-->

Sabtu, 25 Agustus 2018

1. Tokoh Pendidikan Klasik
A. Imam Ghazali
a) Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad Al-Ghazali. Ia dilahirkan di Thus, sebuah kota di Khurasan, Persia, pada tahun 450 H / 1058 M. Imam Ghazali sejak kecil dikenal sebagai pecinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa duka nestapa dan sengsara.
Al-Ghazali pada masa kanak-kanak belajar Fiqh kepada Ahmad ibn Muhammad ar-Radzakani, kemudian beliau pergi ke Jurjan berguru kepada Imam Abu Nashr al-Ismaili. Setelah itu ia menetap lagi di Thus untuk mengulang-ulang pelajaran yang diperolehnya dari Jurjan.[1]


b) Pemikiran Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada Perolehan keutamaan dan taqarrub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Sebagaimana yang dikutip Athiyyah Al-abrasyi bahwa Imam Ghazali berpendapat “sesungguhnya tujuan dari pendidikan ialah mendekatkan diri kepada Allah Azza Wa Jalla”.
Al-Ghazali tidak membedakan antara ilmu dengan Ma’rifah seperti tradisi umum kaum sufi. Memang ia pernah menyebutkan bahwa secara etimologi, ada sedikit perbedaan antara keduanya, dan ia tidak keberatan atas pemakaian tema Ma’rifah untuk konsep (tasawuf), dan ‘ilm untuk assent (tasqiq). Akan tetapi dalam berbagai kitabnya, ia sering memakai dua terma itu sebagaiu arti yang sama.
Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas, bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan ada dua. Yaitu, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan didunia dan akhirat. Karena itu ia bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran-sasaran yang merupakan tujuan akhir pendidikan itu. Tujuan ini tampak bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi.[2]
Konsep kurikulum yang dikemukakan Al-Ghazali terkait erat dengan konsepnya mengenai ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Al-Gahazali ilmu terbagi kepada tiga bagian yaitu; Pertama, ilmu yang terkutuk baik sedikit manfaatnya, baik di dunia maupun diakhirat, seperti ilmu sihir, ilmu nujum maupun ilmu ramalan. Al-Ghazali menilai ilmu tersebut tercela karena ilmu-ilmu tersebut terkadang dapat menimbulkan mudharat baik bagi yang memilikinya maupun bagi orang lain. Kedua, ilmu yang terpuji baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya, seperti ilmu yang berkaitan dengan kebersihan diri dari cacat dan dosa serta ilmu yang dapat menjadi bekal bagi seseorang untuk mengetahui yang baik dan melaksanakannya. Ketiga, ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika dipelajarinya secara mendalam, karena dengan mempelajarinya secara mendalam itu dapat menyebabkan terjadinya kekecauan dan kesemrawutan antara keyakinan dan keraguan. Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana yang dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat.[3]


B. Ibn Sina
a) Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Ali Al-Husayn Ibn Abdullah. Di barat populer dengan sebutan Avicenna. Beliau lahir pada tahun 370 H / 980 M di Afshana, suatu daerah yang terletak di dekat Bukhara, di kawasan Asia tengah. Ayahnya bernama Abdullah dari Balkan, Suatu kota termasyhur dikalangan orang-orang Yunani. Diwafatkan di Hamdzan-sekarang Iran, persia. Pada tahun 428 H (1037 M) alam usia yang ke 58 tahun, dia wafat karena terserang penyakit usus besar.
Tampilnya Ibn Sina selain sebagai ilmuwan yang terkenal di dukung oleh tempat kelahirannya sebagai ibu kota kebudayaan, dan orang tuanya yang dikenal sebagi pejabat tinggi, juga karena kecerdasan yang luas biasa. Sejarah mencatat, bahwa Ibn Sina memulai pendidikannya pada usia lima tahun di kota kelahirannya, Bukhoro. Pengetahuan yang pertama kali ia pelajar adalah membaca Al-qur’an. Setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama Islam seperti Tafsir, Fiqh, Ushuluddin dan lain-lain. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, ia berhasil menghafal Al-qur’an dan menguasai berbagai cabang ilmu keislaman pada usia yang belum genap sepuluh tahun.[4]


b) Pemikiran Pendidikan
Menurut Ibnu Sina, bahwa tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Selain itu juga harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seorang agar dapat hidup dimasyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan, dan potensi yang dimilikinya.[5]
Konsep kurikulum yang ditawarkan Ibn Sina memiliki tiga ciri. Pertama, konsep kurikulum Ibn Sina tidak hanya terbatas pada sekedar menyusun sejumlah mata pelajaran, melainkan juga disertai dengan penjelasan tentang tujuan dari mata pelajaran tersebut, dan kapan mata pelajaran itu harus diajarkan. Selain itu Ibn Sina juga sangat mempertimbangkan aspek psikologis, yakni minat dan bakat para siswa dalam menentukan keahlian yang akan dipilihnya. Dengan cara demikian seorang siswa akan merasa senang atau tidak terpaksa dalam mempelajari suatu ilmu atau keahlian tertentu. Kedua, bahwa strategi penyusunan kurikulum yang ditawarkan Ibn Sina juga didasarkan pada pemikiran yang bersifat pragmatis fungsional. Ketiga, strategi pembentukan kurikulum Ibn Sina tampak sangat dipengaruhi oleh pengalaman yang terdapat dalam dirinya. Dengan melihat ciri-ciri tersebut dapat dikatakan bahwa konsep kurikulum Ibn Sina telah memenuhi persyaratan penyusunan kurikulum yang dikehendaki masyarakat modern saat ini.[6]


C. Ibn Miskawaih
a) Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’qub Ibn Miskawaih. Ia lahir pada tahun 320 H / 932 M, di Rayy, dan meninggal di Isfahan pada tanggal 9 Shafar tahun 412 H / 16 Februari 1030 M. Ibn Miskawaih hidup pada masa pemerintahan Dinasti Buwaihi (320-450 H / 932-1062 M). Yang sebagian besar permukaannya bermazhab syi’ah. 
Dari segi latar belakang pendidikannya, tidak dijumapi data sejarah yang rinci. Namun dijumpai keterangan bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakr Ahmad Ibn Kamil al-Qadi mempelajari filsafat dari Ibn al-Akhmar, dan mempelajari kimia dari Abu Thayyib. Dalam bidang pekerjaan, tercatat bahwa pekerjaan utama Ibn Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan dan pendidi anak para pemuka dinasti Buwaihi.[7]


b) Pemikiran Pendidikan
Ibn Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak. Disini terlihat dengan jelas bahwa karena dasar pemikiran Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak. Maka konsep pendidikan yang dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak. Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna.[8]
Untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan, Ibn Miskawaih menyebutkan beberapa hal yang perlu dipelajari, diajarkan atau dipraktekkan. Materi yang dimaksud oleh Ibn Miskawaih diabdikan pula sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Ibn Miskawaih menyebutkan 3 hal pokok yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya. Tiga hal pokok tersebut adalah hal-hal yang wajib bagi kebutuhan manusia, hal-hal yang wajib bagi jiwa, dan hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia. Materi pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutuhan manusia disebut oleh Ibn Miskawaih antara lain shalat, puasa, dan sa’i. Selanjutnya materi pendidikan akhlak yang wajib dipelajari bagi keperluan jiwa dicontohkan oleh Ibn Miskawaih dengan pembahasan tentang akidah yang benar, mengesakan Allah dengan segala kebesarannya serta motivasi untuk senang kepada ilmu. Adapun materi yang terkait dengan keperluan manusia terhadap manusia lain, dicontohkan dengan materi ilmu muamalat, pertanian, perkawinan dan lain-lain.[9]


D.Ibnu Khaldun
a) Riwayat Hidup
Ibnu Khaldun mempunyai nama lengkap Adbullah Abdurrahman Abu Zyad Ibn Muhammad Ibn Khaldun. Ia dilahirkan di Tunisia pada bulan Ramadhan 732 H / 1332 M dari keluarga ilmuwan dan terhormat yang telah berhasil menghimpun antara jabatan ilmiah dan pemerintahan. Sebuah ciri khas yang melatarbelakangi kehidupan Ibn Khaldun adalah berasal dari keluarga politis, intelektual dan aristokrat.[10]
Ibnu Khaldun adalah seorang yang tegas dalam menjalankan tugas, ahli dalam bidang sosiologi serta bijak dalam menyelesaikan masalah. Ketokohan beliau populer sebagai pakar sejarah, pakar sosiologi , ahli falsafah dan politik. Beliau mendapat pendidikan awal dari ayahnya tentang dasar-dasar agama seperti Al-Quran, fikih, hadis, dan tauhid. Beliau juga merupakan hafidz Quran sejak kecil. Ketika dewasa ia belajara ilmu linguistik bahasa Arab seperti Nahwu dan Sharaf, Ushuluddin serta Kesusasteraan. Diantara guru beliau yang utama adalah Muhammad Ibn Abdul Muhaimin. Beliau juga berturut berguru dengan Abu Abdullah Ibn Muhammad Ibn Ibrahim Al-Abla yang mengajarnya tentang sosiologi, politik dan pendidikan.[11]


b) Pemikiran Pendidikan
Ibn Khaldun memandang bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah memberikan kesempatan kepada akal untuk lebih giat dan melakukan aktivitas. Hal ini dapat dilakukan melalui proses menuntut ilmu dan keterampilan. Dengan menuntut imu dan keterampilan, seseorang akan dapat meningkatkan kegiatan potensi akalnya. Disamping itu, melalui potensinya akan mendorong manusia untuk memperoleh dan melestarikan pengetahuan. Atas dasar pemikiran tersebut, tujuan pendidikan menurut Ibn Khaldun adalah peningkatan kecerdasan manusia dan kemampuannya berfikir. Dengan kemampuan tersebut, manusia akan dapat meningkatkan pengetahuannya dengan cara memperoleh lebih banyak warisan pengetahuan pada saat belajar.[12]


E. Ibn Taimiyah
a) Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abd al-Halim bin Taimiyah lahir di kota Harran, wilayah Siria, pada hari Senin, 10 Rabi’ul Awwal 661 H. Bertepatan dengan 22 Januari 1263 M, dan wafat di Damaskus pada malam Senin, 20 Zulkaidah, 728 Hijriyah, bertepatan dengan 26 September 1328 M. Ayahnya bernama Syihab ad-Din ‘Abd al-Halim Ibn ‘Abd as-Salam (627-672 H). Adalah seorang ulama besar yang mempunyai kedudukan tinggi di masjid Agung Damaskus. Selain sebagai khatib imam besar di masjid tersebut.
Ibn Taimiyah sendiri sejak kecil dikenal sebagai seorang anak yang mempunyai kecerdasan otak luar biasa, tinggi kemauan dan kemampuan dalam studi, tekun dan cermat dalam memecahkan masalah, tegas dan teguh dalam menyatakan dan mempertahankan pendapat (pendirian), ikhlas dan rajin dalam beramal shaleh, rela berkorban dan siap berjuang untuk jalan kebenaran. Didukung oleh kesungguhan dan ketekunannya dalam menuntut ilmu, kecerdasan otak dan kepribadian yang baik Ibn Taimiyah yang dikenal dengan wara’, zuhud dan tawadhu nya, ternyata mampu mengantarkan dirinya menjadi seorang ulama besar yang menguasai banyak ilmu dan pengalaman, disamping juga sebagai pejuang yang tangguh.[13]
b) Pemikiran Pendidikan
Pemikiran Ibn Taimiyah dalam bidang pendidikan dapat dibagi kedalam pemikirannya dalam bidang falsafah pendidikan, tujuan pendidikan bahkan hubungan pendidikan dengan kebudayaan. Seluruh pemikirannya dalam bidang pendidikan itu ia bangun berdasarkan keterangan yang jelas sebagaimana terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah melalui pemahaman yang mendalam, jernih dan enerjik.
Dalam bidang falsafah pendidikan oleh Ibn Taimiyah adalah ilmu yang bermanfaat sebagai asas bagi kehidupan yang cerdas dan unggul. Sementara mempergunakan ilmu itu akan dapat menjamin kelangsungan dan kelestarian masyarakat. Tanpa ilmu masyarakat akan terjerumus kedalam kehidupan yang sesat. Bertolak dari pandangan tersebut, maka menurut Ibn Taimiyah bahwa menuntut ilmu itu merupakan ibadah dan memahaminya secara mendalam merupakan sikap ketaqwaan kepada Allah dan mengkajinya merupakan jihad, mengajarkannya kepada orang yang belum tahu merupakan shadaqah dan mendiskusikannya merupakan tasbih.[14]
Tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh Ibn Taimiyah dibangun atas dasar falsafah pendidikannya, yaitu tujuan pendidikan diarahkan pada terbentuknya pribadi muslim yang baik, yaitu seorang yang berpikir, merasa dan bekerja pada berbagai lapangan kehidupan pada setiap waktu sejalan dengan apa yang diperintah Al-Quran dan As-Sunnah, pendidikan juga harus diarahkan pada terciptanya masyarakat yang baik yang sejalan dengan ketentuan Al-Quran dan As-Sunnah.[15]
Konsep kurikulum yang dibangun Ibn Taimiyah didasarkan pada falsafah dan tujuan pendidikan. Menurutnya bahwa kurikulum atau materi pelajaran yang utama yang harus diberikan kepada anak didik adalah mengajarkan putra-putri kaum muslimin sesuai yang diajarkan Allah kepadanya, dan mendidiknya agar selalu patuh dan tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya. Ada empat tahap kurikulum yang dijelaskan Ibn Taimiyah dalam hubungannya dengan materi pelajaran yaitu; Pertama, kurikulum yang berhubungan dengan mengesakan Tuhan (at-tauhid). Kedua, kurikulum yang berhubungan dengan mengetahui secara mendalam (ma’rifat). Ketiga, kurikulum yang berhubungan dengan upaya yang medorong manusia mengetahui secara mendalam (ma’rifat) terhadap kekuasaan (qudrat) Allah. Keempat, kurikulum yang berhubungan dengan upaya yang mendorong untuk mengetahui perbuatan-perbuatan Allah.[16]

2. Tokoh Pendidikan Modern
A. Prof. Dr. H. Mahmud Yunus
a) Riwayat Hidup
Mahmud Yunus dilahirkan di Batusangkar, Sumatra Barat pada tanggal 10 Februari 1899 (30 Ramadhan 1336 H). Dan wafat pada tanggal 16 Januari 1982. Ia termasuk tokoh pendidikan Islam Indonesia yang gigih memperjuangkan masuknya pendidikan agama ke sekolah umum dan ikut berusaha memperjuangkan berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN).
Sejak kecil Mahmud Yunus sudah memperlihatkan minat dan kecenderungannya yang kuat memperdalam ilmu agama Islam. Ketika berumur 7 tahun ia belajar membaca Al-Quran dibawah bimbingan kakeknya, M. Thahir yang dikenal dengan nama Engku Gadang. Selanjutnya tahun 1917, Mahmud Yunus bersama teman-temannya mengajar di Madras School dan mulai memperbarui sistem kegiatan belajar mengajar dengan menambah sistem halaqah disamping sistem madrasah dengan mengajarkan kitab-kitab mutakhir.[17]
Dibidang politik, Mahmud Yunus ikut memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan RI. Tahun 1943 ia terpilih sebagai penasihat residen mewakili Majelis Islam Tinggi dan pada tahun yang sama ia menjadi anggota Chu Sangi Kai.[18]


b) Pemikiran Pendidikan
Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 1930, Mahmud Yunus memperbarui madrasah yang pernah dipimpinnya di Sungayang dengan nama al-Jami’ah al-Islamiyah, disamping mendirikan sebuah sekolah yang kurikulumnya memadukan ilmu agama dan umum, yakni normal Islam. Madrasah ini yang pertama kali memiliki laboratorium untuk ilmu fisika dan kimia di Sumatra Barat. Pembaruan di dua madrasah ini diutamakan pada pembaruan metode mengajar bahasa Arab.
Mahmud Yunus memiliki perhatian dan komitmen yang tinggi terhadap upaya membangun, meningkatkan dan pengembangan pendidikan agama Islam sebagai bagian integral dari sistem pendidikan yang diperuntukkan bagi seluruh masyarakat Indonesia, khususnya yang beragama Islam. Gagasan dan pemikirannya dalam bidang pendidikan secara keseluruhan bersifat strategis dan merupakan karya perintis, dalam arti belum pernah dilakukan tokoh-tokoh pendidikan Islam sebelumnya. Perhatian dan komitmennya terhadap pembangunan, peningkatan dan pengembangan pendidikan Islam tersebut dapat dilihat sebgaia berikut. Pertama, dari segi tujuan pendidikan Islam yaitu untuk mencerdaskan perseorangan, untuk kecakapan mengerjakan pekerjaan. Selain itu Mahmud Yunus juga menilai pendapat yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah mempelajari dan mengetahui ilmu-ilmu agama Islam serta mengamalkannya seperti, ilmu Tafsir, Tauhid, Fiqh.[19]
Kedua, dari segi kurikulum yang berkaitan dengan pelajaran bahasa Arab, Mahmud Yunus Menawarkan kurikulum pengajaran bahasa Arab yang integratedantara satu cabang dengan cabang lainnya dalam ilmu bahasa Arab. Ketiga, dalam bidang kelembagaan, terlihat bahwa Mahmud Yunus termasuk orang yang memelopori perlunya mnegubah sistem pengajaran yang bercorak individual kepada sistem pengajaran klasikal. Keempat, dalam bidang metode pengajaran, Mahmud Yunus amat memberikan perhatian yang cukup besar. Untuk itu ia memperkenalkan buku pegangan bagi guru-guru agama yang berisi tentang cara mengajarkan agama yang sebaik-baiknya kepada peserta didik sesuai dengan tingkat usia dan jenjang pendidikan yang sedang diikutinya.[20]


B. Ki Hajar Dewantara
a) Riwayat Hidup
Ki hajar Dewantara yang nama aslinya Suwardi Suryaningrat dilahirkan pada 2 Mei 1889, bertepatan dengan 1303 H di Yogyakarta. Dan wafat pada 26 April 1959 bertepatan dengan 1376 H (berusia 70 tahun). Pada tahun 1912, nama Ki hajar Dewantara dapat dikategorikan sebagai tokoh muda yang mendapat perhatian Cokroaminoto untuk memperkuat barisan Syarekat Islam cabang Bandung. Oleh karena itu, ia bersama dengan Wignyadisastra dan Abdul Muis, yang masing-masing diangkat dengan ketua dan wakil ketua, Ki Hajar Dewantara diangkat sebagai sekretaris. Namun keterlibatannya dalam Syarekat Islam ini terhitung singkat, tidak genap satu tahun. Hal ini terjadi, karena bersama dengan E.F.E. Dowes Dekker dan Cipto Mangunkusumo, ia diasingkan ke Belanda (1913) atas dasar orientasi politik mereka yang cukup radikal.
Sebagai tokoh pergerakan politik dan tokoh pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara tidak hanya terlibat dalam konsep dan pemikiran melainkan juga terlihat aktif sebaagi pelaku yang berjuang membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda dan Jepang melalui pendidikan yang diperjuangkannya melalui Sistem Pendidikan Taman Siswa yang didirikan dan diasuhnya. Dalam posisinya yang demikian itu, maka dapat diduga ia memiliki konsep-konsep yang strategis tentang pendidikan di Indonesia.[21]


b) Pemikiran pendidikan
Pada masa hidupnya, Ki Hajar Dewantara banyak mengabdikan dirinya bagi kepentingan pendidikan nasional, melalui Taman Siswa yang didirikan dan diasuhnya. Dalam kapasitasnya, ia banyak memiliki gagasan dan pemikiran dalam bidang pendidikan yang dikemukakannya. Pertama, visi misi dan tujuan pendidikan Ki Hajar Dewantara adalah bahwa pendidikan sebagai alat perjuangan untuk mengangkat harkat, martabat dan kemajuan umat manusia secara universal, sehingga mereka dapa berdiri kokoh sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju dengan tetap berpijak kepada identitas dirinya sebagai bangsa yang memiliki peradaban dan kebudayaan yang berbeda dengan bangsa lain. Kedua, kurikulum. Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa pelajaran yang menajamkan pikiran dan berdasarkan kemasyarakatan itu umumnya menjadi pokoknya program pendidikan secara Barat. Ki Hajar Dewantara menginginkan agar bahan pelajaran yang diberikan mengarah pada pembentukan kepribadian yang memiliki kemajuan yang seimbang antara dimensi intelektual dan emosional, duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual.[22]
Ketiga, Ki Hajar Dewantara melalui lembaga pendidikan yang diasuhnya melihat bahwa pendidikan agama dan budi pekerti amat penting bagi kehidupan manusia. Yaitu, pendidikan agama yang didasarkan pada toleransi, kebebasan menyatakan sikap keagamaan, tapi tetap realistik, yaitu sikap yang mengakui adanya mayoritas agama tertentu, tanpa mengurangi kebebasan agama minoritas.[23]


C. K.H. Imam Zarkasyi
a) Riwayat Hidup
K.H. Imam Zarkasyi dilahirkan di Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, tanggal 21 Maret 1910, dan meninggal dunia pada tanggal 30 Maret 1985 dengan meninggalkan seorang istri dan 11 orang anak. Ayahnya yang bernama Santausa Annam Bashari berasal dari keluaraga elit Jawa yang taat beragama dan merupakan generasi ketiga dari pimpinan pondok Gontor lama dan generasi kelima dari pangeran Hadiraja Adipati Anom, putra Sultan kesepuhan Cirebon. Sedangkan ibunya adalah keturunan bupati Suriadiningrat yang terkenal pada zaman babad Mangkubumen dan Penambangan (Mangkunegaraan).
Ketika ia belajar di Solo, salah seorang gurunya yang amat berpengaruh ke dalam diri Imam Zarkasyi adalah al-Hasyimi, seorang ulama, tokoh politik dan sekaligus sastrawan dari Tunisia yang diasingkan oleh pemerintah Perancis di wilayah jajahan Belanda, dan akhirnya menetap di Solo.
Pengalaman belajar yang beragam yang didukung oleh kecerdasan dan kesungguhannya, menyebabkan Imam Zarkasyi tampil dengan tingkat penguasaan yang memadai dalam berbagai disiplin ilmu agama dan ilmu umum. Selain itu kecenderungan dan bakat Imam Zarkasyi untuk menjadi pendidik semakin besar. Ia memilih bidang pendidikan sebagai lahan perjuangan dan pilihan hidupnya.[24]


b) Pemikiran pendidikan
Berbagai pengalaman dalam memajukan pendidikan telah mendorong Imam Zarkasyi memeras otak mencari terobosan baru dalam bidang pendidikan Islam. Terobosan baru ini ia wujudkan hampir pada sekuruh aspek pendidikan. Tujuan pendidikan yang ditekankan pada tercapainya keseimbangan hidup yang bahagia didunia dan akhirat. Dalam bidang kurikulum pendidikan sejalan dengan tujuan pendidikan tersebut. Yaitu kurikulum yang tidak hanya memuat ilmu-ilmu agama saja, melainkan juga ilmu pengetahuan modern yang didukung oleh kemampuan penguasaan bahasa Arab dan Inggris, baik secara lisan, tulisan dan sebagainya. Dalam bidang metode, diarahkan kepada pendekatan yang menekankan pada kemampuan menggunakan atau mengamalkan setiap bidang keilmuan yang diajarkan, khususnya dalam bidang bahasa Arab dan Inggris.[25]


D.Prof. Dr. Harun Nasution
a) Riwayat Hidup
Harun Nasution dilahirkan di Pematangsiantar, daerah Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, pada hari Selasa, 23 September 1919. Ia adalah putra dari lima bersaudara. Pendidikan sebagai hal yang penting bagi kehidupan ditempuh oelh Harun Nasution dengan memulai pada Sekolah Dasar milik Belanda, Holladsch Inlandsch School (HIS) yang ditempuh selama 7 tahun dan selesai tahun 1934 yang pada waktu itu ia sudah berusia 14 tahun. Selama belajar di Sekolah Dasar ini Harun Nasuition berkesempatan mempelajari bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum.[26]
Dilihat dari segi keahliannya, Harun Nasution adalah sebagai ahli ilmu kalam dan filsafat Islam yang disegani dan berpengaruh dengan corak pemikirannya yang rasional dan cenderung liberal. Sifat dan corak pemikiran yang demikian itu amat bertentangan dengan corak dan pemikiran Islam yang pada umumnya berkembang saat itu.[27]


b) Pemikiran Pendidikan
Selama kepemimpinannya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini telah banyak gagasan pembaruan yang dipraktikkannya, antara lain; Pertama, menumbuhkan tradisi ilmiah. Upaya ini antara lain dilakukan dengan cara mengubah sistem perkuliahan yang semula bercorak hafalan, dan cenderung menganut mazhab tertentu, menjadi sistem perkuliahan yang mengajak mahasiswa berfikir rasional, kritis, inovatif, objektif dan menghargai perbedaan pendapat. Kedua, memperbarui kurikulum. Upaya ini antara lain dilakukan Harun Nasution dengan cara memperbarui kurikulum IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang hanya memuat bidang kajian agama dari aliran mazhab tertentu saja, maka di zaman Harun Nasution kurikulum IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ditambah dengan kajian ilmu kalam dengan berbagai aliran mazhabnya, filsafat, tasawuf, serta ilmu-ilmu dasar seperti sosiologi, antropologi, bahkan juga ilmu-ilmu alam. Ketiga, mejadikan IAIN sebagai pusat pembaruan pemikiran dalam Islam. Julukan yang diterima IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai pusat pembaruan pemikiran dalam Islam tersebut muncul karena pengaruh dari serangkaian usaha yang dilakukan Harun Nasution, terutama dalam rangka menumbuhkan tradisi ilmiah.[28]


E. K.H. Hasyim Asy’Ari
a) Riwayat Pendidikan
Hasyim Asy’Ari lahir di desa Gedang Jombang, Jawa Timur. Pada hari Selasa kliwon, tanggal 24 Dzulhijjah 1287 atau bertepatan tanggal 14 Februari 1871 M. Nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim ibn Asy’ari ibn Abd Al Wahid ibn Abd Al Halim yang mempunyai gelar Pangeran Bona ibn Abd Al Rahman Ibn Abd Al Aziz Abd. Al Fatah ibn Maulana Ushak dari Raden Ain al Yaqin yang disebut dengan Sunan Giri. Dipercaya pula bahwa mereka adalah keturunan raja Muslim Jawa, Jaka Tingkir dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI. Jadi Hasyim Asy’Ari juga dipercaya keturunan dari keluarga bangsawan.
Hasyim Asy’ari adalah seorang kiai yang pemikiran dan sepak terjangnya berpengaruh dari Aceh sampai Maluku, bahkan sampai ke Melayu. Santri-santri ada yang dari Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera dan Aceh, bahkan ada beberapa orang dari Kuala Lumpur. Beliau terkenal orang yang alim dan adil, selalu mencari kebenaran, baik kebenaran dunia maupun kebenaran akhirat. Semasa hidupnya beliau diberi kedudukan sebagai Rais Akbar NU, suatu jabatan yang hanya diberikan kepada Hasyim Asy’Ari satu-satunya. Bagi ulama lain yang menjabat jabatan tersebut, tidak lagi menyandang sebutan Rais Akbar melainkan Rais Am. Hal ini karena ulama lain yang menggantikannya merasa lebih rendah dibandingkan Hasyim Asy’Ari.[29]


b) Pemikiran Pendidikan
Pola pemaparan konsep pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adab Alim Wa Muta’allim mengikuti logika induktif, di mana beliau mengawali penjelasannya langsung dengan mengutip ayat-ayat Al-quran, Hadits, pendapat para ulama, syair-syair yang mengandung hikmah. Dengan cara ini K.H. Hasyim Asy’Ari memberi pembaca agar menangkap ma’na tanpa harus dijelaskan dengan bahasa beliau sendiri. Namun demikian, ide-ide pemikirannya dapat dilihat dari bagaimana beliau memaparkan isi kitab karangan beliau. Tujuan pendidikan yang ideal menurut K.H. Hasyim Asy’Ari adalah untuk membentuk masyarakat yang beretika tinggi (akhlaqul karimah).[30]
sumber:rafika



Baca Artikel Terkait: