-->

Senin, 06 Agustus 2018

W.R. Soepratman dikenal sebagai seorang komponis yang menciptakan lagu kebangsaan Indonesia. Judul lagu kebangsaan tersebut adalah Indonesia Raya. Lagu tersebut berhasil membangkitkan semangat persatuan dari berbagai kalangan pejuang yang pada waktu itu masih belum benar-benar bersatu untuk meraih kemerdekaan.W.R Soepratman telah menjalani suka duka sebagai warga negara Hindia-Belanda. Sepanjang sejarah beliau, W.R Soepratman telah berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dengan cara yang unik dan berbeda. Namun apa yang telah beliau berikan kepada negara ini sangat patut dihargai dan biografinya dapat diteladani.


Keluarga Besar

Jakarta yang ketika W.R Soepratman dilahirkan masih bernama Batavia menjadi kampung halaman pencipta lagu kebangsaan ini. Ia merupakan anak lelaki satu-satunya yang dimiliki oleh Siti Senen dan suaminya, Djumeno Senen Sastrosoehardjo. Kelima saudara kandungnya yang lain berjenis kelamin perempuan.W.R Soepratman dilahirkan dengan nama asli Wage Soepratman tepat pada jam 11 siang tanggal 09 Maret 1903 di kawasan Jatinegara, Batavia. Orangtuanya memberi nama Wage disebabkan waktu kelahirannya yang bertepatan dengan pasaran Wage -salah satu waktu pasaran dalam kepercayaan Jawa.

Nasib menempa Soepratman kecil dengan cukup keras. Ia harus kehilangan ibundanya yang menjadi sumber semangat belajar di sekolah Boedi Oetomo Jakarta di usia 6 tahun. Setelah kepergian mendiang ibundanya, ayahnya yang merupakan Sersan di ketentaraan KNIL tidak cukup mampu membiayai kehidupan seluruh anaknya dan membesarkan mereka sendirian.

Ketepatan pada tahun yang menjadi ujian terberat dalam perjalanan seorang Wage kecil itu, kakak tertuanya yang bernama Roekiyem Soepratiyah telah dipinang oleh Willem Van Eldik. Nasib yang beruntung tersebut memboyong Soepratiyah ke luar Jawa mengikuti tempat tugas suaminya. Akhirnya pasangan suami istri tersebut membawa serta Wage Soepratman ke luar Jawa.

Kehidupan di Makassar

Wage di mata keluarga besarnya menjadi anak emas. Dialah keturunan keluarga Senen satu-satunya yang berjenis kelamin laki-laki. Kenyataan ini menjadikannya memikul banyak harapan keluarga. Suatu saat dia harus bisa mengangkat martabat keluarganya dengan cara melanjutkan sekolah hingga ke jenjang tinggi. Untuk bisa mewujudkan harapan keluarganya itu, Wage pun menurut saja dibawa kakak iparnya dan ikut hidup bersama mereka.

Sebenarnya kakak iparnya yang bernama Belanda itu tidak memiliki darah Belanda sama sekali. Namun ia mendapatkan peruntungan nasib dengan menjabat sebagai petugas administrasi di kantor kepolisian Belanda. Karena pekerjaan inilah ia harus menurut saja perintah atasan yang mengharuskan ia pindah ke Makassar di Sulawesi Selatan.

Willem Van Eldik bergabung dalam korps musik di kantornya. Ia sangat menyukai musik, begitu juga dengan istrinya yang selain bermain dan menikmati musik, ia juga menyukai sandiwara. Sandiwara dan beberapa karya seninya banyak yang dipentaskan di daerahnya sana.

Selain mempelajari musik yang pada akhirnya menjadikan Soepratman seorang master biola dan gitar, Soepratman juga bersekolah. Hebatnya, ia bersekolah di sekolah Belanda. Hanya orang-orang pribumi tertentu sajalah yang boleh menduduki bangku ELS (Europe Large School). Soepratman berhasil menembus keketatan sekolah itu karena diakui sebagai anak oleh kakak iparnya. Untuk memperkuat pengakuan palsu tersebut, Eldik menambahkan nama ‘Rudolf’ di tengah nama asli Wage Supratman. Yang sampai saat ini, tiga kata namanya tersebut dianggap sebagai nama asli oleh sebagian besar masyarakat. Pada akhirnya nama tersebut disingkat menjadi W.R.Soepratman.

Drop Out Sekolah

Setelah menjalani sekolah selama beberapa waktu di ELS Makassar, pihak sekolah berhasil membuktikan bahwa Soepratman bukan anak Van Eldik. Karena kebohongan yang ditutupi itulah Soepratman harus mengalami drop out. Daripada menjadi pengangguran, akhirnya dengan sisa semangat sebagai pelajarnya, Soepratman muda masuk ke sekolah anak Melayu di Makassar dan mendapatkan ijazah resmi pada tahun 1917.

Semangat belajar Soepratman memang tidak bisa diragukan. Kebanyakan anak pribumi sudah merasa sangat beruntung bisa menikmati sekolah dasar dan lanjutan lalu kembali ke rumah dan membantu orangtuanya menyelesaikan pekerjaan rumah. Namun bagi Soepratman, pendidikan adalah kehidupan. Dengan dukungan dari kakak kandung dan iparnya, ia berhasil melanjutkan pendidikan kursus bahasa Belanda. Soepratman menyelesaikan kursus langka tersebut dalam waktu 2 tahun saja. Kesuksesan tersebut membawanya menyabet gelar KAE (Klein Amtenaar Examen).

Pada tahun 1920 setelah Wage sukses menjadi orang terpelajar yang dapat menguasai bahasa penjajah, ia melanjutkan ke Normaal School, sebuah sekolah keguruan yang dibuat untuk menyiapkan tenaga pendidikan dan kependidikan. Di tahun itu juga Wage menjadi founder sebuah grup musik beraliran jazz yang diberinya nama Black and White. Band jazz ini sempat menjadi trending di wilayah Makassar sampai-sampai Wage dan teman-temannya kewalahan menerima job dari orang-orang yang memiliki hajatan atau pesta. Band ini juga yang melambungkan namanya di kalangan militer Makassar.

Perjalanan Karir

Dalam perjalanannya menjadi seorang guru, Wage sempat dipindah tugaskan ke kota Singkang yang keadaannya sangat berbeda dengan Makassar. Keamanan di Singkang tidak terjamin, kehidupannya pun amat berbeda. Karena itulah Wage kemudian ngotot kembali ke Makassar. Sesampainya di Makassar ia harus mencopot pekerjaannya sebagai guru. Kemudian ia beralih profesi di Firma Nedem dan menduduki posisi klerk.

Di pekerjaannya yang kedua, ternyata Wage juga tidak dapat bertahan lama. Iapun kemudian berpindah menjadi pegawai advokat di kantor advokat milik rekan kakak iparnya. Namun rasa kangen pada keluarga besar yang ada di Jawa membuat Wage meninggalkan pekerjaannya yang ketiga. Ia pun memilih kembali ke rumah kakaknya yang kedua di Surabaya, Jawa Timur.

R.Koesnendar Kartodiredjo adalah suami dari Roekinah Soepratirah, saudara perempuannya yang tertua kedua. Di Surabaya, Wage hanya mengunjungi keluarga kakaknya yang bekerja di kantor pelayaran saja. Hari-hari selanjutnya menyuruh Wage kembali ke Jawa bagian barat untuk bertemu dengan ayah kandungnya. Tidak ada yang menginginkan kehidupan sebagai pengangguran serabutan, namun itulah yang menimpa Wage Soepratman saat berada di kampong halamannya. Band tidak lagi menjanjikan di tanah ini.

Wage mencoba peruntungan lain dengan cara melamar lowongan sebagai wartawan di sebuah surat kabar yang berkantor di Bandung, Jawa Barat. Di surat kabar ‘Kaum Muda’ inilah bakat musiknya kembali muncul. Ia kemudian memutuskan masuk keanggotaan sebuah grup musik. Di perjalanannya sebagai wartawan, ia bertemu dengan banyak orang. Setelah setahun menjadi wartawan, seorang rekan baru bernama Harun Harahap memiliki rencana membuat kantor berita baru yang akan bermarkas di Jakarta.

Kembali ke Jakarta

Kantor berita yang didirikan oleh Harahap dinamai ‘Alpena.’ Wage ikut bekerja di kantor berita tersebut. Karena tinggal di Jakarta yang saat itu sedang dilanda semangat kepemudaan dan kebangkitan, akhirnya tumbuh suburlah jiwa nasionalisme Wage Soepratman. Ia berkenalan dengan banyak tokoh pergerakan nasional dan mulai menyiapkan diri ikut berkontribusi untuk kemerdekaan Indonesia.

Naluri kewartawanannya belum padam, malah semakin berkobar seiring ditutupnya surat kabar Alpena yang menjadi tempatnya bekerja. Wage kemudian pindah ke surat kabar Sin Po. Tugasnya sebagai wartawan Koran Sin Po menuntutnya untuk sanggup meliput segala perkembangan dalam setiap rapat pemuda pergerakan nasional. Dari sinilah kemudian ia mulai aktif terlibat dalam pergerakan nasional. Pada waktu itu usianya masih sekitar 23 tahun yang juga bisa digolongkan sebagai pemuda.

Nasiblah yang mengharuskan Soepratman hidup melarat karena telah memilih menjadi pejuang pergerakan nasional. Jika dulu di Makassar ia dekat dengan orang-orang Belanda dan mendapatkan segala fasilitas yang terkesan berlebihan, sekarang ia harus bekerja mati-matian untuk sekedar hidup di bilangan Rawamangun. Tempat tinggalnya sangat kecil, kumuh dan bahkan dibuat dari bambu.

Menjadi Buronan

Meskipun harus menderita, entah mengapa hati kecil Soepratman sangat terikat dengan kondisi perjuangan di Jawa. Tulisan-tulisannya yang diterbitkan di Sin Po semakin hari semakin terang-terangan menyudutkan pemerintahan Hindia Belanda. Iapun mulai masuk ke daftar perhatian polisi Belanda. Namun Wage masih tenang saja, ia malah menyamankan diri dengan berjualan buku-buku bekas untuk memenuhi kebutuhannya di kota besar itu. Sama sekali tidak ada rasa takut di hatinya karena menjadi perhatian Belanda.

Akibat saking seringnya ia bersinggungan dengan tokoh-tokoh nasional, tulisan Soepratman semakin menggelisahkan. Pidato menggelora dari Sang Singa Podium dan kawan-kawannya semakin mengikhlaskan hati Wage melepaskan kehidupan gemerlapnya di Makassar. Keterlibatannya dalam dunia politik dan pergerakan nasional semakin keras menempanya. Kini Wage tidak lagi membatasi diri sebagai wartawan yang mencari berita, namun juga ikut memberi sumbangan pemikiran dan pendapat-pendapat untuk kemerdekaan Hindia Belanda.Sponsors Link

Berjuang Lewat Musik

Wage Rudolf Soepratman yang memang berjiwa seni kembali bangkit dari dunianya yang lain. Ia memberi kontribusi pada kemerdekaan melalui karya musik. Beliau menciptakan banyak lagu bernuansa persatuan. Lagu pertama yang berhasil diselesaikannya sekarang dikenal dengan judul ‘Dari Sabang Sampai Merauke.’ Dahulu ketika Soepratman menciptakannya, lagu tersebut berjudul ‘Dari Barat Sampai ke Timur.’

Lagu terakhir yang sempat dibuatnya berjudul ‘Matahari Terbit.’ Namun lagu paling fenomenal yang membuat nyawanya terancam adalah ‘Indonesia Raya.’ Efek dari lagu Indonesia Raya tersebut benar-benar berhasil menyatukan rakyat Indonesia. Pembuktiannya bisa dilihat saat Kongres Pemuda II.Sebenarnya Indonesia Raya sudah selesai di tahun 1926 dan Wage hampir membawakannya pada Kongres Pemuda I tanggal 30 April hingga 2 Mei 1926. Sayangnya Wage muda masih kurang percaya diri. Akhirnya ia baru membawakan instrument Indonesia Raya di Kongres Pemuda II yang melahirkan sumpah pemuda di tanggal 28 Oktober tahun 1928.

Keberaniannya menguat karena Soegondo Djojopoespito menyuruhnya membawakan instrumen lagu Indonesia Raya dengan diiringi tim paduan suara ‘Indonesia Merdeka.’Lagu tersebut berhasil membangkitkan jiwa persatuan para pemuda dari seluruh nusantara. Akhirnya lagu Indonesi Raya dinyanyikan di setiap pertemuan pergerakan nasional. Seharusnya Wage mendapatkan penghargaan dari semua pihak dan rakyat Indonesia. Namun saat itu, nyawanya semakin terancam karena Indonesia Raya semakin sering dinyanyikan. Meskipun Belanda sudah melarang menyanyikannya di luar ruangan dan menyuruh menghapus kata ‘merdeka,’ namun rakyat tidak pernah menghiraukan.

Akhir Hayat

Kejaran polisi Belanda mengharuskannya berpindah tempat tinggal terus menerus. Ia terus berusaha mempertahankan diri karena Ir. Soekarno pernah menyuruhnya terus berjuang untuk kemerdekaan dalam pertemuan di pengadilan Bandung. Selepas itu Ir. Soekarno harus mendekam dalam penjara sesuai dengan putusan hakim. Perkenalannya dengan dr. Soetomo juga semakin mengobarkan stamina perjuangannya.

Terakhir kali Wage melarikan diri ke Surabaya. Di sana ia sakit dan tidak kunjung sembuh. Namun ia masih tetap ngotot memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Saat itu polisi berhasil meringkusnya di jalan Embong Malang ketika Wage memimpin paduan suara yang disiarkan oleh NIROM (RRI). Polisi militer Belanda dengan puas menjebloskannya ke penjara Kalisosok.

Di penjara, kesehatan Wage semakin memprihatinkan. Ia dipulangkan dan takdir menghentikan penderitaannya tepat pada tanggal 17 Agustus 1938 jam 00.00 dan pasarannya Rabu Wage. Ia meninggal dengan meninggalkan pesan pada sahabatnya. Wage mengatakan dia ikhlas berjuang untuk kemerdekaan Indonesia meskipun ia belum sempat menikmati kemerdekaan, namun ia yakin suatu saat Indonesia pasti merdeka.

Tempat meninggalnya di Jalan Mangga 21 Surabaya dijadikan museum W.R. Soepratman yang menyimpan duplikat biola legendarisnya. Wage dimakamkan di TPU Kapas. Lalu berpindah ke Jalan Tambak Segaran Wetan pada tanggal 20 Mei 1953. Setelah ia diakui oleh pemerintah, makamnya kembali dipindahkan di Kenjeran pada tanggal 25 Oktober 1953. Ia meninggal tanpa sempat mencicipi manisnya kemerdekaan sekaligus manisnya berkeluarga. Bahkan ia tidak mengangkat seorang anak pun dalam sejarah hidupnya. Namun sumbangsihnya yang turut mewarnai sejarah bendera merah putih akan selalu dikenang seluruh rakyat Indonesia.




Baca Artikel Terkait: