-->

Jumat, 30 Maret 2018


Sejarah Seluk Beluk Kerajaan Siak, Riau

Sejarah Bercerita Mengenai Seluk Beluk Kerajaan Siak, Riau - Kerajaan Siak adalah sebuah kerajaan Melayu Islam yang terbesar di daerah Riau, terdapat di Kabupaten Siak Srindrapura, dengan larak tempuh sekitar 2-3 jam dari Kota Pekanbaru. Kerajaan Siak mencapai masa jayanya pada abad ke 16 sampai abad ke 20. Dalam silsilah Sultan-sultan Kerajaan Siak Sri Indrapura dimulai pada tahun 1725 dengan 12 sultan yang pernah bertahta. Kini, sebagai bukti sejarah atas kebesaran kerajaan Melayu Islam di Siak ini, dapat dilihat peninggalan kerajaan berupa kompleks Istana Kerajaan Siak yang dibangun oleh Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin pada tahun 1889 dengan nama ASSIRAYATUL HASYIMIAH lengkap dengan peralatan kerajaan. Sekarang Istana Kerajaan Siak Sri Indrapura dijadikan tempat penyimpanan benda-benda koleksi kerajaan.

Diantara koleksi benda antik Istana Siak adalah: Keramik dari Cina, Eropa, Kursi-kursi kristal dibuat tahun 1896, Patung perunggu Ratu Wihemina merupakan hadiah Kerajaan Belanda, patung pualam Sultan Syarim Hasim I bermata berlian dibuat pada tahun 1889, perkakas seperti sendok, piring, gelas-cangkir berlambangkan Kerajaan Siak masih terdapat dalam Istana, komet , kapal kato (kapal raja siak).


Sebelum berdirinya Kerajaan Siak II pada tahun 1723 oleh Sultan Abdul Jalil Rachmad Syah yang di Pertuan Raja Kecil yang pusat pemerintahannya di Kota Buantan, kawasan Siak sampai batas Minangkabau dan pantai Timur Pulau Sumatera dibawah kekuasaan Kerajaan Johor sebagai penerus imperium Melaka. Kerajaan Gasib merupakan Kerajaan Siak I yang berkedudukan di Sungai Gasib di Hulu Sungai Siak. Kerajaan ini adalah pecahan Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Muara Takus. Raja yang terakhir dari Kerajaan Gasib ini yang telah beragama islam adalah Sultan Hasan yang ditabalkan menjadi Raja oleh Sultan Johor. Kerajaan Siak I berakhir kekuasaannya pada tahun 1622 M.

Selama 100 tahun negeri ini tidak mempunyai raja, untuk mengawasi negeri ini ditunjuk seorang Syahbandar yang berkedudukan di Sabak Auh dikuala sungai siak dengan tugas memungut cukai hasil hutan, timah dan hasil laut di kawasan Kerajaan Johor.

Pada permulaan tahun 1622 Sultan Mahmud Syah , Sultan Johor Ayahanda Raja Kecil dibunuh oleh Megat Sri Rama sewaktu pulang dari Sholat Jum’at. Kerajaan Johor diambil alih oleh Datuk Bendahara Tun Hebab dan mengangkat dirinya sebagai raja Johor memakai gelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah (1699-1719). Keluarga Sultan Mahmud Syah II dikejar dan dibunuh, termasuk orang-orang besar Kerajaan, dayang-dayang serta pengikut setia, maksudnya untuk menghilangkan keturunan Sultan Mahmud Syah II.

Tindakan ini bukanlah menambah kewibawaan dan kekuasaan tetapi sebaliknya timbul kebencian serta kekacauan dimana-mana di Negeri Johor dan daerah taklukannya. Beberapa daerah taklukannya melepaskan diri seperti : Indragiri, Kampar, Kedah, Kelantan, Trenggano dan Petani. Orang Minangkabau, Bugis, yang hidup sebagai pengembara memusuhi Sultan termasuk orang-orang Melayu di Petani.

Encik Pung, Ibunda Raja Kecil dapat diselamatkan oleh Ayahandanya Datuk Laksemana Johor, maka Encik Pung melahirkan putra lelaki bernama Raja Kecil yang dipanggil Tuan Bujang dan dapat disembunyikan sampai Raja Kecil berumur 7 tahun. Karena pengejaran terus dilaksanakan oleh Sultan Abdul Jalil Riayat Syah terhadap Raja Kecil sebagai pewaris Kesultanan Johor, maka neneknya Datuk Laksemana Johor kemudian dibantu oleh Raja Negara di Singapura dan Datuk Temenggung Muar, maka Raja Kecil bersama ibunya Encik Pung dititipkan kepada saudagar orang Minangkabau yang bergelar Nakhoda Malim untuk dibawa ke Jambi dan kemudian terus ke Pagaruyung dan diserahkan kepada Raja Pagaruyung Yang Tuan Sakti untuk mendapatkan perlindungan.

Di Pagaruyung Raja Kecil dididik dan dibesarkan sebagai anak Raja sehingga mendapat pengetahuan menangani pemerintahan, agama, adat istiadat, kemiliteran dan bela diri. Setelah itu maka Raja Kecil tiada berhenti daripada menuntut ilmu dunia akhirat, tiada meninggalkan sembahyang dan terdekat dengan guru agama dan guru-guru dunia dan bercampur dengan orang besar yang bijaksana. Raja Kecil menuntut bela atas kematian ayahandanya, merebut kembali tahta Kerajaan Johor. Raja Kecil mempersiapkan kekuatan untuk menyerang Johor dengan mendapat bantuan orang Batu Bara yang berasal dari Minang kabau, Orang-orang Melayu Pesisir di Tanah Putih dan Kubu. DiBengkalis Raja Kecil mengatur kekuatan dan mendapat bantuan dari orang-orang Minang kabau yang ada disana serta orang Melayu yang setia dengan Sultan Mahmud Syah II.

Pada tanggal 21 Maret 1717, Tahta Kerajaan Johor jatuh ketangan Raja Kecil. Sultan Abdul Jalil Riayat Syah turun tahta yang telah memerintah di Kerajaan Johor pada tahun 1699-1717. Pemerintahan Raja Kecil tidak bertahan lama di Kerajaan Johor, karena Daeng Parani sangat marah dan dendam serta ditambah pula hasutan Tengku Tengan yang semula bakal menjadi isteri Raja Kecil sebagai permaisuri Kerajaan Johor gagal, karena Raja Kecil sangat senang dengan adiknya yaitu Tengku Kamariyah. Akhirnya Tengku Kamariyah menjadi permaisuri Kerajaan Johor isteri Raja Kecil. Daeng Parani, Tengku Sulaiman dan Tengku Tengah bersepakat untuk merebut kembali kekuasaan Raja Kecil di Johor. Terjadilah perang saudara anatar Raja Kecil sepihak dengan Tengku Sulaiman, sedangkan Tengku Tengah dan Daeng Parani dengan pengikutnya orang-orang Bugis membantu Sultan Sulaiman.

Serangan ke Bintan untuk membalas dendam dilanjutkan pada tahun 1723, Raja Kecil berhasil mengambil isteri Tengku Kamariyah beserta pembesar Kerajaan yang ditawan. Raja Kecil kembali ke Bengkalis dan mencari daerah yang aman dari serangan orang luar dan mendirikan Kerajaan baru yang terletak di Sungai Siak yaitu di Kota Buantan. Kerajaan ini diberi nama Kerajaan Siak. Raja Kecil dengan Kerajaan Siak ini menyusun kekuatan untuk menyerang Bintan. Serangan ini terus menerus dilaksanakan hingga tahun 1737.

Raja Kecil kembali ke Siak mendirikan pusat Kerajaan dan membangun negeri Buantan yang terletak dipinggir Sungai Siak yang dikenal dengan nama Sungai Jantan. Dipusat Kerajaan Sultan Abdul Jalil Rachmat Syah melakukan konsolidasi dalam bidang bidang pemerintahan, militer dan perbaikan perekonomian negerinya. Setelah wafatnya Tengku Kamariyah, isteri Raja Kecil yang tercinta yang sangat setia kepada suaminya di Kota Buantan, Raja Kecil sering sakit dan mendapatkan tekanan batin. Pada tahun 1746 Raja Kecil dengan gelar Sultan Abdul Jalil Rachmat Syah mangkat, beliau disemayamkan di Kota Buantan dan digelar MARHUM BUANTAN.

Pada penghujung tahun 1724 Raja Kecil memilih sebuah tempat untuk menjadi pusat kerajaan. Tempat itu diberi nama “ Kota Buantan “, disinilah Kerajaan Siak berpusat.Kerajaan Siak diwariskan kepada anak cucunya dengan garis keturunan berdasarkan Syariat Islam (keturunan ayah) sebagai berikut :
1. Raja Kecik
Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah (1723-1746 M) dengan ibukota Kerajaan di Buantan mangkat di Buantan yang disebut rakyat almarhum Buantan

2. Tengku Buang Asmara
Memerintah antara tahun 1746-1765 M yang merupakan Putra Bungsu Raja Kecik dengan ibukota Kerajaan di Sungai Mempura yang disebut rakyat almarhum Mempura.
3. Tengku Ismail
Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1765-1766 M). Putra Tengku Buang Asmara dengan Ibukota Kerajaan di Sungai Mempura Besar, disebut rakyat almarhum mangkat di Balai atau terkenal juga Sultan Kudung karena tangan almarhum sebelahnya Kudung, dalam perlawanannya menentang Belanda tahun 1766 M.
4. Tengku Alam
Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (1766-1780 M). Putra sulung Raja Kecik dengan Ibukota Kerajaan di Senapelan (Pekanbaru), mangkat di Senapelan (dekat mesjid Raya Pekanbaru) disebut rakyat almarhum Bukit.

5. Tengku Muhammad Ali Panglima Besar
Sultan Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (1780-1782 M). Putra Tengku Alam dengan Ibukota Kerajaan di Senapelan, mangkat di Senapelan dan disebut rakyat almarhum Pekan (yang menghubungkan Kota Pekanbaru, Minangkabau dan Indragiri).

6. Tengku Yahya
Sultan Yahya Abdul Jalil Muzzaffar Syah (1782-1784 M). Putra dari Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah, dengan Ibukota Kerajaan di Sungai Mempura, mangkat di Dungun (Malaka) disebut rakyat almarhum Dungun.

7. Tengku Sayed Ali
Sultan Assyaidis Sarif Ali Abdul Jalil Syarifuddin (1784-1810 M). Putra Tengku Embung Badariah (Putri Tengku Alam) yang kawin dengan Sayed Syarief Usman Syahbuddin (Arab). Ibukota Kerajaan di Kota Tinggi (Siak Sri Indrapura), mangkat di Kota Tinggi disebut rakyat almarhum Kota Tinggi.

8. Tengku Sayed Ibrahim
Sultan Assyaidis Syarief Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin (1810-1815 M) karena kesehatan Sultan terganggu, maka Pemerintahan dijalankan oleh wali Sultan.
Pada tahun 1813, Sultan Ibrahim mangkat dan dimakamkan di Kota Tinggi yang disebut rakyat almarhum Pura Kecil.

9. Tengku Sayed Ismail
Sultan Assyaidis Syarief Ismail Abdul Jalil Syarifuddin (1815-1864 M). Pada masa pemerintahan beliaulah adanya Tractat Siak-Belanda dimana Belanda mengakui Siak. Dimakamkan di Kota Tinggi yang disebut almarhum Indrapura.

10. Tengku Panglima Besar Sayed Kasyim I
Tengku Panglima Besar Sayed Kasyim I, Sultan Assyaidis Syarief Kasim I Abdul Jalil Syarifuddin (1864-1889 M) putra dari Sultan Ismail. Dimakamkan di Kota Tinggi dan disebut almarhum Mahkota.

11. Tengku Ngah Sayed Hasyim
Sultan Assyaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syarifuddin (1889-1908), putra dari Sultan Kasyim I. Sultan Syarif Hasyim mendirikan Istana yang diberi nama Istana Asserayah Hasyimiah. Mangkat di Singapura dan dimakamkan di Kota Tinggi. Disebut rakyat almarhum Baginda.

12. Tengku Putra Sayed Kasyim
Sultan Assyaidis Syarief Kasyim Sani (II) Abdul Jalil Syarifuddin (3 Maret 1915-1946). Sultan Syarif Kasyim memiliki 2 orang permaisuri, yaitu :
- Permaisuri I
Tengku Bin Syarifah Latifah digelar Tengku Agung, mangkat tahun 1927 di Siak Sri Indrapura. Dimakamkan di samping Mesjid Syahbuddin Siak Sri Indrapura.
- Permaisuri I
Syarifah Fadlun dengan gelar Tengku Maharatu, bercerai hidup tahun 1950 di Jakarta, mangkat di Jakarta tahun 1980 dimakamkan di Jakarta.
Beliau merupakan Sultan yang terakhir dari Kerajaan Siak. Beliau mangkat di Rumah Sakit Caltex Rumbai dan dimakamkan disamping Mesjid Syahbuddin Siak Sri Indrapura pada tanggal 24 April 1968.


Sistem Pemerintahan

Raja Kecil (1723-1746) merupakan pendiri Kesultanan Siak Sri Indrapura sekaligus sultan pertama yang membangun landasan sistem pemerintahan di Kesultanan Siak Sri Indrapura. Sistem pemerintahan di Kesultanan Siak Sri Indrapura mengatur bahwa seorang sultan dibantu oleh Dewan Kesultanan yang berfungsi sebagai pelaksana dan penasehat sultan. Di dalam buku Selintas Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Peninggalannya (1999/2000), Dewan Kesultanan tersebut terdiri dari:
Datuk Tanah Datar dengan gelar Sri Paduka Raja
Datuk Lima Puluh dengan gelar Sri Bejuangsa
Datuk Pesisir dengan gelar Sri Dewa Raja
Datuk Kampar dengan gelar Maharaja Sri Wangsa

Di samping keempat datuk tersebut ada pula Datuk Bintara Kanan dan Kiri yang mengatur tata pemerintahan, hukum dan undang-undang kesultanan; Datuk Laksmana untuk mengatur laut; dan Panglima untuk kawasan darat (Norma Dewi et.al., 1999/2000:6-7).

Di luar pusat pemerintahan, Kesultanan Siak Sri Indrapura juga mengatur sistem pemerintahan di daerah. Sebagaimana tercatat di buku Sejarah Riau (2004), pemerintahan di daerah-daerah dipegang oleh Kepala Suku yang bergelar Penghulu, Orang Kaya, dan Batin. Ketiga jabatan tersebut sama kedudukannya, hanya saja Penghulu tidak mempunyai hutan tanah. Dalam menjalankan tugasnya Penghulu dibantu oleh:
Sangko Penghulu (wakil Penghulu)
Malim Penghulu (pembantu urusan kepercayaan/agama)
Lelo Penghulu (pembantu urusan adat sekaligus berfungsi sebagai Hulubalang).

Batin dan Orang Kaya adalah orang yang mengepalai suku asli. Jabatan ini didapat secara turun temurun. Batin mempunyai hutan tanah (ulayat). Dalam menjalankan tugasnya, Batin dibantu oleh:
Tongkat (pembantu Batin dalam urusan yang menyangkut kewajiban-kewajiban terhadap sultan)
Monti (pembantu Batin urusan adat)
Antan-antan (pembantu Batin yang sewaktu-waktu dapat mewakili Tongkat atau Monti jika keduanya berhalangan). 

Pada masa pemerintahan Raja Kecil, terdapat beberapa perbatinan di sepanjang aliran Sungai Siak, antara lain: Perbatinan Gassib, Senapelan, Sejaleh, dan Perawang. Perbatinan sebelah selatan Sungai Siak antara lain: Perbatinan Sakai dan Petalangan. Sedangkan perbatinan di pulau-pulau, antara lain : Perbatinan Tebing Tinggi, Senggoro, Merbau, dan Rangsang. Sementara itu, daerah asli yang kepala sukunya disebut penghulu antara lain: Siak Kecil, Siak Besar, Betung, dan Rempah (Yuli S. Setyowati [ed.]., 2004:204-205).

Model sistem pemerintahan yang dirancang oleh Raja Kecil bertahan hingga Kesultanan Siak Sri Indrapura diperintah oleh Sultan Assyaidis Syarif Hasim Abdul Jalil Syarifuddin (1889-1908). Sultan Assyaidis Syarif Hasim Abdul Jalil Syarifuddin merubah sistem pemerintahan dan meletakkan landasan sistem pemerintahan Monarki Konstitusional. Sistem ini ditandai dengan penyusunan dan pemberlakukan Al Qawaid atau Babul Qawaid (konstitusi tertulis Kesultanan Siak Sri Indrapura).

Babul Qawaid merupakan kitab undang-undang di Kesultanan Siak Sri Indrapura. Kitab setebal 90 halaman ini menguraikan tentang hukum yang dikenakan kepada orang Melayu maupun bangsa lain yang berhubungan dengan orang Melayu. Di dalam buku Siak Sri Indrapura (2005) dijelaskan bahwa bagian pertama Babul Qawaid merupakan bagian pembukaan yang terdiri dari dua pasal dan menjelaskan tentang motivasi, latar belakang, nama dari naskah ini, dan menyebutkan bahwa isinya tidak berlaku sebagai hukum bagi penduduk bukan Melayu atau Melayu yang menjadi pegawai Pemerintah Hindia Belanda, kecuali yang terlibat perkara dengan orang Melayu. Pengadilan untuk kasus ini akan melibatkan pejabat Kesultanan Siak Sri Indrapura dan pejabat Pemerintah Hindia Belanda (Adila Suwarno et.al., 2005:88).

Nukilan Babul Qawaid

Masih di dalam buku Siak Sri Indrapura (2005), pada bagian utama Babul Qawaid terdiri dari 22 bab yang mencakup 154 pasal. Bab pertama merinci pembagian negeri ke dalam 10 provinsi dan batas-batasnya. Selanjutnya tertulis pula bab-bab yang mengatur, antara lain: Gelar yang Berkuasa di Kerapatan Tinggi, Besaran Hukuman yang Akan Disidang di Kerapatan Tinggi, Perkara yang Akan Disidang di Hadapan Hakim Polisi, Tugas Hakim Polisi Kesultanan dan Provinsi Jajahan, Nama-nama Suku (Adila Suwarno et.al., 2005:88).

Selain Babul Qawaid, perubahan sistem pemeritahan juga terlihat pada lembaga pemerintahan di Kesultanan Siak Sri Indrapura. Di dalam buku Selintas Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Peninggalannya(1999/2000), disebutkan bahwa di dalam menjalankan pemerintahan, sultan dibantu oleh para pejabat kesultanan yang memimpin lembaga, baik di pusat maupun di daerah yang terdiri dari:
Sultan

Merupakan kepala pemerintahan, pemegang kedaulatan dan administratur tertinggi.
Dewan Menteri (Dewan Kesultanan)

Dewan ini bertugas memilih dan mengangkat sultan. Dewan ini bersama dengan sultan membuat undang-undang dan peraturan.
Hakim Kerapatan Tinggi

Hakim Kerapatan Tinggi bertugas dalam pelaksanaan pengadilan umum. Sedang Balai Kerapatan Tinggi adalah tempat untuk menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi pada rakyat Siak. Kepala dari Kerapatan Tinggi adalah sultan dan didampingi oleh para Datuk. Kadi negeri Siak dan Controleur Siak berfungsi sebagai anggota.
Hakim Polisi

Merupakan kepala pemerintahan di tingkat provinsi sebagai wakil sultan. Wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura terdiri dari 10 provinsi.
Hakim Syariah

Hakim Syariah terbagi menjadi dua, pertama berkedudukan di Negeri Siak Sri Indrapura bergelar Kadi Siak. Tugas dari Kadi Siak menangani pengadilan tentang harta pusaka atau warisan dan masalah hukum adat. Kedua berkedudukan di daerah provinsi yang bergelar Imam Jajahan. Tugas Imam jajahan adalah membantu Kadi Siak.
Hakim Kepala Suku/Hinduk

Merupakan pemerintahan yang terendah menurut hierarki Kesultanan Siak Sri Indrapura. Hakim Kepala Suku/Hinduk bertugas melaksanakan pemerintahan dan mengatur kehidupan bermasyarakat, beragama, dan berkesultanan pada sukunya masing-masing. Hakim Kepala Suku/Hinduk tunduk pada Hakim Polisi Provinsi (Norma Dewi et.al., 1999/2000:7-8).

Perubahan sistem pemerintahan ini bertahan hingga muncul pewaris tahta, yaitu Tengku (Putera) Said Kasim II bergelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin. Hanya saja ketika pewaris tahta ini ditunjuk untuk menggantikan sultan yang telah mangkat, usia beliau masih terlalu muda yaitu berumur 16 tahun dan masih menempuh pendidikan di Batavia. Oleh karena itu diangkatlah dua pejabat sebagai wakil sultan, yaitu Tengku Besar Sayed Syagaf dan Datuk Lima Puluh. Tengku (Putera) Said Kasim II bergelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin sendiri akhirnya menduduki tahta Kesultanan Siak Sri Indrapura pada 1915 (Norma Dewi et.al., 1999/2000:7-8). Sehingga praktis mulai 1908-1915, pengampu kekuasaan tertinggi di Kesultanan Siak Sri Indrapura dipegang oleh dua pejabat pengganti sultan.

Ketika Tengku (Putera) Said Kasim II bergelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin resmi ditabalkan sebagai sultan, sistem pemerintahan di Kesultanan Siak Sri Indrapura telah diubah oleh Belanda. Wilayah kesultanan yang sebelumnya terdiri dari 10 provisi telah disempitkan menjadi 5 distrik. Sultan juga memerintah tanpa didampingi oleh Dewan Menteri (Dewan Kesultanan) karena kedudukan lembaga ini telah dihapuskan oleh Belanda. Sistem pemerintahan ini tetap berlangsung sampai Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin menyatakan bahwa Kesultanan Siak Sri Indrapura menjadi bagian dari Republik Indonesia pada 1946 (Norma Dewi et.al., 1999/2000:7-8).


Wilayah Kekuasaan

Wilayah kekuasaan Kesultanan Siak Sri Indrapura mengalami pasang surut sejak didirikan oleh Raja Kecil pada 1723 sampai pewaris tahta terakhir, Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin. Wilayah kekuasaan Kesultanan Siak Sri Indrapura setidaknya mengalami pasang surut pada tiga fase (kejadian). Pertama ketika diperintah oleh Raja Kecil (1723-1746), wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura mencakup wilayah Buantan sebagai pusat pemerintahan hingga wilayah perbatinan yang merupakan daerah perluasan wilayah. Sehingga dilihat dari wilayah perbatinan inilah, pada masa pemerintahan Raja Kecil, wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura mencakup wilayah Buantan, Gassib, Senapelan, Sejaleh, Perawang, Sakai, Petalangan, Tebing Tinggi, Senggoro, Merbau, dan Rangsang, Siak Kecil, Siak Besar, Betung, dan Rempah (Yuli S. Setyowati [ed.]., 2004:204-205). Ditambahkan pula bahwa wilayah Kesultanan Siak mencakup pula daerah Panai, Bilah, Asahan, dan Batu Bara (NN., 1985:16).

Wilayah kekuasaan Kesultanan Siak Sri Indrapura mencapai puncak perluasannya ketika diperintah oleh Tengku Said Ali bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi (1784-1810). Ketika diperintah oleh Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi, luas wilayah kekuasaan Kesultanan Siak Sri Indrapura mengalami perluasan wilayah sehingga mencakup 12 jajahan, yaitu Kotapinang Pagarawan, Batubara Bedagai, Kualuh, Panai, Bilah, Asahan, Serdang, Deli, Langkat, dan Temiang yang berbatasan dengan Aceh, selain daerah taklukan Sambas di Kalimantan, dan daerah kekuasaan Riau sendiri yang meliputi Kubu, Bangka, Tanah Putih, dan Pelalawan (Adila Suwarno et.al., 2005:71).

Perluasan wilayah kekuasaan Kesultanan Siak Sri Indrapura akhirnya mengalami penyempitan ketika Traktat Siak ditandatangani pada 1 Februari 1858 (Yuli S. Setyowati (ed.)., 2004:220). Perjanjian ini sendiri diwakili oleh dua orang, yaitu Residen Riau J.F. Niewenhuyzen dan Tengku Said Ismail bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syarifuddin (1827-1864). Isi dari Traktat Siak tersebut adalah:
Belanda mengakui hak otonomi Siak atas daerah Siak asli.
Siak menyerahkan daerah jajahannya, yaitu Deli, Serdang, Langkat, dan Asahan kepada Belanda (Yuli S. Setyowati (ed.)., 2004:220).

Dengan ditandatanganinya Traktat Siak berarti masa kolonial di Siak telah dimulai karena Kesultanan Siak Sri Indrapura dinyatakan bernaung di bawah Kerajaan Belanda (Adila Suwarno et.al., 2005:71).



Kehidupan Sosial-Budaya

a. Kehidupan Sosial

Kehidupan sosial di lingkungan Kesultanan Siak Sri Indrapura setidaknya dapat dipetakan ke dalam beberapa hal, antara lain: perekonomian, pendidikan, perluasan wilayah, dan pembangunan. Di bidang perekonomian, Kesultanan Siak Sri Indrapura pernah menjadi pusat perdagangan (bandar dagang) ketika pusat pemerintahan Kesultanan Siak Sri Indrapura berada di Senapelan. Puncak kejayaan bandar dagang dicapai ketika Kesultanan Siak Sri Indrapura diperintah oleh Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (1766-1780) dan dilanjutkan oleh puteranya, Tengku Muhammad Ali Panglima Besar bergelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (1780-1782). Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah membuat sebuah pekan (pasar) untuk perdagangan. Tempat tersebut kini dikenal sebagai Pekanbaru (Yuli S. Setyowati [ed.]., 2004:211). Selama memerintah beliau memperbesar pusat perdagangan dan membuka alur perdagangan dengan daerah pedalaman yang menghubungkan antara Senapelan dengan daerah-daerah penghasil bahan yang diperdagangkan (lada, gambir, rotan, damar, kayu, dan lain-lain). Jalur pedagangan tersebut menuju ke arah selatan dan barat. Jalur ke arah selatan sampai Teratak Bulu dan Buluh Cina. Sedangkan jalur ke arah barat sampai Bangkinang terus ke Rantau Berangin (Yuli S. Setyowati [ed.]., 2004:211). Semakin besarnya pengaruh Pekanbaru sebagai pusat perdagangan di Sumatera Timur, menjadikan Belanda yang menguasai Guntung dan mendirikan loji di sana, terpaksa menutup loji karena pusat perdagangan kini tidak lagi melewati Guntung akan tetapi ke Pekanbaru.

Di bidang pendidikan, kemajuan yang sangat signifikan ditunjukkan ketika Kesultanan Siak Sri Indrapura dipimpin oleh Tengku (Panglima Besar) Said Kasim I bergelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syarifuddin pada 1864-1889. Beliau adalah Sultan Siak yang meletakkan pondasi kehidupan modern di Kesultanan Siak Sri Indrapura. Beliau juga berusaha menandingi pengaruh Belanda yang mendirikan HIS (Hollandsche Inlandsche School atau Sekolah Dasar) dengan mendirikan sekolah Madrasah Taufiqiyah al Hasyimiah untuk anak laki-laki dengan lama pendidikan 7 tahun. Sedangkan Tengku Agong, permaisuri pertama mendirikan sekolah kepandaian puteri, Latifah School. Sepeninggal permaisuri pertama pada 1927, Tengku Maharatu yang merupakan permaisuri kedua mendirikan asrama puteri bernama Istana Limas yang menampung anak-anak yatim piatu yang disekolahkan di Latifah School dan diberi tugas di lingkungan istana membantu semua kegiatan istana, seperti menerima tamu, memasak, dan membersihkan istana. Di samping itu didirikan pula Madrasyahtul Nisak untuk kaum perempuan dengan lama pendidikan 7 tahun, serta sebuah Taman Kanak-kanak (Adila Suwarno et.al., 2005:73-75).

Tengku Maharatu, permaisuri ke-II (gambar kiri) dan para puteri di Kesultanan Siak dalam pendidikan di Latifah School (gambar kanan)

Di bidang perluasan wilayah, Kesultanan Siak Sri Indrapura pernah mencapai puncak kekuasaan penguasaan wilayah ketika diperintah oleh Tengku Said Ali bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi (1784-1810). Pada masa pemerintahannya Siak memiliki 12 daerah jajahan, yaitu Kotapinang Pagarawan, Batubara Bedagai, Kualuh, Panai, Bilah, Asahan, Deli, Serdang, Langkat, dan Temiang di samping daerah taklukan di Sambas, Kalimantan dan daerah kekuasaan di Riau sendiri seperti Kubu, Bangka, Tanah Putih, dan Pelalawan (Adila Suwarno et.al, 2005:80). Perluasan daerah jajahan ini menimbulkan implikasi terhadap Kesultanan Siak Sri Indrapura. Khususnya di daerah jajahan di Sambas, Kalimantan hingga saat ini di Sambas masih terdapat perkampungan yang bernama Kampung Siak. Selain itu implikasi dari penaklukan Sambas ternyata berpengaruh pada corak tenunan Siak. Corak tenun Sambas mempunyai kesamaan dengan tenun Siak. Sisi positif lainnya adalah setiap daerah jajahan memberikan upeti kepada Kesultanan Siak Sri Indrapura sebagai yang dipertuan (pengakuan kedaulatan) (Yuli S. Setyowati [ed.]., 2004:214). 

Kehidupan sosial yang lain dapat ditunjukkan lewat sisi pembangunan, baik secara non fisik maupun secara fisik di Kesultanan Siak Sri Indrapura. Pembangunan secara non fisik dapat dilihat ketika Kesultanan Siak Sri Indrapura mengubah sistem dari Monarki ke Monarki Konstitusional yang ditandai dengan penyusunan dan pemberlakukan Al Qawaid atau Babul Qawaid (konstitusi tertulis Kesultanan Siak Sri Indrapura). Sistem ini berlaku ketika Kesultanan Siak Sri Indrapura dipimpin oleh Sultan Assyaidis Syarif Hasim Abdul Jalil Syarifuddin (1889-1908). Di dalam buku Siak Sri Indrapura (2005), dijelaskan bahwa Babul Qawaid merupakan kitab undang-undang di Kesultanan Siak Sri Indrapura. Kitab setebal 90 halaman ini menguraikan tentang hukum yang dikenakan kepada orang Melayu maupun bangsa lain yang berhubungan dengan orang Melayu. Dijelaskan bahwa bagian pertama Babul Qawaid merupakan bagian pembukaan yang terdiri dari dua pasal dan menjelaskan tentang motivasi, latar belakang, nama dari naskah ini, dan menyebutkan bahwa isinya tidak berlaku sebagai hukum bagi penduduk bukan Melayu atau Melayu yang menjadi pegawai Pemerintah Hindia Belanda, kecuali yang terlibat perkara dengan orang Melayu. Pengadilan untuk kasus ini akan melibatkan pejabat Kesultanan Siak Sri Indrapura dan pejabat Pemerintah Hindia Belanda (Adila Suwarno et.al., 2005:88).

Masih di dalam buku Siak Sri Indrapura (2005), pada bagian utama Babul Qawaid terdiri dari 22 bab yang mencakup 154 pasal. Bab pertama merinci pembagian negeri ke dalam 10 provinsi dan batas-batasnya. Selanjutnya tertulis pula bab-bab yang mengatur, antara lain: Gelar yang Berkuasa di Kerapatan Tinggi, Besaran Hukuman yang Akan Disidang di Kerapatan Tinggi, Perkara yang Akan Disidang di Hadapan Hakim Polisi, Tugas Hakim Polisi Kesultanan dan Provinsi Jajahan, Nama-nama Suku (Adila Suwarno et.al., 2005:88).

Pembangunan secara fisik di Kesultanan Siak Sri Indrapura juga dilakukan dengan pembuatan Istana Istana Asserayah Hasyimiah pada 1889 dan Balai Kerapatan Tinggi pada 1886 ketika diperintah oleh Tengku Putera (Ngah) Said Hasyim bergelar Sultan Assyaidis Syarif Hasim Abdul Jalil Syarifuddin (1889-1908). Istana Asserayah Hasyimiah dibangun dengan bantuan arsitek dari Jerman yang memadukan gaya Eropa, Spanyol, Arab, dan Melayu tradisional. Istana ini dikenal pula dengan nama Istana Matahari Timur (Adila Suwarno et.al., 2005:46).



Balai Kerapatan Tinggi yang dibangun pada 1886

Balai Kerapatan Tinggi atau Balai Rung Sari digunakan untuk sidang kerajaan dan Mahkamah Kerapatan Tinggi, sidang-sidang perkara kejahatan, hutang, sengketa tanah, warisan, pelanggaran adat istiadat, penyalahgunaan jabatan, dan sebagainya (Adila Suwarno et.al., 2005:51). Seperti tertulis dalam buku Siak Sri Indrapura (2005),

Di kedua sisi ruang sidang terdapat tangga besi berbentuk spiral dan tangga kayu. Jika suatu perkara sudah diputuskan, maka yang menang akan turun melalui tangga besi dan yang kalah akan turun ke lantai dasar dengan menggunakan tangga kayu dan langsung menuju Djil (penjara) yang terletak tidak jauh dari situ� (Adila Suwarno et.al., 2005:57).

b. Kehidupan Budaya

Ragam hias tenun Siak dalam berbagai warna

Kehidupan budaya di Kesultanan Siak Sri Indrapura di antaranya dapat dilihat ketika Tengku Said Ali bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi (1784-1810) memerintah, tenun khas Siak mendapatkan tempat karena kerajinan tenun ini mulai dikenal luas (Adila Suwarno et.al., 2005:101). Selin itu pada masa pemerintahan Tengku (Putera) Said Kasim II bergelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin (1908-1946) kesenian mendapat tempat terhormat di istana pada. Beliau merupakan sultan yang menaruh perhatian pada kesenian di Kesultanan Siak Sri Indrapura. Seperti tertulis di dalam buku Siak Sri Indrapura (2005), Sultan Kasim II menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kesenian di istana, terutama pada Hari Ulang Tahun Kesultanan Siak Sri Indrapura, pada saat menerima tamu kerajaan, dan pada saat upacara persembahan kepada sultan. Istana juga mempunyai korps musik, serta grup kesenian tonil. Grup tonil ini dipimpin oleh Teungku Juned, abang ipar sultan. Tarian Zapin mendapat tempat terhormat dan dipertunjukkan di istana. Tari-tarian rakyat lainnya yang dipertunjukkan di istana adalah Tari Olang-olang, Lukah, dan Joget. Teater tonil dimainkan oleh orang-orang istana, sedang teater rakyat, Makyong, dimainkan oleh sanggar teater masyarakat (Adila Suwarno et.al., 2005:75).

sumber:



Baca Artikel Terkait: