-->

Kamis, 22 Januari 2015

Bahwasannya kita mengetahui pada realitasnya sistem islam di dunia saat ini telah berkembang dan bermunculan sistem-sistem baru yang diterapkan. Sistem itu semisal sekularisme, dimana sistem ini sebenarnya bertentangan dengan paham Islam, karena disistem ini memisahkan antara pengetahuan dan syariat Islam. Pada pembahasan kali ini akan menjelaskan tentang sejarah munculnya sistem sekularisme ini, karena dibeberapa tempat dibelahan dunia telah menerapkan sistem sekularisme sebagai ideologinya. 


Dalam usaha pengembalian totalitas dan integralitas pemahaman dan pemaknaan islam ini, beberapa intelektual Islam telah berusaha mencari solusi yang signifikan dan akurat dengan mengonstruksi paradigma pemikiran Islam yang populer disebut Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Aspek yang terpenting yang perlu diIslamisasikan adalah pendidikan, yaitu dengan merombak sistem pendidikan Islam yang mengarah pada islamisasi ilmu.


A. Sekularisme


1. Pengertian sekularisme


Istilah sekuralisasi, dari kata latin saeculum, mempunyai arti dengan dua konotasi waktu dan lokasi: waktu menunjuk kepada pengertian sekarang atau kini dan lokasi menunjuk kepada pengertian dunia atau duniawi. Jadi saeculum berarti zaman ini atau masa kini dan zaman ini menunjuk kepada peristiwa-peristiwa di dunia ini, dan itu juga berarti peristiwa-peristiwa masa kini. Tekanan makna diletakkan pada suatu waktu atau periode tertentu di dunia yang dipandang sebagai suatu proses sejarah. Pengertian sekular menunjuk kepada kondisi dunia pada waktu, periode, zaman tertentu ini. Dari sini telah dapat kita lihat benih makna yang mudah dengan sendirinya berkembang secara alami dan logis kedalam konteks ekstensial dunia yang selalu berubah dimana terjadi paham relativitas nilai-nilai kemanusiaan.[1] 

Sekularisme adalah satu yang menyatakan bahwa akhlak dan pendidikan seharusnya tidak berlandaskan pokok-pokok ajaran agama dan juga satu pergerakan sosial yang bertujuan mengalihkan aktifitas manusia dari orientasi ukhrawi (kehidupan akhirat) kepada orientasi duniawi semata.[2] 


2. Sejarah Munculnya Sekularisme

Situasi kehidupan agamis yang timpang di negara-negara nasrani barat menjadi lingkungan potensial dan lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya pohon sekularisme. Bangsa perancis pasca peristiwa revolusi nya yang terkenal merupakan negara pertama yang melandasi undang-undang negara diatas dasar-dasar pemikiran sekular. Sebenarnya, peristiwa munculnya pemikiran sekular dan keterikatannya dengannya beserta segala apa yang terkandung di dalamnya baik penyimpangan dan pemisahan agama dari semua ruang hidup, ditambah lagi kebencian terhadap agama, dan permusuhan terhadap pemeluknya, hal ini bukanlah suatu kejadian baru dan janggal. 


Yang demikian, karena agama yang mereka anut saat itu tidak mencerminkan wahyu Allah yang benar, yang telah Dia wahyukan kepada hamba dan rasul-Nya Isa bin Maryam Alaihissalam. Sejatinya agama tersebut telah tercemari oleh usaha-usaha pemutarbalikkan dan pemalsuan untuk mengganti ajaran agama dengan merubah, menambahi dan mengurangi. Diantara akibat perbuatan itu adalah bahwa agama adalah gubahan tersebut bertolak belakang dengan kemaslahatan manusia dalam kehidupan dunia dan interaksi sosial diantara mereka. Sekaligus bertentangan dengan kebenaran-kebenaran ilmu pengetahuan yang tetap dan telah teruji. Gerejapun sebagai pihak yang berwenang melaksanakan agama menurut penganut nasrani belum merasa puas dengan para pendeta dan rahib-rahibnya dalam melakuakan pemutarbalikkan dan pergantian agama.[3]


3. Bentuk-bentuk Sekularisme 


Sekularisme memiliki dua model dan tiap model lebih buruk dari yang lain:


a. Sekularisme yang menyompang (atheis sekular). 


Yakni yang mengingkari agama secara keseluruhan. Menolak keberadaan Allah Sang Pencipta, alam semesta serta tidak mengakui sedikitpun akan hal tersebut. Bahkan sebaliknya, memerangi dan memusuhi orang yang hanya sekedar menyeru kepada keimanan terhadap Allah. Sekularisme sekalipun telah durhaka dan ingkar kepada agama mereka masih sempat membanggakan kekufurannya dengan tidak merasa bahwa mereka kufur. Hanyasanya hukum kekufurannya adalah satu hal yang jelas dan mudah dimata umat Islam. Sehingga permasalannyapun tidak tersamar bagi muslimin Alhamdulillah dan tidak ada dari seorang musliminpun yang sudi menyambutnya kecuali yang seseorang yang ingin berpisah dengan agamanya. Bahaya sekularisme model ini dari sisi pengelabuhan terhadap kaum awam muslimin adalah ringan, meskipun memiliki bahaya yang besar dari sisi perlawanannya terhadap agama, memusuhi mu’minin, memerangi dan menyakiti mereka dengan siksaan, kurungan atau pembunuhan.


b. Sekularisme yang tidak menyimpang ialah paham sekularisme yang tidak mengingkari keberadaan Allah serta mempercayainya sebatas teori saja. Akan tetapi tetap menolak campur tangan agama dalam urusan-urusan dunia dan menyuarakan pemisahan agama dari kehidupan dunia. Model ini lebih berbahaya dari model yang pertama dari sisi kemampuannya menyesatkan dan mengelabui kaum awam muslimin. Tidak diingkarinya akan keberadan Allah dan tidak trasparansinya perlawanan mereka terhadap kehidupan agama bisa menutupi hakikat seruan kufur ini dimata mayoritas kaum awam. Sehingga mereka tidak mampu melihat secara jelas akan kekufuran yang ada pada mereka akibat sedikitnya pemahaman dan wawasan mereka yang benar terhadap agama.[4] Hakikat sekularisme dalam berbagai bentuk dan variannya adalah ideologi menyimpang, baik yang mengingkari keberadaan Allah ataupun yang tidak mengingkarinya.


4. Pengaruh Sekuralisme di dunia Arab dan Islam 


a. Islam adalah agama dunia dan akhirat, yaitu agama yang membawa kebahagiaan dan kesejahteraan manusia, materil dan spritual, di dunia dan di akhirat


b. Setiap aktivitas muslim disegala bidang kehidupan, baik material maupun spritual, merupakan ibadah atau pengabdian kepada Allah SWT. Oleh karena setiap bidang kehidupan dan penghidupan manusia muslim merupakan arena ibadah atau pengabdian kepada Allah SWT.


c. Historisme, sekularisme sebagaimana juga marxisme timbul dibarat sebagai reaksi terhadap kristianisme pada akhir abad pertengahan. Sekularisme adalah satu isme dalam kultur yang memiliki ciri berikut:


1) Secara sadar mengonsentrasikan atau memusatkan perhatian semata-mata kepada masalah duniawi.


2) Dengan sadar pula mau mengasingkan dan menyisihkan peranan agama atau wahyu dan tuhan dari berbagai segi kehidupan.


3) Islam, sebagai agama dunia dan akhirat, sangat memperhatikan masalah duniawi. Akan tetapi masalah duniawi ini tidak dapat dilepaskan dari masalah ukhrawi, tak dapat dipisahkan dari agama atau wahyu dan tuhan. Islam dapat sejalan dengan sekularisme dalam hal sama-sama memperhatikan duniawi, akan tetapi, Islam secara prinsip menolak sekularisme karena yang terakhir ini dalam rangka memusatkan perhatiannya kepada masalah dunia itu. Dilain sisi, Islam adalah agama yang harmoni, agama keseimbangan antara dunia dan akhirat.[5]


B. Integrasi

1. Pengertian Integrasi


Integrasi adalah memadukan atau menghubungkan.[6]


Tidak semua pengetahuan dikategorikan ilmu, sebab pengetahuan itu sendiri sebagai segala sesuatu yang diketahui dan datang sebagai hasil dan aktivitas panca indra untuk mengetahui, yaitu terungkapnya suatu kenyataan ke dalarn jiwa sehingga tidak ada keraguan terhadapnya, Sedangkan ilmu menghendaki lebih jauh, luas, dan dalam pengetahuan.


Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan, dan pengetahuan merupakan unsur kebudayaan. Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantung dan saling memengaruhi. Di satu pihak pengembangan ilmu dalam suatu masyarakat tergantung dari kebudayaan. Ilmu dan kebudayaan itu terpadu secara intim dengan seluruh struktur sosial dan tradisi kebudayaan.[7]


Seni sebagai penggerak budaya peradaban, di mana seni sebagai tendensi kreatif urnum untuk membentuk dunia manusia menjadi lebih manusiawi akhirnya rnenghasilkan rasa ‘keberadaban’, suatu tolok ukur umum evolusi kemanusiaan. Seni sebagai sistem nilai, semakin mempertajam kesadaran makna dan nilai di balik ‘bentuk’, bentuk alam Semesta, bentuk perilaku manusia, tapi juga bentuk sistem dogma, bentuk kehidupan bersama.[8]


Kebudayaan sebagai sistem yang merupakan hasil adaptasi pada lingkungan alam atau suatu sistem yang berfungsi untuk mempertahankan kehidupan masyarakat, yang merupakan hasil dan manusia yang merupakan makhluk yang beradab sebab dianugerahi harkat, martabat, serta potensi kemanusiaan yang tinggi. Manusia memiliki padanan istilah yang dikenakan dengan masyarakat madani atau masyarakat sipil (civil society, nurcliolis iizadjid), masyarakat beradab atau berkeadaban, masyarakat madani (masyarakat yang teratur dan beradab), dan peradaban hanya terwujud dalam masyarakat teratur.


Agama dapat berfungsi sebagai kritik seni (budaya) sekaligus sebagai kritik ilmu, bahwa fungsi kritis agama harus dilakukan dengan menjauhi sikap yang sifatnya totaliter. Agama (agamawan) dalam menerangkan fungsi kritisnya secara konkret harus memiliki pengetahuan empiris yang tangguh. Agama tidak bisa bersifat politis dalam pengertian hanya membatasi dari pada masalah ritualistik dan moralitas dalam kerangka ketaatan individu kepada Tuhannya, tetapi perlu terlihat ke dalam proses transformasi sosial, sehingga fungsi agama bisa tercapai dalam konteks seni (budaya) dan ilmu pengetahuan.


Wujud peradaban moral dan agama merupakan nilai-nilai dalam masyarakat dalam hubungannya dengan kesusilaan. Aturan, ukuran, atau pedoman yang digunakan dalarn menentukan sesuatu benar atau salah, baik atau buruk yang dikembangkan dalam perspektif ilmu pengetahuan dan dikemas dalam nilai-nilai seni dan keindahan agar dia maslahat bagi kemanusiaan. Nilai dan norma moral tentang apa yang baik dan buruk yang menjadi pegangan dalam mengatur tingkah laku manusia ini harus terintegrasi dalam ilmu pengetahuan agar dia bernilai dan dapat memandu manusia menjadi berbudaya dan berperadaban.[9]


2. Latar Belakang Perlunya Integrasi Ilmu-Ilmu Agama Islam dan Ilmu Umum

Maraknya kajian dan pemikiran integrasi keilmuan dewasa ini yang santer didengungkan oleh kalangan intelektual Muslim, antara lain Naquib Al-Attas dan Ismail Raj’i Alfaruqi, tidak lepas dari kesadaran berislam ditengah pengumulan dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu teknologi. Misalnya. Ia berpendapat bahwa umat Islam akan maju dan dapat menyusul Barat manakala mampu mentransformasikan ilmu pengetahuan dalam memahami wahyu, atau sebaliknya, mampu memahami wahyu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.[10] Integrasi keilmuan Al-farabi dimanifestasikan dalam hierarki keilmuan yang dibuatnya. Ia menyebut tiga kriteria dalam penyusunan hierarki. Pertama, berdasarkan kemuliaan subjek ilmu. Dari sini, Alfarabi memandang bahwa astronomi memenuhi kriteria materi subjek yang mulia karena berkaitan dengan benda-bendayang paling sempurna,yaitu benda-benda langit atau benda-benda angkasa. Kedua kedalaman bukti-bukti yang didasarkan atas pandangan tentang sistematika pernyataan kebenaran dalam berbagai ilmu yang ditandai oleh perbedaan derajat kejelasan dan keyakinan. 


Menurut kriteria ini, metode penemuan dan pembuktian kebenaran beberapa lebih sempurna dan lebih hebat ketimbang ilmu-ilmu lainnya. Ketiga, berdasarkan besarnya mamfa’at suatu ilmu ini berkaitan secara langsung dengan masalah hukum dan etika. Klasifikasi Ilmu Al-Farabi, karena bukan didasarkan atas ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, tetapi berdasarkan ketiga faktor kriteria diatas, maka yang terjadi adalah upaya pengintegrasian ilmu pengetahuan.[11] 


C. Islamisasi Ilmu


Semenjak perang dunia pertama dan kedua kekhawatiran terhadap eksese-ekses yang mungkin timbul dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sudah mulai muncul kepermukaan. Hal ini disebabkan karena selain iptek membawa mamfaat dan berkah, juga membawa kutukan dan malapetaka. Perang dunia pertama menghadirkan bom kuman sebagai ilmu kimia dan perang dunia kedua memunculkan bom atom sebagai produk fisika. Dengan peralatan yang canggih kedua perang ini telah menimbulkan kerugian dan banyak korban, baik fisik, maupun moral.


Kenyatan diatas telah mencemaskan dan menimbulkan pertanyaan, untuk apa sebenarnya ilmu itu harus digunakan?dimana batas wewenag penjelajahan keilmuan harus diarahkan ? pertanyaan seperti ini manandakan ilmu pengetahuan mulai dikaitkan dengan soal moral atau sesuatu yang seharusnya, dan hal itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Dalam persoalan ini kaum ilmu pengetahuan terpecah kepada dua kelompok.


Kelompok pertama menghendaki bahwa ilmu pengetahuan harus bersifat netral. Dalam hal ini tugas ilmu pengetahuan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk menggunakannya. Kelompok kedua sebaliknya menghendaki agar netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisika keilmuan, sedangkan dalam penggunaanya, bahkan pemilik objek penelitian, kegiatan harus berasaskan moralitas.[12] 


1. Pengertian Islamisasi Ilmu


Islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-faruqi adalah mengislamkan disiplin-disiplin ilmu atau lebih tepat menghasilkan buku-buku pegangan pada level universitas dengan menuangkembali disiplin-disiplin ilmu modern dengan wawasan (vision) Islam.[13] Dengan demikian disiplin-disiplinyang diislamisai tersebut benar-benar berlandaskan prinsip-prinsip Islam dan tidak lagi berupa ilmu pengetahuan yang diadopsi begitu saja dari barat dengan sifatnya sekuler materialistik, rasional empirik yang terceraikan dari bahkan kontradiksi dengan nilai-nilai Islam.


Dari defenisi di atas dapat diambil pengertian bahwa yang menjadi subtansi sentral dari program Islamisasi ilmu pengetahuan adalah meletakkan prinsip-prinsip tauhid sebagai landasan epistimologi ilmu pengetahuan.


Ide Islamisasi Ilmu pengetahuan yang digulirkan oleh al-Faruqi tersebut merupakan ide besar yang sempat memukau para ilmuwan muslim. Namun demikian ide tersebut juga tidak lepas dari respons yang variatif, baik yang protagonis maupun yang antagonis dari kalangan intelektual muslim dunia, termasuk Indonesia.


A.M saifuddin memberikan respon positif terhadap Islamisasi Ilmu pengetahuan, menurutnya Islamisai ilmu pengetahuan merupakan suatu keharusan bagi kebangkitan umat Islam, karena sentral kemunduran dewasa ini adalah keringnya ilmu pengetahuan dan terposisiskannya pada posisi yang lebih rendah dari pada masalah agama yang lain, hal ini menurutnya berkosekuensi pada ignorance bahkan Illuminasi terhadap sains.[14]


Berbeda dengan al-Faruqi, Hanna Djumhana berpandangan bahwa Islamisasi Ilmu pengetahuan tidak perlu dan tidak bisa dilakukan, sebab diferensiasi epistimologis antara sains dan agama. Agama bersumber dari keimanan atau wahyu yang bercorak metafisik sedangkan sains bersumber dari produk akal dan intelektualitas manusia yang cenderung bercorak empirik rasional. Dengan demikian menurut hanna, Islamisasi ilmu pengetahuan mempunyai konotasi ketergantungan agama dan wahyu pada kebenaran sains. Dia lebih setujudengan usaha islamisai saintis.[15]


2. Landasan Filosofis Islamisasi Ilmu Pengetahuan


Ketika kita membicarakan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, maka kita bisa melepaskan diri dari pembahasan filsafat ilmu. Dalam kajian filsafat, kita mengenal tiga cabang kajian, yaitu: ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Islamisasi Ilmu pengetahuan juga diarahkan pada cabag-cabang ini.


a. Ontologi


Cabag filsafat ini membahas tentang “apa itu realitas”. Dalam hubuangannya dengan ilmu pengetahuan, maka filsfat ini membahas tentang apa sebenarbya yang bisa dikategorikan sebagai obyek ilmu. Mengingat obyek ilmu pengetahuan adalah fenomena alam, maka ontologi berkaitan dengan pemilihan fenomena-fenomena lam yang bidang kajian ilmu pengetahuan.


b. Epistimologi


Cabang filsafat ini membahas masalah metodologi sains. Bagaimana? Dalam sains barat satu-satunya jalan untuk mendapat sains adalah melalui metode ilmiah, dengan pilar utamanya rasionalisme dan empirisme. Tokoh pertama metode ilmiah ini adalah Rene Descartes. Ia menekankan bahwa sumber pengetahuan yang didapat dengan akal dan dengan metode deduktif yang memenuhi syarat ilmiah. Sedangkan yang kedua tokoh utamanya Francis Bacon menekankan, bahwa pengalaman empiriklah yang menjadi sumber pengetahuan. Apa-apa yang bisa didapat melalui eksperimen empirik dengan metode induktif itulah yang dikategorikan ilmiah. Sains barat jelas menafikan pengalaman-pengalaman keagamaan yang berdasarkan keimanan, dan tidak menyisakan tempat bagi pengetahuan yang bersumber dari wahyu.


Epistimologi islam berbeda dengan barat. Ismail Raji al-faruqi berusaha meletakkan fondasi epistimologi seluruh ilmu pengetahuan harus dilandaskanpada nilai-nilai yang bersumber dari tauhid.

1) Keesaan Allah SWT


Keesaan Allah SWT adalah prinsip yang paling fundamental bagi Islam dan segala sesuatu yang berifat Islami. Meyakini keesaan Allah SWT berarti meyakini bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.


Dalam prespektif Islam, Allah SWT adalah sebab (cause) yang pertama dan terakhir dari segala sesuatu. Sifat dan aktivitasnya adalah prinsip-prinsip konstutif regulatif bagi seluruh pengetahuan dengan berbagai corak dan variasi obyeknya, mulai yang berupa mikrokosmos dari atom sampai dengan yang berupa makrokosmos dari bintang-bintang. Obyek pengetahuan secara materiil memang disebabkan oleh anteseden yang berupa unsur-unsur atau situasi yang menghasilkan obyek tersebut. Tetapi aktualisasi dari hukum kausal yang menjadikan obyek tersebut secara hirarchis timbul dari hukum obyek-obyek lain yang uncuntable jumlahnya yang mungkin diakibatkankan oleh unsur-unsur atau situasi-situasi tersebut atas inisiatif Allah SWT. Begitu juga setiap obyek pengetahuan adalah penyempurnaan tujuan yang dikehendaki Allah SWT.


Dengan prinsip yang pertama inial-Faruqi tanpaknya berusaha meletakkan landasan universalitas dan transendensi Allah SWT sebagai sebsb tunggal bagi seluruh obyek pengetahuan yang harus diteliti.


2) Kesatuan alam semesta


Sebagai konsekuensi keesaan Allah SWT, seorang muslim harus meyakini akan kesatuan ciptaanNya, dalam artian alam semesta beserta isinya ini diciptakan oleh Allah SWT semata dan tidak mungkin adanya campur tangan pihak lain.


3) Kesatuan kebenaran


Secar faktual bagaimanapun akal memiliki illusi dan penyimpangan serta ketidakpastian. Daya kritis akal telah banyak memberikan sumbangan besar, tetapi mengenai kebenaran dan realita tertinggi akal masih tetap membutuhkan dukungan dari sumber yang subtansial.


4) Kesatuan hidup


Menurut Islam manusia didunia ini memiliki dua jabatan sekaligus yaitu sebagai khalifah (wakil Allah dimuka bumi) dan sebagai ‘abd (hamba).


c. Aksiologi


Aspek ini menyangkut tujuan diciptakan sains, dengan kata lain membahas maslahat dan madarat pengembangan ilmu. Dalam sains Barat, aspek ini dipertimbangkan dengan pragmatis- materialistis. Artinya hanya mencari keuntungan-keuntungan duniawi semata.[16]


d. Tugas dan langkah-langkah dalam proses Islamisasi pengetahuan


Seperti telah dijelaskan bahwa banyak hal yang perlu dilakukan dalam proses islamisasi pengetahuan. Diantaranya ialah memadukan sistem pendidikan islam dengan sistem pendidikan moderen. Debgan perpaduan dua sistem di atas menurut al-Faruqi diharapkan akan lebih banyak yang bisa dilakukan dari sekedar memakai cara-cara sistem Islam (yang selama ini) dan cara-cara otonom sistem sekuler, maksudnya pengetahuan islam akan menjadi pengetahuan tentang sesuatu yang langsung berhubungan dengan kehidupan kita sehari-hari di dunia ini, sementara pengetahuan modern akan bisa dibawa dan dimasukan kedalam kerangka sistem islam.


Menurut al-Faruqi dia menyusun dua belas langkah praktis seperti berikut :


Langkah pertama, adalah mengasai disiplin ilmu modern dengan membuat kategorisasi. Kategorisasi ini dibuat dengan melakukan pemilahan terhadap setiap disiplin ilmu pada tingkat kemajuannya di barat sekarang menjadi kategori-kategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problema-problema dan tema-tema. Pemilahan dan penguraian ini harus mencerminkan daftar isi sebuah buku atau silabus kuliah-kuliah disiplin ilmu tersebut seperti yang harus dikuasai seorang mahasiswa tingkat sarjana.


Langkah kedua, melakukan survei terhadap setiap disiplin ilmu. Survei ini diikuti dengan membuat esai-esai yang menggambarkan asal usul setiap ilmu, perkembangan dan pertumbuhan metodologinya, perluasan cakrawala wawasannya serta sumbangan-sumbangan yang diberikan oleh tokohnya.


Langkah ketiga, adalah menguasai khazana islam. Langkah ini sangat penting, karena wawasan ilmiah para ilmuwan islam harus dijadikan titik awal dalam usaha mengislamisasikan ilmu-ilmu modern.


Langkah keempat, adalah menguasai khazana ilmiah Islam pada tingkat analisa. Analisa ini dilakukan terhadap wawasan Islam para ilmuwan muslim terdahulu, gagasan-gagasan mereka, serta karya-karya mereka dengan memperhatikan faktor-faktor sosiokultural dan sosiopolitik yang mereka hadapi.


Langkah kelima, adalah menentukan relefansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu.


Langkah keenam, melakukan survei terhadap permasalahan yang dihadapi umat Islam baik dalam masalah-masalah politik, sosial, ekonomi, intelektual, budaya, moral dan spritual.


Langkah ketujuh, adalah melakukan survei terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat Islam. Langkah ini merupakan konsekuensi dari universalisme Islam yang menghendaki kesejahteraan bukan untuk umat Islam saja melainkan untuk seluruh umat manusia didunia.


Langkah kedelapan, adalah melakukan analisa kreatif dan membuat sintesa.


Langkah kesembilan, adalah menuangkan kembali disiplin ilmu modern kedalam kerangka Islam dengan membuat buku daras tingkat unuversitas.


Langkah kesepuluh, adalah menyebarluaskan ilmu-ilmu yang telah diIslamisasikan semua produk dan hasil rencana kerja tersebut harus secara resmi disajikan disemua perguruan tinggi muslim dunia dengan permintaan agar mereka mempertimbangkan produk tersebut sebagai bahan bacaan wajib di fakultas yang bersesuaian.[17] 

A. Kesimpulan 


Sekularisme merupakan masalah berat yang sedang dihadapi umat islam saat ini. Sebab, dengan perkembangan dan kemajuan zaman serta kemajuan dari sarana informasi seperti media cetak dan media elektronik serta gelombang informasi yang telah diperkirakan sebelumnya. Sehingga pengaruh suatu paham cepat sekali untuk mengenai tubuh umat manusia khususnya umat islam dimanapun mereka berada terlebih di era globalisasi. Karena itu, cara yang paling baik untuk menghadapi masalah tersebut adalah dengan mengkaji atau memahami ajaran islam dengan sebaik-baiknya dan ajaran islam tersebut diajarkan sejak dini agar ajaran agama bisa mengatur kehidupan.


Hal yang diajarkan khususnya ajaran yang bersumber dari al- qur’an dan as-sunah maupun ajaran islam yang bersumber dari paham para ulama atau ijtihad para ulama sepanjang sejarah perkembangan islam saat ini terutama yang disebut yaitu pemikiran umat islam yang memenuhi syarat yang terangkum dalam kebudayaan islam harus kita pelajari melalui suatu pendekatan sosio humaniora yang telah diterangkan dalam pembahasan, kritis-analis dan dengan kepala dingin. 


Dalam pandangan Islam, Ilmu merupakan satu perantara untuk memantapkan dan menguatkan iman. Iman hanya akan bertambah dan menguat, jika disertai. Albert Einstein mengatakan bahwa “ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmuadalah umpuh.


Sejalan dengan itu Islamisasi Ilmu Pengetahuan perlu ditindaklanjuti karena sesuai dengan konsep, prinsip metodologi yang jelas yaitu berlandaskan ketahuidan dan keimanan serta memiliki rencana kerja mengingat keterpurukan dunia islam saat ini ditingkat yang paling parah. Sehingga perlu adanya pembaharuan salah satunya adalah dibidang pendidikan. Dimana pendidikan kita harus diarahkan pada keimanan yang merupakan core dari gagasan tersebut yang menyebutkan lima kesatuan yaitu kesatuan tuhan, kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan, kesatuan kehidupan dan kesatuan kemanusiaan. Yang kemudian diaplikasikan dengan berbagai langkah-langkah secara global salah satunya adalah menguasai ilmu-ilmu pengetahuan modern dan menguasi kembali warisan islam yang selanjutnya harus di kaji diteliti dan dikritisi agar terpisah ilmu-ilmu pengetahuan yang bersifat sekuler dan atheis sehingga akan telihat jelas bahwa ilmu yang dihasilkan bersumber dari islam. selanjutnya diharapkan muncul ilmu-ilmu pengetahuan baru yang berparagidma islam. 


Namun masih terkendala dengan konsep kesatuan manusia dimana Penggagasnya menyarankan umat islam bersatu di bawah kepemimpinan yang satu. Hal ini masih banyak ditentang terutama oleh kelompok demokrasi.Dari hasil makalah kami yang singkat ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua umumnya kami pribadi. Dan segala yang baik datangnya dari Allah, dan yang buruk datangnya dari diri saya. Penyusun sadar bahwa makalah kami ini jauh dari kata sempurna, masih banyak kesalahan dari berbagai sisi, jadi kami harapkan saran dan kritik nya yang bersifat membangun, untuk perbaikan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA


Fauziah Nasution, Psikologi Umum, 2011 Fakultas Tarbiyah : IAIN SU


Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, (1981), Islam dan Sekuralisme, Bandung, Perpustakaan Salman ITB


Muhammad Syakir syarif, Bahaya Sekularisme, 1988, Solo, at-Tibyan


Endang Saifudddin Anshari, MA, Wawasan Islam, 2004 Jakarta, Gema Insani

Abu Ahmadi & Widodo Supriyono,Psikologi Belajar, 1991 Jakarta : Rineka Cipta


Mukhtar Latif, Orientasi ke arah Pemahaman Filsafat Ilmu, 2013 Jakarta: Kencana Premadia Group


Abudin Nata dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, 2005 Jakarta: PT Raja Grafindo Persada


Ilyas Husti dkk, Jurnal Ushuluddin, 2002 Pekanbaru, Balitbang Fakultas Ushuluddin


Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, terj. 1984 Anas Wahyudin, Bandung: Pustaka


A.M. Saifuddin, Islamisasi Ilmu pengetahuan Sebuah Keharusan Bagi Kebangkitan Umat Islam, 1989 dalam Majalah Ilmu dan Budaya


Hanna Djumhan Bustaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, 1997 Yogyakarta: Pustaka Pelajar 


C. Verhaak,et.al., Filsafat Ilmu Pengetahuan; 1982 Telaah Cara Kerja Ilmu-Ilmu, Jakarta:Gramedia



[1] Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, (1981), Islam dan Sekuralisme, Bandung, Perpustakaan Salman ITB, h. 19


[2] Muhammad Syakir syarif, (1988), Bahaya Sekularisme, Solo, at-Tibyan, h. 17 


[3] Ibid, h.21


[4] Ibid, h. 30


[5] Endang Saifudddin Anshari, MA, (2004), Wawasan Islam, Jakarta, Gema Insani, h. 184






[6] Roros Satti,Kamus Bahasa Indonesia 50 triliun, Surabaya, Tim Perpustakaan Agung Harapan, h. 102


[7] Mukhtar Latif, (2013), Orientasi ke arah Pemahaman Filsafat Ilmu, Jakarta: Kencana Premadia Group, h. 330


[8] Ibid, h. 330


[9] Ibid, h. 331


[10] Abudin Nata dkk (2005), Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, h. 146


[11] Ibid, h. 147-148


[12] Ilyas Husti dkk, (2002), Jurnal Ushuluddin), Pekanbaru, Balitbang Fakultas Ushuluddin, h.31


[13] Ismail Raji al-Faruqi,(1984)Islamisasi Ilmu Pengetahuan, terj. Anas Wahyudin, (Bandung: Pustaka), 35. 


[14] A.M. Saifuddin, (1989) Islamisasi Ilmu pengetahuan Sebuah Keharusan Bagi Kebangkitan Umat Islam, dalam Majalah Ilmu dan Budaya, h. 32


Hanna Djumhan Bustaman, (1997) Integrasi Psikologi dengan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h.33 


[16] C. Verhaak,et.al.,(1982), Filsafat Ilmu Pengetahuan; Tekaah Cara Kerja Ilmu-Ilmu, Jakarta:Gramedia, h.19


[17] Ilyas Husti dkk, (2002), h.41



Baca Artikel Terkait: