-->

Selasa, 27 September 2016

DASAR ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

A.    Ontologi Filsafat Pendidikan

1.      Hakikat Ontologi

Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos danlogosOntos berarti sesuatu yang berwujud dan logosberarti ilmu. Jadi ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada.[1]

Dalam konsep filsafat ilmu Islam, segala sesuatu yang ada ini meliputi yang nampak dan yang tidak nampak (metafisis). Filsafat pendidikan Islam bertitik tolak pada konsep the creature of God, yaitu manusia dan alam. Sebagai pencipta, maka Tuhan telah mengatur di alam ciptaan-Nya. Pendi dikan telah berpijak dari humansebagai dasar perkembangan dalam pendidikan. Ini berarti bahwa seluruh proses hidup dan kehidupan manusia itu adalah transformasi pendidikan.[2]

Menurut Syam (1988) ontologi kadang-ka­dang disamakan dengan metafisika. Sebelum menyelidiki yang lain, manusia berusaha mengerti hakikat sesuatu. Dalam berinteraksi dengan alam semesta, manusia melahirkan berbagai pertanyaan  filosofis, di antaranya ; apakah sesungguhnya hakikat realita yang ada ini, apakah realita yang nampak ini suatu realitas materi saja, ataukah ada sesuatu dibalik realita itu, satu "rahasia" alam. Apakah wujud semesta ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan. Ataukah hakikat semesta ini adalah perubahan semata-mata. Apakah realita ini terbentuk satu unsur (monisme), dua unsur (dualisme), ataukah lebih dari dua unsur (pluralisme).

Suatu realita sebagai suatu perwujudan, menampakkan di­ri sebagai satu "tubuh", satu eksistensi. Sesuatu itu mendukung satu perwujudan, yakni-keseluruhan sifatnya. Yang utama dari perwujudan itu adalah eksistensinya. Wujud atau adanya sesuatu itu adalah primer, sedangkan sifat-sifat yang lain seperti ukurannya, bentuknya, warnanya, beratnya dan sebagainya hanyalah sekunder.

Sebagai contoh, apakah sesungguhnya hakikat lantai dalam ruang belajar. Ada yang menjawab bahwa lantai itu bersi­fat datar, padat tetapi halus dengan warna tertentu. Apakah bahannya, pastilah lantai itu suatu substansi dengan kuali­tas materi. Inilah yang dimaksud bahwa lantai adalah suatu realitas yang kongkrit. Para ahli ilmu alam menjawab, bahwa lantai itu terbentuk dari molekul-molekul, yang terak­hir atom-atom dan atom-atom tersebut terbentuk dari elec­tron-elektron, proton-proton dan neutron-neutron dan semua itu tenaga listrik. Jadi lantai itu hakikatnya satu energi, tenaga listrik. Jadi hakikat lantai menurut orang biasa adalah realita dalam wujud lantai yang konkrit, sementara ahli ilmu alam memandang hakikat lantai dari sudut pengertiannya (abstrak) yaitu tenaga listrik, energy, namun keduanya bersi­fat realita.

Pandangan ontologi di atas juga menjadi hal utama dalam pendidikan Islam, sebab anak didik/peserta didik bergaul de­ngan dunia lingkungannya dan mempunyai dorongan kuat untuk mengerti sesuatu. Peserta didik Islam, baik di masyarakat maupun di sekolah selalu menghadapi realita, obyek pengalaman : benda mati, benda hidup. Bagaimana pandangan relegius mengenai makhluk hidup yang berakhir dengan kematian, bagaimana kehi­dupan dan kematian itu dapat dimengerti. Begitu pula reali­tas semesta, eksistensi manusia yang memiliki jasmani dan rohani, bahkan bagaimana sebenarnya eksistensi Tuhan Maha Pen­cipta[3]

Bukanlan kewajiban sekolah atau pendidik semata untuk  mem­bimbing peserta didik memahami dunia nyata, tetapi sekolah berkewajiban membina peserta didik  tentang kebenaran yang berpangkal pada realita itu. Realita adalah sebagai ta­hapan pertama dan stimulus untuk menyelami kebenaran. Peserta didik didik wajib dibina potensi berpikir kritisnya guna mengerti kebenaran. Mereka harus mampu mengerti perubahan-perubahan dalam lingkungannya; adat-istiadat, tata sosial dan pola-pola masyarakat, nilai moral dan hukum.

2.      Bidang Kajian Ontologi

Yang menjadi dasar kajian atau dalam istilah lain sebagai objek kajian (ontologi) filsafat pendidikan Islam seperti yang termuat di dalam wahyu adalah mengenai pencipta (khalik), ciptaan-Nya (makhluk), hubungan antar ciptaan-Nya, dan utusan yang menyampaikan risalah pencipta (rasul). Dalam hal ini al-Syaibany mengemukakan bahwa prinsip-prinsip yang menjadi dasar pandangan tentang alam raya meliputi dasar pemikiran:

1.      Pendidikan dan tingkah laku manusia serta akhlaknya selain dipengaruhi oleh lingkungan sosial dipengaruhi pula oleh lingkungan fisik (benda-benda

alam).

1.      Lingkungan dan yang termasuk dalam alam raya adalah segala yang diciptakan oleh Allah swt baik makhluk hidup maupun benda-benda alam.

2.      Setiap wujud (keberadaan) memiliki dua aspek, yaitu materi dan roh.

Dasar pemikiran ini mengarahkan falsafah pendidikan Islam menyusun konsep alam nyata dan alam ghaib, alam materi dan alam ruh, alam dunia dan alam akhirat

3.      Alam senantiasa mengalami perubahan menurut ketentuan aturan pencipta.

4.      Alam merupakan sarana yang disediakan bagi manusia untuk meningkatkan kemampuan dirinya.[4]

Dengan demikian, implikasi pandangan ontologi dalam dunia pendidikan Islam adalah bahwa dunia pengalaman manusia, terma­suk peserta didik yang harus memperkaya kepribadian bukanlah hanya dalam raga dan isinya dalam arti pengalaman sehari-hari, melainkan sebagai sesuatu yang tak terbatas, realitas fisik, spritual yang tetap dan yang berubah-ubah (dinamis).

B.     Epistemologi Filsafat Pendidikan Islam

1.      Hakikat Pengetahuan

Epistemologi berasal dari kata episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti ilmu. Jadi epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang pengetahuan dan cara memperolehnya. Epistemologi disebut juga teori pengetahuan, yakni cabang filsafat yang membicarakan tentang cara memperoleh pengetahuan, hakikat pengetahuan dan sumber pengetahuan.

Dengan kata lain, epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang menyoroti atau membahas tentang tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan.[5]

2.      Teori-teori Ilmu Pengetahuan

3.      Pendekatan dan Metode Memperoleh Ilmu Pengetahuan

Adapun tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan adalah dengan metode non- ilmiah, metode ilmiah, dan metodeproblem solving.

a.       Pengetahuan yang diperoleh dengan metode non- ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara penemuan secara kebetulan; untung-untungan (trial and error); akal sehat (common sense); prasangka; otoritas (kewibawaan); dan pengalaman biasa.

b.      Metode ilmiah adalah cara memperoleh pengetahuan melalui pendekatan deduktif dan induktif.

c.       Sedangkan metode problem solving adalah memecahkan masalah dengan cara mengidentifikasi permasalahan, merumuskan hipotesis; mengumpulkan data; mengorganisasikan dan menganalisis data; menyimpulkan danconclusion; melakukan verifikasi, yakni pengujian hipotesis. Tujuan utamanya adalah untuk menemukan teoriteori, prinsip-prinsip, generalisasi dan hukum-hukum. Temuan itu dapat dipakai sebagai basis, bingkai atau kerangka pemikiran untuk menerangkan, mendeskripsikan, mengontrol, mengantisipasi atau meramalkan sesuatu kejadian secara tepat.[6]

Metode epistemologi pendidikan Islam

Metode merupakan bagian integral dari epistemologi, karena epistemologi mencakup banyak pembahasan termasuk metode. Metode epistemologi pendidikan Islam adalah sebagai metode-metode yang dipakai dalam menggali, menyusun dan mengembangkan pendidikan Islam. Dengan kata lain, adalah metode-metode yang dipakai dalam membangun ilmu pendidikan Islam.

Metode epistemologi pendidikan Islam adalah metode yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan tentang pendidikan Islam. Ada perbedaan antara metode epistemologi pendidikan Islam dengan metode penelitian pendidikan Islam. Metode epistemologi Islam lebih berada pada tataran pemikiran filosofis, sedangkan metode penelitian pendidikan Islam berada pada tataran teknis dan operasional. Metode epistemologi pendidikan Islam merupakan alat filsafat yang membahas pengetahuan pendidikan Islam. Metode epistemologi pendidikan Islam berusaha membangun, merumuskan dan memproses pengetahuan tentang pendidikan Islam. Menurut Mujamil Qomar dari perenungan-perenungan terhadap ayat-ayat Al-Quran, Hadits Nabi dan penalaran sendiri, untuk sementara didapatkan lima macam metode yang secara efektif untuk membangun pengetahuan tentang pendidikan Islam, yaitu:

a.       Metode Rasional (Manhaj ‘Aqli)

Metode Rasional adalah metode yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria-kriteria kebenaran yang bisa diterima rasio. Menurut metode ini sesuatu dianggap benar apabila bisa diterima oleh akal, seperti sepuluh lebih banyak dari lima. Tidak ada orang yang mampu menolak kebenaran ini berdasarkan penggunaan akal sehatnya, karena secara rasional sepuluh lebih banyak dari lima.

Metode ini dipakai dalam mencapai pengetahuan pendidikan Islam, terutama yang bersifat apriori. Akal memberi penjelasan-penjelasan yang logis terhadap suatu masalah, sedangkan indera membuktikan penjelasan-penjelasan itu. Penggunaan akal untuk mencapai pengetahuan termasuk pengetahuan pendidikan Islam mendapat pembenaran agama Islam. Machfudz Ibawi berani menegaskan, bahwa bahasa Al-Quran seluruhnya bersifat filosofis, dengan pengertian tidak mudah dimengerti tanpa mencari, menganalisis atau menggali sesuatu yang tersimpan dibalik bahasa harfiah.

Oleh karena itu dibutuhkan pemikiran yang makin rasional dan logis sebagai media atau alat untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap kandungan Al-Quran sebagai cermin dari ajaran Islam. Teori-teori yang diformulasikan oleh ilmuwan-ilmuwan Islam tidak banyak dipakai sebagai landasan dalam membahas masing-masing disiplin ilmu karena masih kalah oleh teori barat. Bahkan yang paling berbahaya secara intelektual adalah bahwa teori-teori barat telah dianggap baku dan disakralkan karena tidak pernah digugat. Teori-teori pendidikan Islam yang dirumuskan pemikir-pemikir Islam zaman dahulu juga menjadi sasaran pencermatan kembali dengan menggunakan metode rasional. Seharusnya metode rasional telah lama menjadi pegangan para filosof pendidikan Islam dalam merumuskan teori. Namun, dalam kenyataan belum banyak ahli filsafat pendidikan Islam yang memanfaatkan metode rasional ini.

Pendidikan Islam selama ini secara sinis masih dianggap meniru pendidikan Barat. Jika diperhatikan landasan pendidikan Islam itu berupa Quran dan Sunnah, dan seharusnya tidak ada lagi peniruan. Mekanisme kerja metode rasional yang kesekian kali dalam mencapai pengetahuan pendidikan Islam dilakukan dengan cara mengembangkan objek pembahasan. Sebenarnya melalui metode rasional saja dapat diperoleh khazanah pengetahuan pendidikan Islam dalam jumlah yang amat besar.

b.      Metode Intuitif (Manhaj Zawqi)

Metode intuitif merupakan metode yang khas bagi ilmuan yang menjadikan tradisi ilmiah Barat sebagai landasan berfikir mengingat metode tersebut tidak pernah diperlukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sebaliknya dikalangan Muslim seakan-akan ada kesepakatan untuk menyetujui intuisi sebagai satu metode yang sah dalam mengembangkan pengetahuan, sehingga mereka telah terbiasa menggunakan metode ini dalam menangkap pengembangan pengetahuan. Muhammad Iqbal menyebut intuisi ini dengan peristilahan “cinta” atau kadang-kadang disebut pengalaman kalbu.

Dalam pendidikan Islam, pengetahuan intuitif ditempatkan pada posisi yang layak. Pendidikan Islam sekarang menjadikan manusia sebagai objek material, sedang objek formalnya adalah kemampuan manusia. Pendidikan Islam sebenarnya secara spesifik terfokus untuk mempelajari kemampuan manusia itu, baik berdasarkan wahyu, pemberdayaan akal maupun pengamatan langsung. Di kalangan pemikir Islam, intuisi tidak hanya disederajatkan dengan akal maupun indera, tetapi bahkan lebih diistimewakan daripada keduanya. Bagi Al-Gazhali, bahwa al-zawaq (intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya, daripada akal untuk menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya. Sumber pengetahuan tersebut dinamakan al-nubuwwat, yang pada nabi-nabi berbentuk wahyu dan pada manusia biasa berbentuk Ilham.

Sebagai suatu metode epistemologi, intuisi itu bersifat netral.  Artinya ia bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan berbagai macam pengetahuan. Hakekat intuisi menurut Al-Tahawuny, bisa bertambah dan berkurang. Bila kita mengamati pengalaman kita sehari-hari tampaknya ada perbedaan frekuensi intuisi muncul dalam rentang waktu tertentu. Adakalanya dalam waktu yang berututan muncul beberapa kali, tetapi terkadang dalam waktu yang lama juga tidak kunjung tiba. Akal adalah suatu substansi ruhaniah  yang melihat pemahaman yang kita sebut hati atau kalbu, yang merupakan tempat terjadinya intuisi. Penggunaan akal dan intuisi secara integral dapat memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pengembangan metode-metode yang dipakai menggali pengetahuan. Metode interpretasi misalnya, ia diyakini akan tumbuh dan berkembang melalui pemanfaatkan metode-metode yang menggunakan akal dan intuisi. Intuisi itu bisa didatangkan untuk memberikan pencerahan konsentrasi, kontemplasi, dan imajinasi. Sebaiknya kita memiliki tradisi ketiganya ini dalam mengembangkan atau menyusun konsep pendidikan Islam yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah di hadapan kriteria ilmu pengetahuan dan secara normatif di hadapan wahyu.

c.       Metode Dialogis (Manhaj Jadali)

Metode dialogis yang dimaksudkan di sini adalah upaya menggali pengetahaun pendidikan Islam yang dilakukan melalui karya tulis yang disajikan dalam bentuk percakapan antara dua orang ahli atau lebih berdasarkan argumentasi-argumentasi yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Metode ini memiliki sandaran teologis yang jelas. Upaya untuk mecari jawaban-jawaban adalah aktivitas yang baik menurut Islam maupun ilmu pengetahuan. Peristiwa sebagai wujud dialog telah dikemukakan dalam Al-Quran. Pendidikan Islam perlu didialogkan dengan nalar kita untuk memperolah jawaban-jawaban yang signifikan dalam mengembangkan pendidikan Islam tersebut. Nalar itu akan memiliki daya analisis yang tajam manakala menghadapi tantangan-tantangan. Ilmu pendidikan Islam harus bertumpu pada gagasan-gagasan yang dialogis dengan pengalaman empiris yang terdiri atas fakta atau informasi  untuk diolah menjadi teori yang valid yang menjadi tempat berpijaknya suatu  pengetahuan  ilmiah. Untuk menerapkan metode ini, dapat disiapkan wadahnya dengan beberapa cara, misalnya dengan menetapkan pasangan dialog, membentuk forum dialog, mempertemukan dua forum dialog, maupun dengan mengundang pakar-pakar pendidikan Islam, apabila difungsikan secara maksimal. wadah-wadah dialog itu hanya berbeda skalanya saja, sedang misi dan fungsinya relative sama. Semuanya sebagai wadah untuk menggali pengetahuan pendidikan Islam dari Al-Quran, hadits dan praktek-praktek pendidikan Islam, kemudian dirumuskan dalam teori-teori ilmiah tentang pendidikan Islam.

Metode dialogis dalam epistemologi pendidikan Islam ini bisa mengambil bermacam-macam objek: ketentuan-ketentuan wahyu, baik yang terdapat pada Al-Quran maupun hadits yang disebut dengan konsep-konsep normatif, pendapat-pendapat para pakar pendidikan  Islam, baik pada masa lampau maupun sekarang yang disebut konsep-konsep teoritis, dan pengamatan terhadap pengalaman-pengalaman melaksanakan pendidikan bagi kaum Muslim, baik dahulu maupun sekarang yang bisa disebut “konsep-konsep empiris”. Semua Objek itu ada dalam bingkai keislaman karena Islam terbagi menjadi dua, yaitu Islam dalam arti wahyu dan Islam dalam arti budaya. Islam wahyu berupa Al-Quran dan hadis sedang Islam budaya berupa pemikiran, pengalaman, maupun tradisi umat Islam.

d.      Metode Komparatif (Manhaj Maqaran)

Metode komparatif adalah metode memperoleh pengetahuan (dalam hal ini pengetahuan pendidikan Islam, baik sesama pendidikan Islam maupun pendidikan Islam dengan pendidikan lainnya). Metode ini ditempuh untuk mencari keunggulan-keunggulan maupun memadukan pengertian atau pemahaman, supaya didapatkan ketegasan maksud dari permasalahan pendidikan. Maka metode komparatif ini masih bisa dibedakan dengan pendidikan perbandingan. Metode komparatif sebagai salah satu metode epistemologi pendidikan Islam objek yang beragam untuk diperbandingkan, yaitu meliputi: perbandingan sesama Ayat Al-Quran tentang pendidikan, antara ayat-ayat pendidikan dengan hadits-hadits pendidikan, antara sesama hadits pendidikan, antara sesama teori dari pemikir pendidikan, antara sesama teori dari pakar pendidikan Islam dan non Islam, antara sesama lembaga pendidikan Islam, antara sesama lembaga pendidikan Islam dengan lembaga pendidikan non Islam, antara sesama sejarah umat Islam dahulu dan sekarang.

e.       Metode Kritik (Manhaj Naqdi)

Metode kritik yaitu sebagai usaha untuk menggali pengetahuan tentang pendidikan Islam dgan cara mengoreksi kelemahan-kelemahan suatu konsep atau aplikasi pendidikan, kemudian menawarkan solusi sebagai altrnatif pemecahannya.

Jadi maksudnya kritik bukan karena adanya kebencian, melainkan karena adanya kejanggalan-kejanggalan atau kelemahan-kelemahan yang harus diluruskan. Sebenarnya kritik adalah metode kita yang sudah ada sejak dulu dari ilmu kalam, fiqh, sejarah Islam maupun hadits. Namun sayangnya sekarang jarang sekali kalangan Muslim yang berpijak pada metode kritik ketika mengungkapkan gagasan-gagasannya.

Salah satau pemikir muslim yang karya-karyanya bernuansa kritik adalah Muhammad Arkoun. Beliau mengkritik bangunan epistemologi keilmuan agama Islam.

Sebenarnya kritik itu berkonotasi dalam makna upaya membangun, tidak seperti yang kita pahami selama ini bahwa kritik adalah penghinaan. Dan itu berakibat umat muslim merasa tidak suka terhadap kritik. Dengan menggunakan metode kritik dapat mengkritik teori barat yang tidak sepaham dengan nas-nas wahyu yang berkaitan dengan pendidikan Islam.[7]        

C.    Aksiologi Filsafat Pendidikan Islam

Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar dan logos yang berarti ilmu.Aksiologi dipahami sebagai teori nilai.

Landasan aksiologi adalah berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia berikut manfaatnya bagi kehidupan manusia.

Dengan kata lain, apa yang dapat disumbangkan ilmu terhadap pengembangan ilmu itu dalam meningkatkan kualitas hidup manusia.

Dalam bahasan lain, tujuan keilmuan dan pendidikan Islam yang berusaha untuk mencapai kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat ini esuai denganMaqasid al-Syariah yakni tujuan Allah SWT dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum Islam. Sementara menurut Wahbah al Zuhaili, Maqasid Al Syariah berarti nilai- nilai dan sasaran syara' yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai- nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-Syari' dalam setiap ketentuan hukum.[8]

Kemudian Muzayyin Arifin memberikan definisi aksiologi sebagai suatu pemikiran tentang masalah nilai- nilai termasuk nilai tinggi dari Tuhan, misalnya nilai moral, nilai agama, dan nilai keindahan (estetika).[9]

Jika aksiologi ini dinilai dari sisi ilmuwan, maka aksiologi dapat diartikan sebagai

telaah tentang nilai - nilai yang dipegang ilmuwan dalam memilih dan menentukan prioritas bidang penelitian ilmu pengetahuan serta penerapan dan pemanfaatannya.[10]

Aksiologi : Nilai kegunaan ilmu, penyelidikan tentang prinsip-prinsip nilai.

Macam-macam nilai dalam aksiologi

Brameld dalam Syom (1988) membagi ni­lai dalam aksiologi menjadi:

1.      Moral conduct, tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu Ethika.

2.      Esthetic expression, ekspresi keindahan, yang melahirkan Esthetika,.

3.      Socio-polical life, kehidupan sosio-politik, yang melahirkan ilmu filsofat sosio-politik.

Masalah-masalah aksiologi di atas menjelaskan dengan kriteria atau prinsip tertentu, apakah yang dianggap baik di dalam tingkah laku manusia itu, apakah yang dimaksud in­dah dalam seni dan apakah yang benar dan diinginkan dalam organisasi social kemasyarakatan-kenegaraan.

Implikasi aksiologi dalam dunia pendidikan adalah menguji dan mengintegrasikan nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan membinakannya dalam kepribadian anak didik. Memang un­tuk menjelaskan apakah yang baik itu, benar, buruk dan jahat bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi, baik, benar, indah dan buruk, dalam arti mendalam dimaksudkan untuk membina kepribadian ideal anak, jelas merupakan tugas utama pendidikan.

Pendidikan harus memberikan pemahaman/pengertian baik, benar, bagus, buruk dan sejenisnya kepada peserta didik secara komprehensif dalam arti dilihat dari segi etika, estetika dan nilai sosial. Dalam masyarakat, nilai-nilai itu terintegrasi dan saling berinteraksi. Nilai-nilai di dalam rumah tangga/keluarga, tetangga, kota, negara adalah nilai-nilai yang tak mungkin diabaikan dunia pendidikan bahkan sebalik­nya harus mendapat perhatian..

[1] Mohammad Adib. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epitemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 69

[2] Ibid.

[3] Muhammad Yusri. Ontopologi, Episteminologi dan Aksiologi Filsafat Pendidikan Islam.

[4] Ahmad Syari’i. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 123

[5] Mohammad Adib.Loc.cit,hlm.74-75.

[6] Ibid.

[7]http://fitrianahadi.blogspot.com/2015/02/epistemologi-ilmu-pendidikan-islam.html. diunduh pada Senin,16 Maret 2015/10.00

[8] Ibid. Hlm. 79.

[9] Muzayyin Arifin. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm. 8

[10] Ilyas Supena. Desain Ilmu -ilmu Keislaman: dalam Pemikiran Hermeneutika Fazlur Rahman. (Semarang: Walisongo Press, 2008), hlm. 151.

Sourche: nurulhusnayusuf




Baca Artikel Terkait: