-->

Minggu, 23 November 2014


PERKEMBANGAN HISTORIS FILSAFAT ILMU




Makalah Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI)
Konsentrasi Pendidikan Agama Islam (PAI)











Oleh:
Muhammad Fazli
NIM: 21491106429





 Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau
1436/2014

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang paling luas cakupannya, bahkan kebanyakan ilmuan menyebutnya sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan. Secara etimologis istilah filsafat berasal bahasa Yunani yaitu philosophia. Philo berarti cinta atau kawan sedangkan sophia berarti kebijaksanaan. Seseorang yang mempelajari filsafat diharapkan dapat berpikir komprehensif, yaitu berpikir secara menyeluruh dan radikal atau mendalam sampai ke akar masalah. Karena filsafat berusaha memikirkan masalah-masalah yang ada secara mendalam dengan alasan yang benar dan teliti.[1]

Dalam hubungannya dengan ilmu, kedua kata ini saling terkait baik secara substansial maupun historis, karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat. Filsafat telah berhasil mengubah pola pemikiran bangsa Yunani dan bangsa lain pada zamannya dari pandangan mitosentris menjadi logosentris. Awalnya bangsa Yunani dan bangsa lain beranggapan bahwa semua kejadian di alam ini dipengaruhi oleh para dewa. Karenanya para dewa harus ditakuti sekaligus dihormati kemudian disembah. Dengan filsafat, pola pikir yang selalu tergantung pada dewa diubah menjadi pola pikir yang tergantung pada rasio.[2]

Perubahan besar ini membawa implikasi yang tidak kecil. Perubahan yang mendasar adalah ditemukannya hukum-hukum alam dan teori-teori ilmiah yang menjelaskan perubahan yang terjadi, baik di alam jagad raya (makrokosmos) maupun alam manusia (mikrokosmos). Dari penelitian alam jagat ini muncullah ilmu astronomi, kosmologi, fisika, kimia dan sebagainya, sedangkan dari manusia muncul ilmu biologi, psikologi, sosiologi dan sebagainya. Ilmu-ilmu tersebut kemudian menjadi lebih terspesialisasi dalam bentuk yang lebih kecil dan sekaligus semakin aplikatif dan terasa manfaatnya.[3]


B. PERMASALAHAN

Berdasarkan pemaparan yang termuat dalam latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang akan ditemukan dan dianalisa dalam makalah ini lebih lanjut adalah:

1. Apakah hubungan antara ilmu dan filsafat ?

2. Bagaimanakah perkembangan filsafat ilmu dalam sejarah ?



C. TUJUAN PENELITIAN


Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memahami perkembangan filsafat ilmu. Namun lebih khusus lagi bertujuan untuk mengetahui:

1. Hubungan antara ilmu dan filsafat.

2. Perkembangan filsafat ilmu dalam sejarah.

BAB II

PEMBAHASAN



A. HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT DAN ILMU

1. Sekilas Tentang Filsafat

Berdasarkan berbagai pengertian sebagai hasil pendefinisian yang diupayakan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa pengertian filsafat mengandung unsur-unsur 1) mempelajari hakikat ketuhanan, alam semesta dan manusia sebagai objeknya; 2) mengkaji hakikat objeknya dengan kebenaran sesungguhnya; dan 3) hakikat objek didekati sejauh dapat dicapai oleh akal manusia. Dengan demikin, maka filsafat adalah pengetahuan tentang metafisika, logika, fisika, estetika, etika, retorika, politik, ekonomi, sosial, budaya, antropologi, dan agama.[4]

Filsafat sebagai suatu proses dapat melalui empat tahap berpikir. Keempat tahap itu adalah:
Logis, yaitu berpikir dengan menggunakan logika. Dalam tahapan ini sedikitnya tiga jenjang yang harus dilalui, yakni (a) pamahaman, (b) kaputusan, dan (c) argumentasi.
Sistematis, yaitu berpikir secara sistematik sehingga ditemukan adanya koherensi di antara satu pernyataan dengan pernyataan lainnya.
Radikal, yaitu berpikir sampai ke akar masalah, jika filsafat dimulai dari pertanyaan apa, maka jawabannya diupayakan terus sampai pada batas akhir jawaban di mana tidak ditemukan lagi pertanyaan.
Universal, yaitu berpikir secara umum bukan khusus. Hal inilah yang membedakan jangkauan antara ilmu dan filsafat. Ilmu berbicara hal-hal yang khusus, sedangkan filsafat berbicara umum. Kemudian berkembang suatu teori bahwa filsafat adalah generalisasi sedangkan ilmu spesialisasi.[5]

Selain dimaksudkan untuk memberikan jawaban atas segala sesuatu yang dipertanyakan manusia, filsafat juga dapat dimanfaatkan untuk maksud seperti di bawah ini.

a. Filsafat mampu memberikan pemahaman yang menyeluruh atau general terhadap suatu wujud atau ontologi, sekaligus memberikan konsep kebenaran atau justifikasi terhadap wujud tersebut. Dari kebenaran yang diproduksi melalui pemikiran yang maksimal, manusia akan bertindak benar dan bijaksana, sesuai maksud philosophia, cinta kebenaran/ kebijaksanaan.

b. Untuk memperoleh kebijaksanaan, karena filsafat di samping mampu memberikan pengertian, ia juga mampu memberikan gambaran dari suatu pengertian di balik pengertian. Artinya filsafat tidak hanya puas dengan suatu konsep sebelum menemukan konsep lain di balik konsep tersebut dalam merumuskan suatu kebenaran. Hal ini sesuai dengan karakter filsafat, yaitu meragukan setiap konsep sebelum menemukan argumen yang cukup untuk kebenaran argumen tersebut.

c. Filsafat dapat memberikan kepuasan bagi seorang filosof karena kemampuannya dalam menggambarkan problem kehidupan yang sedang dan akan dihadapi.

d. Filsafat dapat dijadikan dasar pijakan untuk mengubah dunia. Jadi, filsafat tidak hanya menjelaskan dunia, tetapi juga mengubahnya.

e. Bagi kalangan agamawan, filsafat dapat dijadikan pendukung atau penguat terhadap keyakinan agama. Misalnya saja konsep ketuhanan yang biasanya hanya diterima secara absolut dengan argumentasi naqli, maka filsafat akan memberikan rumusan-rumusan yang rasional sehingga dapat diterima secara rasio pula.[6]

2. Ilmu Sebagai Objek Kajian Filsafat

Pada dasarnya, setiap ilmu memiliki dua macam objek, yaitu objek material dan objek formal. Objek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh manusia adalah objek material ilmu kedokteran. Sedangkan objek formalnya adalah metode untuk memahami objek material tersebut, seperti pendekatan induktif dan deduktif. Filsafat sebagai proses berpikir yang sistematis dan radikal juga memiliki objek material dan objek formal. Objek material filsafat adalah segala yang ada. Sebagian filosof membagi objek material filsafat atas tiga bagian, yaitu yang ada dalam alam empiris, yang ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan. Adapun objek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan rasional tentang segala yang ada.[7]

Cakupan objek filsafat lebih luas dibandingkan dengan ilmu, karena ilmu hanya terbatas pada persoalan yang empiris saja, sedangkan fisafat mencakup yang empiris dan non-empiris. Objek ilmu terkait dengan filsafat pada objek empiris. Di samping itu, secara historis ilmu berasal dari kajian filsafat karena awalnya filsafatlah yang melakukan pembahasan tentang segala yang ada ini secara sistematis, rasional, dan logis. Setelah berjalan beberapa lama kajian yang terkait dengan hal yang empiris semakin bercabang dan berkembang, sehingga menimbulkan spesialisasi dan menampakkan kegunaan yang praktis. Inilah proses terbentuknya ilmu secara berkesinambungan. Setelah itu, ilmu berkembang sesuai dengan spesialisasi masing-masing.[8]



B. PERKEMBANGAN FILSAFAT ILMU DALAM SEJARAH

Perkembangan filsafat ilmu sejalan dengan perkembangan filsafat. Belajar perkembangan ilmu dimaksudkan untuk mengetahui sejarah perkembangan pemikiran mansia. Dengan mengetahui perkembangan pamikiran manusia, banyak manfaat yang dapat diperoleh. Tingkat peradaban manusiapun dapat diketahui melalui sejarah perkembangan ilmu. Perkembangan ilmu meliputi zaman Yunani kuno, zaman abad pertengahan, zaman renaissance dan modern, dan zaman kontemporer.[9]

1. Filsafat ilmu pada zaman Yunani kuno (abad ke-7 SM)

Seperti telah disebut di atas, berdasarkan catatan sejarah bahwa zaman Yunani kuno merupakan titik awal berpindahnya paradigma pemikiran dari mitosentris ke logosentris. Pada masa ini bangsa Yunani tidak lagi mempercayai mitos-mitos dan mulai senang menyelidiki sesuatu dengan kritis. Sikap kritis ini melahirkan beberapa filosof yang berjaya dan dikenal pada zamannya dan sesudahnya seperti Thales, Anaximander, Heraclitos dan lain-lain. Oleh beberapa filosof pada zaman ini filsafat diartikan sebagai bertanya secara rasional dan mencari jawaban atas prinsip-prinsip pertama atau arkhe dari realitas. Dalam hal ini, Thales beranggapan bahwa arkhe itu adalah air, Anaximandros mengemukakan bahwa arkhe itu adalah tidak terbatas (to apeiron), sedangkan Heraclitos melihat bahwa arkhe adalah api, ia juga berpendapat bahwa segala sesuatu itu terus mengalir.[10]

Pada tahun 470 SM lahir seorang filosof dengan metode dan sistem pemikiran yang lebih berkembang berbanding pendahulunya, Socrates, yang bisa diketahui pemikirannya berdasarkan naskah-naskah salah seorang muridnya, Plato yang lazimnya disebut “dialog-dialog Plato”. Sebagai seorang moralis, Socrates berusaha mengembangkan sikapnya yang sangat mendasar mengenai hakikat hidup dan kehidupan manusia. Socrates mengajarkan bahwa kebenaran dan kepastian dapat dicapai melalui metode dialektika. Metode ini menurutnya dapat menuntun orang untuk mempersoalkan kenyataan yang ada secara terus menerus sampai akhirnya menemukan kepastian yang kokoh.[11]

Berbeda dengan gurunya, Plato berkesimpulan bahwa sumber dari segala pengetahuan adalah ide absolut. Dalam hal ini, Plato lebih menaruh perhatian pada kualitas yang abstrak. Selain Plato, adapula Aristoteles (384-322 SM) yang namanya tidak asing lagi di telinga para kademisi. Sebagai seorang realis ia mendasarkan pemikirannya pada pengalaman. Menurut Aristoteles, berdasarkan pengalaman berulah selanjutnya subjek memberikan uraian mendasar mengenai data-data pengetahuan itu. Ia memandang pengetahuan sebagai hubungan timbal balik antara subjek dan objek dengan berbagai implikasinya.[12]

2. Filsafat ilmu pada zaman abad pertengahan

Perkembangan filsafat ilmu pada abad pertengahan ditandai dengan kehadiran para teolog, sehingga aktivitas ilmiah terkait dengan aktivitas keagamaan. Semboyan yang berlaku bagi ilmu pada masa ini adalah ‘abadi agama’. Ajaran kristen merupakan problema kefilsafatan, karena mengajarkan bahwa wahyu tuhanlah yang merupakan kebenaran sejati, sedangkan kegitan keilmuan praktis diarahkan untuk mendukung kebenaran teologi.

Menurut Aholiab, zaman ini mengalami dua periode, yakni 1) periode patristik, sebuah istilah yang diambil dari kata pater yang bermakna bapa perintis gereja. Periode patristik ini terdiri pula atas dua tahap, yakni permulaan agama Kristen dan Filsafat Agustinus yang melihat dogma-dogma sebagai suatu keseluruhan. 2) periode skolastik. Periode ini berlangsung dari tahun 800-1500 M. periode ini dibagi dalam tiga tahap, yakni (a) periode skolastik awal ditandai dengan lahirnya metode-metode hasil dari hubungan yang rapat antara agama dan filsafat; (b) periode puncak perkembangan skolastik ditandai dengan keadaan yang dipengaruhi oleh Aristoteles

3. Filsafat ilmu pada zaman renaissance dan modern

Renissance berarti kebangkitan kembali, yakni kembali ke pemikiran yang bebas dari dogma-dogma agama. Renaissance merupakan zaman peralihan ketika kebudayaan abad pertengahan mulai berubah menjadi suatu kebudayaan modern. Manusia pada zaman ini adalah manusia yang merindukan pemikiran yang bebas.[13]

Ilmu pengetahuan yang berkembang pesat pada zaman renaissance adalah astronomi. Tokoh-tokoh yang terkenal seperti 1) Roger Bacon, yang berpendapat bahwa pengalaman atau empiris menjadi landasan utama bagi awal dan ujian akhir untuk semua ilmu pengetahuan. Matematika merupakan syarat mutlak untuk mengelola semua pengetahuan. 2) Copernicus, yang berpendapat bahwa bumi dan planet semuanya mengelilingi matahari, sehingga matahari menjadi pusat. 3) Galileo Galilei, yang telah membuat teropong bintang yang terbesar pada masa itu dan mengamati beberapa peristiwa angkasa secara langsung. Ia menyimpulkan bahwa planet-planet tidaklah memancarkan cahaya sendiri, melainkan hanya memantulkan cahaya dari matahari.[14]

Adapun untuk zaman modern ditandai dengan penemuan berbagai bidang ilmu. Perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman modern dirintis oleh Rene Descartes dan terkenal sebagai bapak filsafat modern. Ia seorang ahli ilmu pasti, penemuannya dalam ilmu ini adalah sistem koordinat yang terdiri atas dua garis lurus X dan Y dalam bidang datar. Selain Descartes ada Isaac Newton (1642-1727) yang terkenal dengan teori grafitasinya. Walaupun penemuannya terdiri atas tiga buah, yakni teori grafitasi, perhitungan calculus, dan optika, Newton pun memaksakan pandangannya ke dalam bidang kehidupan kultural yang luas dan sampai pada bidang psikologi. Ada pula charles darwin dengan teorinya ‘perjuangan untuk hidup’. Darwin dikenal sebagai penganut evolusi yang fanatik. Ia mengatakan bahwa perkembangan yang terjadi pada makhluk di bumi terjadi karena seleksi alam.[15]

4. Filsafat ilmu pada zaman kontemporer

Perkembangan filsafat ilmu pada zaman kontemporer ditandai dengan penemuan berbagai teknologi canggih. Teknologi komunikasi dan informatika termasuk salah satu yang mengalami kemajuan sangat pesat. Mulai dari penemuan komputer, berbagai satelit komunikasi, internet dan sebagainya. Akibatnya, terjadi spesialisasi ilmu yang semakin tajam. Salah satu tokoh terkenal pada zaman ini adalah Albert Einstein. Ia menyatakan bahwa alam itu tidak terhingga besarnya dan tidak terbatas, tetapi juga tidak berubah totalitasnya atau bersifat dari waktu ke waktu. Einstein percaya akan kekekalan materi. Ini berarti bahwa alam semesta ini bersifat kekal, dengan kata lain tidak mengakui adanya penciptaan alam.[16]

Di samping kecenderungan ke arah spesialisasi, kecenderungan lain adalah sintesis antara bidang ilmu satu dengan dengan lainnya, sehingga dihasilkannya bidang ilmu baru seperti bioteknologi yang dikenal dengan teknologi kloning. Demikian pula dengan sintesis antara psikologi dengan dengan linguistik yang menghasilkan psikolinguistik dan juga neurolinguistik. Sintesis antara ilmu komputer dengan linguistik menghasilkan ilmu komputasional.[17]



BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai main point dari makalah ini, yakni sebagai berikut:

1. Cakupan objek filsafat lebih luas dibandingkan dengan ilmu, karena ilmu hanya terbatas pada persoalan yang empiris saja, sedangkan fisafat mencakup yang empiris dan non-empiris. Objek ilmu terkait dengan filsafat pada objek empiris. Di samping itu, secara historis ilmu berasal dari kajian filsafat karena awalnya filsafatlah yang melakukan pembahasan tentang segala yang ada ini secara sistematis, rasional, dan logis.

2. Sejarah perkembangan filsafat ilmu sejalan dengan perkembangan filsafat. Dengan mengetahui perkembangan pamikiran manusia, banyak manfaat yang dapat diperoleh, seperti tingkat peradaban manusia dan lainnya. Perkembangan filsafat ilmu meliputi zaman Yunani kuno, zaman abad pertengahan, zaman renaissance dan modern, serta zaman kontemporer.

B. SARAN

Penulis menyarankan kepada civitas akademika yang menaruh konsentrasi seruis terhadap sejarah filsafat ilmu, agar bisa melakukan penelitian yang lebih mendalam. Karena dalam makalah ini penulis hanya membatasi kajian pada beberapa hal pokok yang sangat dasar.


DAFTAR PUSTAKA


Abdul Haris dan Kivah Aha Putra. Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: AMZAH, 2012).
Adian Husaini. Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal (Jakarta: Gema Insani, 2005). 
Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safruddin. Dasar-Dasar Epistemologi Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2011).



Aholiab Watloly. Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistemologi Secara Kultural (Yogyakarta: Kanisius, 2001).



Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013).



Arifin Banasura, Filsafat dan Filsafat Ilmu: Dari Hakikat Ke Tanggung Jawab (Bandung: Alfabeta, 2013).



Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), 24.



Rizal Mustansyir dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet., X, 2010).



Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 2008)



Zirajuddin Zar. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Rajawali Press, 2004).








[1] Abdul Haris dan Kivah Aha Putra, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: AMZAH, 2012), 2.


[2] Amsal Bakhtiar, filsafat Ilmu (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), XI.


[3] Ibid., XII


[4] Arifin Banasura, Filsafat dan Filsafat Ilmu: Dari Hakikat Ke Tanggung Jawab (Bandung: Alfabeta, 2013), 70.


[5] Ibid., 70-71.


[6] Ibid., 72-73.


[7] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 1.


[8][8] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), 24.


[9] Arifin, Filsafat dan Filsafat Ilmu, 87.


[10] Aholiab Watloly, Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistemologi Secara Kultural (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 58-59.


[11] Ibid., 62.


[12] Ibid., 63.


[13] Arifin, Filsafat dan Filsafat Ilmu, 91.


[14] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 87.


[15] Ibid., 88-89.


[16] Arifin, Filsafat dan Filsafat Ilmu, 94-95.


[17] Ibid., 95.



Baca Artikel Terkait: