-->

Rabu, 22 Februari 2023

 MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA



Dosen Pengampuh: Afdhal Ilahi ,S.Pd.,M.Pd


D

I

S

U

S

U

N

Oleh :


Nur samsiah ritonga 22090005

Sri kandi sumatri ritonga 22090004


FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PENDIDIKAN TAPANULI SELATAN (IPTS)

TAHUN AJARAN 2023 / 2024



KATA PENGANTAR


Assalamualaikum wr.wb.

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai selesai. Kami sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.


















DAFTAR PUSTAKA


Daftar isi Lembaran

COVER i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN 1

LATAR BELAKANG 1

RUMUSAN MASALAH 1

TUJUAN PENULISAN 1


BAB II PEMBAHASAN 2

KONSEPSI HUKUM ISLAM 2

RUANG LINGKUP HUKUM ISLAM 3

TUJUAN HUKUM ISLAM 8

SUMBER HUKUM ISLAM 10


BAB III PENUTUP 13

KESIMPULAN 13

SARAN 13


DAFTAR PUSTAKA 14







BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Hukum islam adalah hukum yang berasal dari agama islam. Hukum islam ini di turunkan oleh Allah swt untuk mencegah kerusakan pada hamba – hambanya dan mencegah hambanya dari kemaslahatan. Hukum ini bertujuan untuk mengarahkan kepada kebenaran, keadilan dan kebijakan serta menerangkan jalan yang harus dilaluinya.

Masalah hukum ini sudah tertulis dalam Al-qur’an yang di wahyukan kepada Nabi Muuhammad saw. Agama islam tidak hanya mengajarkan tentang norma ketuhanan saja, tetapi mengajarkan tentang hukum juga. Di antaranya adalah, hukum perkawaninan, hukum dagang, dan hak waris.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas kami akan membahas tentang  hukum islam pada makalah kami. Berikut adalah rumusan masalah :

Apa itu konsepsi Hukum Islam?

Apa saja Ruang Lingkup Hukum Islam?

Apa sebenarnya Tujuan Hukum Islam ?

Dari manakah Sumber Hukum Islam?


TUJUAN PENULISAN

Untuk mengetahui Konsepsi Hukum Islam,

Untuk mengetahui mana sajakah yang masuk Ruang lingkup Hukum Islam,

Untuk mengetahui Tujuan Hukum Islam di buat,

Untuk mengetahui Sumber Hukum Islam.










BAB II

PEMBAHASAN



KONSEPSI HUKUM ISLAM

Hukum islam yaitu, hukum yang diturunkan oleh Allah swt.untuk kemaslahatan hamba- hamban-Nya di dunia dan akhirat.

Perkataan “ yang diturunkan oleh Allah” dalam definisi di atas menunjukkan bahwa hukum islam itu ciptaan Allah, bukan ciptaan manusia. Hal ini karena yang berhak dan berwenang membuat hukum adalah Allah swt (Ichsan, 2015 : 2).

Hukum Islam berasal dari dua kata yaitu “hukum” dan “Islam”.Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “hukum” diartikan dengan: 1) peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat; 2) undang-undang, peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat.Secara sederhana hukum dapat kita pahami sebagai sekumpulan peraturan atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam bermasyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa hal yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat atau peraturan atau norma yang dibuat dan ditegakkan oleh penguasa.


 يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Sebenarnya istilah “Hukum Islam” jarang sekali dipakai oleh para ulama islam. Istilah yang selalu mereka pakai untuk menunjukkan hukum islam ada dua, yaitu : Syariat dan Fiqih.(Ichsan, 2015: 4).

SYARIAH

Secara bahasa kata “syariah‟ berasal dari bahasa Arab “al-syari‟ah” (الشريعة (yang memiliki arti “jalan ke sumber air” atau jalan yang harus diikuti, yaitu jalan ke arah sumber pokok bagi kehidupan (alFairuzabadiy, 1995: 659).Syariah diartikan jalan air karena bagi siapa saja yang mengikuti syariah maka akan mengalir dan bersih jiwanya layaknya air. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan binatang sebagaimana Dia menjadikan syariah sebagai sebab dari kehidupan jiwa manusia (Amir Syarifuddin, 1997, I:1). Secara terminologis syariah didefinisikan oleh beberapa pendapat. Wahbah al-Zuhaili (1985, I: 18) mendefinisikan “syariah sebagai setiap hukum yang disyariatkan oleh Allah kepada hamba-Nya baik melalui al-Quran maupun Sunnah, baik yang terkait dengan masalah akidah yang secara khusus menjadi kajian ilmu kalam, maupun masalah amaliah yang menjadi kajian ilmu fikih.

FIQIH

Secara bahasa kata ‘fikih’ berasal dari bahasa Arab: alfiqh/الفقه ,yang berarti pemahaman atau pengetahuan tentang sesuatu (alFairuzabadiy, 1995: 1126). Adapun secara terminologis fikih memiliki definisi sebagai ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang digali dari dalildalil terperinci (Khallaf, 1978: 11; Abu Zahrah, 1958: 6; al-Zuhaili, 1985, I: 16; alJarjani, 1988: 168; dan Manna’ al-Qaththan, 2001: 183). fikih adalah sebuah pemahaman dan penjelasan yang sangat rinci dari apa yang sudah ditetapkan oleh syariah. 

Konsep hukum Islam dalam Al- qur’an (Antara Keadilan dam Kemanusiaan)

Hukum, keadilan dan kemanusiaan merupakan tema penting dan unik dalam Al-Quran. Hukum, keadilan dan kemanusiaan yang dibentangkan Al-Quran jika tidak bersifat cerdas dalam mencermatinya, memungkinkan untuk terjadinya salah pemahaman. Dalam hal ini boleh jadi timbul penilaian bahwa hukum yang dirumuskan Al-Quran tidak mengindahkan nila-nilai keadilan dan kemanusiaan. Dalam kasus hokum qisas misalnya, menurut Al-Quran bagi yang membunuh haruslah dibunuh juga. Nampaknya sepintas menggambarkan bahwa konsep hukum menurut Al-Quran bersifat balas dendam yang mencerminkan jauh dari muatan nilai-nilai kemanusiaan.  Hukuman mengenai qishash ini, baik qishash pembunuhan maupun qishah anggota badan, dijelaskan dalam al -Qur’an surat Al Maidah: 45:

Artinya: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya (At-Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-lukapun ada qishashnya. Barang siapa melepaskan ( hak qishashnya ) akan melepaskan hak itu ( menjadi ) penebus dosa baginya. Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim.” (QS. Al- Maidah : 45 ).

RUANG LINGKUP HUKUM ISLAM

Yang dimaksud dengan ruang lingkup hukum Islam di sini adalah objek kajian hukum Islam atau bidang-bidang hukum yang menjadi bagian dari hukum Islam. Hukum Islam di sini meliputi syariah dan fikih. Hukum Islam sangat berbeda dengan hukum Barat yang membagi hukum menjadi hukum privat (hukum perdata) dan hukum publik. Sama halnya dengan hukum adat di Indonesia, hukum Islam tidak membedakan hukum privat dan hukum publik. Pembagian bidang-bidang kajian hukum Islam lebih dititikberatkan pada bentuk aktivitas manusia dalam melakukan hubungan. 

Dengan melihat bentuk hubungan ini, dapat diketahui bahwa ruang lingkup hukum Islam ada dua, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (hablun minallah) dan hubungan manusia dengan sesamanya (hablun minannas). Bentuk hubungan yang pertama disebut ibadah dan bentuk hubungan yang kedua disebut muamalah. 

Dengan mendasarkan pada hukum-hukum yang terdapat dalam al- Quran, Abdul Wahhab Khallaf membagi hukum menjadi tiga, yaitu hukumhukum i’tiqadiyyah (keimanan), hukum-hukum khuluqiyyah (akhlak), dan hukum-hukum ‘amaliyyah (aktivitas baik ucapan maupun perbuatan). Hukum-hukum ‘amaliyyah inilah yang identik dengan hukum Islam yang dimaksud di sini. Abdul Wahhab Khallaf membagi hukum-hukum ‘amaliyyah menjadi dua, yaitu hukum-hukum ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan hukum-hukum muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (Khallaf, 1978: 32).

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup atau bidang-bidang kajian hukum Islam ada dua, yaitu bidang ibadah dan bidang muamalah.

IBADAH

Secara etimologis kata ‘ibadah’ berasal dari bahasa Arab al-‘ibadah, yang merupakan mashdar dari kata kerja ‘abada – ya’budu yang berarti menyembah atau mengabdi (Munawwir, 1997: 886). Sedang secara terminologis ibadah diartikan dengan perbuatan orang mukallaf (dewasa) yang tidak didasari hawa nafsunya dalam rangka mengagunkan Tuhannya (al-Jarjani, 1988: 189). Sementara itu, Hasbi ash Shiddieqy (1985: 4) mendefinisikan ibadah sebagai segala sesuatu yang dikerjakan untuk mencapai keridoan Allah dan mengharap pahala-Nya di akhirat. Inilah definisi yang dikemukakan oleh ulama fikih. Dari makna ini, jelaslah bahwa ibadah mencakup semua aktivitas manusia baik perkataan maupun perbuatan yang didasari dengan niat ikhlas untuk mencapai keridoan Allah dan mengharap pahala di akhirat kelak.

Hakikat ibadah menurut para ahli adalah ketundukan jiwa yang timbul karena hati merasakan cinta akan yang disembah (Tuhan) dan merasakan keagungan-Nya, karena meyakini bahwa dalam alam ini ada kekuasaan yang hakikatnya tidak diketahui oleh akal. Pendapat lain menyatakan, hakikat ibadah adalah memperhambakan jiwa dan menundukkannya kepada kekuasaan yang ghaib yang tidak dijangkau ilmu dan tidak diketahui hakikatnya. Sedang menurut Ibnu Katsir, hakikat ibadah adalah suatu ungkapan yang menghimpun kesempurnaan cerita, tunduk, dan takut (Ash Shiddieqy, 1985: 8). 

Dari beberapa pengertian tentang ibadah di atas dapat dipahami bahwa ibadah hanya tertuju kepada Allah dan tidak boleh ibadah ditujukan kepada selain Allah. Hal ini karena memang hanya Allah yang berhak menerima ibadah hamba-Nya dan Allahlah yang telah memberikan segala kenikmatan, pertolongan, dan petunjuk kepada semua makhluk ciptaan-Nya. Oleh karena itu, dalam al-Quran dengan tegas disebutkan bahwa Allah memerintahkan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya (Q.S. al- Dzariyat [51]: 56). Di ayat lain Allah memerintahkan ibadah kepada manusia sebagai sarana untuk mencapai derajat takwa (Q.S. al-Baqarah [2]: 21). 

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَالَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Artinya : “Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”.

Dengan demikian, jelaslah bahwa ibadah merupakan hak Allah yang wajib dilakukan oleh manusia kepada Allah. Karena ibadah merupakan perintah Allah dan sekaligus hak-Nya, maka ibadah yang dilakukan oleh manusia harus mengikuti aturan-aturan yang dibuat oleh Allah. Allah mensyaratkan ibadah harus dilakukan dengan ikhlas (Q.S. al-Zumar [39]: 11) dan harus dilakukan secara sah sesuai dengan petunjuk syara’ (Q.S. al-Kahfi [18]: 110). 

قُلْ اِنَّمَآ اَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوْحٰٓى اِلَيَّ اَنَّمَآ اِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌۚ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاۤءَ رَبِّهٖ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَّلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖٓ اَحَدًا ࣖ

Artinya : Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa.” Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”

Dalam masalah ibadah berlaku ketentuan, tidak boleh ditambahtambah atau dikurangi. Allah telah mengatur ibadah dan diperjelas oleh Rasul-Nya. Karena ibadah bersifat tertutup (dalam arti terbatas), maka dalam ibadah berlaku asas umum, yakni pada dasarnya semua perbuatan ibadah dilarang untuk dilakukan kecuali perbuatan-perbuatan itu dengan tegas diperintahkan. Dengan demikian, tidak mungkin dalam ibadah dilakukan modernisasi, atau melakukan perubahan dan perombakan yang mendasar mengenai hukum, susunan, dan tata caranya. Yang mungkin dapat dilakukan adalah penggunaan peralatan ibadah yang sudah modern (Muhammad Daud Ali, 1996: 49).

Ibadah memiliki peran yang sangat penting dalam Islam dan menjadi titik sentral dari seluruh aktivitas kaum Muslim. Seluruh aktivitas kaum Muslim pada dasarnya merupakan bentuk ibadah kepada Allah, sehingga apa saja yang dilakukannya memiliki nilai ganda, yaitu nilai material dan nilai spiritual. Nilai material berupa imbalan nyata di dunia, sedang nilai spiritual berupa imbalan yang akan diterima di akhirat. 

Para ulama membagi ibadah menjadi dua macam, yaitu ibadah mahdlah (ibadah khusus) dan ibadah ghairu mahdlah (ibadah umum) (Ash Shiddieqy, 1985: 5). Ibadah khusus adalah ibadah langsung kepada Allah yang tata cara pelaksanaannya telah diatur dan ditetapkan oleh Allah atau dicontohkan oleh Rasulullah. Karena itu, pelaksanaan ibadah sangat ketat, yaitu harus sesuai dengan contoh dari Rasul. Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan pedoman atau cara yang harus ditaati dalam beribadah, tidak boleh ditambah-tambah atau dikurangi. Penambahan atau pengurangan dari ketentuan-ketentuan ibadah yang ada dinamakan bid’ah dan berakibat batalnya ibadah yang dilakukan. Dalam masalah ibadah ini berlaku prinsip: “Pada prinsipnya ibadah itu batal (dilarang) kecuali ada dalil yang memerintahkannya (Ash Shiddieqy, 1980, II: 91).

Contoh ibadah khusus ini adalah shalat (termasuk di dalamnya thaharah), zakat, puasa, dan haji. Inilah makna ibadah yang sebenarnya yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Adapun ibadah ghairu mahdlah (ibadah umum) adalah ibadah yang tata cara pelaksanaannya tidak diatur secara rinci oleh Allah dan Rasulullah. Ibadah umum ini tidak menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi justeru berupa hubungan antara manusia dengan manusia atau dengan alam yang memiliki nilai ibadah.

 Bentuk ibadah ini umum sekali, berupa semua aktivitas kaum Muslim (baik perkataan maupun perbuatan) yang halal (tidak dilarang) dan didasari dengan niat karena Allah (mencari rido Allah). Jadi, sebenarnya ibadah umum itu berupa muamalah yang dilakukan oleh seorang Muslim dengan tujuan mencari rido Allah. Para ulama ada juga yang membagi ibadah menjadi lima macam, yaitu:

 1) ibadah badaniyah, seperti shalat,

 2) ibadah maliyah, seperti zakat,

 3) ibadah ijtima’iyah, seperti haji,

 4) ibadah ijabiyah, seperti thawaf, dan

 5) ibadah salbiyah.

 seperti meninggalkan segala yang diharamkan dalam masa berihram (Ash Shiddieqy, 1985: 5). Tentu masih banyak tinjauan ibadah dari ulama lain berdasarkan sudut pandang yang berbeda-beda, namun tidak akan menghilangkan ruhnya, yaitu bahwa ibadah merupakan suatu ketundukan seorang hamba kepada Tuhannya dengan didukung oleh keikhlasan atau ketulusan hati. 

MUAMALAH

Secara etimologis kata muamalah berasal dari bahasa Arab al-mu’amalah yang berpangkal pada kata dasar ‘amila-ya’malu-‘amalan yang berarti membuat, berbuat, bekerja, atau bertindak (Munawwir, 1997: 972). Dari kata ‘amila muncul kata ‘amala-yu’amilu–mu’amalah yang artinya hubungan kepentingan (seperti jual beli, sewa, dsb) (Munawwir, 1997: 974). Sedangkan secara terminologis muamalah berarti bagian hukum amaliah selain ibadah yang mengatur hubungan orang-orang mukallaf antara yang satu dengan lainnya baik secara individu, dalam keluarga, maupun bermasyarakat (Khallaf, 1978: 32). 

Berbeda dengan masalah ibadah, ketetapan-ketetapan Allah dalam masalah muamalah terbatas pada yang pokok-pokok saja. Penjelasan Nabi, kalaupun ada, tidak terperinci seperti halnya dalam masalah ibadah. Oleh karena itu, bidang muamalah terbuka sifatnya untuk dikembangkan melalui ijtihad. Kalau dalam bidang ibadah tidak mungkin dilakukan modernisasi, maka dalam bidang muamalah sangat memungkinkan untuk dilakukan modernisasi.

 Dengan pertimbangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian maju, masalah muamalah pun dapat disesuaikan sehingga mampu mengakomodasi kemajuan tersebut. Karena sifatnya yang terbuka tersebut, dalam bidang muamalah berlaku asas umum, yakni pada dasarnya semua akad dan muamalah boleh dilakukan, kecuali ada dalil yang membatalkan dan melarangnya (Ash Shiddieqy, 1980, II: 91). Dari prinsip dasar ini dapat dipahami bahwa semua perbuatan yang termasuk dalam kategori muamalah boleh saja dilakukan selama tidak ada ketentuan atau nash yang melarangnya. 

Oleh karena itu, kaidah-kaidah dalam bidang muamalah dapat saja berubah seiring dengan perubahan zaman, asal tidak bertentangan dengan ruh Islam. Dilihat dari segi bagian-bagiannya, ruang lingkup hukum Islam dalam bidang muamalah, menurut Abdul Wahhab Khallaf (1978: 32-33), meliputi (1) ahkam al-ahwal al-syakhshiyyah (hukum-hukum masalah personal/keluarga); (2) al-ahkam al-madaniyyah (hukum-hukum perdata); (3) al-ahkam al-jinaiyyah (hukum-hukum pidana); (4) ahkam al-murafa’at (hukum-hukum acara peradilan); (5) al-ahkam al-dusturiyyah(hukum-hukum perundang-undangan); (6) alahkam al-duwaliyyah (hukum-hukum kenegaraan); dan (7) alahkam al-iqtishadiyyah wa al-maliyyah/(hukum-hukum ekonomi dan harta).

 Jika dibandingkan dengan hukum Barat yang membedakan antara hukum privat dengan hukum publik, hukum Islam dalam bidang muamalah tidak membedakan antara keduanya, karena kedua istilah hukum itu dalam hukum Islam saling mengisi dan saling terkait. Akan tetapi, jika pembagian hukum muamalah yang tujuh di atas digolongkan dalam dua bagian sebagaimana yang ada dalam hukum Barat, maka susunannya adalah sebagai berikut: Hukum perdata (Islam), yang meliputi: Ahkam al-ahwal al-syakhshiyyah, yang mengatur masalah keluarga, yaitu hubungan suami isteri dan kaum kerabat satu sama lain. 

Jika dibandingkan dengan tata hukum di Indonesia, maka bagian ini meliputi hukum perkawinan Islam dan hukum kewarisan Islam. Al-ahkam al-madaniyyah, yang mengatur hubungan antar individu dalam bidang jual beli, hutang piutang, sewa-menyewa, petaruh, dan sebagainya. Hukum ini dalam tata hukum Indonesia dikenal dengan hukum benda, hukum perjanjian, dan hukum perdata khusus. Hukum publik (Islam), yang meliputi: Al-ahkam al-jinaiyyah, yang mengatur pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang mukallaf dan hukuman-hukuman baginya.

 Di Indonesia hukum ini dikenal dengan hukum pidana. Ahkam al-murafa’at, yang mengatur masalah peradilan, saksi, dan sumpah untuk menegakkan keadilan. Di Indonesia hukum ini disebut dengan hukum acara. Al-ahkam al-dusturiyyah, yang berkaitan dengan aturan hukum dan dasar-dasarnya, seperti ketentuan antara hakim dengan yang dihakimi, menentukan hak-hak individu dan sosial. Al-ahkam al-duwaliyyah, yang berhubungan dengan hubungan keuangan antara negara Islam dengan negara lain dan hubungan masyarakat non-Muslim dengan negara Islam. Di Indonesia hukum ini dikenal dengan hukum internasional. Al-ahkam al-iqtishadiyyah wa al-maliyyah, yang berkaitan dengan hak orang miskin terhadap harta orang kaya, dan mengatur sumber penghasilan dan sumber pengeluarannya. Yang dimaksud di sini adalah aturan hubungan keuangan antara yang kaya dengan fakir miskin dan antara negara dengan individu.

 Itulah pembagian hukum muamalah yang meliputi tujuh bagian hukum yang objek kajiannya berbeda-beda. Pembagian seperti itu tentunya bisa saja berbeda antara ahli hukum yang satu dengan yang lainnya. Yang pasti hukum Islam tidak dapat dipisahkan secara tegas antara hukum publik dan hukum privat. Hampir semua ketentuan hukum Islam bisa terkait dengan masalah umum (publik) dan juga terkait dengan masalah individu (privat). 


TUJUAN HUKUM ISLAM

Pembentukan hukum Islam memiliki tujuan untuk merealisasikan kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan pokoknya (dharûriyyah), kebutuhan sekunder (hâjiyyah) serta kebutuhan pelengkap (tahsîniyyat). Dalam wacana umum, kebutuhan dharûriyyah disebut primer, kebutuhan hâjiyyah disebut sekunder, dan kebutuhan tahsîniyyah disebut tersier.

Secara umum, tujuan hukum islam, yaitu sebagai ketetapan hukum islam, kemaslahatan umat manusia, kemaslahatan dunia dan akhirat serta petunjuk ke jalan yang benar bagi manusia.

1. Maqashid AlSyari’ah 

Maqashid Al-Syariah disebut juga dengan ketetapan hukum islam. Nah, di sini ada tiga tingkatan, yaitu tingkatan kebutuhan primer yang wajib dipenuhi, jika tidak dipenuhi akan berantakan. Ada juga kebutuhan sekunder sebagai kebutuhan pendukung dan kebutuhan tersier yang sifatnya hanya melengkapi saja. 

2. Kemaslahatan Umat Manusia 

Sepertinya sudah disinggung di pembahasan sebelumnya. Bahwa hukum islam hadir sebagai penengah atau solusi atas segala permasalahan yang terjadi. Baik masalah yang bersifat keyakinan ataupun masalah hubungan interaksi sosial. 

3. Mewujudkan Kemaslahatan di dunia dan di akhirat 

Ternyata tidak sekedar bermanfaat untuk urusan dunia dan masalah perbedaan saja. Hukum islam juga bertujuan dalam mewujudkan kemaslahatan di dunia dan di akhirat. Ada lima unsur pokok terciptanya kemaslahatan di dunia dan akhirat, yaitu : agama, jiwa, akal, keturuan dan harta. 

1.    Memelihara Agama (Hifz al-Din)

Menjaga dan memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

a.   Memelihara agama dalam peringkat daruriyyat, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat primer. Contoh: melaksanakan salat lima waktu adalah kewajiban. Kalau salat itu diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama.


b.    Memelihara agama dalam peringkat hajiyyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan, contoh: salat jama’ dan shalat qasr bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang melakukannya.

c.  Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyyat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap Tuhan, contoh: menutup aurat, baik di dalam maupun di luar salat, membersihkan badan, pakaian, dan tempat. Kegiatan ini erat kaitannya dengan akhlaq yang terpuji. Kalau hal ini tidak mungkin untuk dilakukan, maka hal ini tidak akan mengancam eksistensi agama dan tidak pula mempersulit bagi orang yang melakukannya. Artinya, bila tidak ada penutup aurat, seseorang boleh salat, jangan sampai meninggalkan salat yang termasuk kelompok daruriyyat. Kelihatannya menutup aurat ini tidak dapat dikategorikan sebagai pelengkap (tahsiniyyat), karena keberadaannya sangat diperlukan bagi kepentingan manusia. Setidaknya kepentingan ini dimasukkan dalam kategori hajiyyat atau daruriyyat. Namun, kalau megikuti pengelompokan di atas, tidak berarti sesuatu yang termasuk tahsiniyyat itu dianggap tidak penting, karena kelompok ini akan menguatkan kelompok hajiyyat dan daruriyyat.

2.    Memelihara Jiwa (Hifz al-Nafs)

Memelihara jiwa, berdasarkan tingkat kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

a.  Memelihara jiwa dalam peringkat daruriyyat, contoh: memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia.

b.  Memelihara jiwa dalam peringkat hajiyyat, contoh: diperbolehkan berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia,melainkan akan mempersulit hidupnya.

c.   Memelihara jiwa dalam peringkat tahsiniyyat, contoh: diterapkannya tata cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan sesorang.


3.    Memelihara Akal (Hifz al-‘Aql)

Memelihara akal dilihat dari segi kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

a. Memelihara akal dalam peringkat dlaruriyyat, contoh: diharamkan meminum minuman keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi akal.

b.  Memelihara akal dalam peringkat hajiyyat, contoh: dianjurkannya menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya hal itu dilakukan, maka tidak akan merusak akal, tetapi akan mempersulit diri seseorang, dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.

c. Memelihara akal dalam peringkat tahsiniyyat, contoh: menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etiket, tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung.

4.    Memelihara Keturunan (Hifz al-Nasl)

Memelihara keturunan, ditinjau dari segi kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

a.    Memelihara keturunan dalam peringkat dlaruriyyat, contoh: disyari’atkannya nikah dan dilarangnya berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.

b.    Memelihara keturunan dalam perringkat hajiyyat, contoh: ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talaq padanya. Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu akad, maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mahar misl. Sedangkan dalam kasus talaq, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak talaqnya, padahal situasi rumah tangganya tidak harmonis.

c.    Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, contoh: disyari’atkan khitbah atau walimah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan.

5.    Memelihara Harta (Hifz al-Mal)

Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

a.  Memelihara harta dalam peringkat dlaruriyyat, contoh: syari’at tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Apabila aturan itu dilanggar, maka berakibat terancamnya eksistensi harta.

b.    Memelihara harta dalam peringkat hajiyyat, contoh: syari’at tentang jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan mengancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan modal.

c. Memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat, contoh: ketentuan tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermu’ammalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan berpengaruh kepada kepada sah tidaknya jual beli itu, sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang kedua dan pertama.

4. SUMBER HUKUM ISLAM

1. Al-Qur’an

Sumber hukum islam yang paling utama sudah pasti Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an sebagai sumber dari segala ajaran dan syariat islam. Hal ini bukan didengungkan tanpa alasan, karena di dalam Al-Quran sendiripun juga menegaskanya. Para ulama tidak hanya menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber hukum islam. Tetapi juga sebagai rumusan yang memiliki unsur dasar ang penting. Yaitu, Al-Qur’an yang berbentuk lafazt yang mengandung makna dalam dan penuh arti. Lafazt yang tertulis pun bukan sekedar lafazt biasa, tetapi lafazt istimewa karena disampiakan Allah melalui Jibril ke Naabi Muhammad. Kemudian Nabi Muhammad SAW melafaztkannya.

2.Hadist

Jadi, sumber hukum islam yang kedua adalah hadist. Seperti yang kita tahu selama ini bahwa hadis sebagai sunnah Rasulullah. Isi hadis itu sendiri juga tidak lain perkatan dan ucapan Rasulullah SAW yang masih ada kaitannya dalam kehidupan manusia. Dimana setiap apa yang diucapkan Nabi Muhammad akan menjadi sunnah.

Ada sunnah fi’liah, taqririyah dan sunah qauliyah. Dari ketiga sunnah tersebut tetap berprinsip pada Al-Qur’an sebagai sumber hukum.

Terkait sifat hadist itu sendiri pun masih sangat luas jika di kaji. Jadi sumber hadis tersebut juga perlu dan wajib dilihat dulu sanadnya (keseimbangan antar perawi), dilihat juga dari segi matan (isi materi) dan dilihat rowinya (periwayatnya). itu sebabnya ada yang disebut hadis lemah dan kuat. Ada tiga kelompok hadist dari segi perawinya. Pertama, sunnah mutawattir yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh banyak perawi. Kedua, sunnah masyur atau yang disebut dengan sunnah yang diriwayatkan du aorang atau lebih yang tidak mencapai tingkatan mutawir dan terakhir adalah sunnah ahad, atau sunnah yang diriwayatkan satu perawi saja.

Jika kamu mempelajari lebih dalam tentang hadis pula, kamu pun akan tahu ternyata ada pembagian hadist melalui pembagian berdasarkan rawinya loh. Kemudian jika ditinjau dari sudut periwayatannya maka hadist juga akan dibagi menjadi empat tingkat golongan. Ada yang disebut dengan hadist mutawir, hadis masur, hadist ahad dan hadis mursal.

3.ijma’

Sumber hukum Al-Ijtima sebenarnya buah dari kesepakatan dari para ahli istihan (mujtahid) setelah masa Rasulullah. Tentu saja konteks dari ijtima’ ii masih seputar tentang hukum dan ketentuan yang berkaiatan dengan syariat.

Al-ijtima’ hadir sebagai ikhtiar untuk  isthad umat islam setelah qias. Dari segi definisi, ijtima’ itu sendiri dapat diartikan sebagai pengatur sesuatu yang tidak teratur. Dapat pula diartikan sebagai kesepakatan pendapat dari para mujtahid dan sebagai persetujuan para ulama fiqih terhadap masalah hukum tertentu yang telah disepakati bersama.

Sumber hukum ijtima’ dibagi menjadi dua, yaitu ijtima shoreh atau ijtimak yang menyampaikan pesan aau aturan secara tegas dan jelas. Ada juga ijtima’ sukuti (diam atau tidak jelas) kebalikan dari shoreh. Nah jika ditinjau dari kepastian hukum, ijma’ pun dapat digolongkan menjadi ijtma’ qathi (memiliki kejelasan hukum), dan ijma’ dzanni (menghasilkan ketentuan hukum pasti).

4.Qiyas

Sumber hukum islam yang terakhir yang disepakati adalah qias. Qias digunakan dan diterapkan ketika suatu masalah tidak ada hukum di Al-Qur’an, hadis dan ijma’. Barulah menggunakan qiyas dengan cara mengambil perumpaan antara dua peristiwa atau lebih. Dari persamaan inilah kemudian dibuat analogi deduksi atau analogical deduction.

Qias ini digunakan untuk menarik garis hukum baru dari garis hukum yang lama. sebagai contoh qias terkait menentukan halal haram sebuah minuman. Dulu, mungkin tidak ada narkotika atau apapun yang saat ini banyak minuman yang memabukan. Jika dulu minuman yang memabukan adalah khamar, sekarang khamar bentuknya mungkin sudah bertransformasi bentuk, rasa, dampak yang ditimbulkan dan namannya.

Jika kita tetap menggunakan khamar sebagai minuman yang haram, maka minuman dan obat narkotika tidak bisa diberlakukan sebagai barang haram. Itu sebabnya hukum qias ini hadir, untuk menyegarkan dan tetap pada satu koridor yang tidak menyimpang dari 3 sumber hukum islam yang sudah disebutkan di atas.





















BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Hukum Islam adalah hukum yang berasal dari agama Islam. Yaitu hukum yang diturunkan oleh Allah untuk kemaslahatan hamba-hambaNya di dunia dan akhirat. adalah hak peregulit Allah Ta'ala. 

Ruang lingkup hukum Islam dibagi menjadi dua antara lain 1) hukum yang berkaitan dengan persoalan ibadah, dan 2) hukum yang berkaitan dengan persoalan kemasyarakatan.

Tujuan hukum Islam secara umum adalah untuk mencegah kerusakan pada manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka, mengarahkan mereka pada kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat, dan mencegah atau menolak yang mudharat, yakni yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan manusia.

Adapun sumber hukum islam antara lain, yaitu : Al-Qur’an, Al- Hadist, Ijma’, dan Qiyas.

SARAN

Allah telah meciptakan hukum untuk umat manusia, maka dari itu kita harus lebih mendalami hukum-hukum tersebut sesuai syariat islam dan menerapkannya dalam kehidupan kita.hukum tidak semata diciptakan untuk di langgar melainkan untukk di taati dan di laksanakan agar kita manusia tidak salah paham terhadap hukum, dan mendapatkan keadilan sesama kita.














DAFTAR PUSTAKA


Ichsan.Muhammad. Buku Pengantar Hukum Islam.2015.

https://ejournal.iainpare.ac.id. Konsep Hukum Islam dan Teori Pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia.Di Akses pada Tanggal 17 Februari 2023.

https://journal.iain-manado.ac.id. Konsep Hukum Islam Dalam Al-qur’an.Di Akses pada Tanggal 17 Februari 2023.

https://suduthukum.com. Ruang Lingkup Hukum Islam.Di Akses pada Tanggal 17 Februari 2023.

https://deepublishstore.com. Pengertian Islam :Sumber,Pembagian,Tujuan,dan Contoh Hukum Islam.Di Akses pada Tanggal 17 Februari 2023.

https://deepublishstore.com. Hukum Islam,Pengertian dan Penjelasannya.Di Akses pada Tanggal 17 Februari 2023.

https://papua.kemenag.go.id. Konsep Tujuan Syariah(Maqasid Syariah).Di Akses pada tanggal 17 Februari 2023.


















TANYA JAWAB


PERTANYAAN:

Apa yang dimaksud dengan sunnah fi’liah, sunnah taqririyah, sunnah qauliyah?

(Nur hasanah sarumpaet,21 feb 2023)



Apakah maksud dari bila tidak ada penutup aurat,seseorang boleh sholat,jangan sampai meninggalkan sholat yg termasuk kelompok daruriyyat?

(Jesika Damayanti hutabarat,14 feb 2023)


JAWABAN:

Sunnah fi’liyah adalah segala perbuatan dan perilaku yang dilihat para sahabat rasul,yaitu masalah ibadah,muamalah dan sebagainya.contohnya cara rasulullah melakukan sholat,puasa,haji,dan lain sebagainya.


Sunnah taqririyah adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh sahabat semasa RASULULLAH SAW hidup,dengan kata lain beliau mengetahuinya namun hanya diam saja,tidak melarang dan tidak  juga menyuruh.sesungguhnya RASULULLAH SAW tidak pernah mendiamkan sesuatu yang dianggap bathil (tidak sah).


Sunnah qauliyah adalah segala yang dikatakan oleh RASULULLAH SAW baik dalam bentuk pernyataan,perintah,anjuran maupun larangan..contohnya nabi MUHAMMAD SAW bersabda:”berpuasalah karna melihat hilal dan berbukalah karna melihat hilal”.

(Nur samsiah ritonga,21 feb 2023)


Maksudnya seseorang boleh sholat meskipun tidak sepenuhnya menutup aurat,karena melaksanakan sholat itu suatu kewajiban walaupun tidak sepenuhnya menutup aurat,harus tetap dilaksanakan jangan sampai meninggalkan sholat.

(Sri kandi sumatri ritonga,21 feb 2023)





Baca Artikel Terkait: