-->

Jumat, 02 Oktober 2015



Ilustrasi : Pemotongan sapi sebagai kurban. (foto: tempo.co)

Momen hari raya Idul Adha yang diagungkan umat Islam, ternyata jadi momen berharga bagi para misionaris Salibis untuk menghantam akidah Islam. Sedini mungkin, misionaris Kristen menyambut Idul Adha dengan menyebarkan artikel-artikel menyerang syariat Idul Qurban.

Sebulan sebelum hari raya Qurban, komunitas penginjil yang menamakan diri “Tim Isa dan Islam (TIDI)” merilis tulisan “Rahasia Ilahi Kurban Idul Adha” dalam situs resminya,www.####nislam.com. Dipaparkan hujatan bahwa kisah qurban dalam Al-Qur'an tidak valid, syariat Qurban sudah tidak relevan dan tidak dibutuhkan lagi oleh manusia.

Hujatan dimulai dengan mengklaim ibadah qurban sebagai kewajiban yang tidak adil karena tidak bisa dikerjakan oleh semua umat Islam:

“Idul Adha merupakan hari raya kedua bagi umat Muslim setelah Idul Fitri, disebut juga Hari Raya Kurban. Ketika Idul Adha tiba, seluruh umat Muslim, terutama bagi mereka yang mampu, akan memberi kurban. Satu orang wajib mempersembahkan satu kambing atau satu sapi untuk tujuh orang. Biasanya, hewan-hewan kurban ini akan dibagi-bagikan kepada fakir miskin, anak yatim, atau mereka yang dianggap berkekurangan secara ekonomi.... Bila kurban Idul Adha adalah amalan yang paling dicintai Allah, lalu bagaimana nasib pahala mereka yang tidak mampu berkurban?”
Kutipan itu hanya memamerkan kejahilan para penginjil Kristen terhadap ilmu perbandingan agama. Kalau tidak malas membaca, seharusnya ia tidak menyatakan bahwa hukum qurban dalam Islam adalah wajib.

Dalam pandangan Islam, qurban itu tidak wajib melainkan sunnah muakkad (sunnah yang sangat dianjurkan/ditekankan), berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

“Jika masuk bulan Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian yang  ingin menyembelih qurban, maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya” (HR. Muslim).

Hadits ini menjadi dalil yang menunjukkan bahwa hukum kurban itu tidak wajib, karena Rasulullah SAW memakai kata “aroda” (siapa yang mau/ingin).

Para shahabat pun tidak ada yang menyatakan bahwa kurban itu wajib. Maka jumhur ulama menyatakan bahwa hukum qurban adalah Sunnah Muakkad, khusus bagi orang yang mampu (punya kelapangan rezeki) saja.

Bagi orang yang tidak mampu, maka ia tidak berdosa bila tidak berqurban, karena hukumnya bukan wajib. Sedangkan bagi orang yang mampu, karena hukumnya sunnah muakkad, maka sangat ditekankan untuk tidak meninggalkan berqurban, karena Rasulullah  SAW mengecam:

“Barangsiapa yang memiliki kelapangan rezeki dan tidak mau berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).

YESUS MATI DISALIB SEBAGAI PENGGANTI HEWAN QURBAN?

Penginjil TIDI melanjutkan serangannya terhadap syariat Qurban sembari memuji-muji doktrin Kristen tentang penyaliban Yesus Kristus. Menurutnya, syariat qurban sudah tidak diperlukan lagi karena sudah dihapus dan diganti dengan pengorbanan Yesus yang mati disiksa di tiang salib untuk menebus dosa semua manusia:

“Kalimat Allah yaitu Yesus/Isa Al-Masih telah mempersembahkan dirinya mati di kayu salib. Dia telah menjadi kurban untuk mendamaikan Allah dengan manusia. Darahnya yang tertumpah di atas kayu salib telah membebaskan manusia dari hukuman dosa.

Sehingga melalui pengorbanan Yesus, manusia tidak perlu lagi memberi persembahan-persembahan qurban sebagaimana yang telah ditetapkan pada zaman para nabi. Sebab Kitab Suci berkata, "Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya" (Roma 3:25). Demikianlah Yesus telah menjadi Kurban Agung bagi kita. Pada Hari Idul Adha yang saudara rayakan, kiranya dapat diingat bahwa dia dapat memberi anugerah keselamatan bagi Anda, bila Anda mau mempercayainya.”

Teologi Penginjil TIDI itu simpang-siur tak jelas juntrungnya.

Ibadah Qurban dalam Islam itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan doktrin dosa waris yang diyakini oleh umat Kristen. Qurban adalah ungkapan syukur, kepatuhan, takwa dan taqarrub kepada Allah atas banyaknya karunia nikmat yang diberikan kepada manusia (Qs Al-Kautsar 1-3, Al-Hajj 34, 37).

Ibadah Qurban sama sekali tidak untuk melepaskan diri dari jeratan dosa warisan Adam. Konsep akidah ini bertolak belakang dengan doktrin Kristen yang meyakini adanya dosa warisan Adam. Dosa warisan Adam baru diampuni setelah ditebus ribuan tahun kemudian dengan kematian Yesus secara tragis/mengenaskan di atas gantungan tiang salib. Kematian Yesus –yang dalam doktrin Kristen diyakini sebagai penjelmaan Tuhan– itulah yang diklaim para penginjil sebagai qurban yang mendamaikan Tuhan dengan manusia. Dengan kata lain, darah Tuhan yang tertumpah setelah disiksa manusia ciptaan-Nya di atas kayu salib, telah membebaskan manusia dari hukuman dosa.

Islam tidak mengenal dosa waris dan penebusan dosa. Karenanya, Islam sama sekali tidak mengimani adanya Tuhan yang mati dibunuh manusia untuk menebus dosa manusia. Ini adalah doktrin batil dan sesat.

Al-Qur’an mengajarkan adanya tanggung jawab individu atas segala perbuatan manusia: “…Dan tidaklah seseorang membuat dosa melainkan kemudharatan itu kembali kepada dirinya sendiri, dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain...” (Qs. Al-An’am 164; bdk: An-Najm 38-39, Al-Isra’ 15, Luqman 33, Yasin 54, At-Thur 21, Al-Baqarah 123, 286, dll).

Terhadap kesalahan yang dilakukan Nabi Adam di surga, kesalahan itu sudah ditebus Nabi Adam melakukan taubat nashuha. Dengan sifat Maha Penyayang, Pengasih dan Pengampun, Allah SWT menerima taubatnya Nabi Adam dan memberikan ampunan kepadanya (Qs Al-A'raf 23, Al-Baqarah 37, Thaha 122; baca juga: Al-Ma`idah 74, az-Zumar 53-54). Maka ketika Adam dan Hawa bertobat sebelum keluar dari surga, Allah pun

Jadi, ampunan Allah terhadap dosa Adam dan istrinya tidak harus menunggu ribuan tahun untuk menunggu inkarnasi Tuhan lahir dalam bentuk bayi hingga dewasa lalu mati terkutuk di tiang salib disiksa makhluk ciptaan-Nya.

Menyoal Kisah Qurban dalam Bibel

Penginjil TIDI mendiskreditkan kisah qurban yang dilakukan Nabi Ibrahim Al-Qur'an tidak jelas siapa yang dikurbankan, apakah Ishak ataukah Ismail AS:

“Umat Muslim percaya, perayaan kurban adalah bentuk teladan pada ketaatan Nabi Ibrahim ketika Allah memerintahkan dia untuk mengorbankan anaknya yang tunggal. Sayangnya, Al-Quran tidak menjelaskan dengan pasti siapakah anak Nabi Ibrahim tersebut. Ismailkah seperti yang dipercaya umat Muslim, ataukah Ishak? Namun Taurat berkata dengan jelas, anak yang dikurbankan Nabi Ibrahim adalah Ishak (Taurat, Kitab Kejadian 22:2).”

Jika matanya tidak rabun, para penginjil TIDI tidak akan gegabah menuduh Al-Qur'anul Karim. Dalam surat Ash-Shaffat ayat 99-112, jelas sekali disebutkan bahwa anak Nabi Ibrahim yang akan dikurbankan pada waktu itu adalah Ismail AS.

Ayat 99-111 yang mengisahkan kronologis/tahapan pengorbanan. Singkat cerita, karena keikhlasan, kesabaran dan kepatuhan Ibrahim kepada Allah sudah teruji, maka ketika hendak disembelih anaknya, Allah menggantikannya dengan seekor sembelihan kambing yang besar (bi dzibhin ‘adhim).

Setelah proses pengurbanan selesai dilakukan Nabi Ibrahim, disusul ayat 112 memberitakan kelahiran Nabi Ishaq:“Dan Kami beri dia kabar gembira dengan kelahiran Ishaq seorang Nabi yang termasuk orang-orang yang saleh” (Qs As-Shaffat 112).

Jika Nabi Ishaq lahir setelah terjadinya peristiwa penyembelihan, maka otomatis wajib disimpulkan bahwa anak shalih yang hendak dikurbankan Ibrahim itu pastilah Nabi Ismail. Mustahil Nabi Ibrahim mengorbankan Ishaq, karena saat prosesi qurban dilakukan, Ishaq belum lahir.

Kesimpulan ini semakin jelas bila dibaca dalam nas Al-Qur’an dalam bahasa aslinya: “wa basy-syarnaahu bi ishaaqa nabiyyan minas-shalihin.” Huruf “wawu”dalam kata “wa basy-syarnaahu” (Dan Kami beri dia kabar gembira), dalam ilmu nahwu disebut wawu ‘athaf littartiibi bil-ittishaal, yaitu huruf wawu penghubung (conjunction) antara dua kalimat yang menunjukkan urutan kronologis dua peristiwa yang terjadi secara berurutan.

Sekarang mari kita kritisi ayat Bibel yang mengklaim bahwa putra Nabi Ibrahim yang akan dikurbankan itu adalah Ishaq.

Bacalah baik-baik ayat-ayat Bibel: “Firman-Nya: “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu” (Kejadian 22:2).

Berdasarkan ayat inilah umat Kristen mengklaim bahwa anak yang hendak dikurbankan itu adalah Ishak, bukan Ismael.

Nama Ishak dalam yang disebut sebagai “anak tunggal Abraham” dalam ayat tersebut  patut dipertanyakan. Karena fakta-fakta dalam Bibel menyebutkan bahwa Ismael dalam Alkitab berusia lebih tua 14 tahun dibandingkan adiknya, Ishak. Karena Ismael dilahirkan ketika Abraham berusia 86 tahun (Kej 16:16) dan Ishak dilahirkan ketika Abraham berusia 100 tahun (Kej 21:5).

Nabi Ismael pernah jadi anak tunggal Abraham selama 14 tahun, sedangkan Ishak tidak pernah jadi anak tunggal Abraham, karena sampai akhir hayat Abraham, Ismael dan Ishak sama-sama masih hidup. Buktinya, mereka berdua bersama-sama menguburkan Abraham ke pemakamannya di gua Makhpela di padang Efron bin Zohar (Kej. 25:9).

Jika faktanya Ismael pernah jadi anak tunggal Abraham selama 14 tahun, sedangkan Ishak tidak pernah menjadi anak tunggal Abraham, kenapa ada ayat yang menyebut Ishak sebagai anak tunggal Abraham? []

Sumber: A. Ahmad Hizbullah MAG
www.ahmad-hizbullah.com
SMS/Whatsapp: 08533.1050000
BBM: 54B134C5   / suaraislam




Baca Artikel Terkait: