-->

Kamis, 08 Desember 2016

21.000 Muslim Rohingya Melarikan Diri ke Bangladesh Dalam 2 Bulan Terakhir

DHAKA, (afdhalilahi.com) – Sekitar 21.000 Muslim Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh dalam beberapa pekan terakhir untuk menghindari tindak kekejaman dan kekerasan yang meletus bulan lalu, demikian pernyataan seorang pejabat  International Organization for Migration (IOM), hari Selasa (06/12).

Bangladesh telah meningkatkan patroli di perbatasan, untuk membendung gelombang pengungsi yang telah melarikan diri dari tindakan kekejaman berdarah oleh militer Myanmar di negara bagian barat Rakhine sejak awal Oktober lalu.

Sanjukta Sahany, Kepala Kantor IOM (International Organization for Migration) di Distrik Cox Bazar, wilayah tenggara Bangladesh yang berbatasan dengan Rakhine, mengatakan, bahwa sekitar 21.000 anggota minoritas Rohingya telah menyeberang dalam 2 bulan terakhir.

Sebagian besar dari mereka berupaya berlindung di pemukiman-pemukiman darurat, kamp-kamp pengungsi resmi dan desa-desa di Bangladesh, kata Sanjukta Sahany.

“Diperkirakan 21.000 Muslim Rohingya telah tiba di Distrik Cox Bazar antara 9 Oktober dan 2 Desember,” kata Sahany kepada AFP melalui sambungan telepon.

“Hal ini didasarkan pada angka-angka yang dikumpulkan oleh Badan-Badan PBB dan LSM internasional” (organisasi non-pemerintah).”, pungkasnya.

Para pengungsi Rohingya yang diwawancarai oleh AFP di dalam Bangladesh menuturkan cerita-cerita mengerikan tentang pemerkosaan, penyiksaan dan pembunuhan di tangan pasukan keamanan Myanmar.

Kesaksian Pengungsi Rohingya

Dihimpun dari laporan CNN, terkait kesaksian beberapa pengungsi Rohingya yang tiba di Bangladesh, mengatakan bahwa mereka mengalami pemerkosaan, penyiksaan, dan menyaksikan rumah-rumah mereka dibakar dan para anggota keluarganya dieksekusi.

“Jika (militer) menemukan ada anak laki-laki berusia di atas 10 tahun, mereka membunuh mereka. Para Pria juga ditangkapi oleh militer,” kata Lalu Begum.

“Ketika militer datang, kami melarikan diri dari rumah kami. Saya tidak tahu apakah suami saya sekarang hidup atau mati.”, pungkasnya.

Begum, saat ini tinggal di kamp Kutupalong di Bangladesh selatan, Ia mengatakan kepada CNN beberapa perempuan di desanya telah diperkosa oleh tentara rezim Myanmar.

“Ketika mereka melihat wanita cantik, mereka meminta air, kemudian mereka masuk ke dalam rumah dan memperkosa mereka,” jelasnya.

Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Rakhine, di mana mereka  dianiaya, dan menajdi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.

John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”

“Ini tampaknya menjadi tujuan militer Myanmar untuk membersihkan etnis populasi ini,” pungkasnya kepada CNN.

BBC melaporkan bahwa John McKissick, perwakilan Badan Pengungsi PBB, UNHCR, menyatakan bahwa “pasukan Myanmar telah membunuhi dan menembaki mereka [Rohingya], menyembelih anak-anak mereka, memperkosa wanita-wanitanya, membakar dan menjarah rumah-rumah mereka, memaksa mereka [Rohingya] untuk menyeberangi sungai menuju wilayah negara tetangga Bangladesh.”

Puluhan ribu Rohingya telah melintasi perbatasan selama beberapa dekade untuk mencari perlindungan di beberapa kamp pengungsian di dekat Cox Bazaar.

“Sekarang sangat sulit bagi pemerintah Bangladesh untuk mengatakan bahwa “perbatasannya terbuka” karena ini lebih lanjut akan mendorong pemerintah Myanmar untuk melanjutkan kekejaman dan terus mendorong mereka mengusir Rohingya sampai mereka mencapai tujuan akhirnya yakni pembersihan etnis minoritas Muslim di Myanmar,” pungkas John McKissick kepada BBC.

Jalan Mematikan

Para pengungsi di Kutupalong mengatakan mereka meninggalkan rumah-rumah mereka di tengah malam, berpindah dari desa ke desa untuk mencoba dan menghindari tentara, kemudian mereka melintasi Sungai Naf untuk menyeberang ke Bangladesh.

“Butuh waktu 4 hari,” kata Begum. “Ketika desa kami dibakar, kami pindah ke desa lain, dan terus mengubah posisi kami. Dengan cara ini kami akhirnya sampai ke tepi sungai.”

Sepanjang perjalanan yang berbahaya ini, banyak anggota keluarga kami yang hilang.

“Ketika kami memulai perjalanan kami, ada 6 anggota keluarga kami. Kini Kami kehilangan 3 anggota keluarga kami,” pungkas adik ipar Lalu Begum, Nassima Khatun mengatakan kepada CNN.

“Suami saya dan anak laki-laki saya dibunuh, dan anak saya lainnya hilang.”

CNN tidak dapat secara independen memverifikasi laporan-laporan ini dari pengungsi – ataupun video-video yang diposting di media sosial, yang muncul untuk menunjukkan kekerasan dan korban-korban dalam kekejaman di Rakhine –  wilayah Rakhine saat ini berada dalam blokade operasi zona militer dengan larangan dibukanya akses media dan lembaga bantuan kemanusiaan.

“Kami telah meminta pemerintah untuk menyediakan kami akses, sehingga kami dapat memperkirakan angka yang sebenarnya,” kata John McKissick.

“Kami sendiri melihat (para pengungsi) melarikan diri melintasi perbatasan, memasuki wilayah Bangladesh, di hutan, di jalan-jalan utama, di desa-desa, di kamp-kamp darurat.”, ujar pejabat UNHCR itu.

Situasi Perbatasan Bangladesh-Myanmar

Bagi banyak Rohingya, yang mencapai perbatasan, hal itu tidak berarti akan mengakhiri penderitaan mereka.

Bangladesh telah memperketat keamanan untuk mencoba dan mendorong para pengungsi kembali ke Myanmar, karena negara berjuang untuk mengatasi masuknya ribuan pengungsi.

Ribuan Muslim Rohingya dari Myanmar sudah menyeberang perbatasan, dan pemerintah Bangladesh mengatakan “ribuan lainnya telah dilaporkan berkumpul di dekat perbatasan.”

Pemerintah Bangladesh bahkan memanggil Duta Besar Myanmar di Dhaka pada Rabu (23/11) untuk mengungkapkan keprihatinannya pada “situasi yang memburuk (di Rakhine) setelah tindakan keras militer negara itu.”

Pemerintah Myanmar telah membantah laporan-laporan pelanggaran hak asasi manusia di Rakhine, mengklaim bahwa militer sedang melakukan “operasi pembersihan” yang menargetkan diduga “penyerang pos penjaga perbatasan” yang menewaskan 9 polisi  pada tanggal 9 Oktober, menurut media pemerintah.

Sejak itu, media pemerintah mengatakan lebih dari 100 orang telah tewas, dan sekitar 600 lainnya telah ditangkap.

“Skala masalah di negara bagian Rakhine sangat menyedihkan, di mana Muslim Rohingya benar-benar terjebak,” kata John McKissick, pejabat Badan Pengungsi PBB, UNHCR.

“Pemerintah Myanmar terlibat dalam hukuman kolektif terhadap minoritas etnis Rohingya.”, imbuhnya.

Desa-Desa Muslim Rohingya Dihancurkan

Sebuah laporan Human Rights Watch baru-baru ini menunjukkan gambar-gambar satelit, dimana 1.250 rumah Muslim Rohingya dibakar oleh pihak berwenang Myanmar, laporan HRW ini ditolak pemerintah, lantas menyebut bahwa “penyerang” dari dari desa-desa Rohingya lah yang melakukan pembakaran.

“Gambar-gambar satelit terbaru ini sangat mengkhawatirkan dan mengkonfirmasi bahwa kehancuran di desa-desa Muslim Rohingya jauh lebih besar dan ternyata ada di lebih banyak tempat dari yang pemerintah akui,” kata Brad Adams, Direktur Human Rights Watch Kawasan Asia.

“Serangan-serangan pembakaran jelas-jelas dilakukan terhadap 5 desa Muslim Rohingya, ini adalah masalah keprihatinan dimana pemerintah Myanmar perlu menyelidiki dan mengadili pihak-pihak yang bertanggung jawab.”

Pemimpin de facto pemerintah Myanmar, peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, telah membuat beberapa komentar publik tentang krisis Rohingya ini. Sementara pendukung hak asasi manusia internasional terus mengkritik keras diamnya Suu Kyi. Para analis politik mengatakan masalah ini menunjukkan terbatasnya kekuatan Suu Kyi dan Partai NLD dalam peemrintahan, pihak militer Myanmar masih mengontrol Kementerian-Kemeneterian kunci seperti Kementrian Dalam Negeri, Kementerian Urusan Perbatasan dan Kementerian Pertahanan.

“Myanmar harus mengikuti hukum internasional dan menghormati hak asasi manusia, dan mereka tidak melakukan itu sekarang, dan tampaknya bahwa pemerintah yang dipilih secara demokratis tidak memiliki kontrol atas militer,” kata John McKissick, pejabat UNHCR.

CNN telah meminta kantor Suu Kyi untuk berkomentar pada beberapa kesempatan, tetapi kantor Suu Kyi belum memberikan tanggapan, tentang situasi ini.

Kami [Pengungsi Rohingya] Tidak akan kembali!, Mereka Akan Membunuhi Kami!

Lalu Begum salah satu pengungsi Rohingya di perbatasan, mengatakan Perginya mereka ke Bangladesh adalah karena kurangnya tindakan pemerintah, sehingga menyebabkan dia dan keluarhanya memutuskan untuk pergi.

“Di desa-desa kami, di mana kami tinggal, tidak ada Muslim Rohingya yang tersisa. Semua dari mereka melarikan diri dari rumah-rumah mereka,” pungkasnya.

Untuk Nassima Khatun dan banyak pengungsi Rohingya lainnya, kembali ke Myanmar bukanlah sebuah pilihan, setidaknya sampai kekerasan berakhir.

“Kami meninggalkan semua barang-barang kami di sana. Kami meninggalkan segalanya untuk menyelamatkan hidup kami. Sekarang, bagaimana bisa kami kembali?” kata Khatun.

“Mereka akan membunuh kami.”
Sourche: panjimas.com




Baca Artikel Terkait: