-->

Minggu, 23 November 2014

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar belakang
       Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis ini dapat mengetahui sikap dan tindakan ummat Islam yang sebenarnya, khususnya para ulama ahli hadis, terhadap hadis serta usaha pembinaan dan pemeliharaan mereka pada tiap-tiap priode sampai masa kitab-kitab hasil tadwin secara sempurna. Sebab studi tentang keberadaan hadis ini selalu semakin menarik untuk dikaji seiring dengan perkembangan nalar manusia yang semakin kritis. Apalagi yang terlibat dalam wacana ini bukan hanya kalangan ummat Islam, melainkan juga melibatkan kalangan orientalis. Bahkan menguatnya kajian hadis dalam dunia Islam tidak lepas dari upaya ummat Islam yang melakukan counter balik terhadap sangkaan-sangkaan negatif kalangan orientalis terhadap keaslian hadis. Goldziher misalnya, ia meragukan sebaguian besar keaslian (orientalis) hadis, bahkan yang diriwayatkan oleh Bukhori sekalipun. Salah satu alasannya adalah jarak semenjak wafatnya Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Salllam dengan masa upaya pentadwinan hadis sangat jauh, menurutnya, sangat sulit untuk menjaga tingkat orisinalitas hadis tersebut. Oleh karena itu, mengkaji sejarah ini berarti melakukan upaya mengungkap fakta-fakta yang sebenarnya sehingga sulit untuk ditolak kebenarannya.
                   Perjalanan hadis pada tiap-tiap priodenya mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang dihadapinya, yang antara satu priode dengan priode lainnya tidak sama. Terlepas dari priodesasi yang dikemukakan diatas, yang perlu diuraikan secara khusus pada bahasan ini, ialah masa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, masa sahabat, masa Tabi’in.[1]
                   Dalam makalah ini penulis tidak akan membahas semua priodesasi seperti halnya diatas akan tetapi hanya membahas priodesasi dimasa Tabi’in saja. Disinilah perlu dibuktikan sejarah hadis dimasa Tabi’in itu seperti apa sebenarnya? Semoga makalah ini nantinya dapat menambah wawasan pembacanya dan memberikan masukan dan saran yang bersifat membangun dan ilmiyah.            


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Hadis Pada Masa Tabi’in
Pengertian Tabi’in:
        Tabi’in jama’ dari Tabi’i atau Tabi’ kalau menurut bahasa arti dari Tabi’in adalah pengikut. Sedangkan menurut istilah dalam ilmu hadis, sebagaimana yang dinyatakan oleh ahli hadis seperti Al-Hakim, Ibnu Shalah, An Nawawy, dan Iraqy, bahwa yang disebut Tabi’in ialah orang-orang yang menjumpai sahabat dalam keadaan imam dan Islam baik perjumpaannya itu lama atau sebentar.[2]
Pengikut disini berarti orang yang mengikuti para sahabat baik cara berbicaranya akhlaknya yang berasal dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Orang yang mengikuti para sahabat itu akan melihat pula sahabat yang benar-benar pernah bertemu dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam semasa hidupnya dan benar-benar sudah mengucapkan syahadatain atau yang dikatakan dengan masuk agama Islam. Dan orang yang akan mengikuti sahabat itu berarti orang yang memperkokoh imannya dan lebih menmyempurnakan keIslamannya. Dengan kesungguhannya mencari para sahabat tersebut untuk diikuti maka orang itu bisa melakukan perjalanan jauh dari satu negri kenegri lain dari sahabat satu kesahabat yang lain demi untuk mengetahui islam itu yang sebenarnya melalui bukti hadis Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Menyebarnya sahabat diberbagai daerah ataupun wilayah membuat para Tabi’in itu semakin banyak jumlahnya.
Menurut sebagaian pendapat, bahwa seutama-utama Tabi’iy ialah: Uwais ibn Amr Al-Qarni. Sedang menurut Iamam Ahmad ialaha: Said ibnu Musayyab.Dari perjuangan mereka berdua antara Uwaisdan Sayid Al-Musayyab benar-benar teruji akan kegigihan mereka untuk menmuntut ilmu hadis tersebut. Prof. Hasbi mengkompermasikan kedua pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa perbedaan pendapat tersebut bukanlah perselisihan yang hakiki, sebab sesungguhnya, masing-masing kedua Tabi’in tersebut memeiliki keistimewaan sendiri.[3] Sebenarnya perlu dikaji ulang kembali apa sebenarnya keistimewaan kedua Tabi’in tersebut? Keistimewaan mereka berdua dikatakan seutama-utama Tabi’iy adalah: Dalam kisahnya Uwais ibn Amr Al-qarni. Dia adalah  teladan , ahli zuhud, pemimpin generasai  Tabi’in pada masanya. Dia adalah Abu Amr Uwais bin Amir bin Jaz’in Al-qarani Al-Muradi Al-Yamni. Qaran adalah tengah-tengah kota Murad. Dia pernah dikirim menemui Umar lalu meriwayatkan  sedikit hadits darinya dan Ali. Dia termasuk wali Allah  yang bertaqwa dan hambanya yang ikhlas.
Diriwayatkan dari Usair bin Jabir, dia berkata: Ketika sampai dipenduduk Yaman, Umar Radhiyallahu Anhu bertanya  kepada mereka,” Apakah diantara kalian ada yang berasal dari Qaran?” pandangan Umar atau pandangan Uwais bertemu atau mereka saling memandang sehingga dia mengetahuinya, maka Umar berkata,” Siapa namamu? Dia menjawab, aku Uwais.” Umar berkata, apakah kamu punya ibu? “Dia menjawab,”Benar “Umar berkata, Apakah kamu mempunyai penyakit keputihan? Uwais menjawab,”Ya, lalu aku berdo’a kepada Allah, dan Dia menghilangkannya dariku kecauali disatu tempat dipusarku agar aku ingat kepada Tuhanku dengannya.” Umar berkata kepadanya,” Mintakanlah ampunan untukku: “Uwais berkata, engkau lebih berhak untuk memintakan ampunan untukku, karena engkau sahabat Rasulullah.”Umar berkata,” Aku sebenarnya mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “sebaik-baik Tabi’in adalah  seorang pria bernama Uwais, dia mempunyai seorang ibu dan pada dirinya ada penyakit keputihan, lalu dia berdo’a kepada Allah dan Allah menghilangkan penyakit tersebut darinya kecuali satu tempat sebesar uang dirham pada pusarnya. Setelah itu Uwais memintakan ampun untuk Umar kemudian masuk kedalam kerumunan manusia dan kami tidak tahu lagi dimana dia berada.[4] Dari kisah diatas tentang Uwais maka wajarlah dia itu dikatakan dengan seutama-utama Tabi’in. Dalam kisahnya itu sebelum dia berjumpa dengan Sahabat, ternyata sahabat sudah dapat informasi dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang Uwais itu. Setelah Umar mendapat informasi tersebut maka setelah wafatnya Rasul selama tiga kali pelaksanaan haji baru berjumpa dengan Uwais.
Bagaimana pula tentang Tabi’in yang kedua yang dikatakan oleh imam Ahmad yakni Sayid ibnu Musayyab. Dia adalah Ibnu Hazan, seorang imam dan tokoh, Abu Muhammad Al-Qurasyi Al-Makhzumi, Ulama Madinah dan pemimpin Tabi’in pada masanya. Dia dilahirkan setelah kekhalifahan Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu dan termasuk orang yang handal dalam bidang ilmu serta amal. Diriwayatkan dari Ali bin Zaid: Sa’id bin Al-Musayyib bin Hazan menceritakan kepadaku bahwa kakeknya sangat bersedih, lalu dia mendatangi Nabi Shallallhu Alaihi wa Sallam, dan beliau bertanya kepadanya,” Siapa namamu?”Dia menjawab,Hazzan (kesedihan)” Nabi Shallalhu Alaihi wa Sallam bersabda.” Tidak, tetapi kamu adalah sahal (kemudian),” Dia berkata,” Ya Rasulullah, itu adalah nama yang diberikan oleh orangtuaku, dan dengan nama itu aku dikenal dikalangan orang-orang. Nabi Shallalhu Alaihi wa Sallam pun diam.
Diriwayatkan dari Ibnu Al-Musayyib dia berkata,”Aku tidak pernah meninggalkan sholat Jama’ah sejak 40 tahun yang lalu.
Diriwayatkan dari Uzman bin Hakim,dia berkata,”Aku mendengar ibnu Al-Musayyib berkata setiap kali muazim mengumandangkan adzan di masjid, selama rentang waktu 30 tahun ini pula akau selalu shalat di masjid.” Ibnu Al-Musayyib berkata,” Aku rela berjalan berhari-hari dan bermalam-malam demi mencari satu hadits.[5]
Pendapat lain tentang pengertian Tabi’in ada juga yang mengatakan bahwa Tabi’in jamak dari kata tabi’i atau tabi’ berarti orang yang mengikuti atau berjalan dibelakang. Menurut istilah Tabi’in adalah sebagai berikut
هُوَ مَنْ لَقِيْ صَحَا بِيًا مُسْلِمًا وَمَاتَ عَلَى الاِسْلَامِ 
Adalah orang muslim yang bertemu dengan seorang sahabat dan mati dalam beragama Islam.[6]

                   Berjalan dibelakang para sahabat berarti yang mengikuti apa yang di katakan sahabat termasuk akan perbuatan sahabat yang dicontoh para pengikutnya yang dasarnya  dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan bisa dijadikan hujjah dan sifatnya ilmiyah.  
                   Dari dua pengertian diatas jelas sekali bahwa Tabi’in itu bukan saja setiap orang yang bisa bertemu dengan sahabat dikategorikan Tabi’in. Mungkin kalau hanya bisa berjumpa dengan para sahabat banyak sekali orang di masa itu yang berjumpa bahkan dekat dengan sahabat, akan tetapi mereka tidak dikategorikan Tabi’in. Makanya seseorang itu baru bisa di katakan Tabi’in apabila dia itu telah beragama Islam semenjak dia berjumpa dengan sahabat baik lama maupun sebentar sampai dia itu wafat. Jadi kesimpulan dari dua pengertian Tabi’in diatas adalah orang yang berjumpa dengan sahabat dalam keadaan beragama islam mulai dari awal perjumpaannya sampai wafatnya baik itu lama ataupun hanya sebentar. Jadi seorang Tabi’in baru bisa diakui akan keTabi’inannya harus memiliki kriteria sebagai berikut:
1.        Benar-benar pernah bertemu dengan salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
2.        Benar-benar sudah beragama Islam
3.        Menjaga amanah sariat Islam
4.        Iman dan Islam sampai mati
       Walaupun kriteria menjadi Tabi’in itu tidak mudah, namun orang sangat tertarik akan ajaran Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam apalagi agama yang disebarkannya melalui sahabat bisa dipertanggungjawabkan baik didalam kehidupan bermasayrakat apalagi dihadapan Allah Subaha na Wata’ala. Maka orang yang mengikuti para sahabat itu tidak bisa dihitung jumlahnya
                   Jumlah Tabi’in tidak terhitung karena setiap orang muslim yang bertemu dengan seorang  sahabat disebut Tabi’in padahal sahabat yang ditinggalkan Rasulullah lebih dari seratus ribu orang.[7] Bisa kita bayangkan para sahabat yang ditinggalkan oleh Rasulullah ratusan ribu banyaknya wajarlah para Tabi’in itu secara ril tidak akan bisa dipastikan jumlahnya. Namun bermacam pendapat disini salah satu yang lebih kuat dari kesepakatan para ulama hanya mengatakan akan  berakhirnya masa Tabi’in sedangkan jumlahnya tidak ada yang lebih pasti.
                   Jumlah Tabi’in tidak terhingga, namun para ulama sepakat bahwa akhir dari masa Tabi’in adalah tahun 150 H.[8] Walaupun jumlah para Tabi’in itu tidak dapat dihitung  secara ril namun  diantara sekian banyak para Tabi’in maka ada kategorinya yang terkemuka, para Tabi’in yang dikatakan terkemuka itu ada tujuh Fuqoha.
Diantara Tabi’in yang terkemuka adalah mereka yang disebut sebagai Fuqoha Tujuh, yaitu:
1.    Said Ibnu Musayyab.
2.    Al-Qasim Ibnu Muhammad Ibnu Abi Bakr.
3.    Urwah Ibnu Zubair.
4.    Kharijah Ibnu Zaid
5.    Abu Ayyub Sulaiman Ibnu Yassar Al-Hilaly.
6.    Ubaidullah Ibnu Abdullah Ibnu Utbah.
7.    Ada yang mengatakan : Salim Ibnu Abdillah Ibnu Umar Ibnu Khatthab. Ada yang mengatakan: Abu Salamah Ibnu Abdur Rahman Ibnu Auf.[9]
                   Tabi’in yang disebut Fuqoha Tujuh mempunyai perjuangan dan kesungguhan dalam menuntut ilmu dibuktikan dengan sebuah sejarah tentang Said Ibnu Musayyab.
                   Beliau mendatangi rumah istri-istri Rasulullah untuk memperoleh ilmu dan berguru  pada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar serta Abdullah bin Abbas. Beliau mendengar hadits dari Utsman , Ali Suhaib dan para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang lain. Beliau berakhlak dengan akhlak mereka dan berprilaku seperti mereka. Beliau selalu mengucapkan suatu kalimat yang menjadi slogannya setiap hari: Tiada yang lebih menjadikan hamba berwibawa selain taat kepada Allah Subaha na Wata Ala dan tiada yang lebih membuat hina seorang hamaba dari bermaksiat kepada-Nya.[10]
           Kedatangan Tabi’in kerumah istri-istri Rasulullah dan tidak cukup itu saja akan tetapi dia berguru lagi kepada sabat yang lain demi menggali ilmu untuk dapat diamalkannya sereta mempertangung jawabkannya dihadapan khlayak umum. Dengan banyaknya ilmu Tabi’in itu maka dia semakin taat kepada Allah dan membuat dirinya berwibawa dalam kehidipan masyarakatnya. Yang perlu diambil pelajran dari sejarah ini bagaimana saeorang Tabi’in kita jadikan contoh dalam kehidupan kita mulai dari dia menuntut ilmu, kesungguhannya dari berbagai sumber baik dari kaum wanita yang bisa dipertanggung jawabkan ilmunya begitu juga dari kaum lelaki. Sumber ilmu bukan satu jalan, banyak jalannya memperoleh ilmu yang penting kita mau bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Dengan ilmulah kita bisa beramal dengan baik, dengan ilmulah amal kita bisa sempurna dan bisa diterima Allah, dengan limu pulalah derjad seseorang diangkat oleh Allah Azza Wa Jalla. Berwibawanya seseorang sesuai dengan ilmu yang dimilikinya. Makany para Tabi’in itu semangatnya tidak lekang karna panas tidak lapuk karna hujan yang penting dia mencari guru dari waktu kewaktu untuk memperkaya ilmu. Lain halnya kisah dari Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abu Bakar Al-Shiddiq, dimana beliau:
       Ketika beliau merasa ajalnya telah dekat, beliau berpesan kepada putranya: Bila aku mati, kafanilah aku dengan pakaian yang aku pakai untuk sholat. Gamisku, kainku dan surbanku. Seperti itulah kafan kakekmu, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Kemudian ratakanlah makamku dan segeralah kembali kepada keluargamu. Jangan engkau berdiri di atas kuburanku seraya berkata: Dia dulu begini dan begitu ….. karena aku bukanlah apa-apa.[11]
       Begitulah seorang Tabi;in memegang teguh amanah yang sudah didapti mereka dari para sahabat sebelumnya. Dia tidak mau menyimpan ilmu yang ada padanya walaupun ilmu itu mungkin tidak akan diterima anaknya, tapi dia tetap mengatkan nasehat kepada anaknya dihari-hari hayatnya sudah dekat. Seorang Tabi’in merasa takut akan perbuatan anaknya ketika dia sudah tiada akan berbuat hal-hal yang dilarang oleh Islam dan tidak ada contoh dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam begitu juga Sahabat terutama mengagungkan kesolehan Tabi’in itu. Makanya pesan yang paling terakhir dikatakannya kepada anaknya itu adalah karena aku bukanlah apa-apa. Kata-kata aku bukanlah apa-apa mengandung makna yang sangat luas, baik itu disegi akidah, ibadah apalagi syariat. Berdasarkan itulah kita selaku manusia biasa yang jauh dari priode Tabi’in ambillah cara dan sikap yang ada pada para Tabi’in tersebut. Diantara sikap Tabi’in itu katakanlah sesuatu ilmu yang mempunyai sumber dari sahabat, kalau sudah dari Sahabat maka sudah pastilah berasal dari Rasul. Dan ingat ketika kita punya ilmu jangan lupa untuk mentranspernya kepada orang lain, karena ilmu itu adalah milik Allah kalau ilmu tidak dikembangkan, tidak diajarkan sama orang maka ilmu akan binasa, dengan kuncinya semua kata-kata aku bukan apa-apa. Dari Fuqoha yang tujuh diatas hanya dua orang saja yang diuraikan sejarah singkatnya dalam menuntut ilmu. Walupun keterangan diatas tidak menjelaskan akan priodenya dalam keterangan lain ada yang menuliskan akan tahun keaktifannya ataupun waktu wafatnya.
          Diantara tokoh Tabi’in terdapat para Ulama yang dikenal dengan sebutan AL-Fuqaha’ al-Saba’ah (Fuqaha yang Tujuh) yaitu:
1.    Sa’id Ibn al- Musayyab ( 15-94 H )
2.    Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abu Bakar al- Shiddiq (  37- 107 H )
3.    Urwah Ibn al- Zubair ( W. 94 H )
4.    Kharijah Ibn Zaid Ibn Tsabit ( 29-99 H )
5.    Sulaiman Ibn Yasar ( 34-107 )
6.    Ubaid Allah Ibn ‘Abd Allah Ibn ‘Utbah Ibn Mas’ud ( W. 98 H )
7.    Abu Salamah Ibn ‘Abd Al- Rahman Ibn Auf ( W. 94 H )
Ada yang mengatakan , yang termasuk Fuqaha yang tujuh ini adalah Salim ibn ‘Abd Allah ibn Umar (w. 106 H) dan Abu Bakar ibn ‘Abd al- Rahman ibn al- Harits Ibn Hisyam al- Makhzumi ( w. 94 H ).[12] Dari tokoh Tabi’in yang terkenal dalam sebutan para ulama itu tidak hanya Tabi’in saja yang bisa berjumpa dengan para sahabat, bagaimana pula tentang Sahabiyat yang mepunyai banyak ilmu tidak akan mungkin Sahabiyat itu yang akan melayani para Tabi’in untuk mentrasper ilmu. Disinilah peran dari seorang Tabi’iyah untuk menunutut ilmu kepada para Sahabiyat. Ilmu tidak akan dipokuskan kepada kaum lelaki saja akan tetapi kaum wanitapun butuh akan ilmu, apalagi untuk menjelaskan sesuatu yang tidak pantas laki-laki yang akan menjelaskannya, maka itulah para Tabi’iyah sama kedudukannya dengan para Tabi’in. Adapun yang seutama-utama Tabi’iyah (Tabi’in wanita) ialah : Hafsah binti sirin dan Ummu darda’ As-Sughara.[13] Dengan adanya Tabi’iyah ini maka Islam semakin berkembang pesat, karena antara Tabi’in dengan Tabi’iyah sama-sama mencari dan menggali hadis yang benar- benar berasal dari Rasulullah. Dan mereka inilah yang menyebarkan serta tempat para Tabii Tabi’in mengambil ilmu hadis. Perjuangan Tabi’in dan Tabi’iyah perlu dicontoh dalam hal menuntut ilmu hadis yang sampai sekarang kita rasakan kenikmatan dan kesahihan dalam kehidupan masyarakat Islam. Begitu mulianya kaum wanita dalam pandangan Islam terutama diera piodenya  sampai sekarang. Kalau dilihat pandangan orang Romawi terhadap wanita dalam selogannya :    “ Mengikat mereka tanpa melepaskannya. Laki-laki memiliki hak penuh atas keluarga sebagaimana hak raja atas rakyatnya. Dia berhak mengatur istrinya sesuai dengan selera hawa nafsunya. Bahkan sampai dengan kekuasaannya kadang-kadang seorang lelaki berhak membunuh istrinya.[14] Alangkah tersiksanya para wanita di Romawi itu tidak diberi kebebasan dalam menuntut ilmu yang akhirnya para wanita di daerahnya tidak akan berkembang cara berpikirnya. Apalagi dalam beramal saleh tidak akan bisa mereka itu beramal sesuai dengan dalil yang sahih atau lemah dan tidak tertutup kemungkinan beramal tanpa ilmu dan tanpa memikirkan suatu amalnya kategori diterima atau tidak.
B.  Penulisan dan pembukuan Hadis dimasa Tabi’in
   Pada awalnya hadis itu tidaklah boleh dibukukan oleh Rasululllah Shallallahu Alahi wa Sallam. Setelah masa para sahabat Radhiyallahu Anhum berlalu, kemudian datanglah generasi selanjutnya yaitu generasi Tabi’in. Mereka menimba ilmu dari para sahabat, Semoga Allah merahmati ilmu mereka. Para Tabi’in bermu’amalah dengan para sahabat dan berusaha mengetahui segala sesuatu dari mereka, mengambil banyak hadis Rasulullah Shallallhu Alaihi wa Sallam melewati mereka dan mereka jhuga mengetahui as-Sunnah asy-Syarifah, maka tabiatnya akan sama antara pendapat para Tabi’in dengan pendapat para Sahabat mengenai hokum pembukaan hadis; karena sebab-sebab yang menjadi alasan Khulafa Ar-Rasyidin dan para Sahabat atas ketidak sukaannya pada penulisan hadis sama halnya kebencian para Tabi’in. Oleh karena itu, semuanya memiliki yang sama, dan membenci penulisan selama sebab-sebab dibencinya hal itu masih ada, kemudian mereka menghimpun hadis-hadis itu dalam bentuk tulisan serta membolehkannya ketika alasan-alasan yang menjadi sebab-sebab dibencinya penulisan telah hilang. Bahkan mayoritas mereka menekankan pada pembukuan hadis dan motivasi tersebut. Diantara orang yang tidak menyukai penulisan dan pembukuan hadis dari kalangan Tabi’in yang senior adalah Ubaidah bin Amr As-Salamani Al-Muradi wafat tahun 72 H, Ibrahim bin Yazid At-Taimi wafat pada tahun 92 H, dan Ibrahim An-Nakha’I wafat pada tahun 96 H yang membenci penulisan hadis-hadis dalam Al-karaariis (buku-buku) dan diserupakan dengan mushaf-mushaf. An-Nakha’I berkata,Sya tidak menulis hadis sama sekali, sampai ia melarang Hammad bin Sulaiman untuk menulis ujung-ujung hadis.[15] Begitulah perdebatan para sahabat dan Tabi’in saling mempertahankan keinginan dan memberikan alsan-alasan yang membuat pembukuan hadis itu terkendala demi menjaga kesucian hadis untuk pegangan ummat Islam. Kalau kita lihat kelemahan ilmu yang dimiliki seseorang tanpa dituliskan akan mengakibatkan banyak hal. Terutama sekali kesilapan dan kelupaan seseorang terhadap apa yang didengarnya. Makanya sebaiknya ilmu itu diikat dengan cara penulisan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu berkata kepada Anak-anaknya” Wahai anak-anakku Ikatlah ilmu itu dengan tulisan.[16] Dalam sumber yang lain mengatakan Anas bin Malik al-Anshori Rahimahullah menyruh anak-anaknya untuk menulis ilmu, seraya berkata, Wahai anak-anakku, ikatlah ilmudengan menuliskannya.” Dan dia berkata,” Dahulu kami tidak menganggap ilmu (sunnah) dari orang yang tidak menuliskan ilmunya.[17]
Tabi’in lainnya adalah Amir Asy-Sya’bi yang meninggal pada tahun 103 H, kita mendengar bahwa ia lselalu mengulang-ulang pernyataannya, “ Saya tidak pernah menggoreskan tinta hitam diatas lembaran putih, dan tidak mendengar satu hadispun dari sesorang kemudian saya menginginkan agar ia mengulanginya untukku. Dan semakin bertambah keengganan para Tabi’in untuk menuliskan hadis-hadis ketika pendapat-pendapat mereka telah masyhur terutama yang berkenaan dengan mereka, sehingga mereka merasa khawatir apabila murid- murid mereka membukukan hadis-hadis akan bercanmpur dengan pendapatnya, lalu akan menjadi rancu bagi orang yang setelah mereka.[18]  Para Tabi’in bukan tidak mampu dan tidak mau membukukan hadis, namu begitulah para Tabi’in menghargai para Sahabat yang ketika itu masih ada beberapa orang Sahabat yang tidak setuju untuk membukukan hadis tersebut, dengan alasan mereka takutnya para sahabat itu tercampurnya hadis dengan pendapat-pendapat para Tabi’in.
Sebagaimana hal itu terjadi pada Sa’id bin Al- Musayyib ketika seorang laki-laki datang menemuinya  dan bertanya tentang sesuatu, maka Sa’id mendiktekan kepadanya, kemudian laki-laki itu bertanya lagi tentang pendapatnya, maka Sa’id pun menjawabnya setelah itu, laki-laki tadi menulisnya. Melihat hal tersebut, ada seorang yang duduk bersama dengannya berkata, “Apakah laki-laki itu menulis pendapatmu, wahai Abu Muhammad?” Maka Sa’id berkata kepada laki-laki penanya tadi,”Bawakan kepadaku tulisan itu” Kemudian setelah ia mendapatkan lembaran tersebut lalu membakarnya. Perbuatan ini tidak dilakukan karena kekhawatiran akan bercampuraduknya antara hadis dengan pendapatnya sendiri yang dimungkinkan adanya kesalahan kemudian memperbaiki kesalahannya. Sebagaimana yang dikatakan  Jabir bin Zaid ketika disampaikan padanya, “Sesungguhnya ia menuliskan pendapatmu.” Maka ia berkata,” Kalian menulis sesuatu yang kemungkinan saya membatalkannya besok.[19] Pendapat yang yang dikemukakan seseorang bisa berobah seketika, tidak sama dengan pendapat yang berasal dari Rasul, sudah bisa dijadikan landasan hukum ataupun ketetapan yang baku. Maka penulisan hadis bukan larangan dari kalangan Sahabat, namu kekhawatiran para sahabatlah sebenarnya membuat salah seorang Sahabat itu sampai membakar tulisan yang hanya ada pendapat-pendapat yang dikatakan oleh Sahabat itu ketika seseorang bertanya kepadanya. Kekhawatiran para Sahabat itu wajar karena disaat itu para Sahabat masih banyak yang hidup dan yang hafal akan hadis-hadis yang bersumber dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Disamping itu para Sahabat ketika itu masih ada yang langsung dapat dido’akan oleh Rasulullah agar ingatannya kuat dan lama. Akan tetapi kalu kita bawa kondisi itu pada saat sekarang sangatlah jauh ketinggalan ummat Islam dibidang hadis. Apalagi jauhnya masa ataupun waktu Rasul masih hidup.
Bersamaan dengan ini semua, kita mengetahui bahwa sebagian Tabi’in yang mulia memperhatikan banyak masalah tulisan, sehingga ada dari sebagian mereka yang memiliki semangat ganda dalam menuliskan hadis. Adalah Sa’id bin Bashir Rahimahullah yang wafat pada tahun 95 H, dia telah menulis dari Ibnu Abbas, ketika lembaran yang ia bawa telah dipenuhi dengan tulisan, maka ia mengambil sandalnya dan menuliskan diatasnya hingga memenuhinya. Tidak cukup dengan itu bahkan ia memiliki kesungguhan luar biasa untuk menghimpun dan membukukan hadis, sebagaimana ungkapannya,”Dahulu saya mondar-mandir untuk menemui antara Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, saya mendengarkan hadis Rsulullah dari mereka berdua, lalu saya menulisnya, bahkan dari atas kendaraan dan setelah saya turun, sayapun meneruskannya kembali.[20] lau Begitu para Tabi’in semangatnya untuk membukukan hadis yang ada pada para Sahabat, berbagai cara mereka untuk supaya hadis itu bisa mereka tuliskan walau diatas sandalnya penuh dengan tulisan hadis tersebut. Mereka tidak sampai disitu usahanya dalam membukukan hadis.
Ketika pembukuan hadis mulai banyak digeluti dan para penuntut ilmu memisahkan antara larangan penulisan hadis dan larangan penulisan pendapat pribadi dengan hadis, maka pada saat itu, ada sebagian Tabi’in yang memberikan keringanan pada murid-muridnya untuk menuntut ilmu dengan kuat dari mereka, motivasi agar menulisnya sebagaimana yang dilakukan oleh Said Al-Musayyib Rahimahullah yang wafat pada tahun 105 H. Dia telah memberikan keringanan kepada Abdurrahman bin harmalah agar membukukan ilmu ketika mulai mengeluhkan tentang buruknya hafalannya.[21] Begitulah perubahan cara berpikir generasi kegenerasi para Sahabat dan Tabi’in. Sesudah dia mengakui akan keburukan hafalannya maka barulah ia mau memberikan kemudahan kepada muridnya. Begitu juga Al-khatib meriwayatkan bebeberapa riwayat dari murid-murid Abdullah bin Abbas, bahwa dia berkata,”kalian ikatlah ilmu (sunnah) dengan cara menulisnya, karena sebaik-baik pengikat ilmu adalah tulisan.[22]  Satu demi satu para Sahabat semakin berkurang dikarnakan wafat disaat itu pulalah terasa bagi para Sahabat yang masih tinggal akan kemampuan dan banyaknya hadis yang dihafalnya.
Demikian juga sebagainmana diulang-ulang perkataan Amir Asy-Sya’bi “ Apabila kalian mendengar sesuatu dariku, maka tulislah meskipun didinding! “ Dan masih ucapannya,”Tulisan itu sebagai pengikat ilmu, setelah sebelumnya ia mengatakan saya tidak pernah menggoreskan tinta hitam diatas  lembaran putih.[23] Ketegasan Sahabat ini ada juga Sahabat yang membantah walaupun mereka berbeda persepsi tapi tidaklah membuat permusushan dan perpecahan diantara Sahabat, mereka tetap menjalin hubungan baik apalagi dengan para Tabi’in. Disini tampak bahwa pendapat Qatadah bin Di’amah As-Sudusi Rahimahullah yang wafat pada tahun 118 H, bahwa ia tidak ragu-ragu lagi menyarankan untuk membukukan hadis ketika diminta fatwanya dalam masalah penulisan hadis-hadis Nabi. Ia berkata” Apa yang menghalangimu untuk menuliskannya, sedangkan Allah Yang Maha lembut dan Mahateliti.[24]  Kemaha lembutan Allah dan Kemaha telitinya Allah  dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Toha ayat 52 yang berbunyi
tA$s% $ygßJù=Ïæ yZÏã În1u Îû 5=»tGÏ. ( žw @ÅÒtƒ În1u Ÿwur Ó|¤Ytƒ ÇÎËÈ
52.  Musa menjawab: "Pengetahuan tentang itu ada di sisi Tuhanku, di dalam sebuah kitab, Tuhan kami tidak akan salah dan tidak (pula) lupa.

Pendapat lain mengatakan  Anas bin Malik al-Ashari Rahimahullah menyuruh anak-anaknya untuk menulis ilmu, seraya berkata” Wahai anak-anakku ikatlah ilmu itu dengan menuliskannya.”Dan dia berkata,”Dahulu kami tidak menganggap ilmu (sunnah) dari orang yang tidak menuliskan ilmunya.[25]

Pada mulanya penulisan hadis tidak disetjuinya bahkan membencinya sampoai-sampai ketika mendengar ada orang yang menulis suatu hadis, maka segera mengingkarinya dan menghapusnya. Allah memberikan hidayah kepada mereka yang pada awalnya tidak menyetujui penulisan dan pembukuan hadit tapi “Sekarang, pemikiran untuk membukukan hadis sudah sampai pada puncak kejayaannya, semakin giat pula aktivitas keilmuan dengan bertambahnya orang belajar pada ulama. Kondisi semacam itu tetap bergulir hingga bergejolak fitnah, perselisihan politik dan harta, bahkan muncullah pemalsuan dan kedustaan terhadap hadis Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang mengharuskan pemuka Tabi’in khususnya dan orang-orang setelah mereka untuk melawan pergerakan pemalsuan ini dan melemahkan ambisi mereka. Oleh kareana itu, para Tabi’in mulai membukukan hadis-hadis karena takut akan lenyap dari dada manusia dan dengan tujuan untuk memelihara hadis-hadis tersebut dari penambahan dan pengurangan.[26]
Jelaslah bahwa pembukuan hadis tersebut dari awalnya penghafal hadis masih banyak baik dari kalangan Sahabat begitu juga Tabi’in namun pertumbuhan semakin pesat para penghafal semakin sedikit, tuntutan politik semakin kuat orang sudah mulai terpikat dengan harta yang muncul adalah perpecahan dikalangan Sahabat dan Tabi’in.
Maka kesimpulan hadis itu dibukukan mengingat dan menimbang agar jangan muncul dan mencuat pakar-pakar hadis palsu dengan cara menambah ataupun mengurangi hadis yang sebenarnya. Dari sinilah kita dapat mengambil pelajaran yang sangat berharga tentang perbedaan pendapat yang saling memberikan alasan-alasan. Ditambah lagi gejolak politik yang memasuki areal pendidikan terkait dengan pembinaan,penulisan dan pembukuan hadis yang pandu oleh para guru ketika itu. Dan saat sekarang langkah para pendahulu itulah yang harus kita tanamkan pada diri kita terutam kegigihannya menuntut ilmu melalui para Sahabat dan kegigihannya untuk mempertahankan pendapatnya yang akhirnya tercapai keinginannya mampu dan bisa mereka membukukan hadis-hadis yang benar-benar dari  Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan dengan kegigihan merekalah kita bisa mengetahui dan menggali serta mencari hadis-hadis yang sudah dibukukan para pendahulu tersebut.

C.  Wilayah Perkembangan hadis pada masa Tabi’in  
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi’in tidak berberda dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Mereka, bagaimanapun. Mengikuti para sahabat sebagai guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Dipihak lain, usaha yang telah dirintis oleh para sahabat, pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin, khususnya masa kekhalifahan Usman para sahabat ahli hadis menyebar kebeberapa wilayah kekuasaan Islam. Kepada merekalah para tabi’in mempelajari hadis.[27] Daerah-daerah yang telah di tempati oleh para sahabat untuk mengembangkan ajaran Islam dan dijadikan mereka sebaagai pusat pembinaan periwayatan hadis.
Pada masa ini daerah  kekuasaan Islam semakin luas. Banyak Sahabat ataupun Tabi’in yang pindah dari Madinah ke daerah-daerah yang baru dikuasai, disamping  banyak pula yang masih tinggal di Madinah dan Mekkah.[28]
Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis, sebagai tempat tujuan para Tabi’in dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut, ialah Madinah Al- Munawwaroh, Makkah Al- Mukarromah, Kufa, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalus, Yaman dan Kurasan. Dari sejumlah para sahabat Pembina hadis pada kota-kota tersebut, ada beberapa orang yang meriwayatkan hadis cukup banyak, antara lain Abu Hurairah,Abdullah bin Umar, Anas ibn Malik, Aisyah, Abdullah Ibn Abbas, Jabir ibn Abdillah dan Abi Sa’id Al Khudri. Pusat pembinaan pertama adalah:
a.Madinah
 Madinah, adalah tempat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menetap setelah hijrah. Disini pulalah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membina masyarakat islam yang didalamnya terdiri atas Muhajirin, dan Anshar dari berbagai suku atau kabilah, di samping dilindunginya umat-umat non mulim, seperti Yahudi. Para sahabat yang menetap disini, diantaranya Khulafa’ Al- Rasyidin, Abu Hurairah, Siti Aisyah, Abdullah bin Umar dan Abu Sa’id Al-khudri, dengan menghasilkan para pembesar Tabi’in.[29] Pembesar-pembesar Tabi’in itulah mereka yang telah diuraikan sebagai fuqoha yang Tujuh yakni: Said ibnAl-Musyayyab, urwah ibn Zubair,ibn Syhab Al-Zuhri, Ubaidillah ibn Utbah Mas’ud dan Salim ibn Abdillah ibn Umar.[30]
b. Mekkah
 Mekah salah satu tempat para Sahabat berdiam mengajarkan hadis diantara Sahabat itu  adalah: Mu’adz ibn Jabal,’Atah ibn Asid, Haris ibnu Hisyam, Utsman ibn Thalhah, dan Utbah ibn Al-Haris.[31] Para Sahabat ini dicari dan didekati oleh para Tabi’in, bagaimana mereka itu supaya mendapatkan Hadis dari para Sahabat. Diantara para Tabi’in yang pergi ke Mekkah adalah:
 Mujtahid Ibn Jabar, Ataha’ ibn Abi Rabah, Thawus ibn Kaisan dan Ikrimah maula Ibn Abbas.[32].
c. Kufah
Kufah merupakan tempat para Sahabat Rasul untuk beraktipitas membina dan menyebarkan serta mengembangkan hadis kepada para penuntut ilmu didaerah itu, diantara para Sahabat yang ada dikufah adalah: Ali bin abi Talib, Sa”ad ibn Abi Waqas, dan Abdullah ibn Mas’ud.[33] Mereka inilah yang sempat tinggal dinegri Kufah untuk mengkaji tentang Hadis Rasulullah dengan para Tabi’in, karena para Sahabat diketahui para Tabi’in ada di Kufah maka ketika itulah para Tabi’in pergi menemui para Sahabat, diantara Para Tabi’innya adalah:  Al-Rabi’ ibn Qasim, Kamal ibn Zaid Al-Nakha’i, Said ibn Zubair Al-Asadi, Amir ibn Sarahil Al-Sya’bi, Ibrashim Al-Nakha’I dan Abu Ishaq Al-Sa’bi.[34]
d. Basrah
Kawasan Islam semakin meluas dalam mengembangkan hadis para Sahabat dari Kufah sudah sampai pula ke Basrah dengan rasa semangat dan gembira untuk menyebarkan hadis baik itu penulisannya begitu juga untuk pembukuannya. Para Sahabat yang ada di Basrah itu adalah: Anas Ibn Malik, Abdullah ibn Abbas, ‘Imran ibn Husin, Ma’qal ibn Yasar, Abdurrahman ibn Samrah, dan Abu Said Al-Anshari.[35] Mereka semata-mata mengembangkan dan membina orang-orang yang menuntut ilmu hadis baik yang berasal dari negri itu sendiri termasuk orang yang datang untuk mencari hadis kepada para Sahabat, terutama para Tabi’in yang hadir diBasrah antara lain.  Hasan Al- Basri,Muhammad ibn Sirrin, Ayub Al-Sakhyatani, Yunus ibn’Ubaid, Abdullah ibn ‘Aun, Khatadah ibn Du’amah Al- Sudusi dan Hasyim Ibn Hasan.[36]
e. Syam
Para Sahabat tidak sedikit jumlahnya wilayah masih ada yang akan ditempati salah satunya Syam, disini waktu itu belum ada Sahabat yang akan mengembangkan ilmu Hadis disaat itu para Sahabat pergi kesana antara lain: Abu Ubaidah Al Jarrah, Bilal ibn Rabah, Ubadah ibn Shamit, Mu’adz ibn Jabal, Sa’ad ibn Ubadah, Abu Qarda’ Surahbil ibn Hasanah, Khalid ibn Walid dan ‘Iyad ibn Ghanam.[37] Merka inilah yang berada diwilayah Syam, sedangkan para Tabi’in yang datang menemui mereka para Sahabat adalah:
Salim ibn Abdillah Al-muharibi, Abu Idris Al-kaulani, Abu Sulaiman Al-Darani, dan Umar ibn Hana’i.[38] Mereka berempat yang sempat meminta pembinaan para sahabat di Syam tentang hadis yang akan di pertanggungjawabkan mereka akan kebenaran dan kesahihan hadis yang benar-benar bersumber dari Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam.
F. Mesir
 Wilayah mesir tidak pula tinggal dari pembinaan para sahabat yang menunggu orang-orang yang akan menemui mereka. Orang tidak akan berdiam begitui saja diwilayahnya Mesir, tapi banyak orang mencari informasi keberadaan sahabat-sahabat Nabi dimana mereka berada.Sahabat yang ada dilayah Mesir adalah: Amr ibn Al-Ash, Uqbah ibn Amr, Kharizah ibn Huzafah, dan Abdullah ibn  Al-Haris.[39]
Karena Mesir merupakan wilayah yang sudah ditempati para Sahabat maka tumbuh pulalah disini tabi’in antara lain: Amr ibn Al-Harist, Khair ibn Al-Nu’aimi Al-Hadrami, Yazid ibn Abi Habib, Abdullah ibn Abi Jafar, dan Abdullah ibn Sulaiman Al-Thawil.[40] Kedudukan para Tabi’in diMesir membuktikan semakin meluasnya wilayah Islam terutama dibidang pembinaan hadis.
g. Andalus
 Meluasnya wilayah binaan hadis sampai pulalah kewilayah Andalus. Keberadaan para sahabat membuat orang semakin semangat untuk mencari lagi akan kebenaran hadis. Orang tidak kenal lelah walaupun jauh wilayah yang akan ditujunya demi mencari ilmu hadis diwilayah ini ditemui pula beberapa orang sahabat diantaranya: Mas’ud ibn Al-Aswad Al-Balwi, Bilal ibn Harisim, Aslima Al-Muzami, Salamah ibn Al-Akwa dan Walid ibn ‘Uqbah ibn Abi Muid.[41] Sahabat-sahabat ini pun tidak luput dari carian para Tabi’in, mereka para Tabi’in berlomba pergi menjadikan hari-harinya bahkan berbulan-bulan untuk mendapatkan pembinaan hadis. Diantara Tabi’in yang pergi keAndalus adalah:
Ziyad ibn An’am Al-Mu’afil, Abdurrahman ibn Ziyad, Yazid ibn Abi Mansur, Al-Mughirah ibn Abi Burdah, Rifa’af ibn Rafi’ dan Muslim ibn Yasar.[42] Perjuangan para Tabi’in untuk menemui para Sahabat cukup berat terutama pisiknya sangat teruji untuk bisa jalan kaki sebagiannya ada yang menggunakan kapal laut.
h. Yaman
 Sahabat itu juga ada juga yang pergi ke daerah Yaman untuk pembinaan hadis juga yang membuat para Tabi’in mencari para Sahabat yang dietemui mereka di Yaman itu adalah: Mu’azd ibn Jabal, dan Abu Musa Al-Asy’ary kedua orang sahabat ini telah dikirim kedaerah ini  sejak masa Rasul Shallallhu Alaihi wa Sallam masih hidup.[43] Begitu lamanya  dua sahabat ini  di Yaman  tapi para Tabi’in tetap bersemangat untuk menemui Sahabat demi mendapatkan hadis. Maka para Tabi’in yang pergi keYaman itu adalah: Hammam ibn Munabah dan Wahab ibn Munabah, Tha’wus dan Wahab ibn Munabah dan Tha’awus dan Ma’mar ibn Rasyid. Dikurasan masih ada juga para Sahabat yang menjadi tempat para Tabi’n untuk menggali ilmu hadis diantaranya adalah: Muhannad  ibn Ziyad Muhammad Ibn Al- Anshari, dan yaha ibnu sabih Al- Mugri.[44]
Priode ini disebut Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amshar ( masa perkembangan dan meluasnya periwayatan hadis) Pada masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni kenegri Syam, Irak, Mesir, Samarkand,bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam ranghka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadis. Para sahabat kecil dan Tabi’in yang ingin mengetahui hadis-hadis Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam diharuskan berangkat keseluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan hadis kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar diwilayah tersebut. Dengan demikian, pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan hadis kepelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perawatan untuk mencari hadispun menjadi ramai. Karena meningkatnya periwayatan hadis, muncullah bendaharawan dan lembaga-lembaga (Centrum Perkembangan) hadis diberbagai daerah diseluruh negri. Diantara bendaharawan hadis yang banyak menerima menghapal, dan mengembangkan atau meriwayatkan hadis adalah:
1.    Abu Hurairah, manurut Ibn Umar meriwayatkan 5.374 hadis sedangkan menurut Al-Kiramany, beliau meriwayatkan 5.364 hadis.
2.    Abdullah Ibn Umar meriwayatkan 2.630 hadis.
3.    Aisyah, istri Rasulullah Shallallhu Alaihi wa Sallam meriwayatkan 2.276 hadis.
4.    Abdullah Ibn ‘Abbas meriwayatkan 1.660 hadis
5.    Jabir Ibn Abdullah meriwayatkan 1.540 hadis.
6.    Abu Sa’id Al Khudri meriwayatkan 1.170 hadis.[45]
Nama-nama yang telah diuraikan diatas hanya mewakili dari Tabi’in yang tidak terhitung jumlahnya apalagi tentang hafalan hadisnya inilah guna kita untuk memperbanyak membaca dan menyeleksi akan hadis-hadis yang sudah di bukukan oleh para Sahabat terutama dizaman Tabi’in. Kalaulah kita menggali, menggali lagi akan kebenaran hadis ini maka semakin kuat pulalah iman dan Islam kita sebaliknya kalau kita hanya berpangku tangan untuk menunggu keterangan orang membacakan dan menuliskan hadis sangat sedikitlah nanti hadis itu yang akan diketahui. Apalagi sekarang ini berbagai sumber yang bisa digunakan untuk mengakses hadis-hadis yang benar dan sahih bisa diambil langsung dari sumber dasarnya baik itu yang dari Madinah begitu juga makah termasuk dari wilayah-wilayah yang lain.Marilah kita berusaha, bersemangat untuk mendapatkan ilmu hadis ini semoga kita mengtahui akan kesahihan hadis itu bahkan mengerti kita akan sipa perawinya bagaaiman matan dan sanadnya.
Kesungguhan Tabi’in dapat dilihat dari nukilan mereka yang sempat berbekas bagi generasi penerusnya.
Abdurazak berkata: Makmar telah memeberitahukan kepada kami dari Qatadah ia berkata:” Jika orang yang menikah, yang menikahkan, perempuannya,atau salah satu dari mereka meniatkan tahlil maka tidak dibenarkan.
Makmar telah member tahukan kepada kami dari Qatadah bahwa ia pernah berkata:” Jika seorang muhalil menalaknya  maka suaminya yang pertama tidak halal untuk mendekati yang pertama tidak halal untuk mendekatinya jika pernikahann yang dilakukan itu dalam tahlil.
Ibnu Mundzir berkata bahwa Ibrahim Nakhai pernah mengatakan ,” Jika niatnya satu  diantara ketiga orang, suami pertanma, suami lain dan wanita itu sendiri, bahwa lelaki yang menikahinya lelaki tersebut adalah batal dan wanita tersbut tidak halal bagi suami pertama.” Inilah yang bersumber dari Sahabat dan asalnya Dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.[46]
Dengan nukilan para Tabi’in itulah terbuktinya dapat kita menyimpulkan bahwa pembukuan dan penulisan Hadis dimasa Tabi’in ini boleh dikatakan berhasil untuk itulah mari kita mencontoh langkah-langkah yang dilakukan oleh para Tabi’in terhadap para Sahabat. Mudah-mudahan Allah akan selalu menjaga dan memelihara akan kebenaran dan keaslian hadis Rasulullah Shallallhu Alaihi wa Sallam.


BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
      Pengertan Tabi’in bermacam pendapat, namun yang kami ambil hanya dua pengertian saja yakni Orang yang bertemu dengan Sahabat dengan cara iman dan Islam baiik lama ataupun baru sampai wapatnya dalam keadaan Islam.
      Asal usul pembukuan hadis dimasa Tabi’in mengalami perdebatan dan saling mempertahankan pendapat masing-masing serta memberikan alsan-alsan yang kuat dari berbagai pengalaman dan usahanya, namun akhirnya satu kesimpulan yang diambil mereka kembali kepada pembukuan hadis yang sebenarnya Wilayah-wilayah yang ditempati oleh para sahabat didatangi oleh para Tabi’in dengan tujuan ingin mengetahui hadis yang sebenarnya yang telah didapati langsung dari Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Dari usaha para Tabi’in pergi ke berbagai wilayah yang di situ ada Sahabat maka Tabi’in berhasil untuk mengetaqhui hadis-hadis bisa dihafalnya bahkan tahulah berapa banyak hadis yang dihafal oleh para Sahabat begitu juga para Tabi’in sampai kepada jumlah hafalan yang dikuasi oleh Sahabat termasuk Tabi’in.

B.  Saran
       Makalah yang penulis buat ini jauh dari kesempurnaan baik dari segi buku reperensi, penulisan apalagi kata-kata yang tidak terurai dengan baik. Penulis mengharap kritikan dan masukan dari pembaca makalah ini.








[1] Muzeir suparta, Ilmu hadis (Cet …9: Jakarta, PT Raja grafindo persada,2014) h.69-70

               
[2]  M.Suhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Angkasa anggota IKAPI 1983-1987), h. 32
[3]  Ibid, h.32
[4] Imam Adz-Dzahabi, Ringkasan Siyar A’lam An-Nubala’ Biografi Sahabat, Tabi’in, Tabiut Tabi’in , dan Ulama Muslim Cet…ke-1 (Pustaka Azzam 2008) h.715
[5]  Ibid, h. 809-810
[6]. Abdul Majid khon, Ulumul Hadis, Cet….. 5 ( Ikrar Mandiri Abadi Jakarta 2011) h. 113
[7]  Ibid. h. 113
[8]  Nawir Yuslem, Ulumul Hadis Cet…. 1 (PT .Mutiara Sumber Widya 2001) h. 184
[9]  M. Syuhudi Isn ail, Op.Cit, h.32,33
[10] Abdurrahman Ra’fat Basya, Tabi’in Kisah-kisah yang Menakjubkan yang Belum Tertandingi Hingga Hari Ini, Cet….8 (Semanggi Solo At-Tibyan 2009) h. 182
[11] . Ibid, h.268
 [12]  Nawir Yuslem Op cit, h.184
[13]  M. Syuhudi Isn ail, Op cit, h. 33
[14] Abdurrahman Ra’fat al-Basya, Mereka adalah Para Sahabiyat, Cet …XVII (Solo Semanggi,: 2013) h. 25
[15] Imam An-Nawawi, Syarah sahih Muslim, Cet…1 (Jakarta Darussunnah 2009), h. 34-35
[16] Ibid,  h.34
[17]  Muhammad Az-Zahrani, Ensiklopedia Kitab-Kitab Rujukan Hadits lengkap dengan biografi ulama Hadits dan sejarah Pembukuannya Ulama Hadits dan sejarah pembukuannya, Cet… ke-2 ( Jakarta Darul Hak 2012) h.86
[18] Imam An Nawawi ,Op Cit, h. 35
[19] Ibid, h. 36
[20] Ibid,
[21] Ibid. h.36
[22]  Muhammad Az-Zahrani Ensiklopedia Kitab-kitab rujukan hadits lengkap dan biografi Ulama hadits dan sejarah pembukuannya, Cet …ke-2 (Jakarta Darul Haq,2012) h.86
[23] Imam An-Nawawi, h.37
[24] Ibid. h. 37
[25]  Muhammad Az-Zahrani, h.86
[26] Ibid, h. 37
[27] Munzier Suparta,Op Cit, h.85
[28]  Idri, Studi Hadis, Cet, ke-2 (PT Fajar Interpratama Mandiri, 2013) h.44
[29] Munzier Suparta, Op Cit, h. 86
[30]  Ibid,h.86
[31]  Ibid,
[32]  Ibid,
[33]  Ibid
[34] Ibid,
[35]  Ibid  h. 86
[36] Ibid. h. 86-87
[37]  Ibid. h.87
[38]  Ibid,
[39]  Ibid
[40]  Ibid. h. 87
[41]  Ibid
[42] Ibid.  
[43]   Ibid. h.87
[44]  Ibid,
[45] Solahuddin, Ulumul Hadis, Cet …1 (Bandung Pustaka setia 2009) h.
[46]  Ibnu Qayyim Al-Jauziyah  Iqnatsatul Lahfan Menyelamatkan hati dari tipudaya Setan, Cet …ke-V , ( Semanggi Surakarta 2012) h.323



Baca Artikel Terkait: