-->

Senin, 27 Maret 2023

 KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA



Disusun Oleh:

Kelompok: 

Emira Adilla Harahap

Mila Hariyanti Ritonga





DOSEN PENGAMPU: AFDAL ILAHI M.Pd





INSTITUT PENDIDIKAN TAPANULI SELATAN(IPTS)

FAKULTAS IPS DAN BAHASA

PROGRAM STUDI PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

TAHUN 2023/2024



KATA PENGANTAR


Segala puji bagi Allah, yang masih memberikan kita rahmat Nya yang begitu besar serta Nikmat dan karunia Nya yang tak terhingga, sehingga kita masih bisa melakukan aktivitas kita secara normal sebagai mana mestinya. Selanjutnya shalawat bertangkaikan salam kepada arwah nabi besar Muhammad SAW, yang merupakan Uswatun Hasanah bagi seluruh Alam, sebaigai suri tauladan yang baik dan yang syafaatnyalah yang kita harapkan di yaumil akhir kelak. Syukur Alhamdulillah kami ucapkan kepada Allah SWT, atas karunia Nya lah sehingga kita masih dapat menyelesaikan Tugas Makalah Mata Kuliah Hukum islam ini dengan tepat pada waktunya. Didalam penulisan maupun isi didalam makalah ini, tentunya masih jauh dari kata sempurna dan masih terdapat banyak kesalahan serta kekurangan, untuk itu kami harapkan berupa kritik dan saran bapak maupun pembaca untuk makalah ini agar lebih baik kedepannya. Terimakasih


                Padangsidimpuan, 11 Maret 2023

    Penulis

                Kelompok 6 












DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I : PENDAHULUAN 1

Latar belakang 1

Rumusan masalah 1

Tujuan 1

BAB II : PEMBAHASAN 2

Realitas Sejarah Hukum Islam Di Indonesia 2

Prospek hukum islam di indonesia 3

Tantangan dan peluang hukum islam di indonesia..............................................6

BAB III : PENUTUP.............................................................................................................11

Kesimpulan........................................................................................................11

Saran..................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................12


BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kedudukan hukum Islam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak terlepas pengaruhnya masuknya Islam kenusantara pada abad ke 12 dan ke 13 masehi di mana pada masa itu para penyebar agama Islam di nusantara menganut mazhab syafi’i. Perjalanan sejarah transformasi Hukurn Islam sarat dengan berbagai dimensi historis, filosofis, politik, sosiologis dan yuridis. Hukum Islam di Indonesia terlihat dari dua sisi. Pertama, hukum Islam berlaku secara yuridis formal atau dikodifikasikan dalam sturuktur hukum Nasional. Kedua, hukum Islam berlaku secara normatif yakni diyakini memiliki sanksi atau padanan hukum bagi masyarakat muslim. 

Hukum Islam dewasa ini sebagian merupakan hukum yang tidak tertulis dalam kitab perundang-undangan.Akan tetapi, menjadi hukum yang hidup,berkembang, berlaku, serta dipatuhi oleh masyarakat Islam yang berdiri sendiri disamping Undang-Undang tertulis. Hal ini merupakan keharusan sejarah untuk memenuhi kebutuhan serta hajat hidup masyarakatnya, apalagi masyarakat Indonesia sebagian besar beragama Islam. Dari sudut filsafat amat tepatlah meninju nilai-nilai hukum Islam dan eksistensinya dalam praktek pengadilan agama.


Rumusan Masalah

Bagaimana kedudukan hukum islam di indonesia?

Bagaimana realitas sejarah hukum islam di indonesia?

Bagaimana Prospek hukum islam di indonesia?

Bagaimana Tantangan dan peluang hukum islam di indonesia?


Tujuan

Untuk mengetahui kedudukan hukum islam di indonesia

Untuk mengetahui realitas sejarah hukum islam di indonesia

Untuk mengetahui Prospek hukum islam di indonesia

Untuk mengetahui tantangan dan peluang hukum islam di indonesia




BAB II

PEMBAHASAN


Realitas Sejarah Hukum Islam di indonesia

 Apabila mengkaji sejarah hukum (legal history) Hindia Belanda tentang kedudukan Hukum Islam dapat dibagi atas dua periode yaitu:

Periode penerimaan hukum Islam sepenuhnya (pada kejayaan kerajan-kerajaan Islam di nusantara). Periode ini dikenal dengan teori reception in complexu.

 Periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat, artinya hukum islam mengikuti hukum adat masyarakat yang dikenal dengan teori receptie. Teori ini dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronye.


  Terlepas dari kedua teori tersebut, hukum Islam di zaman Hindia Belanda masih tetap berlaku, meskipun dalam bidang-bidang hukum perdata tertentu saja. Hukum Waris misalnya pada pertengahan tahun 1937 pemerintah Hindia belanda memberikan kewenangan untuk mengatur kewarisan ke Pengadilan Negeri dengan Stablat 1937 No. 116 dengan alasan hukum waris Islam belum diterima sepenuhnya oleh hukum Adat.Namun, peradilan agam tetap merupakn peradilan yang menyelesaikan sengketa perdata perkawinan bagi umat Islam dan berdasarkan hukum Islam. Kedudukan hukum Islam dalam politik hukum di Indonesia Ismail Suny membagi atas dua periode yaitu:

 1. periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasive yaitu sumber hukum yang orang harus diyakini untuk menerimanya.

 2. periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber otoritatif itu sumber hukum yang mempunyai kekuatan.

 Pendapat Ismail Suny didasarkan pada pembentukan Negara Kesatuan Indonesia di mana Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945, berdasarkan dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal II aturan perlaihan dikatakan segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini. Di samping itu, Pasal 29 ayat (1) dan (2) dikatakan bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 mengaskan bahwa segala warga bersamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahandan wajib menjunjung hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 27 ayat (1) menjamin hak-hak warga negara yang bersifat umum sedangkan Pasal 29 ayat (2) menjamin hak warga negara di bidang agama.

 Penafsiran sistimatis Pasal 27 ayat (1) yang menjamin kemerdekaan untuk memeluk agamanya masing-masing adalah hubungan lex general dan lex specialis. Bertolak dari ketentuan peralihan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2), UUD 1945 nilai-nilai etika dan hukum Islam berpotensi untuk menjadi hukum Nasional. Persoalan dalam sistem hukum nasional, hukum Islam adalah hukum tidak tertulis seperti halnya hukum adat. Kapan hukum tidak tertulis dijadikan dasar dalam penerapan hukum atau dalam pelaksanaan kenegaraan.


Prospek Hukum Islam di Indonesia

 Rakyat Indonesia adalah mayoritas beragama Islam, dapat berkehendak untuk memberlakukan nilai-nilai etika dan hukum Islam dalam praktek kenegaraan. Penegakan supremasi hukum berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) secara universal mengalami degradasi. Kondisi tersebut, antara lain disebabkan banyak peratuan perundangundangan yang dibuat oleh pemerintah pada masa lalu tidak mencerminkan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan yang bersendikan hukum agama dan hukum adat.


 Subtansi hukum yang tidak mencerminkan nilai-nilai rtika dan hukum masyarakat pemberlakuannya kurang efektif, bahkan sikap otiriter pemerintah untuk memaksakan hukum itu berlaku (teori kekuasaan). Padahal secara ideal hukum itu akan diterima, apabila subtansi hukum merupakan adopsi dari nilai-nilai hukum yang dianut oleh masyarakat. Umat Islam sebagai penduduk yang mayoritas di Indonesia, hukum Islam sangat memiliki peluang yang besar mengkontribusi nilai-nilai hukumnya terhadap hukum nasional. Negara Indonesia dibentuk atas dasar hukum, syarat sebagai negara hukum, minimal memenuhi tiga unsur, yaitu adanya 1) kedaulatan rakyat 2) adanya HAM dan 3) adanya yang bebas dan merdeka. Negara Indonesia adalah negara hukum bukan berdasarkan kekuasaan Sumber hukum dari segala sumber hukum nasional Indonesia adalah Pancasila, karena itu berlaku hukum agama dan toleransi antara umat beragama dalam masyarakat berbangsa dan bernegara.


 Dalam amandemen UUD 1945 tahap ketiga disebutkan bahwa sebagai negara demokrasi Indonesia menjunjung kedaulatan rakyat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) berbunyi kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Sedangkan pernyataan sebagai negara hukum disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) yaitu negara Indonesia adalah Negara hukum. Konsep dasar ini berbeda dengan teori kontrak sosial dan tentang kedaulatan rakyat, di mana hukum berdasarkan kedaulatan rakyat itu sendiri. 


Kedaulatan rakyat dalam kontek negara Indonesia adalah kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diliputi oleh Ketuhanan Yanh Maha Esa dan sila-sila dari Pancasila. Berdasarkan teori lingkaran kensentris yang menunjukkan betapa eratnya hubungan agama, hukum dan negara. Karena itu, dengan penduduk yang mayoritas Islam, tentu hal tersebut dapat dijadikan paramenter bagaimana negara Indonesia dalam pembangunan hukum di masa depan. Dengan demikian, pendapat yang memisahkan agama dengan negara adalah bertentangan dengan nilai-nilai sunatullah (hukum alam). 


Sebagai negara berdasarkan atas hukum yang berfalsafat pancasila melindungi agama dan memberikan jaminan untuk umat beragama, menjalankan syari’at agamanya, bahkan berusaha untuk memasukan ajaran dan hukum agama Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti pernyataan proklamator Mohammad Hatta, bahwa peraturan negara hukum RI, syari’at Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis dapat dijadikan peraturan perundang-undangan Indonesia sehingga orang Islam mempunyai sistem syari’at yang sesuai dengan kondisi indonesia.


 H. Muchsen dalam estimasi dan harapannya bahwa di masa akan datang semakin banyak lagi muatan-muatan Islam bisa masuk dan mewarnai perundang-undangan. Harapan ini tiak berlebihan dilihat dari beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum Islam, seperti UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU Nu. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji dan UU No. 36 tentang Pengelolaan Zakat. Namun, ke depan harapan tersebut apakah mungkin terwujud? Hal ini dapat dibuktikan dengan political wiil pemerintah dalam menggali dan memahami nilai-nilai etika dan hukum Islam yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Islam. Dalam konteks hukum Nasional, hukum Islam dan hukum adat juga dapat dijadikan sebagai sumber hukum nasional.


 Dalam penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman dilelaskan bahwa dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali hukum dari nilia-nilai hukum yang hidup dikalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu melayani perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, hakim dapat memberikan keputusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.


 Hukum Islam masih berada pada tatanan cita-cita (ius cosntituendum) belum berada pada tatanan aplikasi sebagai hukum positif (ius costitutum). Agar nilai-nilai etika dan hukum Islam berlaku dalam masyarakat, maka nilainilai etika dan hukum Islam itu harus dituangkan dalam bentuk UU. Apabila diikuti perkembangan sidang MPR Tahun 2002 lalu, dari fraksi Partai Bulan Bintang dan fraksi partai Persatuan Pembangunan sangat tegas untuk memasukkan kembali tujuh kata dari Piagam Jakarta (dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk pemeluknya) untuk dimasukan pada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Keinginan kedua fraksi tersebut dengan pertimbangan apabila hukum Islam dapat diberlakukan sebagai hukum nasional maka telah mempunyai dasar untuk itu.

Tantangan dan Peluang Hukum Islam di Indonesia 

Harapan untuk menjadikan hukum Islam sebagai hukum nasional (dipositifkan), tergantung dari konfigurasi sistem pemerintahan. Selama pemerintahan Orde Baru konfigurasi politik hukum tidak domokratis. Di mana susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijaksanan negara. Konfigurasi ini ditandai oleh dorongan elit kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi pimpinan negara untuk menentukan kebijaksanaan negara dan dominasi kekuasaan politik oleh elit politik yang kekal, serta dibalik semua itu ada satu doktrin yang membenarkan konsentrasi kekuasaan.


 Konfigurasi politik seperti itu, dimungkinkan akan berlaku pada masa pemerintahan 2005-2009 apabila kemenangan presiden berada pada kelompok Koalisi Kebangsaan. Dalam suatu sistem pemerintahan yang menganut oposisi terbuka, apabila eksekutif menguasai juga legislatif, tentunya setiap kebijaksanaan akan diamankan oleh legislatif, padahal untuk menjaga keseimbangan perlu pengawasan dari legislatif terhadap eksekutif, berarti membutuhkan di legislatif keseimbangan antara partai pemerintah dengan partai yang oposisi.


 Keadaan ini dikuatirkan akan terjadi tarik menarik antara kepentingan politik penguasa dan kepentingan umat Islam. Seperti pada masa sebelumnya, ada dua hal yang menciptakan perbedaan kepentingan tersebut.

 1. motivasi pilitik pemerintah legal policy yang mengedepankan nilai-nilai sekuler, dengan dalih hukum Islam tidak revelan dengan kondisi sosial serta pertimbangan pluralisme yang terdapat di tengah-tengah masyarakat. Sehingga segala kebijakan politik hukum dibentuk dan diarahkan kepada pengurangan peran hukum agama.

 2. umat Islam mempersepsikan bahwa hukum Islam dan lembaga pendidikan adalah bagian dari kewajiban agama (panggilan syar’i) yang mesti dan wajib kifayah untuk dilaksanakan dan dipertahankan. Pengabaian terhadap hukum Islam dan lembaganya, sama saja halnya pengabaian dan durhaka pada hukum-hukum Allah.


 Oleh sebab itu, dengan sagala daya dan upaya wajib dijalankan dan dipertahankan. Namun, yang sering menjadi pemenang dalam konteks pergumulan tersebut adalah pihak penguasa karena didukung oleh kekuatankekuatan pemaksa. Hal ini dapat dibuktikan dengan setiap produk hukum yang dalamnya mengandung nilai-nilai hukum Islam, selamanya mendapat tantangan dikalangan yang kelompok tidak menginkan hukum Islam diberlakukan. Bahkan terlibat polemik baik secara nasional maupun internasional. Seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama dan terakhir UU Pendidikan Nasional. Jika hal itu akan terjadi bagaimana dengan posisi hukum Islam. Lembaga Peradilan selain Peradilan Militer telah menjadi satu atap dalam lingkungan Mahakamah Agung. Tentunya posisi Peradilan Agama mempunyai peran dan tugas yang sama dengan peradilan lainnya. Untuk diberlakukan suatu nilai hukum yang hidup alam masyarakat menjadi hukum positif melalui legislatif dan yurisprudensi.


 Hukum Islam dapat diberlakukan melalui jalur putusan-putusan hakim (yurisprudensi) sangat mempunyai harapan. Karena umat Islam adalah umat yang mayoritas di Indonesia, serta mempunyai satu keyakinan bahwa seluruh perintah dan larangan dalam agama akan ditaati. Keyakinan ini akan melahirkan suatu kesatuan faham bahwa ajaran Islam (nilai etika dan hukum) akan diterapkan dalam pelaksanaan kenegaraan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Indonesia bekerja sama dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional 1978 dan 1979 di empat belas daerah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, menunjukkan bahwa peserta 80% dari jumlah responden yang ditanyai menunjukkan keinginan untuk diberlakukan hukum Islam.


 Fakta ini membuktikan bahwa hukum Islam sebagai hukum yang berkembang di tengah-tengah masyarakat mereka dipandang sebagai hukum yang dapat memenuhi rasa keadilan. Ada empat peluang untuk diberlakukan hukum Islam sebagai hukum nasional.

1. hukum Islam yang disebutkan dan ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dapat berlaku langsung tanpa harus melalui hukum adat.

2. Republik Indonesia dapat mengatur suatu masalah sesuai dengan hukum Islam, sepanjang pengaturan itu hanya berlaku bagi umat Islam,

3. Kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia adalah sama dan sederajat dengan hukum adat dan hukum Barat, karena itu

 4. hukum Islam juga menjadi sumber hukum pembentukan hukum nasional akan datang di samping hukum adat, hukum Barat dan hukum lainnya yang tumbuh dan berkembang dalam negara Indonesia.




 Di samping empat peluang tersebut, peluang yang sangat menentukan keberlakuhan hukum Islam secara nasional adalah keputusan-keputusan hakim peradilan agama atau keputusan hakim selain peradilan agama yang menjadikan hukum Islam sebagai dasar putusannya. Penyatuan peradilan agama dengan Mahakamah Agung, menunjukkan bahwa nilai-nilai hukum Islam dapat diterima dalam pelaksanaan hukum di Indonesia.


 Terbentuknya advokasi Syari’ah yang memberikan bantuan hukum kepada umat Islam pencari keadilan, walaupun hanya pada lingkungan Peradilan Agama. Demikian pula pemberian otonomi khusus bagi Daerah Nangro Aceh Darussalam (NAD), syari’at Islam telah diberlakukan dan dijadikan sebagai hukum nasional yang berlaku khusus untuk NAD. Permintaan pemberlakuan hukum Islam juga di daerah Sulawesi Selatan, di Baten bahkan organisasi massa seperti forum pembela Islam, dan lain-lain. Makmurnya umat Islam mengamalkan ajaran Islam, pemakaian jilbab, orientasi pemerintah terhadap pendidikan pesantren, Rumah Sakit Islam, lembagalembaga keuangan, Bank Syari’ah, Asuransi Syari’ah dan badan ekonomi syari’ah lainnya.

 Nilai-nilai etika dan hukum Islam yang diterapkan itu akan pada akhirnya dapat dijadikan sebagai hukum Nasional dan berlaku untuk semua rakyat indonesia. Upaya melaksanakan hukum Islam kaitannya dengan sistem hukum positif di Negara Indonesia atau Negara hukum Islam dan Negara sudah banyak ditulis. Hal ini, mau tidak mau harus merujuk terhadap beberapa undang-undang yang mencerminkan atau menunjukkan kepada kita yang sarat dengan hukum Islam. Oleh karena itu, UU tentang Zakat, PP tentang perwakafan, UU tentang Haji, dan kompilasi hokum Islam (KHI), mengisi pelaksanaan hukum Islam dengan sistem hukum Nasional, atau disebut hukum Islam yang telah menjadi hukum nasional.

Dari peraturan perundang-undangan diatas, tampak bahwa dimasa pemerintahan Hindia Belanda, hukum Islam telah diakui eksistensinya sebagai hukum positif yang berlaku bagi orang indonesia, terutama mereka yang beragama Islam dan perumusan-perumusan, ketentuan-ketentuan itu dalam perundang-undangan ditulis satu napas dan sejajar dengan hukum adat.  Sejalan dengan berlakunya hukum Islam itu pemerintahan Hindia Belanda membentuk Pengadilan Agama, dan berdiri pula Pengadilan Negeri. Kemudian diiringi terbentuknya Pengadilan Tinggi agama (Mahkamah Syar’iyyah), yang berfungsi sebagai Pengadilan Tinggi Banding.


Pada periode kedua pemerintahan Hindia Belanda terjadi perubahan secara sistematis Regeerings Reglement  menjadi Wet op de Staats Inrichting van Nederlands Indie atau  Staats Regeling atau IS pada tahun 1925 seterusnya dengan dimana dinyatakan hukum Islam tidak lagi mempunyai kedudukan yang tersendiri.  Hukum Islam baru dianggap berlaku sebagai hukum apabila telah memenuhi 2 syarat, yaitu sebagai berikut:

1.      Norma hukum Islam harus diterima terlebih dahulu oleh hukum kebiasaan (adat masyarakat setempat)

2.      Hukum Islam itu tidak boleh bertentangan ataupun tidak boleh telah ditentukan lain oleh ketentuan perundang-undangan Hindia Belanda.


Kedudukan hukum Islam semakin bertambah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dimana dalam Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya itu.

Perlu kita sadari bahwa hukum kita tentang hak dan kewajiban anak, hukum politik dan politik hukum, hukum dagang, dan lain-lain masih banyak yang berasal dari peninggalan belanda. Hukum Islam harus mampu berbicara mngenai hal tersebut, dan tidak ada alasan untuk takut terhadap hukum Islam seperti pada zaman Orde Lama dan Orde Baru yang masih menegakkan politik “Islam Phobia”.


 Satu hal yang dapat menjadi bukti sekaligus contoh adalah menjadikan hukum Islam menjadi hukum barat yang modern tanpa ada keengganan atau penolakan lantaran dari Islam. Hukum yang berasal dari Islam yang kemudian dikemas menjadi “made in barat” itu tidak sedikit. Nilai-nilai HAM yang kini kita hanya tahu dari barat pada dasarnya banyak yang berasal dari hukum Islam. Pelaksanaan hukum Islam di Indonesia dilandasi oleh dua pendekatan, yaitu:






a.    Pendekatan Formal atau Normatif

Menurut pendapat ini, hukum Islam harus diterapakan kepada mereka yang sudah mengucapkan dua kalimat syahadat atau sudah masuk Islam. Istilah “positivisasi hokum Islam” tidak akan popular, kecuali berarti bahwa mereka yang beragama Islam harus dengan serta merta menjalankan atau dipaksakan untuk menerima hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini dapat diposisikan sebagai pengontrol.

b.     Pendekatan Kultural

Menurut pendapat ini, yang terpenting bukan formalisme penerapan hukum Islam atau dengan pendekatan normatif idiologis. Namun penyerapan nilai-nilai hukum Islam kepada masyarakat itulah yang justru lebih penting. Dengan demikian harus dimulai juga dengan menyerap nilai-nilai hukum universal dalam kerangka kemasyarakatan yang proporsional





















BAB III

PENUTUP


Kesimpulan

 Kedudukan Hukum Islam di Indonesia setera dengan hukum peninggalan Hindia Belanda dan Hukum adat. Penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam, hukum Islam merupakan sumber dalam pembinaan hukum nasional. Hukum Islam akan menjadi hukum nasional ditentukan pada kebijaksanaan pemerintah sebagai legal policy. Politikus, intelek Muslim dan praktisi hukum Islam sangat mempunyai peranan dalam pemberlakuan hukum Islam menjadi hukum Nasional.Hukum Islam adalah Hukum yang berkarakter. Upaya melaksanakan hukum Islam kaitannya dengan sistem hukum positif di Negara Indonesia atau Negara hokum Islam dan Negara sudah banyak ditulis. Hal ini, mau tidak mau harus merujuk terhadap beberapa undang-undang yang mencerminkan atau menunujukkan kepada kita yang sarat dengan hokum Islam. Oleh karena itu, UU tentang Zakat, PP tentang perwakafan, UU tentang Haji, dan kompilasi hukum Islam (KHI), mengisi pelaksanaan hukum Islam dengan sistem hukum Nasional, atau disebut hukum Islam yang telah menjadi hukum nasional.



Saran

Dalam makalah ini pasti banyak terdapat kesalahan dan kekurangan baik dalam penulisan juga isinya, jadi pemakalah mengharapkan adanya masukan dari dosen pengampu dan juga rekan semuanya. Disamping itu, untuk lebih memahami Kedudukan Hukum Islam Di Indonesia pemakalah menyarankan agar lebih banyak membaca sumber bacaan lainnya yang berkaitan dengan Kedudukan Hukum Islam Di Indonesia.







DAFTAR PUSTAKA


Abduh, Muhammad dan Rasyid Ridah, Tafsir Al-Manar, Jilid V Mesir: Maktabah Al-Qhirah, t.th

Daud Ali, Mohammad, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, cet. IV Jakarta: Raja Grafindo Persada,2000























NO

PENANYA

PERTANYAAN

JAWABAN


1.

Arman Ritonga

Bagaimana keduduksn hukum islam di Indonesia dan pembinaan hukum nasional?

Kedudukan hukum Islam dan Hukum Nasional merupakan Sub sistem dari hukum Nasional. Karenanya hukum Isalam juga mempunyai peluang memberikan sumbangan dalam rangka pembentukan dan pembaharuan hukum Nasional.


2.

Hotimah

Coba sebutkan hukum dagang Islam yang berlaku di Indonesia

Hukum dagang itu seperti aturan khusus yang mengatur sepeutar dunia usaha dan kegiatan perusahaan, dan hukum dagang itu juga termasuk kedalam hukum perdata.sedangkan hukum perdata islam di indonesia yaitu yang berkaitan dengan hukum perkawian, kewarisan,aturan jual beli, pinjam meminjam, dan segala yang berkaiatan dengan transaksi.contoh: pegadaian syariah dan bank syariah dll.


3.

Putra parsaulian

Apakah tantangan terberat dalam penyebaran agama islam di indonesia?

Karena Indonesia sangat kental dengan adat istiadat dan masih kental dengan kepercayaan leluhurnya,dan pada saat jaman kerajaan kaum bangsawan tidah ingin statusnya disamakan dengan masyarakatnya. 

Walaupun sudah masuk islam tetap saja iman dan perilakunya tidak mencerminkan dia agama islam, islam hanya digunakan hanya untuk identitas saja, tetapi larangan dan kewajiabanya tidak di laksanakan 





Baca Artikel Terkait: