-->

Sabtu, 17 Desember 2016

Mengenal Filsafat /Pemikiran Islam, Tokoh dan Pemikirannya Secara Lengkap

Jika kita bicara soal filsafat Islam tentunya tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan filsafat secara umum. Berpikir filsafat merupakan hasil upaya manusia yang berkesinambungan di seluruh semesta alam. Akan tetapi, berpikir filsafat dalam pengertian berpikir bebas dan mendalam atau radikal yang tidak dipengaruhi oleh dogmatis dan tradisi disponsori oleh filosof-filosof Yunani.

Oleh karenanya, sebelum kita membahas lebih jauh tentang filsafat Islam secara khusus, ada baiknya jika kita me-remind terlebih dahulu pengetahuan kita tentang filsafat secara umum.

Tahap berikutnya kita akan membahas lebih mendalam apa itu filsafat Islam, apa saja obyek yang menjadi topic bahasannya, serta tokoh-tokoh di dunia filsafat Islam dan pemikirannya. Di bagian akhir kita akan membahas tentang metodologi kajian filsafat Islam agar kita mendapatkan hasil kajian yang agak mendalam tentang filsafat Islam itu sendiri.

Pengertian Filsafat 

Filsafat, sebagaimana diulas K. Bertens (1984: 13), juga Sirajudin Zar, 2012: 2), adalah kata majemuk yang berasal dari bahasa Yunani, yakni philosophia dan philosophos. Philo berarti cinta (loving), sedangkan Sophia atau sophos artinya pengetahuan atau kebijaksanaan (wisdom).

Dengan demikian, secara sederhana filsafat adalah cinta pada pengetahuan atau kebijaksanaan. Pengertian cinta yang dimaksudkan di sini adalah dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan rasa keinginan itulah ia berusaha mencapai atau mendalami hal yang diinginkan. Demikian pula yang dimaksudkan dengan pengetahuan, yaitu tahu dengan mendalam hingga ke akar-akarnya atau sampai ke dasar segala dasar. (Zar, 3).

Dalam perkembangan selanjutnya, orang Arab memindahkan kata Yunani philosophia ke dalam bahasa Arab menjadi falsafa. Hal ini sesuai dengan tabiat susunan kata-kata Arab dengan pola fa’lala, fa’lalah dan fi’lal. Karenanya, kata benda dari kata kerja falsafa seharusnya falsafah dan filsafat. (Harun Nasution, 1973: 7). Kata filsafat pun yang kemudian dipakai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1990: 342).

Lalu, siapakah orang yang pertama kali menggunakan kata filsafat? Dialah Pythagoras (w. 497 M). mulanya, kata ini digunakannya sebagai reaksi terhadap orang yang menamakan dirinya ahli pengetahuan. Manusia, menurut Pythagoras, tidak akan mampu mencapai pengetahuan secara keseluruhan meski akan menghabiskan semua umurnya. Oleh karena itu, yang lebih tepat bagi manusa adalah pencinta pengetahuan (filosof). Hal ini mengacu pada ungkapan Pythagoras sendiri,

“Aku tidaklah ahli pengetahuan, karena ahli pengetahuan itu khusus bagi Tuhan saja. Aku adalah filosof, yakni pecinta ilmu pengetahuan.” (Zar, 3).

Namun, jika kita telusuri lebih cermat, kata filsafat popular pemakaiannya sejak masa Sokrates dan Plato. (Bertens, 13). Tetapi yang pasti, kata filsafat ini telah ada sejak masa filosof Yunani.

Dalam sejumlah buku atau referensi akan kita temukan pelbagai definisi filsafat. Namun, pada prinsipnya dalam keragaman tersebut terdapat keragaman tujuan. Dari situlah kemudian, secara simple dapat diuraikan, bahwa filsafat adalah hasil proses berpikir rasional dalam mencari hakikat sesuatu secara sistematis, menyeluruh (universal), dan mendasar (radikal).

Mengacu pada pemaparan di atas, maka kita dapat mencermati bahwa berfikir dilsafat mengandung ciri-ciri rasional, sistematis, universal atau menyeluruh, dan mendasar atau radikal. Berfikir rasional mutlak diperlukan dalam berfilsafat. Rasional mengandung arti bahwa bagian-bagian pemikiran tersebut berhubungan antara satu dan lainnya secara logis. Jika diibaratkan sebagai satu bagan, bagan tersebut adalah bagan yang berisi kesimpulan yang “diperoleh dari premis-premis.” (Louis O. Kattsoff, 1986: 10-11). Sistematis artinya, ia harus berdasarkan aturan-aturan penalaran atau logika.

Pada dasarnya berfikir filsafat ialah berusaha untuk menyusun suatu sistem pengetahuan yang rasional dalam rangka memahami segala sesuatu termasuk diri kita sendiri. Sedangkan menyeluruh artinya suatu sistem filsafat harus bersifat komprehensif. (Zar, 4).

Keempat karakteristik tersebut oleh Jujun S. Suriasumantri (1985: 22), ditambahkan satu karakteristik lagi, yakni spekulatif. Penambahan ini dapat diterima, karena spekulatif adalah dasar ilmu pengetahuan. Inilah baragkali yang kemudian memunculkan gap atau jurang pemisah antara pengetahuan filsafat dan pengetahuan sains.

Obyek Bahasan dan Metode Filsafat

Paling tidak terdapat tida bahasan pokok yang menjadi obyek dari pembahasan filsafat. Obyek tersebut adalah sebagai berikut:

Ontologi atau al-Wujud;Epistimologi atau al-Ma’rifat;Aksiologi atau al-Qayyim.

Pembahasan ontology mencakup hakikat segala yang ada (al-manjudat). Dalam dunia filsafat “yang mungkin ada” termasuk dalam pengertian “yang ada”. Dengan kata lain, “yang mungkin ada” merupakan salah satu jenis “yang ada”. Dan ia tidak dapat dimasukkan ke dalam kelompok “yang tiada”, dalam arti tidak ada atau “mustahil ada.” Umumnya bahasan “yang ada” terbagi menjadi dua bidang, yakni fiska dan metafisika. Bidang fisika mencakup tentang manusia, alam semesta, dan segala sesuatu yang terkandung di dalamnya, baik benda hidup maupun benda mati. Sedangkan bidang metafisika membahas masalah ketuhanan dan masalah imateri. (Zar, 6).

Pembahasan epistimologi berkaitan dengan hakikat pengetahuan dan cara bagaimana atau dengan sarana apa pengetahuan dapat diperoleh. Ada dua teori dalam hal ini. Teori pertama yang disebut dengan realisme, berpandangan bahwa pengetahuan adalah gambar atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata. Gambaran atau pengetahuan yang ada dalam akal adalah kopi dari yang asli yang terdapat di luar akal. Namun, pengetahuan tersebut, menurut teori ini, sesuai dengan kenyataan yang ada.

Teori kedua disebut dengan idealisme, berpandangan bahwa pengetahuan adalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui. Berbeda dengan realisme, pengetahuan menurut teori ini berarti menggambarkan kebenaran yang sebenarnya karena, menurutnya, pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. (Ibid, 7)

Sementara itu, tentang metode-metode untuk memperoleh pengetahuan terdapat dua teori pula. Pertama, teori empirisme, yakni berpandangan bahwa pengetahuan diperoleh dengan perantaraan pancaindra. Alat utama inilah yang memperoleh kesan-kesan dari apa yang ada di alam nyata. Kesan-kesan tersebut berkumpul dalam diri manusia yang kemudian menyusun, dan mengaturnya menjadi pengetahuan.

Kedua, teori yang disebut dengan rasionalisme, berpandangan bahwa pengetahuan diperoleh dengan perantaraan akal. Memang untuk memperoleh data-data dari alam nyata dibutuhkan pancaindra, tetapi untuk menghubung-hubungkan satu data dengan data lainnya atau untuk menerjemahkan satu kejadian dengan kejadian lainnya yang terjadi di alam nyata ini diperlukan sekali akal.

Andai bersandar pada pancaindra semata, manusia tidak akan mampu menafsirkan proses alamiah yang terjadi di semesta raya ini. Jadi, akalah yang menyusun konsep-konsep rasional yang disebut dengan pengetahuan. (Nasution, 10-11). Pengetahuan inilah yang kemudian dapat berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupan manusia.

Pembahasan aksiologi berkaitan dengan hakikat nilai. Dalam menentukan hakikat atau ukuran baik dan buruk dibahas dalam filsafat etika atau akhlak. Dalam menentukan hakikat atau ukuran salah dan benar dibahas dalam filsafat logika atau mantiq. Sementara dalam menentukan ukuran indah dan tidaknya dibahas dalam filsafat estetika atau jamal

Pengertian Filsafat Islam

Ada sejumlah pengertian yang dinisbatkan pada filsafat Islam. Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar (2012: 15) misalnya, menjelaskan bahwa filsafat Islam adalah perkembangan pemikiran umat Islam dalam masalah ketuhanan, kenabian, manusia dan alam semesta yang disinari ajaran Islam. Ada sejumlah definisi pula yang dirangkum oleh para penulis Muslim, di antaranya adalah sebagai berikut:

Ibrahim Madkur, filsafat Islam adalah pemikiran yang lahir dalam dunia Islam untuk menjawab tantangan zaman, yang meliputi Allah dan alam semesta, wahyu dan akal, agama dan filsafat.Ahmad Fu’at Al-Ahwaniy, filsafat Islam adalah pembahasan tentang alam dan manusia yang disinari ajaran Islam.Muhammad ‘Athif Al-‘Iraqy, filsafat Islam secara umum di dalamnya tercakup di dalamnya ilmu kalam, ilmu ushul fiqih, ilmu tasawuf, da ilmu pengetahuan lainnya yang diciptakan oleh intelektual Islam. Pengertiannya secara khusus, ialah pokok-pokok atau dasar-dasar pemikiran filosofis yang dikemukakan para filosof Muslim.

Sebagai sebuat ilmu, filsafat Islam juga memiliki karakteristik sendiri yang berbeda dengan filsafat umum lainnya, misalnya filsafat Yunani. Secara sederhana karakteristik filsafat Islam dapat dirangkum menjadi tiga.

Filsafat Islam membahas masalah yang sudah pernah dibahas dalam filsafat Yunani dan lainnya, seperti ketuhanan, alam, dan roh. Akan tetapi, selain cara penyelesaian dalam filsafat Islam berbeda dengan filsafat lain, para filosof Muslim juga mengembangkan dan menambahkan ke dalamnya hasl-hasil pemikiran mereka sendiri. Sebagaimana bidang lainnya (teknik), dilsafat sebagai induk ilmu pengetahuan diperdalam dan disempurnakan oleh generasi yang datang sesudahnya.Filsafat Islam membahas masalah yang belum pernah dibahas oleh filsafat sebelumnya seperti filsafat kenabian (al-nazhariyyat al-nubuwwat).Dalam filsafat Islam terdapat pemaduan antara agama dan filsafat, antara akidah dan hikmah, antara wahyu dan akal. Bentuk ini banyak terlihat dalam pemikiran filosof Muslim, seperti al-Madinat al-Fadhilat (Negara Utama) dalam filsafat Al-Farabi: bahwa yang menjadi kepala Negara adalah nabi atau filosof. Begitu pula pendapat Al-Farabi pada Nadhariyyat al-Nubuwwat (filsafat kenabian): bahwa nabi dan filosof sama-sama menerima kebenaran dari sumber agama, yakni Akal Aktif (Akal X) yang juga disebut Malaikat Jibril. Akan tetapi, berbeda dari segi teknik, filosof melalui Akal Perolehan (mustafad) dengan latihan-latihan, sedangkan nabi dengan akal hadyang memiliki daya yang kuat (al-qudsiyyat) jauh kekuatannya melebihi Akal Perolehan filosof. (Ibid., 14).

Dengan demikian jelaslah bahwa filsafat Islam merupakan hasil pemikiran umat Islam secara keseluruhan. Pemikiran umat Islam ini merupakan buah dari dorongan ajaran Al-Qur’an dan hadits. Kedudukan akal yang tinggi dalam kedua sumber ajaran Islam tersebut bertemu dengan peranan akal yang besar dan ilmu pengetahuan yang berkembang maju dalam peradaban umat lain, terutama peradaban Yunani, Persia, dan India. Dengan kata lain, umat Islam merupakan pewaris tradisi peradaban ketiga bangsa tersebut, yang sebelumnya telah mewarisi pula peradaban bangsa sekitarnya seperti Babilonia, Mesir, Ibrani, dan lainnya. (Nurcholish Madjid, 1991: 16).

Tokoh dan Pemikiran

Al-Kindi (801 – 865M)

Nama lengkapnya adalah Abdul Yusuf Ya’qub bin Ishaq bin Ash-Shabah bin ‘Imran bin Isma’il bin Muhammad bin al-Asy’ats bin Qeis al-Kindi. Ia berasal dari Kabilah Kindah, termasuk kabilah terpandang di kalangan masyarakat Arab da bermukim di daerah Yaman dan Hijaz. (Ahmad Fuad Al-Ahmawi, 2008: 64). Ia lahir di Kuffah tahun 185 H (801 M) dari keluarga kaya dan terhormat. Kakek buyutnya, Al-Asy’as ibnu Qais, adalah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw yang gugur sebagai syuhada bersama Sa’ad ibnu Abi Waqqas dalam poeperangan antara kaum Muslimin dengan Persia di Irak. Ayahnya, Ishaq ibnu Al-Shabbah, adalah Gubernur Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi (775-785) dan Al-Rasyid (786-809 M). (Zar, 38)

Al-Kindi mempelajari berbagai cabang ilmu keagamaan seperti hukum syariat dalam ilmu Kalam. Ia turut menyumbangkan pemikirannya secara efektif dalam memasukkan filsafat dalam khazanah pengetahuan Islam. Ia menerjemahkan beberapa buku filsafat Suryani yang dikuasainya dengan baik dan meperbaiki penerjemahan buku-buku lain, seperti Theologia (Ar-Rububiyyah atau ketuhanan) yang diterjemahkan oleh Ibn Na’imah al-Himshi. (Ahmawi, 65)

Ia merupakan orang pertama yang merintis jalan menyesuaiakan filsafat Yunani dengan prinsp-prinsip ajaran Islam sehingga lahirlah filsafat Islam. Ia juga telah membuka pintu bagi penafsiran filosofis terhadap Al-Qur’an, sehingga menghasilkan persesuaian antara wahyu dan akal dan antara filsafat dan agama. Lebih lanjut ia kemukakan bahwa pemaduan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga alas an: (1) Ilmu agama merupakan bagian dari filsafat; (2) Wahyu yang diturunkan kepada nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian; dan (3) Menurut ilmu, secara logika, diperintahkan dalam agama. (Zar, 47)

Jika kita petakan, pada garis berasnya pemikiran filsafat Al-Kindi, ada tiga pokok utama, yakni: Filsafat Ketuhanan, Alam, Filsafat Jiwa.

Tentang ketuhanan, al-Kindi membahasnya antara lain dalam Fi al-Falsafat al-Ula dan Fi Wahdaniyyat Allah wa Tanahi Jirm al’Alam. Dari uraian-uraian yang tertuang dalam tulisan-tulisan tersebut dapat kita simak bahwa pandangan Al-Kindi tentang ketuhanan sesuai dengan ajaran Islam dan bertentangan dengan pendapat Aristoteles, Plato, dan Plotinus. Allah adalah wujud yang sebenarnya, bukan berasal dari tiada kemudian ada. Ia mustahil tidak ada dan akan ada selamanya. Allah adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului wujud lain. Wujud-Nya tidak berakhir, sedangkan wujud lain disebabkan wujud-Nya. Ia adalah Maha Esa yang idak dapat dibagi-bagi dan tidak ada zat lain yang menyamai-Nya dalam berbagai aspek.

Menurut Al-Kindi, benda-benda yang ada di alam ini, mempunyai dua hakikat: hakikat sebagai juz’i (al-haqiqat juz’iyyat) yang disebut ‘aniah dan hakikat sebagai kulli (alhaqiqat kulliyat), dan ini disebut mahiah, yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus(jins) dan species (nau’). (Nasution, 9)

Tentang alam, dalam risalahnya yang berjudul al-Ibaat ‘an al’illat al-Fa’ilat al-Qaribat fi kawn wa al-Fasad, pendapat Al-Kindi sejalan dengan Aristoteles bahwa benda di alam ini dapat dikatakan wujud yang actual apabila terhimbun empat ‘illat, yakni:

al’Ushuriyyat (materi benda);al-Shuriyyat (bentuk benda);al-Fa’ilat (pembuat benda, agent);al-Tamamiyyat (manfaat benda). (Zar, 54-55)

Selanjutnya, Al-Kindi membagi ‘illat al-Fa’ilatmenjadi qaribat (dekat) dan ba’idat (jauh). ‘Illatyang dekat ada yang bertalian dengan alam dan ada pula yang bertalian dengan Allah. Sedangkan ‘illat yang jauh hanya bertalian dengan Allah. Jika dicontohkan dengan sebatang kapur tulis, pabrik yang memproduksi kapur disebut ‘illat yang dekat dan manusia yang menciptakan pabrik disebut ‘illat yang jauh berasal dari alam (ba’idat thabi’iy). Namun, pada hakikatnya yang menciptakan pencipta pabrik (manusia) tersebut adalah ‘illat ba’idat Ilahiy (sebab yang jauh dari Tuhan), yakni Allah. (Ibid.)

Sementara tentang jiwa, Al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa jiwa manusa sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur, materi dan bentuk. Materi ialah badan dan bentuk ialah jiwa manusia. Hubungan jiwa dengan badan sama dengan hubungan bentuk dengan materi. Pendapat Al-Kindi tentang jiwa lebih dekat pada pendapat Plato yang mengatakan bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah accident, binasanya badan tidak membawa binasa pada jiwa, Namun, ia tidak menerima pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam idea.

Al-Kindi, dalam tulisannya, sebagaimana dinukil Harun Nasution (1983: 9), menjelaskan bahwa jiwa manusia terdapat tiga daya: daya bernafsu (al-quwwat al-syahwaniyyah) yang terdapat di perut, daya marah (al-quwwat al-ghadabiyyat) yang berada di dada, dan daya pikir (al-quwwat al-‘aqliyyat) yang berpusat di kepala. 

Al-Farabi (259-339 H/870-950 M.)

Jika Al-Kindi merupakan filosof Muslim yang meletakkan dasar-dasar filsafat Islam, maka Abu Nashr al-Farabi-lah yang memperkokoh dan memantapkan dasar-dasar yang telah diletakkan oleh Al-Kindi. Orang Arab menamakan al-Farabi Guru Kedua (al-Mu’allimuts-Tsani), karena mereka memandang Aristoteles sebagai Guru Pertama (al-Mu’allimuts-Awwal). Al-Farabi seorang filosof Islam berkebangsaan Turki, lahir di sebuah pedusunan terkenal dengan nama Bousij di daerah Farab.

Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad ibnu Muhammad ibnu Tarkhan ibnu Auzalagh, yang lagir tahun 257 H/870 M. Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki. (Sirajuddin Zar, Filsat Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 65). Sebagaimana filosof Yunani, Al-Farabi menguasai berbagai disiplin ilmu. Keadaan ini memungkinkan karena didukung oleh ketekunan dan kerajinannya serta ketajaman otaknya. Jika mengacu pada karya tulisnya, ia menguasai matematika, kimia, astronomi, music, ilmu alam, logika, filsafat, bahasa, dan lain-lainnya. Dalam hal bahasa, menurut riwayat, al-Farabi menguasai 70 bahasa. Namun, menurut Ibrahim Madkur riwayat ini lebih mendekati dongeng daripada kenyataan. (Ibid. 66)

Pemikiran-pemikiran penting dari filsafat al-Farabi, antara lain tentang filsafat emanasi, krtuhanan, kenabian, jiwa, dan akal.

Dalam filsafat emanasinya, al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bias timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Mahasatu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Mahasempurna dan tidak berhajat pada apapun. Jika demikian hakikat sifat Tuhan, maka terjadinya alam menurut al-Farabi terjadi dengan cara emanasi. Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, da dari pikiran ini timbul suatu maujud lain.

Tuhan merupakan Wujud Pertama (al-Wujud al-Awwal) dan dengan pemikiran itu timbul Wujud Kedua (al-Wujud al-Tsani) yang juga memiliki subtansi. Ia disebut Akal Pertama (al-Aql al-Awwal), first Intellegence yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari opemikiran ini muncullah Wujud Ketiga (al-Wujud al-Tsani) disebut Akal Kedua (al-Aql al-Tsani), Second Intellegence. Wujud Kedua atau Akal Pertama itu juga berfikir tentang dirinya dan dari situ timbullah Langit Pertama (First Heaven, al-Sama’ al-‘Ula). (Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, h. 21)

Dalam hal ketuhanan al-Farabi mengompromomikan antara filsafat Aristoteles dan Neo-Platonisme, yakni al-Maujud al-Awwal (Wujud Pertama) sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Konsep ini tidak bertentangan dengan keesaan yang mutlak dalam ajaran Islam. Dalam membuktikan adanya Allah al-Farabi mengemukakan dalil Wajib al-Wujud dan mumkin al-wujud, menurutnya, segala yang ada ini hanya dua kemungkinan dan tidak ada alternative yang ketiga, yakni Wajib al-Wujuddan mumkin al-wujud. (Sirajuddin Zar, Op. Cit., h. 70)

Tentang kenabian al-Farabi merupakan filosof Muslim pertama yang mengemukakan filsafat kenabian secara lengkap, sehingga hampir tidak ada penambahan oleh filosof-filosof sesudahnya. Filsafat ini didasarkan kepada psikologi dan metafisika yang erat hubungannya dengan ilmu politik dan etika. Menurutnya, manusia dapat berhubungan dengan Akal Fa’al (Jibril) melalui dua cara, yakni penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau inspirasi (ilham). Cara pertama hanya daopat dilakukan oleh para filosof yang dapat menembus alam materi dan dapat mencapai cahaya ketuhanan, sedangka cara kedua hanya dapat dilakukan oleh nabi.(Ibid, 79)

Sedangkan mengenai jiwa, menurut al-Farabi, jiwa manusia beserta materi asalnya memancar dari Akal Kesepuluh. Jiwa adalah jauhar rohani sebagai form jasad. Kesatuan keduanya merupakan kesatuan secara accident, artinya masing-masing keduanya mempunyai subtansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa. Jiwa manusia disebut dengan al-nafs al-nathiqah, berasal dari alam Ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar, dan bergerak. Jiwa ini diciptakan ketika jasad siap menerimanya.(Ibid., 87)

Ibnu Sina (370-428 H/ 989-1036 M.)

Puncak kecermelangan filsafat Islam dicapai pada zaman hidupnya Syaikh ar-Rais Abu ‘Ali al-Husein bin ‘Abdullah Ibn Sina. Filosof kelahiran Afsyana dekat Bukhara pada tahun 980 M ini merupakan filosof Islam paling banyak menulis buku-buku ilmiah sampai soal-soal yang bersifat cabang dan ranting. (Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, h. 82; , Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, h. 28).

Di Barat ia popular dengan sebutan Avicenna akibat dari terjadinya metamorphose Yahudi-Spanyol-Latin. Dengan lidah Spanyol kata ibnu diucapkan Aben atau Even. Perubahan ini berawal dari usaha penerjemahan naskah-naskah Arab ke dalam bahasa Latin pada pertengahan abad ke-12 di Spanyol. (Lihat Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, 1997: 94)

Meski sibuk bekerja dalam pemerintahan, Ibnu Sina merupakan seorang penulis yang luar biasa produktif, sehingga ia banyak meninggalkan karya tulis yang sangat besar pengaruhnya kepada gerenari sesudahnya, baik di dunia Barat maupun di dunia Timur. Diantara karya tulisnya adalah sebagai berikut:

Al-Syifa’, berisikan uraian tentang filsafat yang terdiri atas empat bagian: ketuhanan, fisika, matematika, dan logika.

Al-Najat, memuat intisari dari kitab al-Syifa’. Karya ini ditujukan khusus untuk kalangan terpelajar yang ingin mengetahui dasar-dasar ilmu hikmah secara lengkap.Al-Qanun fi al-Thibb, berisikan ilmu kedokteran yang terbagi atas lima kitab dalam berbagai ilmu dan berjenis-jenis penyakit dan lain-lain.Al-Isyarat wa al-Tanbihat, beris uraian tentang logika dan hikmah.( Sirajuddin Zar, Filsat Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 94)

Pemikiran filsafat Ibnu Sina di antaranya mencakup soal al-Tawfiq (Rekonsiliasi) antara agama dan filsafat, Ketuhanan, dan Jiwa. Dalam soal rekonsiliasi, sebagaimana al-farabi, ia juga mengupayakan pemaduan antara agama dan filsafat. Menurutnya nabi dan filosof menerima kebenaran dari sumber yang sama, yakni Malaikat Jibril yang juga disebut Akal Kesepuluh atau Akal Aktif. Perbedaannya hanya terletak pada cara memperolehnya. Bagi nabi terjadinya hubungan dengan Malaikat Jibril melalui akal materiil yang disebut hads (kekuatan suci, qudsiyyat), sedangkan filosof melalui Akal Mustafad.( Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, h. 18 dan 84)

Dalam hal Ketuhanan, Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan (isbat wujud Allah) dengan dalil wajib al-wujud dan mumkin al-wujud mengesankan duplikat al-Farabi. Bahkan nampaknya tidak ada penambahan sama sekali. Ia hanya menjelaskan bahwa untuk membuktikan adanya Tuhan tidak perlu mencari dalil dengan salah satu makhluk-Nya, tetapi cukup dengan dalil adanya wujud Pertama, yakni wajib al-wujud. Jagad raya ini mumkin al-wujud yang memerlukan suatu sebab (‘illat) yang mengeluarkannya menjadi wujud karena wujudnya tidak dari zatnya sendiri.

Al-Razi (251-313 H/ 865-925 M.)

Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria ibnu Yahya Al-Razi lahir di Rayy, sebuah kota tua yang dulu bernama Rhogee, dekat Teheran, Republik Islam Iran pada 1 Sya’ban 251 H/865 M. di dunia Barat ia dikenal dengan sebutan Rhazes. Ada beberapa nama tokoh yang juga dipanggil Al-Razi, yakni Abu Hatim Al-Razi, Fakhruddin Al-Razi dan Najmuddin Al-Razi. Oleh karena itu, untuk membedakan Al-Razi, sang filosof ini dari tokoh-tokoh lain, perlu ditambahkan dengan sebutan Abu Bakar, yang merupakan nama kun-yah-nya (gelarnya).( Sirajuddin Zar, Filsat Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 113)

Dalam perjalaan karirnya, Al-Razi terkenal sebagai seorang dokter yang dermawan, penyanyang keada pasien-pasiennya, karena itu ia sering memberikan pengobatan cuma-cuma kepada orang-orang miskin. Karena reputasinya di bidang kedokteran ini, Al-Razi pernah diangkat menjadi kepala rumah sakit Rayy pada masa pemerintahan Gubernur Al-Mansur ibnu Ishaq. Lalu ia pindah ke Baghdad dan memimpin rumah sakit di sana pada masa pemerintahan Khalifah Al-Muktafi. (Ibid., 115)

Disiplin ilmu Al-Razi meliputi ilmu falak, matematika, kimia, kedokteran, dan filsafat. Ia lebih dikenal sebagai ahli kimia dan ahli kedokteran dibanding sebagai filosof. Ia juga rajin menulis dan membaca yang kemudian membuat penglihatanya melemah. Anehnya ia menolak untuk diobati dan mengatakan bahwa hal itu akan sia-sia karena sebentar lagi ia akan meninggal. (Ibid., 116-117)

Filsafat Al-Razi terkenal dengan ajarannya Lima yang Kekal, yakni al-Bary Ta’ala (Allah Ta’ala), al-Nafs al-Kulliyyat (Jiwa Universal), al-Hayula al-Ula (Materi Pertama), al-Makan al-Mutlhaq (Tempat/Ruang Absolud) dan al-Zaman al-Mutlhaq (Masa Absolud). Menurutnya, dua dari Lima yang Kekal itu hidup dan aktif: Allah dan ruh. Satu di antaranya tidak hidup dan pasif, yakni materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula pasif, yakni ruang dan masa.( Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, h. 16-17)

Al-Razi juga dikenal sebagai seorang rasionalis murni. Akal, menurutnya, adalah karunia Allah yang terbesar untuk manusia. Dengan akal mausia dapat memperoleh manfaat sebanyak-banyaknya, bahkan dapat memperoleh pengetahuan tentang Allah. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh menyia-nyiakan dan mengekangnya, tetapi harus memberikan kebebasan padanya dan harus merujuknya dalam segala hal. (Sirajuddin Zar, Op. Cit., h. 121)

Pandangan tersebut bahkan memunculkan pendapat bahwa Al-Razi telah menyimpang dari agama. Bahkan Harus Nasution mengatakan bahwa Al-Razi adalah filosof Muslim yang berani mengeluarkan pendapat-pendapatnya sungguhpun ia bertentangan dengan paham yang dianut umat Islam, yaitu: (1) Tidak percaya pada wahyu; (2) Qur’an tidak mukjizat; (3) Tidak percaya pada nabi-nabi; (4) Adanya hal-hal yang kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir selain Tuhan. Kendati demikian, namanya tercantum di antara pemikir-pemikir Islam lain dalam Tarikh Hukuma al-Islam karya Zahir al-Din al-Baihaqi. Bahkan dalam Tabaqat al-Umam karangan Abu al-Qasim Said ibnu Ahmad al-Andalusi, Al-Razi disebut sebagai dokter umat Islam yang tiada tandingannya. (Harun Nasution, Op. Cit., h. 19)

Ibnu Miskawaih (330 H/941 – 1030 M)

Abu Ali Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ya’kub ibnu Miskawaih lahir di kota Rayy, Iran pada tahun 330 H/ 941 M. filosof yang satu ini memang tidak banyak diketahui orang.( Sirajuddin Zar, Op. Cit., h. 127). Ada yang menduga ia penganut Syi’ah. Indikasi ini didasarkan pada pengabdiannya kepada sultan dan wazir-wazir Syiah dalam masa pemerintahan Bani Buwaih (320-448 H). ketika Sultan Ahmad ‘Adhud Al-Daulah memegang tampuk pemerintahan, ia menduduki jabatan penting, seperti diangkat menjadi Khazim, penjaga perpustakaan besar dan bendahara Negara. (Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, 1986: 265)

Disiplin ilmu Miskawaih meliputi kedokteran, bahasa, sejarah, dan filsafat. Tetapi ia lebih popular sebagai filosof akhlak (al-falsafat al-‘amaliyat) ketimbang filosof Ketuhanan (al-falsafat al-nazhariyyat al-Ilahiyyat). Agaknya ini dimotivasi oleh siatuasi masyarakat yang sangat kacau di masa itu, seperti minuman keras, pelacuran, dan lain-lain.

Tak kurang dari 20-a buku telah ditulisnya. Sebagai seorang moralis terkenal, hampir setiap pembahasan akhlak dalam Islam, filsafatnya selalu mendapat perhatian utama. Keistimewaan yang menarik dalam tulisannya ialah pembahasan yang didasarkan pada ajaran Islam (al-Qur’an dan Hadits) dan dikombinasikan dengan poemikiran lain sebagai penunjang, seperti filsafat Yunani Kuno dan pemikiran Persia. (Sirajuddin Zar, Op. Cit., h. 134)

Meski filsafat Yunani Kuno banyak mewarnai pemikiran filsafat Miskawaih, namun ajaran Islam memiliki pengaruh yang paling dominan dalam filsafatnya, terutama dalam masalah akhlak atau moral/etika.
Sumber gambar: http://a-filsafat.com
Sourche: https://catatannaniefendi.blogspot.co.id




Baca Artikel Terkait: