-->

Minggu, 15 April 2018

Oleh: Elnino M. Husein Mohi
Andaikata rakyat Gorontalo kembali ‘melekatkan’ sifat-sifat ketuhanan dalam pemerintahan daerah—seperti yang terjadi di zaman kepresidenan Sultan Eyato semasa berdirinya PohalaA Hulondlalo (Negara Syarikat Gorontalo)—bukan tidak mungkin pemerintahan dan kepemimpinan yang ideal akan lahir dan memberi arah menuju kesejahteraan rakyat secara lahiriah maupun bathiniah. Sebab kekuasaan (baca: penguasa) ‘dipaksa’ bekerja sesuai dengan sifat tuhan yang terbagi atas sifat nafsia, sifat salbia, sifat ma’ania dan sifat ma’anawiyah.

Bila di era sekarang kita mencoba menegakkan kembali bangunan sistem moral pemerintahan yang dibentuk Eyato itu, maka sifat mukhallafatuhu lil hawaadits (sifat tuhan yang maknanya berbeda dari makhluknya) dapat ‘dilekatkan’ kepada para Gubernur, Walikota dan Bupati. Artinya, mereka ini mendapat kehormatan dan diistimewakan oleh tuwango lipu(seluruh rakyat). Tetapi bila ada seorang gubernur, walikota atau bupati bertindak sama dengan manusia biasa (marah-marah, benci, dendam, rakus, menipu, korupsi, berzinah dan lain-lain) maka ia harus dihukum lebih berat daripada hukuman kepada rakyat biasa. Sedangkan dalam hal pemimpin melakukan pelanggaran berat, ia bakal menerima sumpah dan kutukan dari Ulipu (rakyat), baik yang diungkap secara terang-terangan atau tidak.

Itulah satu contoh penerapan sifat tuhan dalam pemerintahan yang dimungkinkan diterapkan di Gorontalo di masa depan. Sifat-sifat tuhan yang lain dapat ‘dibajukan’ kepada institusi seperti DPRD, dinas-dinas dan lain-lain. Dan inilah yang semestinya menjadi landasan moral pemerintahan daerah kita. Tidak harus memformalkannya lewat undang-undang atau Perda. Yang dibutuhkan di sini adalah semacam kesepakatan mayoritas rakyat bahwa, sebagai misal, Mukhallafatuhu lil hawadits itu pobo’o-liyo (dibajukan/diselimutkan) kepada gubernur, bupati dan walikota. Bahwa, sebagai misal, sifat kalam/mutakallimuundibajukan kepada para anggota DPRD. Sedangkan lembaga dan pejabat publik lainnya membagi habis sifat-sifat Tuhan yang masih banyak itu.

Manakala sistem moral ini terbangun kembali di Gorontalo dan menjadi ‘diktum utama’ dari sebuah kontrak sosial, bisa dibayangkan betapa setiap aparat pemerintahan selalu merasa bekerja di bawah pengawasan secara langsung oleh Tuhan karena sifat tuhan dibebankan kepada mereka. Sistem moral seperti itu akan efektif kiranya, karena sesekuler apa pun pola pikir mereka—para pejabat itu—tetapi selama mereka adalah orang Gorontalo tentu mereka akan tertekan jiwanya di bawah ancaman ‘kutukan kolektif’ dari rakyat. Sebab mereka, bagaimana pun juga, masih punya rasa malu—yang oleh orang Gorontalo dianggap sebagai suatu rasa yang teramat disakralkan hingga hari ini. Rakyat secara moral bisa menghukum langsung para pejabat yang terbukti korupsi, contohnya, dengan memalingkan wajah dari mereka dan menghindari bercakap dengan mereka. Tentu saja hukum positif tetap dijalankan sebagaimana semestinya.

Demikianlah bentuk punishment and rewards secara moral kepada para pejabat publik kita. Ditambah lagi bila setiap jamaah masjid mengumandangkan doa, “Yaa Allah pemilik segala nyawa. Berilah kemuliaan di dunia dan di akhirat bagi pejabat-pejabat kami yang berbuat baik. Berilah peringatan yang nyata kepada pejabat-pejabat kami yang berbuat maksiat serta timpakanlah kehinaan di dunia dan di akhirat bila mereka tidak mengindahkan peringatan-Mu.” Betapa indahnya dan betapa uniknyaDoa yang mirip memang pernah menjadi salah satu fasal dalam naskah sumpah perjanjian persyarikatan Uduluwo Lo Ulimo Lo PohalaA. Kurang lebih sebait dari perjanjian dimaksud dapat diartikan sebagai berikut, “Jikalau pembesar-pembesar Gorontalo serta pembesar-pembesar Limboto hanya mementingkan diri mereka sendiri dan hanya mementingkan keturunan mereka sendiri dan tidak menjunjung tinggi kepentingan khalayak rakyat serta berbuat fitnah dan kerusakan di atas tanahnya, maka luluh lantaklah negeri mereka seperti batu kapur dan daging kerbau yang dipersembahkan itu. Dan Allah Ajja Wa Jalla tidak ingkar akan janji-Nya.”

MENGAPA HARUS ISLAM?

Saya percaya, hanya dengan nafas dan warna Islam sedemikian itu Gorontalo mampu mencapai kejayaan di segala bidang. Butuh waktu puluhan tahun untuk proses itu, tidak semudah mengedipkan mata. Tetapi pertanyaan berikut adalah; Memangnya hanya aura Islam yang bisa membawa Gorontalo kepada kemajuan peradabannya? Memangnya nilai-nilai apa yang terdapat dalam hubungan Gorontalo-Islam sehingga diyakini bisa membawa daerah ini beberapa derajat lebih tinggi? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita menengok lagi ke belakang, kepada rentang panjang sejarah Gorontalo.

Nenek moyang kita orang Gorontalo sebelum masuknya Islam di abad ke-XV mengharuskan atas dirinya untuk menjunjung tinggi nilai harmoni, yakni harmoni dengan lingkungan hidup maupun dengan lingkungan abiotik pada semesta alam. Kemujuran dan kemalangan ditentukan oleh daya akomodasinya terhadap unsur harmoni. Maka segala apa yang dilahirkan oleh akal, di zaman itu, mestilah selaras dengan ketentuan hukum semesta. Identifikasi atas benda dan peristiwa dapat dibenarkan hanya jika tidak mengganggu harmoni. Dengan kata lain, pengetahuan tertinggi dan terbenar yang harus dicapai ialah yang menjamin keberlangsungan harmoni kehidupan. Pandangan atas harmoni itu yang, kemudian, merangsang sikap ingin tahu di tengah lingkungan alam perbukitan dan hutan belantara yang diapit samudera luas.

Ketika itu tidak ada guru, apalagi sekolah dan perpustakaan. Alamlah yang menjadi mahaguru tunggal, sumber inspirasi, sumber logika satu-satunya. Otodidaktik dan kemandirian pada gilirannya mengguncang kesadaran berfilsafat. Itulah sebabnya ilmu dan teori dalam periode ini lebih bernuansa filsafat. Air, misalnya, menjadi salah satu sumber terbentuknya kebudayaan dan adat-istiadat. Ungkapan taluhu sifati moopa (sifat air selalu mencari tempat yang rendah) dimaksudkan agar manusia bersifat rendah hati. Sifati taluhu mololohe deheto (sifat air bergerak mengalir menuju samudra) dimaksudkan agar setiap insan terus berusaha dengan tekun sampai tujuannya tercapai. Wonu moda’a taluhu, pombango moheyipo (Jikalau banjir, pinggiran sungai pun pindahlah) bermaksud; jikalau ada yang lebih tinggi ilmu pengetahuannya, maka seorang pemimpin hendaklah menyerahkan kepemimpinannya kepada orang itu.

Filsafat air berkembang di Gorontalo karena lingkungan hidup mereka adalah lingkungan air. Maklum, danau, telaga dan sungai begitu banyak di daratan ini. Belum lagi hamparan samudra Teluk Tomini dan Laut Sulawesi. Selanjutnya, filsafat Gorontalo dihiasi pula dengan pemikiran tentang api, udara dan tanah. Manusia dianggap sempurna ketika ia mampu mendarahdagingkan sifat-sifat keempat anasir itu ke dalam dirinya. Itulah yang dianggap sebagai “kebenaran obyektif” di masa itu.

Kebenaran obyektif itu kemudian menjadi dasar pertaruhan dalam sumpah pembentukan serikat (Pohalaa) Gorontalo oleh 17 Linula pada tahun 1385 dan oleh Pohalaa Limboto 30 tahun sebelumnya. Maknanya, nilai-nilai harmoni tidak hanya menimbulkan kebenaran obyektif dalam filsafat tentang benda, tetapi juga telah merembet luas hingga memasuki wilayah filsafat persatuan, pemerintahan dalam hubungan antar manusia. MatoloduladaA terpilih sebagai Olongiya(maharaja, ketua presidium, presiden) yang pertama bukan lantaran lebih berkuasa dan berpengaruh daripada calon presiden lain Dia terpilih terutama karena pengetahuannya relatif melebihi yang lain. Di samping itu, otodidaktis yang cemerlang ini mengkomunikasikan pengetahuannya kepada raja-raja lain dengan tatacara yang dapat diterima oleh lawan bicaranya. Pembentukan perserikatan pun didasarkan atas pemikiran MatoloduladaA. Dia benar-benar menempatkan diri sebagai sumber rujukan utama tentang kebenaran dan pengetahuan. Maka tak heran dalam penobatan kemaharajaan MatoloduladaA, sidang raja-raja bersumpah dengan “kebenaran obyektif” untuk melegitimasi “kenyataan obyektif”—kepemimpinan MatoloduladaA—dengan melafalkan tuja’I (pantun): “Huta, huta lo ito eeya. Dupoto, dupoto lo ito eeya. Taluhu, taluhu lo ito eeya. Tulu, tulu lo ito eeya.” (Tanah, tanah milik tuanku. Angin, angin milik tuanku. Air, air milik tuanku. Api, api milik tuanku).

Legitimasi yang kuat itu pun dilandaskan pada filosofi alam: hu’idu lo hundlu datahu (gunung menjunjung lembah). Maksudnya, raja-raja lain yang memiliki basis kekuasaan lebih besar rela menyerahkan tampuk kekuasaan kepada MatoloduladaA yang berasal dari Linula kecil tetapi memiliki ilmu pengetahuan yang relatif lebih tinggi, budi pekerti terpuji, suka merendah, terbuka dan komunikatif. Jelas, di masa inipraktek demokrasi dibungkus oleh “supremasi ilmu”.

Aura perkembangan ilmu pada lingkup politik beriring sejalan dengan tuntutan ekonomi. Kehidupan di lereng-lereng gunung dan perbukitan yang dikelilingi laut bukanlah tantangan yang hanya dapat disiasati secara perorangan atau kelompok-kelompok kecil untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Harus ada kekuatan organisasional yang besar yang memiliki ikatan kuat. Dan jawaban untuk menjinakkan tantangan itu; pembentukan kerajaan. Inilah yang menjadi salah satu dasar bagi MatoloduladaA mengkampanyekan betapa pentingnya sebuah PohalaA, sebuah negara syarikat.

Ia lalu mengarahkan sumberdaya ekonomi negaranya dari ladang berpindah (butu) menjadi ladang tetap (butu-payango). Peraturan sistem ekonomi ditegakkan oleh badan pelaksana undang-undang bidang ekonomi yang disebut golongan Tiyombu. Nilai-nilai ekonomi tersebut antara lain dilembagakan dalam sistem sosial ekonomi kekeluargaan yang mengedepankan kepentingan bersama di atas kepentingan individu.

42 tahun MatoloduladaA memerintah. Kecerdasan, insting politik dan bakat diplomasi yang dimiliki menjadi modal utama bagi sang presiden untuk memapankan kekuasaan. Tetapi selama puluhan tahun itu seluruh rakyat mencintainya. Berbagai terobosan besar dilakukan MatoloduladaA untuk kepentingan negara, baik dalam bidang keilmuan, politik-pemerintahan, ekonomi. Tak mencengangkan bila tiada satu pun bangsawan maupun rakyat yang menyatakan komplain ketika setelah mangkatnya MatoloduladaA diberi predikat Ilomata, predikat bagi seorang pemimpin besar pilihan yang menciptakan karya-karya agung.

Pasca MatoloduladaA, hampir tidak ada pembaharuan berarti yang mendapat pengakuan sebesar itu. Raja Amai membawa Islam masuk ke Gorontalo. Dia memiliki keberanian yang luar biasa. Perubahan yang dibawa Amai tidaklah kecil karena berkaitan dengan revolusi akidah. Bahkan ia berhasil menelisipkan agama ke dalam hukum adat dengan prinsip “Syara’a hulo-huloA to Aadati.” Tetapi, faktanya, Amai tidak diberi predikat Ilomata.

Pasca Amai, Matolodulakiki sebagai presiden membangkitkan kembali “supremasi ilmu” dalam bingkai akhlakul karimah. Raja ini mampu mengislamkan rakyat seantero negeri tanpa kecuali, namun syahadat diucapkan rakyat tanpa ada pemaksaan sama sekali. Kedudukan hukum Islam berhasil disetarakan dengan hukum adat dalam prinsip “Aadati hulo-huloA to syara’a, syara’a hulo-huloA to Aadati.” Di zaman ini, resmilah Islam menjadi agama kerajaan. Matolodulakiki juga mengkampanyekan kesetaraan hak dan kewajiban setiap manusia. Perbedaan status seseorang terutama diukur dari ilmu yang dimiliki dan akhlak yang mulia. Faktor keturunan dan jumlah harta yang dimiliki menjadi pertimbangan terakhir untuk menentukan status sosial tersebut. Prestasi dan ajarannya itulah yang menjadikan Matolodulakiki mendapat tempat terhormat di setiap hati rakyatnya. Maka dia, setelah melakukan perubahan besar itu, berhasil mendapatkan predikat Ilomata Kedua dengan legitimasi bulat-utuh seluruh rakyat.

Setelah era Matolodulakiki, perubahan progresif sebesar itu baru terjadi lagi di zaman Eyato. Sebelum terpilih menjadi presiden, Eyato memprakarsai sebuah ikrar yang berlaku untuk sepanjang masa yang dikenal dengan sumpah “Uduluwo Lo Ulimo Lo PohalaA” (Salah satu fasal perjanjian ini sudah dituliskan di atas). Sumpah ini menghentikan perang saudara yang telah berlangsung lebih dari 200 tahun dan ‘mempersatukan darah’ antara Gorontalo dan Limboto. Karenanya kemudian dia terpilih lalu didaulat menjadi Sultan. Eyato pula yang menjadikan Islam sebagai hukum tertinggi kerajaan dengan prinsip “Aadati hulo-huloA to Syara’a, Syara’a hulo-huloA to Kuru’ani.” Hukum adat tetap diakui selama tidak bertentangan dengan agama.

Sang Sultan melakukan perlawanan sengit terhadap kedatangan kaum kapitalis Eropa berbendera V.O.C. Perlawanan ini lebih utama termotifasi oleh pengawalan akidah, bela negara dan mengusir gangguan terhadap perekonomian rakyat yang sudah demikian baik keadaannya. Kekuatan pertahanan pasukan Eyato tak mampu dipatahkan Belanda. Tokoh besar itu tertangkap dengan tipu muslihat yang licik dan dibuang ke Srilangka. Tetapi perubahan besar yang telah dilakukan Eyato terhadap nilai-nilai keislaman Gorontalo serta kemajuan ekonomi negeri mendapat legitimasi yang bulat-utuh dari segenap masyarakat untuk beroleh predikat Ilomata.

Setelah beberapa kali negara syarikat Gorontalo berganti presiden, Ilomata keempat akhirnya lahir juga di bawah kepemimpinan Sultan Botutihe. Mantan Hatibie DaA (Khatib Agung) yang kemudian terpilih menjadi presiden itu menjalankan langkah-langkah yang amat fenomenal dan berpengaruh luas dalam segala bidang; ilmu pengetahuan, politik, pemerintahan, ekonomi dan sebagainya. Nilai-nilai moral dan hukum yang telah ditanamkan oleh Eyato disemarakkan lagi dalam kehidupan bernegara. Botutihe lalu memindahkan ibukota kerajaan dari Dungingi ke Limbato Botudulanga (Limba B) yang lebih dekat ke bandar laut. Ibukota yang baru ini ditata sedemikian apik dengan masjid sebagai pusat kerajaan. Di ring pertama kitaran masjid diperuntukkan para petinggi pemerintahan. Di ring kedua adalah wilayah bagi pemukiman rakyat. Di garis terluar adalah perumahan untuk para tentara. Pertanian didukung dengan pembuatan saluran-saluran pengairan yang diatur rapi. Tata ruang yang modern hasil kreatifitas Sultan Botutihe itu berakibat sangat positif. Pertahanan kerajaan menjadi semakin kuat untuk menghadapi rongrongan pasukan Belanda yang datang dari wilayah pantai. Dan ekonomi rakyat kian surplus karena terbukanya lahan-lahan baru untuk bercocok-tanam. Pantaslah Botutihe beroleh dukungan mutlak dari seluruh rakyatnya, sebab kebijakan-kebijakan yang diambilnya memberi keuntungan bagi masyarakat. Karya besar Botutihe ini membuatnya diberi gelar Ilomata.

Para presiden PohalaA Gorontalo setelah Botutihe disibukkan dengan penetrasi Belanda yang kian menjadi-jadi. Segala energi dicurahkan untuk melawan. Tetapi Belanda teramat kuat. Strategi devide et impera akhirnya berhasil memecah kekuatan Gorontalo. Maka takluklah seluruh tanah ini ke dalam penguasaan Belanda. Oleh S.R. Nur, perkembangan kebudayaan Gorontalo di masa ini diibaratkan sebagai “perahu patah kemudi”. Nilai-nilai yang telah terbangun sebelumnya mengalami degradasi. Nilai-nilai baru yang dibawa oleh Belanda justru membuat kehidupan rakyat menjadi serba susah. Pembangunan peradaban Gorontalo—berdasarkan nilai-nilai yang telah ada sebelumnya—terpasung oleh pemerintahan militer-otoriter ciptaan penjajah. Nilai-nilai yang terdegradasi itu—terutama nilai budaya progresif—yang kemudian hanya sekadar bersemayam di hati sanubari orang Gorontalo, tak lagi ditonjolkan dalam kehidupan keseharian. Sistem yang lama, kemudian, mengalami pembatinan sejarah, menjadi sekadar social stock of knowledge. Maka pasca Sultan Botutihe hingga hari ini, Ilomata Wopato atau Empat Karya Agung tetap saja Ilomata Wopato, tak bertambah menjadi lima.

Ketika babakan sejarah Indonesia memasuki era pergerakan nasional, pencerahan pola pikir mulai dilakukan. Sejak itu bermunculan orang-orang muda terdidik seperti Nani Wartabone, RM Koesno Danupojo dan lain-lain yang menjadi tokoh-tokoh sentral peristiwa 23 Januari 1942—hari penjungkirbalikan kekuasaan Belanda di Gorontalo. Perubahan cukup besar terjadi. Nani Wartabone yang dilegitimasi sebagai pemimpin tertinggi kembali membangun pemerintahan yang mandiri-merdeka. Rakyat yang sejak lahirnya hidup dalam keterjajahan kini seperti terlahir kembali, mencoba lagi membangun jati dirinya yang hilang ratusan tahun sebelumnya. Sayang, dominasi militer Jepang yang tiba dengan slogan “saudara tua-saudara muda”-nya kembali merampas kemerdekaan itu. Jepang membungkam progresifitas yang baru saja mulai direkonstruksi itu.

Sampai hari ini lebih dari enam abad Gorontalo menata kehidupannya. Empat Ilomata tercipta sudah. Yang mesti menjadi catatan khusus kita adalah, tiga dari keempat Ilomata itu lahir ketika para pemimpin memegang teguh ajaran Islam sebagai panduannya mengatur tata-negara. Sekali lagi, dari sekian banyak orang yang pernah terpilih secara demokratis sebagai raja di Gorontalo, hanya ada empat yang bergelar Ilomata dan tiga diantaranya adalah para pemimpin yang sangat Islami. Patut pula menjadi catatan bahwa ketika Ilomata Wopato (Empat Pemimpin dengan Karya Agung) memerintah pada zamannya masing-masing, kehidupan rakyat relatif lebih tentram, lebih nyaman dan berkecukupan.

Apa artinya semua ini? Peluang untuk menciptakan Ilomata (karya agung) yang baru akan sangat besar bila dilakukan dalam nuansa Islam seideal mungkin. Dan itu bisa dilakukan mulai sekarang, setelah perjuangan pembentukan provinsi Gorontalo dinyatakan selesai, setelah provinsi ini benar-benar terwujud dan memulai pembangunan pondasi peradaban.

Undang-undang otonomi daerah kini telah memberikan ruang yang cukup luas bagi kita untuk mengembangkan daerah dengan kreatifitas dan inovasi lokal. Peluang tersebut dapat dimanfaatkan untuk membangun kembali nilai-nilai lokal yang telah dijabarkan di atas; nuansa ketuhanan (keislaman) yang secara menyeluruh dipraktekkan dalam kehidupan keseharian orang Gorontalo. Itu tidak berarti harus memformalkannya lewat Perda Syariat Islam dan sebagainya. (Perda Pencegahan Maksiat saja sulit betul untuk diterapkan secara maksimal). Tetapi yang mesti dilakukan adalah membangun peradaban kita—pola pikir kita, seluruh orang Gorontalo—dengan menggali nilai-nilai positif yang ada di daerah sendiri; yaitu nilai dan kultur Islami.

Bukan pula berarti Gorontalo mesti kembali ke peradaban masa lalunya, atau tenggelam dalam nostalgia kejayaannya. Tidak begitu. Tetapi nilai-nilai yang ada di masa itu disuburkan kembali untuk membangun karya agung baru, yaitu nilai progresif, ekspresif dan demokratis yang berpokok pada supremasi intelektual. Konfigurasi nilai semacam itulah yang membentuk jatidiri orang Gorontalo sehingga mampu menciptakan Ilomata yang kelima, keenam dan seterusnya.

Demikianlah, upaya untuk menciptakan rakyat Gorontalo yang adil dan makmur di masa mendatang amat tergantung kepada seberapa besar niatan seluruh elemen masyarakat dalam membangun daerah dengan berpijak pada nilai-nilai lokal yang ada. Belajarlah kita pada kasus bangkrutnya Indonesia di masa lalu dimana pembangunan ekonomi diselenggarakan secara seksama berdasarkan teori dari para “mafia Barkeley”. Titik persoalannya adalah, teori-teori yang telah terbukti ampuh dalam membangun negara lain dipaksakan diterapkan di Indonesia. Jadilah negara ini di kemudian hari luluh-lantak perekonomiannya, kacau-balau politiknya, carut-marut budayanya, kabur-muram idiologinya. Demikian pula dengan Gorontalo dan daerah-daerah lain di nusantara. Sistem pembangunan yang sentralistik telah mengenyampingkan potensi-potensi lokal. Ada usaha penyeragaman di seluruh Indonesia. Akibatnya adalah kegagalan pembangunan peradaban di seluruh Indonesia.

Kepemimpinan Gubernur Tursandi Alwi yang dilanjutkan oleh duet Fadel Muhammad-Gusnar Ismail sedikitnya telah membuka celah-celah ke arah pembangunan peradaban itu. Tinggal bagaimana komitmen rakyat kita—terutama pemerintahan daerah, tentu saja—dalam mencerdaskan putra-putri Gorontalo serta memberikan mereka muatan akhlak dan etika Islami kepada generasi penerus daerah ini. Ketika kita bersungguh-sungguh melakukan kedua ‘tugas’ tersebut, maka satu generasi lagi Gorontalo tak akan ketinggalan dari daerah-daerah lain, bahkan dari negara-negara lain. Dan andaikata pembangunan semacam ini juga dilakukan oleh daerah-daerah lain berdasarkan nilai-nilai lokal yang di tempat masing-masing, maka tentu semua daerah akan semakin maju dan secara otomatis pula negara ini akan mencapai cita-cita Republik Indonesia yang tentram, adil dan makmur.

Sumber: aang




Baca Artikel Terkait: