quthub dalam karyanya Fii Zilaalil-Qur'an dan
Al-Ma'aalim fii ath-Thaariq yang mengecam penyembahan terhadap negara dan
fanatisme nasional.[7]Sekadar
perbandingan, penulis mencoba meneliti kelompok-kelompok kebangkitan Islam di
India yang secara tajam dihadapkan pada nasionalisme India yang
mengkhawatirkan karena sangat membahayakan kaum muslimin sehingga mereka
harus berpisah secara kultural dan geografis.
Abul A'la al-Maududi telah memberikan
pemecahan terhadap masalah ini, yaitu dalam bentuk pemisahan negara. Pemikir
produktif ini mengajukan model Barat dan tuntutan realitas (nasionalisme dan
Islam), sebagaimana ia memecahkan problema negara kawasan setelah berdirinya
Pakistan dan hubungannya dengan imigran muslim dan negara-negara Dunia Islam.
Kita dapat pula melihat perkembangan
situasi yang diakibatkan oleh pemikiran kebangkitan setelah diserukannya
ajakan umum untuk mengadakan program-program yang nyata di wilayah-wilayah
yang lebih banyak memberikan kebebasan. Gerakan Islam di Tunisia dan Sudan
merupakan contoh pemecahan problema-problema regional dan internasional,
dengan mempertimbangkan Barat yang telah demikian menghegemonik di seluruh
kawasan Arab dan tuntutan-tuntutan politik yang sedang dihadapi.
2. Diskursus Kebangkitan Islam: Untuk Persatuan Nasional dan Kawasan Negara (Tanah Air)
Ketika Arab bereaksi terhadap
kekuasaan kekhalifahan Utsmani, Dunia Islam menyaksikan pemisahan sejarah
antara kebangkitan masa lalu dan sekarang. Kebangkitan masa lalu merupakan
reaksi langsung terhadap imperialisme dalam bentuk jihad yang menggelora di
seluruh belahan Dunia Islam. Misalnya, gerakan Mahdiyah di Sudan dan jihad
Islam di Afrika Barat, Timur, dan Utara. Gerakan Mahdiyah merupakan salah
satu reaksi terhadap imperialisme yang menjadi rival kekhalifahan Utsmani.
Gerakan ini mengatasnamakan Islam internasional, bukan hanya Sudan dan Arab
saja .
Selain itu, kebangkitan Islam
klasik mempunyai dimensi pemikiran pula sebagaimana ditampilkan oleh
Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh dan murid-muridnya, serta syekh-syekh di
Syria.[8]
Syria dan negara-negara
sekitarnya terlibat konflik dengan kekhalifahan Utsmani, lalu memisahkan diri
dan menegakkan nasionalisme sendiri. Sejak itu nasionalisme mereka mengandung
benih-benih pemikiran untuk memisahkan diri dari ikatan keislaman. Pemikiran
nasionalisme mangalami polarisasi menuju model aliran dan pola politik Barat.
Karenanya, kita tidak menemui adanya revolusi Arab terhadap kekhalifahan
Utsmani, termasuk dari kalangan para pelopor nasionalisme, kecuali hanya
"tes negatif" terhadap pemikiran kebangkitan Islam.
Kemudian berkembanglah
pemikiran nasionalisme dalam dua versi karena perbedaan perumusan kesatuan
nasional dan faktor-faktor lain dalam bidang pemikiran dan politik.
Versi pertama mengambil sikap
kekiri-kirian. Mereka berjuang melawan zionisme dan imperialisme. Kelompok
ini giat bergerak untuk mencapai integrasi yang tidak mampu direalisasikan
oleh para pelopor solidaritas nasional. Sedangkan versi kedua adalah kekuatan
politik yang membuat slogan-slogan sebagai simbol kekuatan politik yang
defensif.
Masing-masing versi mengandung
unsur sekularisme dan para pendukungnya membangun rivalitas dengan gerakan
kebangkitan Islam. Karena gerakan kebangkitan Islam menekankan pemikiran dan
politik, maka mereka menyerang sikap dan pemikiran kedua versi nasionalisme
itu serta mempersoalkan dasar-dasar propaganda nasionalisme dan
mempertanyakan tujuan-tujuannya. Para pelopor nasionalisme terlibat
perdebatan dengan para pemikir-pejuang Islam hingga memenuhi halaman-halaman
media dan publikasi sastra.
Seandainya tidak karena
terbukanya pemikiran nasionalisme, pengaruh program-program persatuan
nasional, dan kebesaran kebangkitan Islam, maka keadaan ini akan berhenti
pada munculnya tesis-tesis nasionalisme, ide-ide dan kebijakan politik yang
mengokohkan etnis, dan Islam sebagai faktor pendorong dan pengarah
nasionalisme. Pada skala makro, pemikiran kebangkitan Islam tidak memberikan
respon terhadap pengakomodasian tersebut. Pada umumnya, akomodasi semacam itu
tidak akan berkembang, baik secara teoretis maupun politis (lihat kasus di
Libya).
Di negara-negara Arab-Afrika
pada umumnya, perdebatan antara Islam, nasionalisme, dan Arabisme tidak
menyentuh aspek kebangsaan, tetapi terjadi perdebatan mengenai konsep-konsep
kenegaraan versi Eropa. Para pendukung nasionalisme ingin merumuskan teori
nasionalisme kawasan dan melestarikan kebangsaan.[9]Fenomena
sejenis juga terlihat di Sudan dan negara-negara Afrika Utara.
Kelompok kebangkitan Islam
memberikan reaksi keras terhadap fanatisme nasional ketika mereka menemukan
unsur-unsur sekularisme dan afiliasi terhadap nilai-nilai Barat di dalamnya.
Fanatisme semacam itu adalah fanatisme yang terputus dari umat Islam.
Berbagai literatur kebangkitan Islam mengkritik nasionalisme Mesir yang
kering analisisnya dalam menilai Eropa dan Islam serta pemikiran tokoh-tokoh
seperti Luthfi Sayid, Thaha Husain, dan Salamah Musa.
3. Posisi Kebangkitan Politik dan Program Integrasi
Meskipun kebangkitan Islam memercayai slogan-slogan
integrasi, namun belum melontarkan ide dan mendukung program pengintegrasian.
Ini karena kebangkitan Islam masih sangat muda usianya dan baru berupa
prinsip-prinsip dasar, sehingga belum menjejakkan kaki pada tataran aksi. Di
samping itu, kebebasan dan ruang geraknya, terutama di bidang politik, masih
dibatasi. Walaupun demikian, gerakan kebangkitan Islam harus menegaskan sikap
politik dalam bentuk program-program integrasi atau kemerdekaan kawasan
dengan posisinya sebagai kekuatan politik di lapangan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kebangkitan Islam masih
berseberangan dengan mayoritas program integrasi sehingga belum bersedia
memberikan dukungan positif. Sikap ini disebabkan para aktivis Islam melihat
hakikat integrasi sebagai ancaman yang akan menutup pintu kebebasan bagi
gerakan kebangkitan.
Itulah sebabnya, gerakan kebangkitan Islam menentang
program integrasi lembah sungai Nil, karena melalui program ini, pemerintah
Mesir berusaha menekan gerakan Islam dari Mesir hingga Sudan.
Walaupun gerakan Islam di Sudan merupakan hasil ekspansi
dari Mesir (melalui organisasi al-Ikhwan al-Muslimun, --peny.) dan
perkembangan keadaan di Sudan sendiri, namun mereka berkeinginan membebaskan
diri dari Mesir dan Inggris serta condong kepada para pelopor kemerdekaan
Sudan.
Gerakan Islam di Suriah merasa perlu menyambut hangat
integrasi Suriah-Mesir dalam Persatuan Arab Republik. Penulis mengetahui
bahwa mereka tidak melakukannya dengan sepenuh hati. Semua orang mengetahui
bahwa sebenarnya gerakan Islam lebih menyukai pemisahan dari ikatan republik
tersebut, karena dengan demikian negara-negara anggotanya dapat lebih bebas.
Secara diam-diam, gerakan Islam di Yaman juga memusuhi upaya integrasi Yaman
dengan pertimbangan kemaslahatan agama dan kebebasan. Kita tidak pernah
mendengar bahwa gerakan kebangkitan Islam mendukung program-program
kepemimpinan Libya yang terintegrasi begitu populer.
Demikianlah, pemerintahan kesatuan absolut menjadi
kendala terbesar-bagi program integrasi. Pihak-pihak yang menikmati kekuasaan
merasa tidak senang, kecuali diikutkan dalam perserikatan yang menguntungkan
mereka. Di lain sisi gerakan Islam tidak menginginkan intervensi kekuasaan
yang korup, tangan besi dan berwatak kiri (sosialis). Kepemimpinan sekular
tidak menginginkan bentuk integrasi yang menyulitkan mereka dengan adanya
nilai-nilai tradisional dan faktor-faktor yang dianggap menghambat laju
pertumbuhan ekonomi.
|
|
Mahmoud AhmadinejadTokoh kebangkitan dunia Islam zaman modren ( sekarang ) |
4.Tujuan Kebangkitan Integratif
Apa yang hendak dicapai kelompok-kelompok
kebangkitan Islam dari program-program integrasi? Sebenarnya, tujuan umum
perkembangan kebangkitan Islam mengarah pada topik integrasi dan hubungan
antarkawasan.
Maka setelah gerakan kebangkitan
memercayai kesatuan keagamaan, biasanya mereka kembali kepada kesatuan
sejarah yang unsur-unsur pentingnya terdapat di segala penjuru. Di Mesir
misalnya, muncul propaganda kebangkitan Islam yang diwakili oleh gerakan
al-Ikhwan al-Muslimun dan kebangkitan kesusastraan Islam. Pengaruh berbagai
studi, penerbitan, dan distribusinya di Mesir telah menggemuruhkan gema
kebangkitan Islam dan membuat gerakan-gerakan Islam di Dunia Arab saling
bekerja sama sejak pertengahan abad ke-20. Munculnya gerakan pembaharuan
dalam Islam merupakan wujud dari bentuk kesadaran umat Islam dari
ketertinggalan zaman dan keterbelakangan mereka.[10]
Tampaknya kebangkitan Islam
dewasa ini merupakan gerakan pemikiran keagamaan terbesar yang
mengekspresikan rumusan-rumusan, meliputi berbagai kawasan, membentuk
kesatuan kaidah, emosi, dan pemikiran sebagai respon terhadap
peristiwa-peristiwa di Dunia Islam, serta memiliki satu kesusastraan yang
mengkondisikan masyarakat untuk saling mengenal dalam ruang lingkup yang
luas.
Meskipun gerakan sosialisme dan
nasionalisme, pertukaran buku dan pers Arab, distribusi pengajaran,
peraturan-peraturan, dan industri perfilman Mesir begitu gencar, namun
kebangkitan Islam merupakan faktor utama terbesar yang mendekatkan generasi
muda dan bangsa-bangsa Arab dewasa ini satu sama lain. Tidak berlebihan bila
dikatakan bahwa kebangkitan Islam merupakan gejala khusus di kawasan barat
dan timur Dunia Arab.
Penulis berpendapat bahwa ide
integrasi telah berjuang dan bergelut dengan pemikiran kawasan, terutama
Mesir yang bertipe Fir'aunisme dan Sudan yang bertipe Afrikanisme. Kedua
negara tersebut lebih cenderung pada deintegrasi. Sedangkan Yaman berdiri
sendiri karena membanggakan kekhususannya. Sebelum berdirinya republik dan
masuknya negeri ini ke dalam kesatuan Arab, kebangkitan Islam
direpresentasikan oleh gerakan keluarga menteri sebagai reaksi terhadap
kebangkitan di Mesir.
E.Mengorganisasi Kebangkitan: antara Kesatuan dan Kawasan
Di Arab banyak terdapat
organisasi-organisasi nasional.[11]Organisasi-organisasi
Islam yang meski berbeda nama, tetapi masih bersandar pada al-Ikhwan
al-Muslimun yang mempunyai jaringan yang lebih luas sehingga memungkinkan
mereka menjadi perekat bangsa-bangsa Arab dewasa ini. Secara praktis,
al-Ikhwan al-Muslimun telah tersebar luas di negara-negara sekitar Mesir dan
cabang-cabangnya pun terus berkembang. Keorganisasian mereka telah menjangkau
Dunia Arab meskipun pada waktu itu belum mencapai kawasan pinggiran. Akan
tetapi, dalam perjalanannya, organisasi ini mengalami tekanan yang merusak
laju perkembangannya.Dinamika kultural yang bervariasi dan keberadaan
berbagai organisasi mendorong perluasan dakwah Islam. Dalam kenyataan,
berbagai organisasi tersebut merupakan organisasi-organisasi kawasan yang
tidak dihubungkan dengan ikatan keanggotaan dan kerja sama, melainkan hanya
didasarkan atas emosi afiliasi, simbol-simbol kepemimpinan dan nama yang
satu. Hal yang amat mencolok pada al-Ikhwan al-Muslimun adalah kelebihannya
dalam berorganisasi.
Ada pula
organisasi-organisasi Islam yang berdiri sendiri seperti di Sudan, Tunisia,
dan daerah lainnya di pinggiran Dunia Arab. Mereka berlandaskan pada teori
fikih yang menetapkan kesatuan sebagai tujuan dan hubungan antar kawasan
sebagai jalan yang harus ditempuh. Mereka memahaminya sebagai analogi dengan
keinternasionalan risalah Nabi Muhammad saw. dan keregionalan metode
penyebaran dakwah yang dimulai dari lingkungan keluarga hingga Arab
seluruhnya dan belahan dunia lainnya.
Walaupun
kelompok-kelompok Islam menginginkan terwujudnya kesatuan barisan Islam,
namun tarikan-tarikan realitas dan batas-batas pemisah di kawasan Arab tidak
memungkinkan mereka merealisasikan cita-cita itu.
F. Menuju Paradigma Fikih untuk Integrasi dan Kawasan1. Keseimbangan Tauhid
Agama tauhid merupakan paradigma
pengintegrasian dan perimbangan bagian-bagian. Kebebasan merupakan nilai
esensial agama. Tanpa kebebasan tidak akan muncul kekuatan iman yang merdeka
dan tidak tercapainya tujuan dalam berkreasi dan memberikan kontribusi nyata.
Kesatuan juga merupakan nilai yang harus dimiliki, sebab tanpa kesatuan,
tidak akan terkumpul dan terorganisasi suatu kekuatan.
Di atas dasar keseimbangan agama,
terjadi hubungan antara individu yang bebas dan kelompok yang terorganisasi.
Keduanya disatukan oleh akidah sebagai tujuan, ibadah sebagai jalan, dan
syariat sebagai sumber rujukan. Berdasarkan gambaran tersebut, maka seluruh
bentuk pemisah antar manusia, misalnya etnis atau wilayah, menyatu dalam
Islam.
Islam menjaga keseimbangan, tidak
bersikap berat sebelah. Tujuan sejarah pertumbuhan awal Islam adalah tauhid,
sebab ia berhadapan dengan realitas jahiliah yang paganistik-syirik. Ikatan
etnis, nasional, dan sejarah terkadang mejadikan orang bersikap fanatik
sehingga memutuskan hubungan dengan yang lain. Setelah Islam datang,
sisa-sisa kejahiliahan tersebut masih ada. Memang Rasulullah saw. tidak
mengutak-atik masalah kesukuan, tidak mengingkari ikatan hijrah atau
primordial, dan tidak pula meremehkan batas-batas wilayah. Akan tetapi,
Rasulullah saw. mengembangkan seluruh aspek tersebut menuju kemaslahatan yang
lebih besar bagi umat Islam. Ketika terjadi keseimbangan antar urusan dan
prioritas di antara beberapa hal yang kontradiktif, mulai dari yang sederhana(misalnya
urusan keluarga, tetangga, dan kelompok) hingga yang kompleks (misalnya
problema umat manusia sedunia), maka hal itu diletakkan dalam paradigma
kebenaran dan keadilan, sehingga dinilai sebagai loyalitas terhadap Allah
yang Maha Besar dan diatur oleh syariatnya yang tinggi (Lihat al-Baqarah: 62,
Ali Imran: 102, an-Nisa: 135, al-Anfal: 72, at-Taubah: 117, al-Mu'minun:
51-52, dan al-Hujurat: 8-12. Selama realitas mengandung aneka ragam kekhasan
masyarakat, maka keberagamaan mengalami kekhasan pula agar keduanya dapat
sejalan. Jika daerah-daerah saling berjauhan sehingga penduduknya mengalami
kesenjangan (terutama dalam hal informasi dan pemikiran), maka dakwah Islam
dapat dijalankan atas pertimbangan kondisi tempat dan hubungan antar penduduk
diselaraskan dengannya, sehingga model pertahanan warganya didasarkan pada
agama.
Karena terdapat perbedaan masyarakat
dengan kekhasannya masing-masing, maka pesan dakwah harus menggunakan bahasa
mereka dan isi pernyataan yang disampaikan sejalan dengan sejarahnya. Ikatan
antar masyarakat diciptakan dalam rangka beribadah kepada-Nya dan mereka
dibebani tugas menegakkan Islam sesuai dengan perintah Allah SWT. Jadi, bila
terdapat kekurangan potensi dalam masyarakat, maka mereka diberi beban sesuai
dengan kapasitas pemahaman dan kemampuannya.
Perbedaan-perbedaan natural tersebut
merupakan ujian. Kondisi demikian merupakan kesempatan beribadah secara
khusus dan bisa pula merupakan fitnah yang memancing kaum muslimin untuk
merumuskan ciri-ciri khusus yang bersifat regional, nasional, dan sosial yang
dilarang oleh Islam. Maka berubahlah hubungan menjadi fanatisme nasional,
sejarah, kelas, atau kelompok yang menjauhkan manusia dari pola hubungan yang
lebih tepat dan mulia. Kemudian mereka menundukkan kebenaran di bawah hawa
nafsunya.
Dalam kondisi absurd semacam itu, iman
dapat meluaskan horison pemikiran umat manusia; dari duniawi semata menuju
keseimbangan duniawi ukhrawi, dari wilayah yang terbatas menuju seluruh
penjuru bumi, dan dari golongan menuju kemanusiaan universal. Islam memberi
tugas secara spesifik untuk diintegrasikan dalam dimensi-dimensi yang umum.
Islam juga menegakkan keseimbangan agar kesatuan tidak berdiri di atas
kebebasan mutlak sehingga melenyapkan unsurunsur khasnya. Demikian pula
kebebasan tidak diarahkan untuk menghancurkan pemerintahan, melainkan untuk
merealisasikan kebaikan sepenuhnya secara kuantitatif dan kualitatif.
Islam menyatukan umat secara keseluruhan
dan Dar al-Islam sebagai acuan loyalitas keagamaan yang paling tinggi.
Konsepsi Islam menghendaki negara dalam batas-batas yang luas di muka bumi
dan menetapkan pusat kekuasaan sebagai pemersatu dan kepemimpinan yang paling
besar.
Negara harus selalu terbuka untuk umat,
bahkan selalu berhubungan melalui berbagai bentuk kerja sama dan bersikap
transparan demi masa depan, kecuali dalam hal-hal tertentu yang harus dijaga
kerahasiaannya dalam rangka mengamankan eksistensi dan perjanjian negara.
Hendaknya negara menimbang kemampuan
pusat-pusat loyalitas masyarakat bawah dan daerah-daerah, serta komunitas dan
kelompok-kelompoknya. Negara harus mampu menyeimbangkan hak-hak mereka dengan
hak penguasa pusat. Dalam hal ini, negara-negara Arab merupakan contoh yang
baik. Hanya saja model ini harus diperbolehkan mengandung unsur-unsur cabang,
dalam pengertian tidak harus berbentuk sentralisasi. Seharusnya tetap
mengarah pada terbentuknya negara yang lebih luas kawasannya dan lebih
komprehensif komunitasnya. Negara-negara Arab harus mengakar pada
wilayah-wilayah di bawah kekuasaannya dengan tujuan utama mengacu pada
tercapainya keseimbangan dengan negara kesatuan yang terbesar.
2. Metode Integrasi
Sesungguhnya realitas Islam-Arab berangkat
dari berbagai kawasan yang memiliki batas-batas kuat yang dijamin oleh
pemerintahan sultan yang terpisah serta menjalin kemaslahatan-kemaslahatan
khusus dan fanatisme warganya. Bangsa Arab mempunyai akar panjang dalam
sejarah, mereka termasuk ras atau rumpun caucaroid, dalam subras
mediterranian yang anggotanya meliputi wilayah sekitar laut tengah, Afrika
Utara, Armenia, dan Irania.[12]Dalam
sejarah Islam, dan bahkan dalam struktur esensialnya, orang- orang Arab menempati suatu posisi
khusus.[13] Di
balik itu terdapat pola kearaban yang berlandaskan kebudayaan, kesejarahan,
kebaikan, dan optimisme. Selain itu terdapat pola Islam dari negara Islam dan
bangsa-bangsanya yang menyatu dengan Arab dalam akidah, warisan, dan kerja
sama.
Hal mendesak yang mesti diupayakan oleh
gerakan kebangkitan Islam adalah mengadakan model integrasi dan menyatukan
negara-negara yang terpisah-pisah. Sangat urgen mendiskursuskan apa dan
bagaimana metode pengintegrasian yang dimaksud. Gerakan-gerakan kebangkitan
Islam pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah menerapkan metode jihad untuk
mengintegrasikan seluruh wilayah kaum muslimin.[14]
Kemungkinan, mereka mengidentikkan jihad dan ekspansinya dengan ekspansi
orang-orang Islam masa lalu. Semangat pembebasan senantiasa mendorong mereka
untuk tidak mengenal permusuhan dan tidak mendambakan tujuan lain selain
menebarkan kebajikan bagi sekalian alam. Metode ini dapat diidentikkan dengan
apa yang sekarang disebut revolusi.
Pengidentikkan dengan masa awal Islam
merupakan hal yang tidak tepat, sebab pemerintahan masa lalu berbentuk
imperium yang sangat luas sehingga tidak memungkinkan berdirinya
negara-negara Islam (dalam bentuk yang lebih kecil) di sekelilingnya.
Mempertahankan imperium tersebut merupakan kewajiban semua anggota
masyarakat, bila perlu dengan berjihad. Begitulah kondisi gerakan jihad pada
masa silam dan begitu pula seharusnya perjuangan Islam dewasa ini, sebab pada
hakikatnya dunia tidaklah berubah secara prinsipil.
Bila pemerintah Islam menggerakkan revolusi
jihad di suatu kawasan tertentu, maka mereka harus menetapkan batasan-batasan
dan mengintegrasikan bumi masyarakat muslim di sekitarnya, sehingga dapat
dikatakan bahwa metode integrasi merupakan metode dominasi. Jika kondisi
kawasan sebagai tempat kebangkitan Islam membutuhkan metode perlawanan yang
serius, tentu hal itu akan menimbulkan goncangan untuk mencapai keseimbangan
antara hal yang lama dengan yang baru, kemudian akan melahirkan ketidakstabilan
hubungan antar negara tetangga karena dominasi sistem Islam. Mengenai
perdebatan teoretis seputar penilaian terhadap benturan ini dan goncangan
dalam teknik operasionalnya, hal tersebut dikembalikan pada keterbatasan
dalam melihat dan memahami realitas serta kecenderungan hukum-hukum tambahan
yang bersifat fragmentaris.
Kebangkitan Islam tidak harus didominasi
oleh jihad fisik. Kebangkitan ini memikat hati sebagian penguasa sehingga
mereka memengaruhi pakar dan praktisi hukum dan politik dalam rangka mencapai
tujuan-tujuan utama kebangkitan. Islam juga
tidak menutup diri terhadap berbagai kemajuan ekonomi dan politik.[15]Mereka
memahami bahwa hukum-hukum politik dan sikap berhati-hati diperlukan demi
keamanan dan stabilitas negara. Para penguasa itu memberikan kesempatan
kepada gerakan kebangkitan Islam untuk berkembang tanpa menunjukkan sikap
permusuhan dan kekerasan. Terkadang lingkungan politik memang bersifat bebas
dan revolusioner sehingga menumbuhkan tradisi toleran. Masyarakat menerima
perubahan dengan kesadaran, bukan dengan paksaan pemerintah.
Kebangkitan yang didominasi oleh ajakan yang
baik, kasih sayang, dan memperhatikan penahapan, dimaksudkan agar
pandangan-dunia (worldview, weltanschaung) masyarakat selaras dengan dakwah
tanpa dipaksa. Dengan teladan, bukan dengan paksaan. Islam tersebar dengan
cara "sejuk" semacam itu di kalangan masyarakat jahiliah. Mereka
merasa dilindungi dari penguasa diktator sehingga mereka memeluk Islam dengan
senang hati. Kita harus memprioritaskan tersebarnya kebangkitan Islam di
negeri-negeri muslim dengan damai.
Keinginan tersebut dapat terlaksana bila
kaum muslimin dibebaskan memilih demokrasi dan diberi kesempatan menentukan
jalan hidup negerinya secara mandiri tanpa diganggu rezim otoriter dan
intervensi negara asing.
Sekiranya Allah SWT menghendaki kita
menerapkan dua metode, yakni integrasi dakwah dan dakwah bertahap tanpa
revolusi jihad yang frontal, maka strategi yang tepat adalah dengan
mempersiapkan Dar al-Islam. Konsep ini dapat melunakkan batasan-batasan tajam
antar bangsa Islam dalam berbagai aspek.
Hendaklah pemerintah-pemerintah
bangsa-bangsa muslim memfasilitasi pendekatan ini dengan memperlancar sarana
transportasi dan komunikasi, meningkatkan manajemen, mendistribusikan
kekayaan, serta menyatukan pola hidup dan kerja sama yang berdasarkan
syariat. Diharapkan, kondisi saling mempercayai akan tercipta dan motivasi
kebangsaan yang islami semakin menguat, sehingga pada saatnya, kondisi
tersebut akan mengakibatkan desentralisasi.
Setiap wacana tentang integrasi menghajatkan
adanya aturan kebangkitan Islam di berbagai penjuru dunia.[16]
BAB
PENUTUP
A. Analisis Penulis
Menurut penulis
jika kita memiliki pemahaman yang benar mengenai perimbangan integrasi,
pluralitas konsep-konsep keislaman, dan keseimbangan antara
individu-kelompok, negara-publik, komunitas masyarakat, dan Dar al-Islam,
maka benar pula prediksi terhadap masa depan integrasi Islam, sunnah dakwah,
dan risalah yang dimulai dari sektor domestik (rumah tangga) hingga publik.
Bukankah Arab merupakan masyarakat sekaligus negara? Arab dapat menjadi
kesatuan masyarakat yang selama ini merupakan gugusan negara-negara yang
terpecah belah.
Gambaran di atas
merupakan prediksi masa depan tentang Arab sebagai ikatan keluarga
wilayah-wilayah dalam bangunan Islam. Bangsa-bangsa Arab merupakan satu
rumpun secara geografis, sosial, dan historis. Oleh karenanya, integrasi Arab
merupakan tahapan yang niscaya dalam proses pengintegrasian negara-negara
muslim. Rencana ini dapat dimulai dari integrasi regional antar kota di Arab
atau yang serupa itu. Perlu ditekankan agar upaya tersebut jangan sampai
berhenti pada mekanisme tertutup dan tidak mempunyai jangkauan lebih luas
bagi integrasi Arab dan kaum muslimin.
Menurut hemat
penulis, rencana ini akan semakin kokoh bila kita mempelajari kenyataan di
Dunia Arab. Di antaranya adalah bahwa di sebagian kawasan Arab terdapat
minoritas non-Arab dan non-muslim, sehingga landasan utama integrasi
merupakan masalah yang harus dipikirkan .
Hal lain adalah
bahwa sebagian negara Arab saling bertetangga dalam keislaman yang kokoh dan
penduduknya pun saling berhubungan dengan baik. Realitas ini merupakan
peluang untuk mengintegrasikan Arab dan Islam.
Aspek lain yang
harus digarisbawahi adalah eksistensi gerakan kebangkitan Islam telah
mendasari motif berintegrasi dan metode-metodenya pun makin jelas, sehingga
kekuatan kebangkitan Islam di negara-negara Arab dapat bergerak memengaruhi
negara-negara di luar Arab.
Merupakan
keharusan bagi wacana kebangkitan Islam untuk berdialog dengan kelompok
nasionalis Arab yang juga menginginkan integrasi. Sebelumnya, penulis
menyatakan bahwa berdialog pada masa lalu merupakan langkah negatif. Ini
karena nasionalisme yang didengungkan adalah nasionalisme yang merugikan umat
Islam. Di samping itu terdapat afiliasi dengan aliran-aliran pemikiran
sekularisme-materialisme Barat. Pada waktu itu, fanatisme etnis, kekafiran,
dan permusuhan merupakan unsur yang menyertai nasionalisme Arab.
Akan tetapi,
perlu diingat bahwa nasionalisme merupakan ikatan integrasi yang dapat
direkayasa para aktivis kebangkitan Islam dalam rangka mencapai integrasi
negara-negara muslim.Meskipun nasionalisme Arab telah terimbasi nilai-nilai
etnis, kultural, dan peradaban Barat, namun nasionalisme ini tidak menyerah
pada ideologi etnis dan sekularisme. Pada umumnya yang mendukung nasionalisme
adalah negara-negara yang mengungkapkan nilai-nilai intrinsik Arab dan tidak
memusuhi Islam. Mereka berwatak nasionalis-religius. Para pemimpin politik
Arab mengedepankan nasionalisme sebagai simbol menuju integrasi negara-negara
Arab.
Dalam realitas
Dunia Arab terdapat keperluan-keperluan untuk mengintegrasikan nasionalisme
ke dalam Islam. Sekalipun didukung oleh solidaritas yang kokoh seperti
sekarang, nasionalisme tidak akan mampu menghadapi keinginan-keinginan
kelompok di dalam negeri dan strategi belah bambu yang dilancarkan pihak
imperialis. Kegagalan program-program integrasi yang telah dicanangkan
menunjukkan keterbatasan motivasi integrasi nasional. Berarti program-program
tersebut harus ditopang oleh motivasi integrasi keislaman yang aktif.
Nasionalisme
tidak mampu memberikan isi, tujuan, dan metode integrasi yang komprehensif
sebagaimana Islam yang mempertegas pilar-pilar kehidupan yang integratif dan
solider. Solidaritas merupakan motor penggerak integrasi serta petunjuk bagi
metode dan strateginya. Selain itu, Islam dapat memberikan aspek-aspek
kehidupan yang diperlukan masyarakat Arab, yaitu: spiritualitas, sosial,
politik, ekonomi, dan kebudayaan secara umum. Nasionalisme tidak dapat
berbicara dalam ruang lingkup Dunia Arab, sedangkan Islam mampu membuka dan
memperluas spektrum kearaban sebagaimana yang pernah ditampilkan oleh
sejarah.
Bila para
aktivis Islam dan kaum nasionalis tidak merasa terpanggil oleh semangat
menghidupkan keislaman dan toleransi kemanusiaan melalui dialog yang beranjak
dari integrasi nasionalisme dengan Islam, dikhawatirkan akan terjadi
perpecahan di antara negara-negara Arab.
Mungkin kaum
nasionalis sedang mengamati perkembangan dakwah Islam dengan serius,
kegagalan berbagai proyek integrasi, dan kekurangan-kekurangan lainnya,
sehingga mereka menyadari bahwa semua itu merupakan penyakit yang mengakar.
Tidak ada penyembuhan bagi penyakit tersebut melainkan dengan obat kultural
yang orisinal dan menyeluruh yang bersumber pada nilai-nilai dan warisan
Islam. Kemungkinan para aktivis Islam pun menyadari bahwa integrasi Arab
--meskipun motivasi-motivasi utamanya telah berbaur dengan berbagai unsur--
tetap mempunyai akar sejarah yang terpaut dengan Islam.
Insya Allah,
fenomena temporal yang tidak menguntungkan bagi kebangkitan Islam akan
lenyap, sehingga dunia Arab dan semua negara penganut agama Islam tetap
berpegang teguh pada ajaran Islam. Amiiinn...
|
||
B.
Kesimpulan
Dari
uraian yang telah dipaparkan di atas dapat penulis simpulkan bahwa kebangkitan
Islam di dunia arab mengalami berbagai
fenomena yang beragam. Sekiranya Islam telah menjadi pandangan internasional
dan kebangkitan Islam telah meliputi seluruh kawasan Arab, bahkan lebih luas
lagi, maka gerakan-gerakan kebangkitan dapat membentuk jaringan keorganisasian
yang integratif dan bertujuan khusus yang mengacu pada kesatuan Arab.
Kebangkitan
Islam sendiri pada dasarnya merupakan suatu fenomena yang terbatas. Dalam
kaitannya dengan Islam, kebangkitan merupakan fenomena idealisme keagamaan.
Agama yang diturunkan oleh Zat yang Maha Absolut (Islam) tentu tidak mengenal
batas-batas ruang dan waktu atau etnis dan kelas sosial. Kaum muslimin selalu
berusaha menuju pada titik kesatuan umat (terintegrasi) dengan berdasarkan pada
keimanan kepada Allah yang Maha Esa, kesatuan prinsip dasar, kesatuan masa
depan manusia, kesatuan tujuan hidup, kesatuan syariat, dan kesatuan gerakan
persaudaraan dan persekutuan dalam ilmu, harta, dan kekuasaan.
C.
Saran
Penulis menyarankan, sebagai umat Islam penerus generasi
bangsa dan agama hendaklah kita selalu memegang teguh ajaran – ajaran Islam dan
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kita di bidang teknologi agar
kebangkitan Islam ini tidak hanya berfokus kepada hal yang bersifat religius
saja, ada baiknya kebangkitan Islam ini meliputi seluruh aspek kehidupan,
seperti kemajuan teknologi dan sainsnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan portopolio ini
tidak luput dari segala kekurangan dan kekhilafan baik dalam segi sistematis
tulisan maupaun dalam materi yang di bahas di dalamnya.
Oleh karena itu penulis dengan rendah hati mengharapkan
kritik dan saran kepada semua pihak yang telah membaca portopolio ini.
Daftar Pustaka
Albert Haurani,Pemikiran Liberal Dunia di Arab, Bandung: Mizan, 2001
Badri Yatim,Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta:Raja Wali Pers, 2005
Dedi
Supriadi, Sejarah Peradaban Islam,
Bandung: Pustaka Setia, 2008
Samsul
Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam,
Jakarta: Amzah, 2010
M.
Shalahuddin, Studi Ulumul Quran
Jakarta: PT Inti Media Nusantara, 2002
http://media.isnet.orgislamBangkitTurabi.html.htm
[1]M. Shalahuddin, Studi Ulumul Quran (Jakarta: PT Inti
Media Nusantara, 2002), h. 2
[2]Kebangkitan
Islam mulai muncul menjelang Perang Dunia II pecah dan semakin kokoh pada era
sesudahnya hingga mencapai momentum perkembangan yang paling spektakuler sejak
akhir dasawarsa 1970-an.
[3] Diprakarsai John Locke, para pakar
psikologi sesudahnya, dan kelompok radikal.
[4]Badri Yatim,Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta:Raja
Wali Pers, 2005), h.186
[5]Imperialisme telah mengokohkan
status pembagian tersebut untuk menarik keuntungan jangka pendek dan panjang,
apalagi mereka bermaksud melapangkan jalan bagi kehadiran Zionisme di
tengah-tengah Dunia Arab dan memutuskan hubungan Arab dengan Dunia Islam.
[6]Penulis tidak mengetahui
pemecahan-pemecahan yang dapat dicatat kecuali pernyataan-pernyataan umum Syekh
Hassan al-Banna dalam mendefinisikan nasionalisme yang diartikannya sebagai
realisasi loyalitas negara-negara Arab untuk mengembangkan kecintaan, kasih
sayang, kebanggaan, dan kesetiaan tanpa merusak kepatuhan terhadap agama
(ar-Rasaail ats-Tsalats).
[7]Pemikir al-Ikhwan al-Muslimun
ini mengabstraksikan konsep-konsep al-Hakimiyah dan tauhid di atas
ungkapan-ungkapan, batasan, kemaslahatan, dan realitas, serta mengarahkan
hukum-hukum kepada dimensi-dimensinya yang absolut.
[8]Pemikiran mereka
mempropagandakan reformasi hubungan umat Islam, mengadakan komunikasi antar
negara Dunia Islam, dan berusaha mengintegrasikan negara-negara Islam.
[9]Mereka mengutarakan
pandangan untuk meregionalkan bahasa dan dialek, mengadakan penulisan sejarah
yang menanamkan kebanggaan terhadap tokoh-tokoh nasional, serta menegaskan
semangat nasionalisme dan peran nasional yang khusus dalam misi internasional.
Kelompok-kelompok ini muncul di Mesir. Mereka mengagungkan sejarah Fir'aun dan
Eropa
[10]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta:
Amzah, 2010 ), h.366
[11]seperti Ba'ath dan
Nasionalisme Arab. Ada pula yang berpencar di sejumlah kawasan seperti Hizbut
Tahrir al-Islam (yang pemikirannya merujuk karya-karya pemimpin mereka, Syekh
Taqiyuddin an-Nabhani, --peny.). Di samping itu, ada pula gerakan komunisme
yang cenderung berafiliasi ke luar Dunia Arab dan partai-partai nasional yang
kurang berpengaruh.
[12]Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung :
Pustaka Setia, 2008), h. 47
[13]Albert Haurani, Pemikiran Liberal Dunia di Arab, ( Jakarta: Mizan, 2001 ), h. 416
[14]. Gerakan
yang paling terkenal adalah gerakan keluarga Fodio dan Umar al-Fauti di Afrika
Barat serta al-Mahdi di Sudan
[15]Ajid Thohir, Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam, ( Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2004 ),
h. 344
[16]http://media.isnet.orgislamBangkitTurabi1.html..htm