-->

Kamis, 20 Agustus 2015

Film Edukasi “Battle of Surabaya” Habiskan Biaya Rp 15 Milyar

MESKI bukan berlatarbelakang pendidikan sineas film, Sutradara Aryanto Yuniawan yang merupakan jebolan Teknik Informatika mampu membuat film animasi yang cukup spektakuler. Sebelumnya, ia aktif dan terlibat dalam pembuat film-film pendek.

Kepada Islampos, usai jumpa pers “Battle of Surabaya” di XXI Episentrum Kuningan, Jakarta, Ary, begitu ia akrab disapa, mengatakan film ini menggunakan pendekatan baru, tidak seperti film dokumenter atau biopic. Untuk menghindari banyak kontroversi, film “Battle of Surabaya” yang digarapnya disaji dengan cara yang menarik, menghiburm dan edukatif, khususnya mengenalkan dari sejarah kemerdekaan Indonesia kepada generasi muda.

“Banyak yang tidak tahu, bahwa ternyata Pertempuran di Surabaya merupakan perang terbesar sejak Perang Dunia ke-II. Bahkan gaungnya sampai ke Eropa. Radio BBC London pun memberitakan pertempuran tersebut secara dahsyat.”

Dikatakan Ary, ketika itu Belanda mengubah taktiknya, dari perang fisik menjadi perang diplomatic yang dipelopori oleh Van Mook tahun 1948. Dalam pertempuran di Surabaya, puluhan  ribuan dari milisi Indonesia gugur, begitu juga ribuan sekutu tewas. Dari peristiwa ini membuktikan, bahwa Pejuang Indonesia itu adalah pejuang yang pemberani.

Dalam film ini ada pesan edukasi yang disampaikan, seperti cinta kepada sesama manusia, menghargai jasa pahlawan, cinta kepada orang tua, dan perdamaian. “Harapannya, anak-anak Indonesia menjadi kreatif, mampu berpikir out the boxd, penuh inspiratif,” kata Ary.

Tidak main-main, proses pembuatan film “Battle of Surabaya” melibatkan 180 kru, dan menghabiskan biasa sebesar Rp. 15 Milyar untuk proses produksi selama tiga tahun. Biaya sebesar itu untuk membangun studio, namun belum termasuk biaya riset dan infrastruktur lainnya.

Potensi Animator Indonesia

Tentunya, pembuatan film animasi ini membutuhkan SDM yang cakap. Harus diakui, potensi orang Indoesia terhadap animasi sangat besar. Itulah sebabnya, beberapa animator yang dilibatkan dalam film ini diambil dari orang Indonesia yang pernah bekerja sebagai animator di perusahaan asing di Luar Negeri. “Potensi yang ada itu diperlukan wadah, didukung oleh  government,industri, komunitas dan maysrakat sendiri. Harus sinergis, tak bisa jalan sendiri-sendiri,” tukas Ary.

Ditanya soal kendala terbesar dalam pembuatan film ini, dikatakan Ary, kembali soal SDM. Ditambah lagi belum ada sinergi, antara pendidikan secara formal dengan apa yang mereka kerjakan di dunia industri. “Sementara untuk merekrut SDM yang ada, harus ditraining ulang dalam stardarisasi industri. Itulah sebabnya, terjadi penundaan dalam  penyelesaiaan film ini.”

Ary menyayangkan, potensi besar orang-orang Indonesia lebih senang bekerja sendiri. Dalam keahlian, banyak animator Indonesia yang jago, tapi ketika bergabung dengan sistem yang terorganisir, mereka kurang kompetitif, karenanya harus ditraining ulang.  Diperkirakan dari 10-15 orang yang lolos training hanya satu atau dua orang saja. Ke depan, Ary sedang mempersiapkan proyek film selanjutnya yang membidik penonton dari kalangan remaja.

Edukasi dari Film Battle of Surabaya dalah menyampaikan pesan positif, sekaligus mengenalkan sejarah Indonesia dengan dengan cara yang lebih menarik dan inspiratif. “Sebetulnya banyak generasi muda sekarang yang sangat ingin mengenal sejarahnya. Tapi, kita tahu, setiap kali berganti menteri, selalu berganti pula kurikulumnya. Jadi bergantung pada kebijakan government-nya. Setidaknya, generasi muda menjadi tahu background sejarah bangsanya, bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar,” ungkap Ary.

Ketika ditanya kenapa judul film itu menggunakan bahasa asing “Battle of  Surabaya” dan animasinya masih terpengaruh Jepang atau Anime Style? Menurut Ary, kita ingin menjadikan film ini lebih universal dan  mudah diingat. Selain itu, ia juga ingin menjembatani gap antara generasi tua dengan generasi masa kini.

“Harus diakui, kita masih mencari identitas animasi khas Indonesia dalam bentuk apa. Saat ini kita masih beradaptasi dengan masyarakat yang lebih mengenal anime, meski tidak anime 100 persen, tapi telah kita modifikasi,” jawabnya.

Ke depan tidak tertutup kemungkinan, Ary akan membuat film animasi dengan tema-tema kepahlawanan, seperti Imam Bonjol, Jenderal Sudirman, Cut Nya Din, Pangeran Diponegoro dan sebagainya.

“Orang Indonesia punya kemampuan dan menciptakan animasi yang cukup baik. Jika Cina punya image sendiri dalam film kungfunya, maka Indonesia tentu punya kekhasan lainnya. Selama film yang digarap nantinya harus mengedepankan nilai-nilai positif, edukatif, inspiratif, dan sekaligus menghibur,” tandas Ary bersemangat. [Desastian/Islampos]




Baca Artikel Terkait: