-->

Kamis, 11 Februari 2016


Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Al-Qur`ân diturunkan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara bertahap selama 23 tahun. Al-Qur`ân berisi garis-garis besar Islam yang sempurna, dari permasalahan tauhid hingga kisah para nabi dan sejarah umat mereka yang beriman dan yang kufur. Dari garis-garis besar yang ada dalam al-Qur`ân ini, Allâh Azza wa Jalla mensyariatkan hukum-hukum yang mengatur kehidupan individu dan masyarakat. Hukum-hukum ini menjaga agama, jiwa, akal, nasab dan harta.

Sementara Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau telah menunaikan tugasnya yaitu menyampaikan dan menjelaskan kepada manusia al-Qur`ân yang diturunkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan yang belum terang, mengkhususkan yang masih bersifat umum atau sebaliknya, dan beliau menjelaskan hukum-hukum yang dihapus dan lain-lainnya.

Para sahabat mendengarkan penjelasan tersebut dan memahaminya secara umum. Mereka tidak membutuhkan tafsir dan penjelasan pengertian lafadz al-Qur`ân dan sunnah tersebut, karena mereka sangat menguasai Bahasa Arab, juga melihat langsung pengamalannya dan dapat langsung bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Namun tidak dipungkiri, perbedaan pemahaman pun terjadi sesuai dengan waktu keislaman mereka, ketinggian ilmu, keutamaan, dan kedekatan mereka dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sehingga saat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia, para sahabat Radhiyallahu anhum telah mengetahui dan hafal Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertanam di dada mereka, walaupun tidak ada seorangpun yang menyatakan telah menghafal seluruh hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, akan tetapi setiap masing-masing dari kalangan mereka memiliki dan menghafal hadits yang berbeda-beda satu dengan lainnya.

Para sahabat banyak yang bepergian dan pindah dari kota Madinah. Mereka tinggal di negeri-negeri yang ditaklukkan kaum muslimin. Ada yang menetap di Syam, Iraq, Mesir, dan Yaman. Meskipun begitu mayoritas para sahabat masih ada yang menetap di kota Madinah. Secara otomatis para sahabat yang menetap di negeri-negeri tersebut menjadi nara sumber dan pemberi fatwa bagi penduduknya, baik dari kalangan ulama tabi’in maupun kaum awam mereka.

Pada masa tabi’in, para Ulama tabi'in mewarisi al-Qur`ân dan Sunnah dengan pemahamannya dari para sahabat, juga ditambah dengan ijtihad Ulama sahabat dan fatwa mereka. Semua ini ditambahkan lagi dengan pendapat dan hukum serta peradilan yang mereka lakukan terhadap kejadian dan peristiwa yang ada. Sehingga pada masa para imam besar, seperti Imam Mâlik, Imam asy-Syâfi’i, dan Imam Ahmad serta lainnya, fiqih dan ijtihad tersebut menjadi semakin banyak dan besar seiring dengan banyaknya kejadian dan peristiwa serta jumlah kaum Muslimin yang meningkat sangat tinggi.

Banyaknya peristiwa dan kejadian memotivasi para Ulama mujtahid membahas hukum syar’i atas semua peristiwa tersebut atau kejadian yang dialaminya. Sebagian mereka memandang nash-nash syariat yang bersifat umum dan khusus yang jelas illah hukumnya cukup untuk memberikan hukum atas setiap peristiwa yang terjadi, sehingga mereka mengambil fiqih dari banyak hadits dan berusaha menjauhi istimbat akal, dan ini dikenal dengan madrasah hadits di Hijâz. Diantara tokoh-tokohnya adalah Sufyân ats-Tsauri, Ibnu Uyainah, Mâlik dan Ahmad bin Hambal. Ada juga yang mengambil istimbat hukum dari nash-nash tersebut dan menjadikan kaidah dalam menjawab hukum setiap ada kejadian. Sehingga istimbat akal lebih dominan dari penguasaan nash-nash syariat. Ini dinamakan madrasah ar-ra’yu di Iraq. Diantara tokoh-tokohnya adalah an-Nakha-i, Hammad, Rabi’ah ar-Raa’i, dan Abu Hanifah serta murid-murid beliau.[1]

Dengan mengetahui persoalan di atas, maka sangat dipandang perlu untuk mengenal sejarah perkembangan fiqih dan para tokoh Ulama mujtahidnya. Bahwasannya mengenal biografi dan konsep pemikiran Ulama mujtahid yang telah membangun pondasi dan bangunan sebuah konsep ilmu itu sangat penting, terkhusus dalam hal ilmu fiqih yang telah mencapai puncak keemasannya.

Mengapa mengenal sejarah perkembangan fiqih itu perlu ? Karena untuk mengetahui dan meneliti sejarah terbentuknya dan berkembangnya madzhab dan madzhab-madzhab fiqih secara umum yang dinisbatkan kepada para mujtahid sebagai pembentuknya.

Meneliti biografi lengkap seorang mujtahid dan usaha-usahanya dalam membentuk satu madzhab dengan penjelasan ushul dan furu`nya dari sumbernya yang asli adalah penjelas kejiwaan sang mujtahid dan perkembangan fase kehidupannya. Hal ini sama dengan seorang yang menanam biji di tanah yang subur, kemudian tanah tersebut menumbuhkan dan memberikan kehidupannya dalam fase-fase tertentu dengan izin Allâh sehingga menjadi tumbuhan yang lebat dan berbuah.[2]

Mengambil madzhab langsung dengan meneliti imam madzhab baik yang berasal dari pendapat, pemikiran dan bimbingannya memberikan kepada jiwa kita sejumlah pemikiran dan perasaan yang menggambarkan mujtahid tersebut ketika berpendapat. Sehingga mendapatkan pengetahuan secara sempurna dan memiliki sikap proporsional untuk dapat menghukumi pendapat imam madzhab dengan benar serta perbandingannya dengan madzhab lainnya dengan dasar yang tepat dan benar. Disamping itu, kita dapat belajar ushul dan standarisasi yang dimiliki sang imam madzhab.

Salah satu imam besar dunia dalam fiqih yang dapat menggabungkan antara madrasah al-hadîts dan madrasah ar-ra’yu adalah Imam Abu Abdillâh Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Utsmân bin Syâfi’ al-Muthalibi al-Qurasyi. Seorang imam yang dilahirkan di Gaza, Palestina dan mengambil ilmu dari para Ulama dua madrasah tersebut.

Imam asy-Syâfi’i rahimahullah mengambil dari para Ulama dua madrasah hadits dan mengetahui betul hakikat dan fiqih khilaf mereka, kemudian beliau berijtihad serta membangun pondasi dan kaidah dalm konsep fiqih yang menggabungkan kedua konsep fiqih dua madrasah tersebut. Oleh karena itu Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah pernah berkata: "Kami terus menyalahkan ahlu ra’yi dan mereka pun menyalahkan kami hingga datang asy-Syafi’i dan menggabungkan kami semua".[3]

Al-Qadhi ‘Iyâdh, setelah menyampaikan pernyataan Imam Ahmad tersebut, ia berkata: "Maksudnya adalah Imam asy-Syafi’i berpegang teguh dengan atsar yang shahîh dan menggunakannya, kemudian menjelaskan kepada mereka bahwa diantara ra’yi (istimbat akal) ada yang dibutuhkan dan menjadi dasar hukum syar’i, dan itu adalah qiyas atas ushul yang diambil darinya. Beliau juga menujukkan bagaimana mengambilnya dan bergantung kepada ilat-ilat dan seputarnya. Sehingga Imam asy-Syâfi'i mengajarkan ash-habul hadits bahwa ra’yu yang shahîh adalah cabang dari pokok (nash syariat), dan (dia) mengajarkan ash-habur ra’yi bahwa tidak ada cabang kecuali setelah pokoknya dan wajib mendahulukan hadits shahîh dan atsar yang shahih lebih dahulu".

Sungguh benar yang disampaikan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah tersebut dan hal ini nampak jelas bila kita mengenal dan menelaah kitab ar-Risâlah dan kitab al-Umm karya Imam asy-Syafi’i yang saat ini belum mendapatkan perhatian besar dari kita. Oleh karena itu maka –insya Allâh- kami akan menyampaikan pernyataan dan pendapat Imam asy-Syafi’i dalam rubrik ini secara berkelanjutan. Harapan kami, semoga kita dapat menjadikannya lentera cahaya dalam hidup beragama di negara ini.

Semoga bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Diringkas dari kitab al-Imam asy-Syafi’i Faqiih, as-Sunnah al-Akbar, hlm. 7-10, dan hlm. 224-225.
[2]. Diambil secara ringkas dari kitab Imam asy-Syafi’i, Hayâtuhu wa 'Ashruhu, Muhammad Abu Zahrah, Darul-Fikri al-Arabi, Cet. kedua tahun 1978 M, hlm. 7. 
[3]. Tartîb al-Madârik, al-Qâdhi ‘Iyâdh, 1/95.
(Al manhaj)




Baca Artikel Terkait: