Peristiwa G30S 1965 tak hanya berbuntut pada pembantaian terhadap orang-orang yang dianggap antek PKI di Jawa, tapi yang tak kalah mengerikan terjadi juga di Kalimantan.
Pada akhir 1967 hingga beberapa bulan setelahnya menjadi masa-masa mencekam bagi warga keturunan Tionghoa di Kalimantan bagian utara dan barat. Terjadi pengusiran dan pembantaian massal. Ribuan orang peranakan Tionghoa tewas dan puluhan ribu lainnya terpaksa mengungsi dan tak sedikit yang mengungsi pun meregang nyawa.
Jauh sebelum peristiwa kelam itu, sebelum wilayah yang dekat dengan perbatasan Malaysia ini tercemar aroma politik, warga Dayak dan kaum peranakan Tionghoa hidup damai dan berdampingan. Bahkan, kedua etnis berbeda tersebut sudah menjalin ikatan persaudaraan yang kuat.
Penangkapan terhadap warga keturunan Tionghoa yang dituding terlibat PKI. FOTO/Istimewa
Namun, semua itu berubah, hubungan harmonis antara warga Dayak dan Tionghoa itu sirna setelah terjadinya Gerakan 30 September 1965. Citra Presiden Sukarno merosot karena dianggap membela Partai Komunis Indonesia (PKI). Di sisi lain, pengaruh Soeharto kian menguat dan menyerukan pembersihan total terhadap mereka yang dituding terlibat gerakan tersebut.
Gelombang politisasi yang panas di tingkat nasional akhirnya sampai juga ke Kalimantan bagian utara atau yang dulu masih termasuk wilayah Kalimantan Barat. Ini akhirnya berbuah peristiwa yang kelam dalam sejarah Indonesia, Peristiwa Pembantaian Mangkuk Merah. Pihak tentara disinyalir berada di balik peristiwa yang terjadi pada 1967.
Bermula dari Ganyang MalaysiaSejak awal dekade 1960-an, Presiden Sukarno mulai mengobarkan semangat ganyang Malaysia karena negeri jiran yang dianggap antek Inggris berambisi membentuk Federasi Malaysia. Sebagian besar warga Kalimantan Utara, terutama dari kalangan peranakan Tionghoa, yang tinggal di dekat perbatasan turut menolak keras rencana Federasi Malaysia.
Presiden Sukarno kemudian mengirimkan salah seorang Menteri Negara di Kabinet Dwikora I, Oei Tjoe Tat, ke perbatasan utara Kalimantan untuk menggalang kekuatan dalam rangka kampanye ganyang Malaysia. Oei Tjoe Tat yang kebetulan juga keturunan Cina memperoleh sambutan meriah dari masyarakat setempat.
Buah hasil kunjungan Oei Tjoe Tat maka dibentuklah barisan sukarela atas izin pemerintah pusat. Organisasi barisan sukarela banyak diminati warga, pihak yang bergabung bukan saja warga Kalimantan Utara saja, melainkan pula para pemuda dari Singapura, Brunei Darussalam, bahkan dari Malaysia yang tidak setuju dengan rencana pembentukan Federasi Malaysia, seperti ditulis Oei Tjoe Tat dalam Memoar Oei Tjoe Tat, Pembantu Presiden Soekarno (1995: 144).
Barisan sukarela atau gerilyawan yang dibentuk antara lain Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) yang dikombinasikan dengan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) pada 1964. Pasukan gabungan ini kemudian dikenal dengan sebutan PGRS/Paraku, yang anggotanya memang didominasi oleh orang-orang keturunan Tionghoa yang tinggal di negara-negara serumpun itu.
Untuk persiapan menghadapi Malaysia, angkatan perang Indonesia mendirikan pangkalan militer utama di Kalimantan Barat. Wilayahnya antara lain Sambas, Bengkayang, Ledo, Sanggau Ledo, Putusibau, dan kota-kota perbatasan lainnya. Daerah-daerah itu dijadikan sebagai tempat berkumpulnya para sukarelawan.
Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008:836) memaparkan, para sukarelawan dilatih oleh instruktur militer Indonesia dan tinggal di kamp-kamp latihan di kawasan perbatasan Kalimantan Barat serta Kalimantan Utara. PGRS/Paraku tampaknya memang dipersiapkan khusus untuk perang melawan negara tetangga.
Namun, kampanye kontra Malaysia pada akhirnya justru menguap. Memanasnya situasi dalam negeri Indonesia seiring terjadinya peristiwa G30S 1965 membuat Sukarno berada di ujung tanduk. Angin politik pun berganti arah. Kubu komunis yang semula bergerak leluasa menjadi terjepit dan mendapati masa-masa paling suram.
Soeharto yang berhasil mengendalikan kuasa mengerahkan seluruh jejaring negara untuk mengganyang PKI sampai ke akar-akarnya. PGRS/Paraku pun kena imbasnya. Militer yang mulai meninggalkan Sukarno pun mendapat momen tepat, menggerakkan massa Dayak untuk membasmi PGRS/Paraku, termasuk ribuan peranakan Tionghoa yang sebenarnya tidak terkait atau bahkan tidak tahu-menahu atas persoalan ini.
Adu Domba Dayak & TionghoaPGRS/Paraku yang sebelumnya dibentuk atas izin Sukarno, menyasar militer Indonesia lantaran terus diburu dengan tudingan pro-komunis. Pertengahan Juli 1967, kaum gerilyawan menyerbu lapangan udara TNI-AU di Singkawang dan Sanggau Ledo, Kalimantan Barat. Menurut catatan Indonesia Merdeka terbitan Sekretariat Negara (Volume 14, 1995: 641), serangan tersebut menewaskan empat orang anggota militer. Selain itu, 154 pucuk senjata dan amunisi TNI juga berhasil direbut.
Namun, upaya militer untuk membalas para gerilyawan mengalami kesulitan. Superman melalui tulisan “Peristiwa Mangkuk Merah di Kalimantan Barat Tahun 1967” (Jurnal Historia, Februari 2017:6) mengungkapkan, terbatasnya pihak militer setempat, dalam persenjataan maupun jumlah personel, memicu kendala serius.
Di sisi lain, pihak gerilyawan PGRS/Paraku mendapatkan bantuan dari kaum pedagang perantara di pedalaman. Mereka menjadi penyuplai logistik dan kebutuhan para gerilyawan. Namun, Superman juga menyebutkan bahwa terkadang bantuan itu diberikan bukan secara sukarela, tapi lebih cenderung terpaksa karena takut.
Pemerintah pusat yang kala itu berada dalam kendali Soeharto pun bereaksi. Ancaman PGRS/Paraku yang diduga berbaur dengan kelompok komunis dirasa sudah amat mengkhawatirkan. Sehingga, diputuskan segera pengiriman pasukan bantuan. M.D. La Ode dalam Politik Tiga Wajah (2013:121) mencatat, setidaknya ada sembilan kesatuan militer yang diperbantukan untuk membasmi PGRS/Paraku dalam rangkaian Operasi Sapu Bersih.
Kondisi mulai mengarah kepada ancaman konflik SARA. Terjadi pembunuhan orang Dayak yang belum diketahui pelakunya di daerah Ledo, Seluas, Pahauman, Bengkayang, dan hampir di seluruh wilayah yang terdapat komunitas etnis Cina. Situasi ini, papar Superman (2017:7), dimanfaatkan oleh pihak militer untuk menjadikan PGRS/Paraku sebagai tersangka pelaku pembunuhan.
Aroma politisasi sangat kental dalam konflik di Kalimantan barat dan utara kala itu. Masyarakat Dayak yang sudah telanjur murka kemudian bertekad untuk membalas dendam, dengan dukungan penuh dari TNI yang juga menghendaki pembasmian gerilyawan PGRS/Paraku. Sehingga tragedi berdarah yang dikenal sebagai Peristiwa Mangkuk Merah akhirnya terjadi.
Tragedi Berdarah Mangkuk MerahMemanasnya relasi masyarakat Dayak dengan warga keturunan Tionghoa di Kalimantan bagian utara dan barat dimanfaatkan betul oleh aparat. Militer pun meminta dukungan dari mantan Gubernur Kalimantan Barat sekaligus tokoh yang sangat disegani oleh masyarakat Dayak, Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray.
Seperti diungkapkan Superman (2017:7), orang-orang Dayak diimbau ikut berpartisipasi bersama tentara untuk menumpas PGRS/Paraku. Militer melakukan propaganda dengan menyebarkan isu bahwa orang-orang komunis tidak menyukai sistem adat Dayak. Para panglima dari kalangan orang Dayak direkrut dengan dalih PGRS/Paraku akan menguasai Kalimantan Barat.
Disebutkan pula bahwa para pemuka Dayak diprovokasi dan ditanamkan pengertian PGRS/Paraku adalah komunis yang tidak beragama dan orang Dayak tidak bisa hidup bersama-sama dengan komunis. PGRS/Paraku disebut sebagai Cina-Sarawak yang ingin memecah-belah keamanan wilayah Indonesia (Superman, 2017:7).
Melalui siaran Radio Republik Indonesia (RRI) Pontianak pada 21 September 1967, Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray mengultimatum kepada warga peranakan Cina untuk meninggalkan wilayahnya dan pindah ke kota kecamatan terdekat. Pada 11 Oktober 1967, diumumkan kepada seluruh kepala kampung agar menghadiri pertemuan besar dan bersiap-siap melakukan apa yang disebutnya Gerakan Demonstrasi.
Belum diketahui, apakah imbauan tersebut benar-benar datang dari Oeray atau bukan. Namun, R. Masri Sareb Putra (2017:114) dalam buku 101 Tokoh Dayak yang Mengukir Sejarah 2, meyakini pengumuman itu mencatut nama Oevaang Oeray, pemberitaan provokatif tersebut muncul dari Pelaksana Penguasa Perang Daerah (Peperalda) dan Kodam XII/Tanjungpura.
Di luar persoalan intrik politik yang sangat mungkin terjadi kala itu, masyarakat Dayak di sana sudah tersulut. Tradisi mangkuk merah, yang merupakan simbol dimulainya perang dalam tradisi Dayak pun disiapkan.
Jemmy Setiawan & Winston Neil Rondo dalam Merah Putih Tergadai di Perbatasan(2014:202) menjelaskan, mangkuk merah dipakai untuk media persatuan Suku Dayak bila merasa kedaulatannya dalam bahaya besar. Panglima suku biasanya mengeluarkan mangkuk merah yang berisi arang, daun juang, bulu ayam, dan darah babi, untuk diedarkan dari kampung ke kampung secara cepat.
Seorang tokoh Dayak yang menjadi salah satu narasumber dalam buku In The Time of Madness: Indonesia on the Edge of Chaos atau Zaman Edan karya Richard Lloyd Parry (2008:66) mengatakan:
“Mangkuk merah digunakan untuk memanggil orang-orang. Itu adalah simbol komunikasi yang digunakan selama masa darurat. Ketika seorang membawanya dari satu suku ke suku lain, itu berarti: Datang dan bantu kami.”
Mary Somers Heidhues, dalam Golddiggers, Farmers, and Traders in the Chinese Districts of West Kalimantan, (2008: 271) mengungkapkan terjadi perburuan warga Tionghoa di Kalimantan bagian barat dan utara. Pasukan Dayak menyisir satu demi satu wilayah permukiman warga peranakan Tionghoa. Salah satunya pada akhir Oktober 1967 yang menyasar wilayah Anjungan, Mandor, dan Menjalin.
Belum Tuntas Hingga KiniDitulis dalam buku Tandjungpura Berdjuang terbitan Semdam XII/Tanjungpura (1970:270), gerakan Mangkuk Merah berubah menjadi sentimen rasial dengan mengidentikkan etnis Tionghoa sebagai anggota PGRS/Paraku. Masyarakat dari etnis Tionghoa tanpa pandang bulu menjadi korban dari “gerakan demonstrasi”. Aparat pun kewalahan membendung gerakan yang sudah meluas ini.
Pada 14 November 1967, bergabung sejumlah sub-suku Dayak lainnya dari pedalaman. Aksi kekerasan pun semakin besar. Herman Josef van Hulten dalam Catatan Seorang Misionaris: Hidupku di Antara Suku Dayak (1992:285) mengkisahkan, mereka bertindak di luar kontrol, membunuh, bahkan dikabarkan juga memakan bagian tubuh korban-korban mereka.
Sepanjang pekan-pekan berikutnya, terjadi rangkaian pembantaian massal yang banyak menelan korban jiwa. Van Hulten mengungkapkan, kekerasan mencapai puncaknya pada November 1967. Para penyerang dengan senjata berburu mulai membunuhi orang-orang keturunan Tionghoa dan membakar harta bendanya. Toko-toko Cina dibakar dan mayat-mayat korban dibariskan di jalan.
Menurut riset Superman (2017:10), Peristiwa Mangkuk Merah diperkirakan secara langsung menewaskan 2.000 sampai 3.000 orang. Namun, dampak secara tidak langsung diperkirakan lebih besar lagi.
Dampak secara tidak langsung itu adalah terjadinya gelombang warga peranakan Cina yang mengungsi. Awalnya, sebut van Hulten (1992: 290-292), para pria berniat tetap tinggal, tapi pada akhirnya mereka terpaksa ikut mengungsi. Sementara kaum perempuan dan anak-anak melarikan diri atau bersembunyi dari penyerangan di berbagai tempat.
Diperkirakan, antara 50.000 sampai 80.000 orang Tionghoa bergerak menuju pesisir Kalimantan Barat, yakni ke Pontianak dan Singkawang. Lebih dari 5.000 orang pengungsi tewas karena masalah kesehatan, kebersihan, dan kekurangan pangan, baik dalam perjalanan maupun meninggal dunia di tempat pengungsian. Belum lagi yang mengalami trauma hingga kini.
“Lima ribu orang meninggal di pengungsian di Pontianak dan Singkawang lantaran minimnya fasilitas sanitasi, kesehatan, dan keterbatasan pasokan pangan,” ungkap Tony Wong, saksi hidup yang juga tokoh masyarakat Tionghoa di Kalimantan Barat, seperti dilaporkan Suarapemredkalbar.com, 7 Maret 2016.
Setelah puluhan tahun berlalu, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Kalimantan bagian barat dan utara yang tergolong amat berat itu belum terungkap sepenuhnya. Peristiwa Mangkuk Merah pada 1967 menambah daftar panjang tragedi kemanusiaan bernuansa politis dan SARA yang pernah terjadi di Indonesia.