Oleh : Tia Miftahul Khoiriyah, Ketua Divisi Annisaa di Kajian Islam Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia
APA yang ada dibenak kita ketika berbicara keadaan saat ini?
Kesenangankah? Kesulitan? Kemarahan? Keegoisan? Penuh dengan perlombaankah?
Sepertinya semuanya ada dalam benak kita.
Lantas mana yang kadarnya lebih tinggi?
Melihat berita setiap hari nampaknya kesenangan bukanlah jawaban tepat untuk menggambarkan keadaan hari ini. Angka kemiskinan terus meningkat setiap tahun, Daddy Mizwar, Wakil Gubernur Jawa Barat menyatakan bahwa “Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (PBS) jumlah warga miskin meningkat 9,7 persen dari tahun lalu”, (nasional.republika.co.id, 4 Maret 2016). LBH Jakarta pun melansir data pada tahun 2015 terdapat 50 ribu buruh di Jabodetabek yang di PHK, (prp-indonesia.org/maret 2016).
Sedangkan barang tambang yang seharusnya menjadi sektor umum kini sudah dimiliki oleh korporasi, harga sembako dan BBM tidak kunjung stabil, ditambah persaingan perekonomian global sudah masuk dalam negeri ini pada tahun 2015 lalu. Wajar jika dikatakan hari ini dunia sedang berusaha meminimalisir keberadaan orang-orang tertentu dengan membunuhinya secara perlahan dari berbagai aspek kehidupan.
Bagaimana dengan peran pemerintah? Nampaknya pemerintah sebagai pelayan rakyat pun sudah enggan untuk mengurusi, sedikit demi sedikit mereka melepaskan tangan dari pengurusan umat ini. Pendidikan, kesehatan, keamanan pun bukanlah aspek yang dijamin cuma-cuma oleh negara, alias harus bermodalkan manfaat (baca: materi atau uang).
Apa yang salah pada negeri ini? Negeri ini kaya akan sumberdaya alam, punya bukit emas, lautan pun terhampar luas. Negeri ini pun dihuni oleh sebagian besar muslim yang padanya Allah, Tuhan pencipta semesta alam sampaikan bahwa “Kamu adalah umat terbaik…” (QS. Al-Imran 110). Mungkinkah Allah salah dalam memberi predikat terbaik pada kaum ini? Ataukah Quran yang salah? Ah bukankah “kitab ini tidak ada keraguan didalamnya” (QS. Al-Baqarah :2). Maka yang salah bukanlah Allah ataupun Kitab-Nya (baca: Al-qur’an), tapi makhluk yang dititipi untuk menjalankan seperangkat aturan itu yaitu manusia, (QS. Ar-rum : 41). Yah, manusia dinegeri ini.
Memang apa yang terjadi pada manusia di negeri ini? Manusia hari ini menyalahi diri mereka sendiri. Mereka mengagungkan akal mereka, dan berkilah pada pernyataan bahwa mereka adalah makhluk yang lemah dan terbatas. Tanpa segan mereka menentang Sang Pencipta dengan mengacuhkan sebagian aturan Allah bahkan menandinginya dengan membuat peraturan sendiri. Saat ini kaum muslim pun terbenturkan oleh asas sekularisme dan kebebasan, yang menjadikan Islam hanya boleh bicara dalam tataran individu (baca: ibadah ritual) tapi tidak pada tataran seluruh aspek kehidupan, yaitu ekonomi, sosial, pendidikan, dan perpolitikan. Itulah kesalahan terbesar yang harus manusia kenali untuk mengetahui solusi yang tepat, demi menghapuskan duka atas kesengsaraan yang ada didunia hari ini.
Bagaimana memperbaiki keadaan saat ini?
Tidakkah kaum muslim ingat, pada ayat “Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”, (QS. Al-Anbiya 107). Maka jelaslah Islam itu akan menjadi rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya bagi kaum muslim, atau manusia saja melainkan seluruh alam baik manusia, hewan, tumbuhan, dan alam semesta ini.
Maka untuk memperbaikinya cukup kembalikan semuanya pada Islam. Biarkan Islam yang berasal dari sang pencipta, aturan yang dibimbing oleh wahyu itu yang mengatur seluruh kehidupan manusia. Jadikan Al-Quran dan Assunah sebagai referensi kehidupan kita.
Mari bersama menyatukan langkah memperbaiki yang telah terjadi dengan mewujudkan Islam Rahmatan Lil’alamin yang menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu’alam bi ash-shawab.( Islam pos)
Choose EmoticonEmoticon