-->

Sabtu, 06 April 2013



BAB II
PEMBAHASAN
Hadis Dha’if dan Macam-macamnya
Dari segi bahasa do’if berarti lemah lawan dari kuat[1] sedangkan menurut istilah adalah hadis yang tidak memiliki ciri-ciri hadis shohih dan hadis hasan. Adapun ciri-ciri hadis sohih dan hasan adalah: bersambungnya sanad, perawi yang adil, dobit, tidak memiliki cacat, serta adanya hadis pendukung jika didalam sanad terdapat kebohongan bukan disebabkan banyaknya kesalahan, maka setiap hadis yang tidak memiliki semua atau sebagian ciri-ciri diatas di sebut hadis do’if.[2]
Menurut pendapat Ibn Taimiyah, pembagian kualitas hadis menjadi sahih, hasan dan da’if itu berlaku mulai zaman Imam Turmuzi (w 279 H/892 M). Pada zaman sebelumnya, pembagian kualitas hadis hanya dikenal dua macam saja, yaitu sahih dan da’if.
Menurut Ibn Hibban al-Bustiy (wafat 354 H = 965 M), jumlah hadis dha’if ada empat puluh sembilan macam. Menurut al-Mannawiy (wafat 1031 H), secara teoritis hadis dha’if dapat mencapai seratus duapuluh sembilan macam, tetapi yang dimungkinkan terwujudnya, ada delapan puluh satu macam. Sebagian ulama lagi menyebutkan jumlah yang berbeda dari jumlah yang telah disebutkan sebelumnya. Walaupun angka jumlah hadis dha ‘if tidak disepakati oleh ulama, akan tetapi di sisi yang lain penyebutan angka itu menunjukkan bahwa hadis dha ‘if memang cukup banyak jumlahnya.
Dalam pembahasan ini, macam-macam hadis dha’if tersebut tidak diuraikan secara terinci dan mendalam. Pokok pembahasan dibatasi hanya pada pengertian beberapa macam hadis dha’if secara umum saja. Ada beberapa sebab yang menjadikan sebuah hadis diberi nilai dha’if. Ada kalanya sanadnya tidak bersambung, ada kalanya juga karena periwayatnya tercacat atau sebab lain
Adapun fokus kajian ini akan diarahkan lebih pada hal-hal yang  berkaitan pembagian hadis yang berkaitan dengan kritik sanad dan matan

A.    Dhaif Karena Terputus Sanadnya
Dalam hubungannya dengan tidak terpenuhinya unsur sanad bersambung, secara garis besar Ibn Hajar al-’Asqalaniy membagi hadis dha’if kepada lima macam. Yakni, hadis mu’allaq, hadis mursal, hadis mu’dhal, hadis munqathi’, dan hadis mudallas[3].Kelima macam istilah ini menerangkan letak dan jumlah periwayat yang terputus dalam sanad.
  1. Hadis Mu’allaq.
Yang dimaksud dengan hadis mu ‘allaq [4]ialah hadis yang periwayat di awal sanad-nya (periwayat yang disandari oleh penghimpun hadis) gugur (terputus), seorang atau lebih secara berurutan. Jadi, yang menjadi patokan dalam hal ini adalah keterputusan periwayat di awal sanad. Apabila yang terputus lebih dari seorang periwayat, maka keterputusan itu harus dimulai dari awal sanad secara berurutan. Sekiranya periwayat yang terputus (gugur) bukan di awal sanad, atau tidak berurutan, maka hadis itu tidak dinamakan sebagai mu’allaq. Di segi yang lain, hadis mu’allaq. adalah hadis marfu’, karena hadis itu disandarkan kepada Nabi.
  1. Hadis Mursal.
Yang dimaksud dengan hadis mursal [5]menurut mayoritas ulama hadis, ialah hadis yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh al-tabi’iy, baik al-tabi’iy besar maupun al-tabi’iy kecil, tanpa terlebih dahulu hadis itu disandarkan kepada sahabat Nabi. Menurut pendapat ini, hadis dinyatakan sebagai mursal, apabila hadis itu marfu’ dan periwayat yang berstatus al-tabi ‘iy tidak menyebutkan nama sahabat yang menerima langsung hadis itu dari Nabi. Dalam hal ini, al-tabi ‘iy tidak dibedakan antara yang senior dan yang yunior.
Sebagian ulama mensyaratkan, al-tabi’iy yang menyandarkan hadis langsung kepada Nabi itu haruslah al-tabi’iy besar, misalnya Sa’id bin al-Musayyab (wafat 94 H = 712 M). Karena, al-tabi’iy besar menerima hadis pada umumnya langsung dari sahabat Nabi. Sedang apabila yang menyandarkan al-tabi’iy kecil, misalnya Ibn Syihab al-Zuhriy (wafat 124 H = 742 M), maka hadis itu tidak disebut sebagai hadis mursal, melainkan disebut sebagai hadis munqathi’. Karena, al-tabi’iy kecil menerima hadis pada umumnya dari al-tabi ‘iy besar dan tidak langsung dari sahabat Nabi. Menurut pendapat ini, hadis mursal itu harus marfu’, periwayat yang terputus (gugur) haruslah periwayat yang berstatus sahabat Nabi dan periwayat yang menggugurkan haruslah al-tabi’iy besar
  1. Hadis Muaddhal.
Yang dimaksud hadis mu’dhal adalah hadis yang terputus sanad-nya, dua orang periwayat atau lebih secara berturut-turut[6] dan terjadi di tengan sanad[7]. Termasuk jenis ini adalah hadis yang dimursalkan oleh tabi’ al-tabi’i.
Menurut ulama hadis, apabila kalangan ulama fiqh, misalnya al-Sya-fi’iy, menyatakan dalam kitabnya, “Telah bersabda Rasulullah SAW …,” maka hadis tersebut adalah mu ‘dhal. Karena, ulama fiqh yang sezaman dengan al-Syafi’iy pada umumnya hidup pada masa sesudah generasi al-tabi’in. Dengan demikian mereka menerima riwayat hadis Nabi melalui, sedikitnya, dua generasi. Jadi, dalam riwayat hadis yang mereka kemukakan seperti contoh di atas, terdapat dua atau tiga orang periwayat secara berurut yang tidak mereka sebutkan. Sedang menurut ulama fiqh atau ushul al-fiqh, sebagaimana telah dikemukakan di atas, hadis yang demikian itu disebut sebagai hadis mursal.
Keriteria hadis Muaddal adalah:
a.                   sanad yang gugur lebih dari satu orang
b.                   keterputusan sanad berturut-turut
c.          tempat keterputusan sanad ada di tengah-tengah
  1. Hadis Munqathi’[8] berbeda pendapat dalam hal ini. Pendapat-pendapat ulama tersebut sebagai berikut:
a.       hadis munqathi’ ialah hadis yang sanad-nya terputus di bagian mana saja, baik di bagian periwayat yang berstatus sahabat, maupun periwayat yang bukan sahabat.
b.      hadis munqathi’ ialah hadis yang sanad-nya terputus, karena periwayat yang tidak berstatus al-tabi‘in dan sahabat Nabi telah menyatakan menerima hadis dari sahabat Nabi.
c.       hadis munqathi’ ialah hadis yang bagian sanad-nya sebelum sahabat, jadi periwayat sesudah sahabat, hilang atau tidak jelas orangnya.
d.      hadis munqathi’ adalah hadis yang dalam sanad-nya ada periwayat yang gugur seorang atau dua orang tidak secara berurutan.
e.       hadis munqathi’ ialah hadis yang dalam sanad-nya ada seorang periwayat yang terputus atau tidak jelas.
f.       hadis munqathi’ ialah hadis yang sanad-nya di bagian sebelum sahabat, jadi periwayat sesudah sahabat, terputus seorang atau lebih tidak secara berurut dan tidak terjadi di awal sanad.
g.    hadis munqathi’ ialah pernyataan atau perbuatan al-tabi’in.
Menurut Al Khatib Al-baghdadi hadi mungqoti’ sama dengan hadis mursal, hanyasaja sebutan munqoti’ biasanya digunakan untuk riwayat dari seseorang yang bukan tabi’in yang periwayatannya dari sahabat.
Untuk menghindari ketidak jelasan , maka hadis munqoti’ adalah hadis yang ditengah sanadnnya ada perawi yang gugur baik satu orang atau lebih tetapi tidak berurutan.

5. Hadis mauquf dan maqtu’
Hadis mauquf adalah hadis yang diriwayatkan dari sahabat berupa perkataan, perbuatan, dan persetujuannya. Dilihat dari bahasa kata mauquf berasal dari “waqofa yaqifu” yang berarti dehentika atau di waqofkan . maksudnya hadis ini berhenti hanya sampai pada sahabat dan tidak sampai kepada nabi.
Menurut Ibn Hajar Al asqolai sebuah hadis dinamkan hadis mauquf jika disadarkan pada sahabat baik sanatnya muttasil ataupun munqoti’.
Hadis maqtu’ berasal dari “qoto’a yaqto’u” yang artinya memotong, sedangkan meurut istilah adalah hadis yang berupa perkataan, perbuatan, dan persetujuan yang disandarkan hanya sapmpai kepada tabiin.

B. Do’if Karena Perawi Tidak Adil
a. Hadis matruk
Ø  Pengertian
Dari segi bahasa matruk adalah berakar dari lafad متروك فهو  تركا يترك  ترك yang artinya tertinggal. Orang arab menyebutkan kulit telur setelah mengeluarkan anak ayam disebut تريكة yang artinya tertinggal dan tidak ada faedahnya. Sedangkan menurut istilah متروك adalah hadis yang salah satu perowinya seorang tertuduh dusta.
      Adapun sebab-sebab tertuduhnya dusta seorang perawi adalah sebagai berikut:
·         Perawi yang meriwayatkan hadis sendirian karena tidak ada perawi yang lain yang eriwayatkan hadis tersebut.
·         Seorang perawi terkenal sebagai pembohong dan pendusta.
·         Menyalahi kewajiban-kewajiban yang ma’lum seperti beragama, sholat, puasa haji dan kewajiban-kewajiban yang lainnya.
Ø  Contoh hadis matruk
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Ad-Dunya dalam Qodo’ Al-Hawa’ij melalui jalan Juwaibir bin Sa’id Al-Azdi dari Adh-Dhahhak dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW:
Wajib atas kamu berbuat yang ma’ruf sesungguhnya ia mencegah pergulatan kejahatan dan wajib atas kamu shadaqoh samaran (sirr) sesungguhnya ia mematikan murka Alloh Azza Wajalla.
      Pada sanad hadis diatas terdapat Juwaibir bin Sa’id Al-Azdi, An-Nasa’i dan Ad-Darul Quthni berkata, bahwa ia matruk Al-hadist menurut Ibnu Ma’in : tidak ada apa-apa.
Ø  Tingkatan hadis matruk
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab-bab yang telah lalu bahwa menurut Ibnu Hajara Al- Asqolani urutan hadis do’if yang terburuk adalah Maudu’, Matruk, Mungkar, mu’allal, Mudraj, Maqlub, kemudian Mudtharib. Hadis matruk adalah hadis yang terburuk setelah hadist maudu’ tidak dapat diamalkan sama sekali, karena cacat yang sangat fatal yaitu tertuduh dusta posisinya dekat dengan hadi maudu. Oleh karena itu, sesuai dengan namanya natruk, artinya tertinggal, tidak didenngar, tidak dianggap, dan tidak diamalkan. [9]
b. Hadist majhul
Ø  Pengertian
Kata majhul keluar dari kata : مجهول. فهو .جهلا.يجهل.جهل= tidak diketahui antonim dari kata ma’lum = di maklumi atau di ketahui. Misalnya seorang pewaris hadist yang tidak dikenal atau tidak diketahui asal usulnya dan latar belakangnya yang menyangkut kepercayaan seorang padahal untuk menilai hadis diperlukan pembawaannya seorang yang memiliki kredibilitas yang dapat diandalkan. Menurut istilah hadist majhul adalah :
صفته او عينه تعرف لم من هو
Seorang yang tidak dikenal jati diri dan identitanya
Penyebab kemajhulannya adalah:
a. seseorang mempunyai banyak nama atau sifat, baik nama asli, nama panggilan, nama gelar, sifat, profesi atau suku dan bangsa. Sesmentara orang tersebuat hanya dikenal sebagai namanya saja, tetai kemudian disebutkan nama atau sifat yang tidak dikenal karena ada tujuan tertentu, maka ia diduga perawi lain.
b. seorang perawi yanng sedikit periwayatan hadist. Tidak banyak yang mengambilnya sebagai perawiyang kecuali hanya satu orang saja misalnya.
c. tidak tegas menyebut nama perawi karena diringkas menjadi nama kecil atau nama panggilan atau kerena tujuan lain.

Ø  Macam-macam hadist majhul
Majhul dapat dibagi menjadi tiga macam:
1) Majhul Al-‘Ain : seorang perawi disebutkan didalam sanad tetapi tidak ada yang mengambil periwayatannya selain seorang perawi.
Misalnya hadist yang diriwayatkan At-Tirmidzi dari Al-Hakim melalui jalan Hisyam bin Yusuf dari Abdullah bin Sulaiman An-Nufali dari muhammad bin ali bin abdullah bin  Abbas dari ayahnya dari kakeknya secara marfu’:
Cintailah Allah karena sesuatu yang diberikan kepadamu daripada nikmat-nikmatnya, cintailah aku karena Allah, dan cintailah keluarganya karena mencintaiku.
Abdullah bin Sulaiman An nufail tidak diketahui jatidirinya (majhulAl-‘ayn) karena tidak ada yang meriwayatkan daripadanya kecuali hisyam bin yusuf.
2) Majhul Al-Hal disebut juga Almastur adalah: periwayatan seseorang diambil dua orang atau lebih, tetapi tidak ada yang tsiqqoh. Atau diartikan: tidak ada yang menukil tentang jarh (cacat) dan Ta’dilnya (adil)
Contoh hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah melalui Itsman bin Ali dari Al-A’masy dari Abu Ishaq dari hani’ bin hani’ berkata : ammar masu kerumah Ali msks Ali menyambutnya : selamat datang seorang suci dan disucikan aku mendengar dari rasulullah SAW bersabda:
Ammar dipenuhi imannya sampa ketulang-tulangnya.
Hani’ bin hani’ tidak diketahui identitasnya karena tidak ada yang tsiqoh yang meriwayatkan hadistnya atau tidak ada yang menerangkan ketsiqohannya . dengan demikian hadis diatas menurut yang sohih di tolak. 

c. Hadist Mubham
Arti Mubham menurut bahasa  adalah samar tidak jelas. Jadi perawinya atau orang ketiga yang menjadi objek pembicaraan tidak dijelaskan siapa nama dan darimana dia. Menurut istilah adalah:
Seorang perawi yang tidak disebutkan namanya baik dalam sanad atau dalam matannya .
Jadi mubham adalah tidak adanya penyebutan nama seorang perawi yang jalas, karena hanya disebutkan seorang laki-laki atau seorang perempua saja tidak disebutkan nama jelasnya. Mubham adakalanya dalam sanad dan adaklanya dalam matan. Cotoh: hadis yang diriwayatkan Abu Daud dalam sanadnya, melalui Hajjaj bin Farafisyah dari seorang laki-laki dari Abu Salamah dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda:
Seorang mukmin adalah seorang mulia yang murah sedangkan seorang durhaka adalah penipu yang tercela.
Hadis tersebut dinamakan hadis mubham karena tidak menyebutkan nama laki-laki yang ada dalam sanad tersebut maka dinamakan mubham.
Contoh Mubham Matan:
Hadis yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Abu Hurairah Rasulullah SAW bersabda: ada seorang laki-laki  bertanya kepada Rasulullah : sedekah apa yang paling utama? Rasul menjawab : sedekah sedang anda dalam keadaaan sehat.
Hukum Mubham dala sanad, jika terjadi pada sahabatmaka tidak apa-apa karena sahabat dijamin keadilannya, sedangkan jika terjadi pada selain sahabat, maka jumhur ulama sepakatmenolaknya sehingga diketahui kemajhulannya. Sedangkan mubham dalam matan tidak apa-apa dan tidak mengganggu kesahihan suatu hadis.
1. Hadis Munkar.
Yaitu hadis yang pada sanadnya ada seorang perawi yang parah kesalahannya atau banyak kelupaannya atau nampak kefasikannya[10]. Dengan definisi ini maka ia kebalikan dari hadis ma’ruf, yang biasa didefinisikan “Hadis yang di­riwayatkan oleh periwayat tsiqah yang menyalahi riwayat orang dha’if.”

C. Dha’if karena kedhabitannya
1.  Hadis Mu’allal.
Yaitu hadis. Pada umumnya, cacat itu pada sanad. Misalnya, “menyam-bung” sanad yang sebenarnya terputus. Sedangkan cacat pada matan, sering kali mengambil bentuk penambahan kalimat oleh periwayat atas teks hadis, seolah-olah, tam-bahan itu termasuk matan hadis.
Meneliti ‘illat hadis dimaksud sangat rumit, karena, hadis itu kelihatannya sudah shahih. Untuk penelitian ini di-perlukan intuisi, kecerdasan, kekuatan hafalan, dan banyak-nya hadis yang dihafal. Kata Imam al-Hakim, kemampuan meneliti ‘illat hadis semacam ini bagaikan kemampuan se-seorang dapat membedakan uang logam palsu dari yang asli melalui pendengaran lentingannya.
2. Hadis Syadz.
Yaitu yang diriwayatkan oleh orang terper­caya, tetapi bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang yang lebih terpercaya lagi. Jadi, sebuah hadis disebut syadz apabila terdapat di dalamnya periwayat yang menyendiri dan bertentangan. Sementara, hadis yang lebih kuat sebagai bandingannya disebut mahfuzh. Misalnya, sebuah hadis yang mendeskripkan perkataan Nabi tentang sesuatu, tetapi periwayat lain yang lebih kuat mengatakan bahwa itu adalah perbuatan beliau, bukan perkataan. Beda antara hadis munkar dengan syadz, kalau hadis munkar diriwayatkan oleh orang yang “lemah”, sedangkan hadis syadz diriwayatkan oleh orang terpercaya.
Untuk sampai pada kesimpulan bahwa sebuah hadis itu syadz, diperlukan ketekunan yang sungguh karena kegiatan-nya menghimpun matan hadis yang temanya sama dengan jalur yang berbeda-beda.


3. Hadis Mudhtharib
Mudhtharib artinya goncang. Dimaksudkan disini adalah hadis yang periwayatannya menyampaikan berbagai hadis yang isinya bertentangan dan tidak dapat di kelompokkan[11] . Pertentangan tersebut tidak dapat disatukan atau salah satunya dikalahkan. Bila salah satunya dapat di­ kalahkan, maka yang menang dijadikan dalil. Atau dapat disimpulkan bahwa pertentangan itu, yang satu menghapus (naskh) terhadap lain, maka hadis yang menghapus dipergunakan sebagai dalil.
Adapun hadis yang diriwayatkan melalui berbagai jalur dengan redaksi yang berbeda tetapi isinya sama, maka hadis semacam itu tidak termasuk mudhtharib, tetapi riwayat bil-ma’na. Justru, hadis jalur satu menguatkan jalur yang lain-nya. Misalnya, sebuah hadis yang menyebutkan bahwa Nabi menikahkan seorang shahabat sebagai tercantum dalam hadis riwayat shahabat yang bernama Sahal ibn Sa’ad.
4. Hadis Maqlub.
Yaitu hadis yang periwayatannya di dalam menyebut matan atau periwayat lain secara terbalik-balik[12]. Contoh sebuah hadis riwayat Abu Hurairah tentang perilaku sujud dalam salat: Bila salah seorang di antara kamu bersujud, maka hendaknya ia tidak merebahkan diri seperti onta, tetapi hendaknya ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya. Setelah diadakan penelitian, ternyata hadis ini berten-tangan dengan hadis jalur lain yang mengatakan bahwa ketika sujud itu hendaknya meletakkan tangan dulu, bukan meletakkan lutut dulu.

  1. Hadis Mudallas.[13]
Dikatakan mudallas, karena dalam hadis itu terdapat tadlis yaitu bercampurnya gelap dan terang. Adapun hadis mudallas dinamai demikian karena ia mengandung kesamaran dan ketertutupan. Jadi yang dimaksud dengan hadis mudallas adalah hadis yang di dalamnya ada sesuatu yang disembunyikan.
Menurut ulama hadis, jenis tadlis secara umum ada dua macam, tadlis al-isnad dan tadlis al-syuyukh[14]. Yang dimaksud dengan tadlis al-isnad ialah seorang periwayat menerima hadis dari orang yang semasa, tetapi tidak bertemu langsung. Atau ia menerima/bertemu langsung,  tetapi tidak menyebut namanya. Misalnya, ia hanya mengatakan, “saya mendengar hadis dari si polan”. Diperkirakan, tidak menyebut nama itu mengandung maksud agar aib yang ada pada guru tidak kelihatan. Ulama sangat mencela periwayat yang melakukan tadlis, khususnya tadlis al-isnad. Karena, orang yang me-lakukan tadlis telah melakukan pengelabuan kualitas hadis kepada orang lain. Kualitas hadis yang bercacat dilaporkan seolah-olah tidak bercacat.
Periwayat yang telah diketahui pernah melakukan tadlis, misalnya dia menggunakan kata-kata sami’tu atau haddasaniy pada hal dia tidak me-nerima riwayat hadis itu dengan al-sama’, seluruh hadis yang disampaikan oleh periwayat tersebut ditolak oleh ulama hadis.  Sikap ulama menolak riwayat dari periwayat yang telah men-tadlis-kan hadis, walaupun pen-tadlis-an itu hanya dilakukan sekali saja, merupakan sikap yang sangat hati-hati dari ulama hadis.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan tadlis al-syuyukh ialah seorang periayat menyebut nama pemberi hadis, bukan namanya yang dikenal oleh halayak, tetapi namanya kurang dikenal. Misalnya, al-Khatib berkata,  “Telah bercerita kepada kami Ali Ibn Abu Ali al-Bishri……” nama yang terkenal tokoh yang dimaksud adalah Abul Qasim Ali ibn Abu Ali, bukan Ali saja. Tampaknya hal yang lumrah bila orang itu lebih dikenal nama kampungnya dari pada namanya sendiri, seperti ada juga orang yang lebih dikenal dengan namanya dari pada gelarnya.
Kesalahan penyebutan identitas pribadi guru tersebut memang sangat dimungkinkan. Karena, periwayat hadis yang memiliki nama ataupun kunyah yang mirip cukup banyak jumlahnya dengan kualitas pribadi yang berbeda.[15]
Ulama hadis telah membahas cukup panjang berbagai hadis yang termasuk jenis mudallas. Hal ini sebagai salah satu bukti, betapa ulama hadis sangat hati-hati dalam melakukan penelitian hadis.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
  1. Pembahasan tentang pembagian hadis sangat komplek dan beragam menurut para ulama. Namun secara umum pembagian hadis dapat dibedakan dari hadis yang ditinjau dari segi kuantitas dan kualitas.
  2. Mengenai pembahasan tentang syadz dan illat adalah merupakan bagian terkecil dari pembagian hadis di atas, artinya unsur tidak adanya syadz dan tidak adanya illat hanyalah sebagai syarat diterimanya sebuah hadis.
Demikianlah pembahasan ini kami sampaikan, tentunya sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga pemakalah mengharap sikap kritis temen-temen yang akan membantu perbaikan makalah ini nantinya.
  

DAFTAR PUSTAKA
Noer, Ali. Pengantar Studi Hadts, BKS-PTAIS Riau-Kepri, Cetakan Kedua,2010
Madjid Khon, Abdul, Ulumul Hadis, Jakarta: AMZAH, 2010
Agus Sholahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2010
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Bandung: Bulan Bintang, 1995
 Idris ,M. Studi Hadis.Jakarta. kencana 2010



[1] ) Dr. H. Abdul Majid Khon, M. Ag.Ulumul Hadis. Amzah. Jakarta 2009. Hal 164.
[2] ) Dr. Ahmad Umar Hasyim. Qoidah usulul hadis. Darul fikr. Hal 86.
[3]  (M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Bandung: Bulan Bintang, 1995), hlm.130.)
[4] (Sebagian ulama menyatakan, kata mu’allaq yang secara bahasa berarti tergantung, diambil dari pemakaian astilah ta’liq  al-Thalaq (cerai gantung) dan ta’liq al-Jidar (dinding gantung), karena ada unsur kesamaan dalam hal keterputusan sambungan.
[5] Kata mursal disini, menurut bahasa, pada mulanya berarti lepas atau terceraikan denga cepat, atau tanpa halangan. Misalnya, burung terlepas dengan cepat dari kedua tangan. Kata terxsebut kemudian dipakaikan untuk hadis tertentu yang periwayatnya “melepaskan” hadis tanpa terlebih dahulu mengaitkannya kepada sahabat yang menerima riwayat ini dari dari Nabi.)
[6] Ali Noer. Pengantar Studi Hadts, BKS-PTAIS Riau-Kepri, (Cetakan Kedua,2010), hal. 66)
[7]  Idris ,M. Studi Hadis.Jakarta. kencana 2010
[8] Kata munqathi’ berasal dari kata kerja inqatha’a, dapat berarti  yang berhenti, yang kering, yang patah, yang pecah, atau yang putus
[9] ) Abdul Madjid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH, 2010), hal. 184
[10] Abdul Madjid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH, 2010), hal. 188.
[11] Ali Noer. Pengantar Studi Hadts, BKS-PTAIS Riau-Kepri, (Cetakan Kedua ,2010), hal.69.

[12] Ali Noer. Pengantar Studi Hadts, BKS-PTAIS Riau-Kepri, (Cetakan Kedua, 2010), hal. 69.
[13] Tadlis adalah kata kerja jadian (masdar) dari kata kerja dallasa. Menurut bahasa, tadlis berarti penipuan atau penyembunyian cacat. Jadi mudallas berarti yang terdapat di dalamnya tipuan atau cacat.
[14]Abdul  Madjid Khon, Ulumul Hadis,( Jakarta: AMZAH, 2010), hal. 179.
[15] Misalnya periwayat yang memiliki kunyah Abu Bakar dalam kitab rijal al-Hadis ada lebih dari enam puluh orang. Di antara mreka ada yang berstatus sahabat Nabi dan ada yang tidak berstatus sahabat. Periwayat yang tidak berstatus sahabat nabi itu ada yang berkualitas siqat dan ada yang tidak siqat. 



Baca Artikel Terkait: