-->

Minggu, 23 November 2014

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis merupakan suatu hal yang sangat urgen pada zaman ini. Karena dengannya kita dapat mengetahui sikap para ulama terhadap hadis dan usaha mereka dalam pejagaan dan pemeliharaan hadis pada tiap-tiap periodenya sampai akhirnya terwujud kitab-kitab hasil tadwin secara sempurna. Alasan lain, mengingat perkembangan nalar manusia semakin kritis dalam membicarakan wacana ini, terutama dari kalangan orentalis. Maka tidak ada alasan bagi umat Islam yang memiliki kesadaran untuk menangkal agama ini dari tuduhan-tuduhan yang tidak benar dari pemikir-pemikir yang memusuhi Islam untuk tidak mempelajari sejarah hadis dengan serius.
Secara historis perjalananan perkembangan hadis pada tiap-tiap periodenya mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang dihadapi oleh para ulama yang terlibat dalam pemeliharaan hadis. Sedangkan antara satu periode dengan periode lainnya tidaklah sama situasi dan problematika yang dihadapi. Sehingga menghasilkan kualitas dan kematangan keilmuan hadis yang berbeda pula.
Sedikitnya ada dua hal yang mendasari para ulama dalam memelihara warisan agama yang terkenal sebagai sumber kedua setelah al-Quran ini. Pertama, dorongan agama. Jika umat lain begitu perhatian terhadap warisan pemikiran mereka, maka umat Islam sebagai pengikut risalah Muhammad s.a.w. juga tidak kalah dalam memelihara warisan dari Nabi s.a.w. dengan cara periwatan, nukilan, hafalan dan mengamalkan isinya. Karena itu semua bagian dari eksistensinya dan hidup umat ini tidak berarti tanpa dengan agama.[1]
Kedua, dorongan sejarah. Dalam sejarah, peradaban manusia selalu dihadapkan dengan pertentangan dan halangan sehingga mendorong setiap bangsa untuk menjaga warisan mereka dari penyusupan yang menyebabkan terjadinya fitnah dan tipu muslihat. Begitu pula umat Islam yang menyadari betul bahwa agama ini sering dijadikan sasaran oleh musuh-musuh yang tidak seideologi. Dari sini kaum muslimin mendapat dorongan yang kuat untuk meneliti dan menyelidiki periwayatan hadis, dan mengikuti aturan-aturan periwayatan yang benar agar hadis selalu bersih dan tidak terkotori oleh fitnah.[2]
Berdasarkan pernyataan di atas maka penulis menilai perlu untuk mendalami kembali sejarah singkat perkembangan hadis dan khusus dalam makalah ini penulis akan menguraikan pembahasan tentang sejarah hadis pada masa tābi‘u al-tābi‘īn.

B.       Permasalahan
Berdasarkan pemaparan yang termuat dalam latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang akan ditemukan dan dianalisa dalam makalah ini lebih lanjut adalah:
1.                  Apakah definisi dari masa tābi‘u al-tābi‘īn ?
2.                  Bagaimanakah perkembangan hadis pada masa tābi‘u al-tābi‘īn ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Definisi Masa Tābi‘u al-Tābi‘īn
Secara bahasa, kata tābi‘ (تابع) mengandung makna ‘yang mengikut, khadam, dan sambungan’, sedangkan kata tābi‘īn adalah bentuk plural/jamak dari kata tābi‘. Secara istilah, tābi‘u al-tābi‘īn adalah orang Islam yang pernah berjumpa dengan tābi‘īn dan mati dalam keadaan Islam pula, atau mati membawa iman.[3] Berarti apabila tidak Islam atau mati dalam keadaan kafir maka tidak bisa dikatakan tābi‘u al-tābi‘īn namun dia adalah orang yang hidup di masa tābi‘u al-tābi‘īn saja. Berdasarkan pengertian ini dapat disimpulkan bahwa ada empat kelompok orang pada masa tābi‘u al-tābi‘īn  ini. Yakni pertama, tābi‘u al-tābi‘īn, kedua, orang islam yang hidup pada masa tābi‘u al-tābi‘īn, ketiga, orang yang murtad pada masa tābi’u al-tābi’īn, dan keempat, orang kafir pada masa tābi‘u al-tābi‘īn.
Menurut Abdul Majid Khon periode tābi‘u al-tābi‘īn adalah mereka yang hidup pada abad III H, yakni generasi terakhir untuk penyebutan ulama salaf atau mutaqaddimīn. Sedangkan ulama pada abad berikutnya, abad ke IV H dan setelahnya disebut ulama khalaf atau mutakhkhirīn. Pada periode abad ke-3 H ini disebut masa kejayaan atau masa keemasan sunnah, karena pada masa ini kegiatan rihlah mencari ilmu dan sunnah serta pembukuannya mengalami puncak yang luar biasa. Seolah-olah pada periode ini seluruh hadis telah terhimpun semuanya dan pada abad berikutnya tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Alasan lain periode ini dikatakan masa yang paling sukses dalam pembukuan hadis adalah dikarenakan pada masa ini ulama hadis telah berhasil memisahkan hadis Nabi s.a.w. dari yang bukan hadis, atau hadis Nabi s.a.w. dari perkataan sahabat dan fatwanya, dan telah berhasil pula mengadakan penyaringan yang sangat teliti tentang apa saja yang dikatakan Nabi s.a.w. sehingga telah dapat dipisahkan mana hadis yang ṣaḥīḥ dan mana yang tidak.[4]
B.       Perkembangan Hadis Pada Masa Tābi‘u al-Tābi‘īn
Periode ini berlangsung sejak masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun sampai pada awal pemerintahan Khalifah al-Muqtadir dari Kekhalifahan Dinasti Abbasiyah (sekitar tahun 201-300 H).[5] Pada periode ini para ulama hadis memusatkan perhatian mereka pada pemeliharaan keberadaan dan kemurnian hadis-hadis Nabi s.a.w., sebagai antisipasi mereka terhadap kegiatan pemalsuan hadis yang semakin marak.[6]
  1. Kegiatan Pemalsuan Hadis
Pada abad kedua hijriah perkembangan ilmu pengetahuan Islam pesat sekali dan telah melahirkan para imam mujtahid di berbagai bidang. Pada dasarnya para imam mujtahid tersebut saling menghargai pendapat yang lain meskipun ada perbedaan dalam beberapa hal di antara mereka. Akan tetapi, para pengikut masing-masing imam, terutama setelah masuk abad ketiga hijriah, berkeyakinan bahwa pendapat gurunyalah yang benar. Sehingga menimbulkan  perselisihan yang meruncing dan akhirnya muncullah hadis-hadis palsu dalam rangka mendukung mazhabnya dan menjatuhkan mazhab lawannya.[7]
Penciptaan hadis-hadis palsu tidak hanya dilakukan oleh mereka yang fanatik mazhab, tetapi momentum pertentangan mazhab itu juga dimanfaatkan oleh kaum zindik yang sangat memusuhi Islam untuk menciptakan hadis-hadis palsu dalam rangka merusak ajaran Islam dan menyesatkan kaum muslimin. Kegiatan pemalsuan hadis ini juga ikut disemarakkan oleh para pembuat kisah, dalam hal ini mereka bertujuan untuk menarik para pendengarnya.[8]
  1. Upaya Melestarikan Hadis
Di antara kegiatan yang dilakukan oleh para ulama hadis masa tābi‘u al-tābi‘īn dalam rangka memelihara kemurnian hadis Nabi s.a.w. adalah:
1.      Perlawatan ke daerah-daerah; dalam rangka menghimpun hadis-hadis yang belum terjangkau pada masa sebelumnya, maka pada abad ketiga hijriah para ulama hadis melakukan perlawatan mengunjungi para perawi hadis yang jauh dari pusat kota. Hal tersebut seperti yang dilakukan oleh Imam Bukhari yang telah melakukan perlawatan selama 16 tahun dengan mengunjungi kota Mekah, Madinah, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mesir, Damsyik, Naisabur, dan lain-lain. Kegiatan seperti ini selanjutnya diikuti oleh Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmizi, Nasa‘i, dan lain-lain.
2.      Pengklasifikasian hadis kepada: marfū‘, mauqūf, dan maqṭū‘; pada permulaan abad ketiga hijriah telah dilakukan pengelompokkan hadis kepada marfū, yaitu hadis yang disandarkan kepada Nabi s.a.w., mauqūf, yang disandarkan kepada sahabat, dan maqṭū‘, yang disandarkan pada tābi‘īn.
3.      Penyeleksian kualitas hadis dan pengklasifikasiannya kepada: ṣaḥīḥ, ḥasan, dan ḍa‘īf.[9]
Berdasarkan tiga upaya yang dilakukan oleh ulama hadis dari kalangan tābi‘u al-tābi‘īn ini, maka terlihat jelaslah bagi kita bahwa pada periode ini upaya pengkodifikasian hadis lebih mendekati sempurna berbanding masa sebelumnya yang terbatas hanya pada daerah-daerah perkotaan saja dari wilayah kekuasaan Islam dan belum masuk ke pelosok-pelosok desa. Padahal para ulama hadis dari kalangan tābi‘īn menyebar ke semerata tempat.
3.                              Bentuk Penyusunan Kitab Hadis Pada Masa Tābi‘u al-Tābi‘īn
Ada tiga bentuk penyusunan hadis pada periode ini, yaitu:
  1. Kitab ṣaḥīḥ. kitab ini hanya menghimpun hadis-hadis ṣaḥīḥ, sedangkan yng tidak ṣaḥīḥ tidak dimasukkan ke dalamnya. Bentuk penyusunannya adalah berbentuk muṣannaf, yaitu penyajian berdasarkan bab-bab masalah tertentu sebagaimana metode kitab-kitab fikih.
  2. Kitab Sunan. Di dalam kitab ini selain dijumpai hadis-hadis ṣaḥīḥ, juga dijumpai hadis ḍaīf dengan syarat tidak terlalu lemah dan tidak munkar. Terhadap hadis yang ḍaīf  ini umumnya dijelaskan sebab ke- ḍaīf-annya. Bentuk penyusunannya adalah muṣannaf, dan hadis-hadis terbatas pada masalah fikih.
  3. Kitab musnad. Di dalam kitab ini hadis-hadis disusun berdasarkan nama perawi pertama. Urutan nama perawi pertama ada yang berdasarkan urutan kabilah, seperti mendahulukan Bani Hasyim dari yang lain, ada yang berdasarkan nama sahabat menurut urutan waktu memeluk Islam, dan ada pula yang berdasarkan urutan huruf hijaiyah dan lainnya.[10]
4.                              Tokoh-Tokoh Hadis Pada Masa Tābi‘u al-Tābi‘īn
Di dalam bukunya Ringkasan Sejarah Perkembangan Ilmu Hadis dan Tokoh-Tokohnya, Anonim menyebutkan ada 10 orang ulama hadis terkemuka pada masa tābi‘u al-tābi‘īn, di antaranya:
  1. Malik bin Anas
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir al-Yamani. Ia memang berasal dari Yaman, panggilannya adalah Abu Abdillah. Malik bin Anas lahir pada tahun 92 H. sejak kecil ia belajar kepada para ulama kota Madinah. Gurunya yang pertama kali adalah Abdurrahman bin Hurmuz. Diceritakan bahwa ia menerima hadis dari 900 orang guru, 300 orang dari kelompok tābi‘īn dan 600 orang dari tābi‘u al-tābi‘īn. Kepandaiannya di bidang hadis amat terkenal, demikian juga kemampuannya dalam melakukan penggalian hukum. Ia kemudian dikenal sebagai peletak dasar dari madzhab maliki. Uniknya, Imam Maliki tidak pernah bepergian ke kota lain untuk mencari ilmu, melainkan ia hanya menimba  dari para ulama Hijaz yang tinggal di Madinah.
  1. Waqi‘ bin al-Jarrah
Ia adalah Abu Sufyan bin Waqi‘ bin al-Jarrah bin Malikh bin Adi, lahir di Kuffah pada tahun 127 H. ia pernah menerima hadis dari al-A’masyi, Hisyam bin Urwah, Abdullah bin Aun, al-Tsauri, Ibnu Uyaynah, dan lain-lain. Hafalannya yang kuat sangat membantunya menekuni ilmu hadis. Ahmad bin Hanbal pernah berkata “aku tidak pernah menyaksikan seorang ulama dalam hal ilmu, hafalan sanad sebagaimana Waqi‘”. Ia menghafal hadis, mendalami fikih dan ijtihad dan tidak pernah mencela seseorang. Beliau wafat pada tahun 197 H.
  1. Sufyan al-Tsauri
Ia adalah Abu Abdullah Sufyan bin Sa‘ad bin Masruq al-Tsauri, dilahirkan pada tahun 97 H. ia telah menerima hadis dari Abu Ishaq al-Suba‘i, Abdul Malik bin Umar, Amr bin Murrah dan lain-lain. Kepandaiannya bukan hanya dalam bidang hadis, ia dikenal ‘alim dan mahir dalam mengabil istinbāṭ. Karena itu, ia juga dikenal sebagai peletak dasar dari madzhab al-tsauri, madzhab ke enam setelah Madzhab Maliki, Hanafi, Syafi‘i, Hambali dan al-Auza‘i. Abu ‘Aṣim pernah berkata “al-Tsauri adalah amirul mukminin dalam bidang hadis”. Ibnu Mubarak berkata “aku telah menulis hadis yang bersumber lebih dari 100 orang guru, tetapi tidak ada guru yang lebih ‘alim dibandingkan dengan al-Tsauri”.
  1. Al-Auza‘i
Ia adalah abu amr ‘Abdurrahmān bin Amr al-Syāmī al-Dimasyqī, dilahirkan pada tahun 88 H. ia dikenal bukan hanya sebagai tokoh hadis, melainkan juga seorang fāqih, terutama di wilayah Syam. Penduduk Syam dan Maroko, sebelum bermadzhab Maliki, mereka lebih dahulu mengikuti Madzhab al-Auza‘i. ia menerima hadis dari Atha bin Abi Rabbah, Qatadah, Nafi‘, al-Zuhri, Yahya bin Abi Katsir, dan lain-lain. Ia wafat pada tahun 157 H di kota Beirut.
  1. Al-Laitsi
Ia adalah Abu al-Harits al-Laitsi bin Sa‘ad bin Abdurrahman al-Fahmi, dilahirkan tahun 93 H. ia dikenal sebagai imam bagi penduduk Mesir. Ia menerima hadis dari Atha bin Abi Rabbah, Abdullah bin Abi Malikah, Nafi Maula Ibnu Umar, Sa‘id al-Maqbari, al-Zuhri, Yahya al-Anshari, Ibnu Zubair, dan lain-lain. Al-Syafi‘i berkata “al-Laitsi bin Sa‘ad lebih fakih dibandingkan dengan Malik, hanya saja sahabat-sahabatnya tidak mengembangkan madzhabnya”.
  1. Al-syafi‘i
Ia adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi‘i bin al-Sa‘ib bin Ubaid bin Abdul Aziz bin Hisyam bin Abdul Muthalib bin Abdul Manaf. Ia dilahirkan pada tahun 150 H. di wilayah Ghuzzah. Tatkala berusia dua tahun, ayahnya wafat. Lalu ia dibawa ibunya ke kota Mekah. Bersama ibunya ia tinggal di tengah kabilah Hudzail selama 10 tahun. Di kabilah tersebut kemahirannya dalam ilmu bahasa terasah dengan sendirinya. Usia 15 tahun ia pergi ke Madinah untuk menimba ilmu kepada Imam Malik.[11]
Pada masa kekhalifahan Harun al-Rasyid ia pernah menjabat sebagai hakim atas rekomendasi dari Mus‘ab bin Abdullah al-Quraisyi[12]. Tidak lama kemudian ia kembali ke kota mekah. Namun pada tahun 195 H ia pergi manuju Iraq. Di sanalah ia bertemu dengan tokoh-tokoh seperti Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Hussein bin Ali al-Karabisi. Pada tahun 199 H ia pergi ke Mesir, dan bermukim di sana hingga wafat pada tahun 204 H.[13]

BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai main point dari makalah ini, yakni sebagai berikut:
1.      Secara istilah, tābi‘u al-tābi‘īn berarti orang Islam yang pernah berjumpa dengan tābi‘īn dan mati dalam keadaan Islam pula, atau mati membawa iman.
2.      Ada empat kelompok orang pada masa tābi‘u al-tābi‘īn  ini. Yakni pertama, tābi‘u al-tābi‘īn, kedua, orang islam yang hidup pada masa tābi‘u al-tābi‘īn, ketiga, orang yang murtad pada masa tābi’u al-tābi’īn, dan keempat, orang kafir pada masa tābi‘u al-tābi‘īn.
3.      Periode tābi‘u al-tābi‘īn adalah mereka yang hidup pada abad III H, yakni generasi terakhir untuk penyebutan ulama salaf atau mutaqaddimīn. Sedangkan ulama pada abad berikutnya, abad ke IV H dan setelahnya disebut ulama khalaf atau mutakhkhirīn. Pada periode abad ke-3 H ini disebut masa kejayaan atau masa keemasan Sunnah.
4.      Pada periode ini para ulama hadis memusatkan perhatian mereka pada pemeliharaan keberadaan dan kemurnian hadis-hadis Nabi s.a.w., sebagai antisipasi mereka terhadap kegiatan pemalsuan hadis yang semakin marak.
5.      Di antara kegiatan yang dilakukan oleh para ulama hadis masa tābi‘u al-tābi‘īn dalam rangka memelihara kemurnian hadis Nabi s.a.w. adalah: perlawatan ke daerah-daerah, Pengklasifikasian hadis kepada: marfū‘, mauqūf, dan maqṭū‘, dan Penyeleksian kualitas hadis dan pengklasifikasiannya kepada: ṣaḥīḥ, ḥasan, dan ḍa‘īf.

B.       Saran
Penulis menyarankan kepada civitas akademika yang menaruh konsentrasi seruis terhadap sejarah perkembangan hadis agar bisa melakukan penelitian yang lebih mendalam. Karena dalam makalah ini penulis hanya membatasi kajian pada pembahasan hadis di masa tābi‘u al-tābi‘īn.














DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid Khon. Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2010).

Anonim. Ringkasan Sejarah Perkembangan Ilmu Hadis dan Tokoh-Tokohnya (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2008).

Badri Khaeruman. Otentisitas Hadis: Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer (Bandung: Rosda Karya, 2004).

Idri. Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2013).

Maḥmud Yunus. Kamus Arab-Indonesia, terj. Abdurrahman al-Baghdadi (Jakarta: PT. Mahmud Yunus wa Dzirruyyah, 2010).

Manna’ al-Qaṭṭān. Pengantar Studi Ilmu Hadis, terj. Mifdhol Abdurrahman dari judul Mabāḥitsu fī ‘Ulūm al-Ḥadīts (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013).

Muhammad Dede Rudliana. Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadis dari Klasik Sampai Modern (Bandung: Pustaka Setia, 2004).

Munzier Suparta. Ilmu Hadis (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2014).

Nawir Yuslem. Ulumul Hadis (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001).

Yusuf al-Qarḍawi. Pengantar Studi Hadis. Terj. Dede Rodin dan Agus Suyadi Raharusun dari buku al-Madkhal li Dirāsat al-Sunnah al-Nabawiyyah (Bandung: Pustaka Setia, 2007).








[1] Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, terj. Mifdhol Abdurrahman dari judul Mabāḥitsu fī ‘Ulūm al-Ḥadīts (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013), 66.
[2] Ibid., 67.
[3] Maḥmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, terj. Abdurrahman al-Baghdadi (Jakarta: PT. Mahmud Yunus wa Dzirruyyah, 2010), 78.
[4] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2010), 56.
[5] Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2014), 92.
[6] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001), 133.
[7] Ibid., 134.
[8] Ibid., 134.
[9] Ibid., 135-136.
[10] Ibid., 136-137.
[11] Anonim, Ringkasan Sejarah Perkembangan Ilmu Hadis dan Tokoh-Tokohnya (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2008), 121-130.
[12] Beliau adalah seorang hakim di daerah Yaman pada saat itu dan yang telah banyak membantu al-Syafi‘i dalam hal keuangan.
[13] Anonim, Ringkasan Sejarah, 131.



Baca Artikel Terkait: