-->

Kamis, 31 Desember 2015


Secara garis besar ilmu-ilmu hadits dapat dikaji menjadi dua, yaitu ilmu hadits riwayat (riwayah) dan ilmu hadits diroyat (diroyah).
1. Ilmu Hadits Riwayah ialah: “suatu ilmu pengetahuan untuk mengetahui cara-cara penukilaln dan pemeliharaan apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammmad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, iqrar, maupun lain sebagainyab.”
Objek ilmu hadits riwayah, ialah bagaimana cara menerima, menyampaikan dan mendewankan kepada orang lain dan memindahkan atau mendewankan dalam suatu dewan hadits. Dalam menyapaikan dan mendewakan hadits, hanya dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan atau sanadnya.
Faedah mempelajari ilmu ini, ialah untuk menghindari adanya salah kutip terhadap apa yang disandarkan oleh Nabi Muhammad saw.
Perintis pertama ilmu riwayah, ialah Muhammad bin Syihab Az-Zuhry yang wafat pada tahun 124 hijriah.
2. Ilmu Hadits Dirayah, ialah: “kaidah-kaidah untuk mengetahui hal-ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan hadits, sifat-sifat dan lain sebagainya.
Objek ilmu hadits dirayah, ialah meneliti kelakuan para rawi dan keadaan marwinya (sanad dan matannya). Menurut sebagaian ulama, yang menjadi objeknya ialah rasulullah saw sendiri dalam kedudukan sebagai rasul Allah.
Faedah, ilmu ini ialah untuk menetapkan maqbul dan mardudnya suatu hadits dan selanjutnya untuk diamalkannya yang maqbul dan ditinggalkannya yang mardud.
Sejarah Pertumbuhannya dan Perintisnya
Ilmu dirayah hadits sejak pertengahan abad ke III hijriyah sudah mulai di rintis oleh sebagaian muhaditsin dalam garis-garis besarnya saja, dan masih tersebar dalam beberapa mushaf. Baru pada awal abad IV, ilmu ini dibukukan dan dijadikan fann (vak) yang berdiri sendiri, sejajar dengan ilmu-ilmu yang lain.
Perintis-Perintisnya
Sebagai perintis pertama ilmu ini, ialah Al-Qodli Abu Muhammad Ar-Ramahhurmuzy (wafat 360 H), denggan kitabnya yang bernama “Al-Muhaditsul Fashil.”. tapi kitab tersebut sukar sekali diperolehnya. Kemudian Al-Hakim Abu’ Abdillah An-Nisaburry (321-405 H) dengan sususnan karangnya yang kurang baik dan tidak tertib. Sesudah itu, Abu Nu’aim Al-Sshfihany (336-430 H), dan akhirnya bangunlah Al-Khaatib Abu Bakar Al-Bagdady (wafat 463 H) menysusun kitab kaidah periwayatan hadits yang diberi nama “Al-Jami’u Liadabi’sy Syaikhi wa’s-Sami” selanjutnya para muhaditsin setelah Al-Khatib pada menyusun ilmu hadits itu dengan bentuk tesendiri, semisal Al-Qadli ‘Iyadl dengan kitabnya yang bagus bernama “Al-Imla” dan Abu Hafshin dengan satu juz karyanya yang bernama “Maa Yasa’u’l-Muhaditsu jahlahu”.
Demikian selanjutnya bermunculan kitab-kitab musthalahul hadits dengan bentuk dan system-system yang berbeda. Ada yang berbentuk nadham seperti kitab ‘Alfiyatu’s Suyuthi” ada yang berbentuk nasar dan ada pula yang system penguraiannya yang luas, baik sebagai syarah dari kitab musthalah yang berbentuk nadham, atau nasar. Disamping itu ada pula yang system penguraiannya ringkas dan mudah difahami, semisal “Nuhbatul Fikar” karya Al-Hafid Ibnu Hajar Al-Asqhalani.
Cabang-Cabang Ilmu Hadits
A. Ilmu Rijalul Hadits
Ilmu rijalil Hadits ialah : “ilmu yang membahas tentang para perawi hadits, baik dari sahabat, tabi’in, maupun dari angkatan sesudahnya.”
Dengan ilmu ini didapatlah kita mengetahui keadaan para perawi yang menerima hadits dari Rasulullah dan keadaan para perawi yang menerima hadits dari sahabbat dan seterusnya. Di dalam ilmu diterangkan tarikh ringkas dari riwayat hidup para rawi, mazhab yang dipegang oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu dalam menerima hadits.
Sungguh penting sekali ilmu ini dipelajari dengan seksama, karena hadits itu terdiri dari sanad dan matan. Maka mengetahui keadaan para rawi yang menjadi sanad merupakan setengah dari pengetahuan.
Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini banyak ragamnya. Ada yang hanya menerangkan riwayat-riwayat ringkas dari para sahabat saja. Ada yang menerangkan riwayat-riwayat umum para perawi. Ada yang menerangkan perawi-pwerawi yang dipercayai saja. Ada yang menerangkan riwayat-riwayat para perawi yang lemah-lemah, atau para mudallis, atau para pemuat hadits maudlu’. Dan ada yang menrangkan sebab-sebab dianggap cacat dan dianggap adil dengan menyebut kata-kata yang dipakai untuk itu serta martabat perkataan.
Ada yang menerangkan nama-nama yang berupa tulisan berlainan sebutan yang didalam ilmu hadits disebut mu’talif dan mukhtalif. Dan ada yang menerangkan nama-nama perawi yang sama namanya, lain orangnya. Umpamanya khalil ibnu ahmad. Nama ini banyak orangnya. Ini dinamai muttafiq. Dan ada yang menerangkan nama-nama yang serupa tulisan dan sebutan, tetapi berlainan keturunan dalam sebutan, sedang dalam tulisan serupa. Seumpama, Muhammad ibnu Aqil dan Muhammad ibnu Uqail. Ini dinamai musytabah. Dan ada juga yang hanya menyebut tanggal wafat.
Disamping itu adapula yang hanya menerangkan nama-nama terdapat dalam satu kitab saja, atau beberapa kitab saja. Dalam semua itu para ulama’ telah berjerihpayah menyusun kitabkitab yang dihajati.
B. Ilmul Jarhi Wa Takdil
Ilmu jahri wat takdir pada hakekatnya merupakan suatu bagian dari ilmu rijalil hadits akan tetapi karena bagian ini di pandang sebagai yang terpenting maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Yang dimaksud dengan ilmu jahril wat takdil, ialah:”ilmu yang menerangkan tentang catatan yang dihadapakan pada dan tentang penkdilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu.
Mencatat para perawi (yakni menerangkan keadaannya yang tidak baik, agar orang tidak terperdaya dengan riwayat-riwayatnya), telah tumbuh sejak zaman sahabat.
Kitab-kitab yang disusun mengenai jarah dan taqdil, ada beberapa macam. Ada yang menerangkan orang yang dipercayai saja, ada orang yang menerangkan orang-orang saja, atau orang-orang dan menadlieskan. Disamping itu, ada yang menerangkan suatu kitab saja atau beberapa kitab dan ada yang melengkappi segala kitab.
C. Ilmu Illail Hadits
Ilmu illail hadits ialah: “ilmu yang menerangkan sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat mencatatkan hadits.”
Yakni menyambung yang munqati, merafakan yang mauquf, memasukan satu hadits kedalam hadits lain yang dan serupa itu. Semua ini, bila diketahui dapat merusakan kesahihan hadits.
Ilmu ini merupakan semulia-semulia ilmu yang berpautan dengan hadits dan sehalus-halusnya tak dapat diketahui penyakit-penyakit hadits, melainkan oleh ulama yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang martabat-martabat perawai dan mempunyai malakah yang kuat terhadap sanad dan matan-matan hadits diantara.
D. Ilmun Nasih Wal Mansuh
Ilmu nasih wal mansuh ialah, ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah dimansuhkan dan yang menasihkannya.” apabila didapati suatu hadits yang maqbul tidak ada yang memberikan perlawanan maka hadits tersebut dinamai muhkam. Namun jika dilawan oleh hadits yang sederajatnya, tetapi dikumpulkan dengan mudah maka hadits itu dinamai mukhatakiful hadits. Jika tak mungkin dikumpul dan diketahui man yang terkemudian, maka yang ketermudian itu dinamai nasih dan yang terdahulu dinamai mansuh.
E. Ilmu Asbabil Wuruddil Hadits
Ilmu asbabil wuruddil hadits ialah: “ilmu yang menerangkan sebab-sebab nabi yang menurunkan sabdanya dan masa-masa nabi menurunkan itu.”
Penting diketahui, karena ilmu menolong kita dalam memahami hadits sebagaiman ilmu ashabin nuzul menolong kiita dallm memahami al quran.
Ulama yang mula-mula menyusun kitab ini dan kitabnya ada dalam masyarakat ialah Abu Hafas Ibnu Umar Muhammad Ibnu Raja Al-Uqbari, dai murid Ibnu Ahmad (309 H). dan kemudian di tulis juga Ibrahim Ibnu Muhammad, yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah Al-Husaini (1120 H), dalam kitabnya Al-Bayan Wat Tarif yang telah dicetak pada tahun 1329 H
F. Ilmu Talfiqil Hadits
Ilmu talfqil hadits ialah: “ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan hadits-hadits yang isinya berlaawan.
Cara mengumpulkannya ada kalanya dengan menakhsiskan yang ‘amm, atau menaqyidkan yang mutlaq atau dengan memandang banyaknya yang terjadi. Ilmu ini dinamai juga dengan ilmu mukhtaliful hadits. Diantara para ulama besar yang telah berusaha menyusun ilmu ini adalah Al-Imamusy Syafii (204 H), Ibnu Qurtaibah (276 H), At-Tahawi (321 H), dan Ibnu Jauzi (597 H). kituabnya bernama “At-Tahqiq”, kitab ini sudah disarahkan oleh ustadz Muhammad Syakir dan baik sekali nilainya.

(Readonekurangapa)




Baca Artikel Terkait: