-->

Jumat, 19 Mei 2023

MAKALAH HUKUM ISLAM

Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Dosen Pengampu : Afdhal Ilahi, M.Pd



Disusun Oleh : Kelompok 7

Lidia Marni HRP

Qosim Ritonga



INSTITUT PENDIDIKAN TAPANULI SELATAN (IPTS)

FAKULTAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL DAN BAHASA

PRODI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

T.A. 2023/2024.


KATA PENGANTAR

Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Hukum Islam yang berjudul “ Hukum keluarga islam ” tepat waktu.

Kami sebagai pemakalah mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang membantu dalam penulisan makalah ini, khususnya kepada Dosen mata kuliah Hukum Islam di Institut pendidikan Tapanuli Selatan Bapak, Afdhal Ilahi, M.Pd. yang telah membimbing dalam menulis makalah ini serta orang tua dan teman-teman yang turut membantu. Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, saya mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, sehingga makalah ini nantinya akan menjadi makalah yang lebih baik lagi.

Padangsidempuan, 16 Februari 2023

Penulis, Kelompok 7 















DAFTAR ISI

    

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I : PENDAHULUAN 1

Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 2

C. Tujuan Masalah 2

BAB II : PEMBAHASAN 3

A. Konsep Hukum Keluarga Islam 3

B. Hukum Pernikahan 3

C. Pengasuhan Anak Dalam Hukum Islam 8

D. Mawaris 10

E. Perwalian 12

BAB III : PENUTUP 14

A.Kesimpulan 14

B.Saran 15

DAFTAR PUSTAKA 16



BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Pada mulanya hukum keluarga Islam terdapat dalam kitab-kitab Fikih konvensional yang hidup dan berkembang di masyarakat, sehingga hukum keluarga Islam tersebut mengalami proses kelembagaan, yang pada akhirnya berubah menjadi hukum tertulis yang harus ditaati dan diakui secara bersama. Sehingga pada abad sembilan belas perjalanan hukum keluarga Islam mengalami perkembangan dan perubahan secara besar-besaran. 

Hukum keluarga selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu,meskipun perubahan tersebut seringkali berbeda-beda dari satu negara ke negara lain. Hukum keluarga juga secara berangsur angsur mengalami perubahan signifikan, terutama ketika masyarakat tengah mengalami kemajuan baik secara sosial, budaya, maupun ekonomi. Termasuk di era globalisasi, kehidupan masyarakat cenderung materialistis, individualistis, kontrol sosial semakin lemah, hubungan suami istri semakin tidak harmonis, kesakralan keluarga semakin menipis. Sehingga faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi terjadinya perubahan hukum yang ada di suatu negara atau masyarakat. Faktor-faktor tersebut menuntut adanya perubahan signifikan dalam hukum khususnya hukum keluarga Islam. 

Hukum keluarga dalam literatur fiqih (hukum )Islan umumnya dikenal dengan istilah hulquq al usrah atau huquq al q;ilah (hak-hak keluarga), ahkam al-usrah (hukum-hukum keluarga) dan qanun al usrah (undang-undang keluarga). Sedangkan dalam literatur berbahasa Inggris istilah "hukum keluarga" dikenal dengan family law. Kendatipun dalam peristilahan antara hukum keluarga menurut Islam dan menurut hukum sekular sama, tapi secara substansial jelas berbeda. Disamping faktor budaya dan sistem keyakinan jelas sangat berbeda dengan hukum sekular, hukum keluarga menurut Islam bersumber pada Alquran dan sunnah. Hukum keluarga dalam Islam mencakup empat subsistem hukum : (1) pernikahan, (2) pengasuhan anak, (3) kewarisan dan wasiat, (4) perwalian dan pengawasan.

Rumusan Masalah

       Adapun rumusan masalah yang akan di bahas diantaranya :

Bagaimana proses pembentukan hukum keluarga islam di Indonesia ?

Bagaimana hukum pernikahan dalam islam

Apakah tujuan di adakannya nadhanah ( pengasuhan anak ) ?

Apa saja yang menjadi rukun waris ?

Apakah yang dimaksud dengan wali ? 

Tujuan Makalah

Adapun tujuan di buatnya makalah ini diantaranya :

Mengetahui proses pembentukan hukum keluarga islam di Indonesia

Mengetahui dan memahami hukum pernikahan dalam islam

Memahami tujuan di adakannya nadhanah ( pengasuhan anak )

Mengetahui apa yang menjadi rukun waris

Memahami pengertian wali




BAB II

PEMBAHASAN

 Hukum Keluarga Di Indonesia

 Pembentukan hukum keluarga di Indonesia, dalam arti pembangunan hukum Nasional sesungguhnya telah berlangsung sejak tahun 1970-an dan sampai saat ini belum dilakukan evaluasi secara mendasar dan komprehensif terhadap kinerja model hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Selama ini ukuran keberhasilan pembangunan hukum selalu dilihat dari segi jumlah produk hukum yang telah dihasilkan oleh lembaga yang berhak mengesahkan Undang-undang.

Di Indonesia proses pembentukan hukum Islam ke dalam hukum nasinonal ditandai dengan masuknya beberapa aspek Islam ke dalam Undang-undang, baik yang langsung menyebutkan dengan istilah hukum Islam, maupun yang tidak menyebutkan langsung. Pembentukan hukum Islam ke dalam hukum nasional memang menimbulkan masalah baru, artinya harus ada unifikasi hukum meskipun memiliki sisi positif dalam hal memenuhi kebutuhan hukum bagi umat Islam. Untuk itu, dibutuhkan unifikasi dan ini tidak bisa terjadi dengan sendirinya, melainkan dibutuhkan kekuatan politik.

Hukum Pernikahan ( munakahat)

Kata pernikahan berasal dari Bahasa Arab, yaitu ‘An-nikah’ yang memiliki beberapa makna. Menurut bahasa, kata nikah berarti berkumpul, bersatu dan berhubungan. Definisi pernikahan dalam Islam lebih diperjelas oleh beberapa ahli ulama yang biasa dikenal dengan empat mahzab fikih. Yakni:

Imam Maliki. Menurut Imam Maliki, pernikahan adalah sebuah akad yang menjadikan hubungan seksual seorang perempuan yang bukan mahram, budak dan majusi menjadi halal dengan shighat.

Imam Hanafi. Menurut Imam Hanafi, pernikahan berarti seseorang memperoleh hak untuk melakukan hubungan seksual dengan seorang perempuan. Dan perempuan yang dimaksud ialah seseorang yang hukumnya tidak ada halangan sesuai syar’i untuk dinikahi.

Imam Syafi’i. Menurut Imam Syafii, pernikahan adalah akad yang membolehkan hubungan seksual dengan lafadz nikah, tazwij atau lafadz lain dengan makna serupa.

Imam Hambali. Menurut Imam Hambali, pernikahan merupakan proses terjadinya akad perkawinan. Nantinya, akan memperoleh suatu pengakuan dalam lafadz nikah ataupun kata lain yang memiliki sinonim.

Pada dasarnya, semua pengertian pernikahan yang disampaikan oleh keempat imam tersebut mengandung makna yang hampir sama. Yakni, mengubah hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sebelumnya tidak halal menjadi halal dengan akad atau shighat.

Banyak tujuan yang ingin dicapai oleh pasangan saat akan mengarungi bahtera rumah tangga. Tentunya salah satunya adalah ingin memiliki keluarga yang bahagia dunia akhirat bersama seseorang yang dicintainya.Tujuan pernikahan dalam Islam juga bersandar pada kebutuhan dan keinginan manusia, seperti:

Memenuhi Kebutuhan Manusia. Pernikahan dalam Islam adalah hal yang suci dan menjadi pertalian antar manusia yang disaksikan oleh Allah. Melalui pernikahan, kebutuhan manusia terutama kebutuhan biologis akan tersalurkan dengan benar dan sesuai aturan Allah. Rasulullah SAW bersabda: "Wahai para pemuda, barang siapa dari kamu telah mampu memikul tanggung jawab keluarga, hendaknya segera menikah, karena dengan pernikahan engkau lebih mampu untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluanmu." (Bukhari Muslim).

Membangun Rumah Tangga. Pernikahan juga bertujuan untuk membangun sebuah keluarga yang tenteram, nyaman, damai, dan penuh cinta serte terwujudnya keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Allah Berfirman: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Ar Ruum: 21).

Meningkatkan Ibadah. Dengan pernikahan, diharapkan akan meningkatkan ibadah, lebih taat dan saling meningkatkan ketakwaaan. Rasulullah SAW bersabda, "Apabila seorang hamba menikah, maka telah sempurna separuh agamanya. Maka takut lah kepada Allah SWT untuk separuh sisanya." (HR. Baihaqi).

Mendapatkan Keturunan. Tujuan pernikahan dalam Islam ini untuk mendapatkan generasi yang akan meneruskan nasab keluarga. Anak-anak soleh solehah akan terlahir dari pasangan yang selalu taat beribadah kepada Allah. Rasulullah SAW bersabda "Nikahi lah perempuan-perempuan yang bersifat penyayang dan subur (banyak anak), karena aku akan berbangga-bangga dengan (jumlah) kalian di hadapan umat-umat lainnya kelak pada hari kiamat.” (HR Ahmad, Ibnu Hibban, dan Thabrani).

Hukum pernikahan ini dilaksanakan berdasarkan kondisi yang terjadi pada kedua calon pasangan pengantin. Hukum pernikahan dalam Islam dibagi kepada beberapa jenis, yakni:

Wajib, jika baik pihak laki-laki dan perempuan sudah memasuki usia wajib nikah, tidak ada halangan, memiliki kemauan untuk berumah tangga dan khawatir terjadi zina. Kondisi seperti ini menjadi wajib untuk segera melangsungkan pernikahan.

Sunnah. Menurut pendapat para ulama, sunnah adalah kondisi di mana seseorang memiliki kemauan dan kemampuan untuk menikah namun belum juga melaksanakannya. Orang ini juga masih dalam kondisi terhindar atau terlindung dari perbuatan zina sehingga meskipun belum menikah, tidak khawatir terjadi zina.

Haram, ketika pernikahan dilaksanakan saat seseorang tidak memiliki keinginan dan kemampuan untuk menikah, namun dipaksakan. Nantinya dalam menjalani kehidupan rumah tangga, dikhawatirkan istri dan anaknya ditelantarkan.

Makruh, apabila seseorang memiliki kemampuan untuk menahan diri dari perbuatan zina. Akan tetapi belum berkeinginan untuk melaksanakan pernikahan dan memenuhi kewajiban sebagai suami.

Mubah, jika pernikahan dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan dan keinginan, akan tetapi jika tidak pun dia bisa menahan diri dari zina. Jika pernikahan dilakukan, orang tersebut juga tidak akan menelantarkan istrinya.



Rukun pernikahan dalam Islam ada 5 hal yaitu:

Calon Pengantin Pria, yang memiliki persyaratan seperti beragama islam, identitas jelas, sehat, baligh, adil dan merdeka.

Calon Pengantin Perempuan, yang memenuhi persyaratan seperti beragama islam, bukan mahram, tidak dalam kondisi terlarang, baligh, sehat dan sebagainya.

Wali, adalah ayah dari pihak perempuan yang diwajibkan kehadirannya.

Saksi, adalah orang yang akan menyaksikan pelaksanaan prosesi pernikahan. Dianjurkan mendatangkan 2 saksi laki-laki yang memenuhi syarat sebagai saksi.

Ijab dan Qabul, adalah akad yang dilakukan calon pengantin pria dan wali dalam prosesi pernikahan.

  Meskipun bukan bagian dari rukun nikah, pemberian mahar dari pihak laki-laki kepada mempelai perempuan dinilai sebagai budaya dan bersifat tidak wajib dan mengikat. Mahar hanya ditekankan untuk meringankan pihak mempelai perempuan.

Syarat sahnya pernikahan dalam islam terbagi kepada beberapa hal, yakni:

Beragama Islam bagi pengantin laki-laki. Untuk non muslim, wajib beragama Islam terlebih dahulu baru pernikahan dapat dilanjutkan.

Bukan laki-laki mahrom bagi calon istri

Mengetahui wali akad nikah. Dalam Islam, pemilihan wali sudah diatur dengan tepat dan tidak sembarangan. Allah menjadikan keluarga dari pihak perempuan seperti ayah, kakek dan seterusnya secara berurutan sebagai wali.

Tidak sedang melaksanakan haji. Rasulullah bersabda: “Seorang yang sedang ber-ihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim).

Tidak karena paksaan. Pernikahan yang dilangsungkan bukan merupakan paksaan dari pihak manapun. Karena menikah adalah atas dasar keinginan calon pengantin sendiri.

   Apabila tidak dilengkapi, maka pernikahan dalam Islam dianggap tidak sah. Selain syarat sah nikah di atas, calon pengantin perempuan juga tidak memiliki kondisi terlarang. Ketika diketahui bahwa sang perempuan terlarang untuk menikah, misalnya dalam masa iddah, maka pernikahannya dianggap tidak sah. Karena posisinya yang bisa menggenapkan setengah agama, maka pernikahan dalam Islam merupakan sesuatu yang tidak boleh disepelekan.

Pengasuhan Anak Dalam Hukum Islam ( hadhanah )

Hukum asal hadhanah adalah wajib bagi kedua orang tua. Dan jika keduanya telah meninggal dunia, maka hadhanah wajib dikerjakan sanak kerabat orang tua atau sanak kerabat terdekat berikutnya. Jika tidak ada sama sekali kerabat, maka wajib dikerjakan oleh pemerintah atau jamaah dari kaum muslimin. Jika terjadi perpisahan antara suami-istri karena talak atau meninggal, maka yang paling berhak meng-hadhanah anak-anak adalah ibunya, jika ia belum menikah lagi.

Hal ini ditegaskan oleh sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi wasallam yang diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dengan menukil dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ada seorang wanita yang mengadu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :


“Wahai Rasulullah! Anak ini dulu pernah menjadikan perutku sebagai wadahnya, payudaraku sebagai sumber minumnya dan kamarku sebagai rumahnya. Kini ayahnya telah menceraikanku dan ingin merampasnya dariku.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada wanita ini, “Kamu lebih berhak terhadapnya selama kamu belum menikah lagi“. (HR Abu Daud, Ahmad, dan al-Hakim).

Imam Ibnul Mundzir dalam Al-Ijma’ menyebutkan kalangan ahli fiqih telah menyebutkan sejumlah syarat hadhanah. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka hak asuh anak hilang. Syarat hadhanah menurut ulama adalah :

Berakal sehat.

Tidak fasik dan seorang yang amanah terhadap syariat Allah.

 Bertanggungjawab dalam mengurus urusan dan mendidik anak yang diasuh.

 Tidak mempunyai penyakit atau tidak punya riwayat penyakit berat yang dapat memudharatkan anak dalam pengasuhannya.

 Tinggal menetap di rumah/daerah anak yang diasuh.

 Ibnul Mundzi menulis : wanita yang akan mengasuh disyaratkan tidak memiliki suami yang bukan kerabat dari sang anak. Apabila pengasuh tersebut menikah dengan kerabat sang anak maka tidak hak hadhanah (kepengasuhan)nya tidak gugur. Seorang ibu akan gugur hak kepengasuhannya terhadap anaknya apabila dia dinikahi lelaki lainnya.

Tujuan disyariatkannya hadhanah ialah untuk melindungi kehidupan anak kecil, membina badannya, membina akalnya, dan membina spiritualnya. Oleh karena itu, hak hadhanah juga akan otomatis gugur dari siapa saja yang tidak dapat mewujudkan tujuan itu. Hak hadhanah gugur jika terjadi hal-hal :

Jika hadhinah (pemegang hak hadhanah) gila atau tidak berakal.

Jika hadhinah menderita penyakit menular.

Jika hadhinah dinilai tidak bertanggungjawab terhadap pribadi dan agama terhadap si anak, bertempat tinggal jauh atau saling berjauhan dengan si anak.

 Jika hadhinah tersebut beragama di luar Islam (tidak mengikuti syariat Allah dan Rasul-Nya), karena dikhawatirkan bisa merusak aqidah si anak.

Mawaris dan Wasiat

Berbicara tentang hukum waris Islam yang memang berlandaskan pada ayat-ayat Al-Qur’an, hal-hal tentang wasiat juga ada dalam Al-Qur’an dan juga Hukum Islam Indonesia. Berikut beberapa di antaranya:Dalam surah Al-Baqarah pada ayat 180, dijelaskan bahwa wasiat merupakan sebuah kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa kepada Allah SWT. Melihat dari gambaran tersebut, pengertian dari wasiat itu sendiri adalah sebuah pernyataan keinginan tentang harta kekayaan milik pewaris setelah meninggal nanti, yang mana hal ini dilakukan sebelum terjadinya kematian.

Tidak hanya dalam surah Al-Baqarah saja, hal-hal tentang wasiat juga tertera pada surah An-Nisa di ayat 11-12. Dalam ayat surah An-Nisa tersebut, menyatakan bahwa dalam hukum waris Islam kedudukan wasiat sangat penting sehingga harus didahulukan sebelum dilakukannya pembagian harta yang ditinggalkan oleh pewaris kepada para ahli warisnya.

       Hukum waris Islam di Indonesia juga diatur dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) sesuai dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Dimana KHI merupakan sebuah Peraturan Perundang-undangan yang menyangkut hal-hal Perwakafan, Perkawinan, termasuk juga hal-hal Pewarisan. KHI sendiri berlandaskan pada Al-Qur’an dan hadis Rasulullah, yang mana akan digunakan secara khusus oleh Pengadilan Agama untuk menjalankan tugasnya dalam menangani permasalahan keluarga masyarakat Islam di Indonesia.

KHI berisi tiga buku yang masing-masing nya dibagi menjadi beberapa Bab serta Pasal. Untuk bidang hukum waris Islam, terdapat di buku II KHI berjudul “Hukum Kewarisan”. Buku KHI bidang hukum waris Islam ini terdiri atas 6 Bab dan 44 Pasal. Rincian dari buku II KHI sebagai berikut:

  Bab 1 : Ketentuan Umum (Pasal 171)

Bab 2 : Ahli Waris (Pasal 172 – Pasal 175)

Bab 3 : Besarnya Bagian (Pasal 176 – Pasal 191)

 Bab 4 : Aul dan Rad (Pasal 192 – Pasal 193)

 Bab 5 : Wasiat (Pasal 194 – Pasal 209)

 Bab 6 : Hibah (Pasal 210 – Pasal 214)

Untuk hal-hal yang mengatur tentang wasiat dalam KHI, terdapat pada Bab V tepatnya di pasal 194 sampai pasal 209. Isinya kurang lebih seperti ini:

Pasal 194 sampai pasal 208 dalam hukum waris Islam KHI, mengatur terkait dengan wasiat biasa. Sedangkan pada pasal 209, lebih mengatur terkait wasiat khusus yang diberikan untuk orang tua angkat atau anak angkat.

Pasal 195 dalam hukum waris Islam KHI, menjelaskan bahwa terdapat dua bentuk wasiat yaitu lisan dan tertulis (baik berupa akta di bawah tangan ataupun akta notaris). Kedua bentuk wasiat ini dianggap sah apabila disaksikan oleh setidaknya dua orang sebagai saksi.

KHI sebagai Hukum waris Islam sepenuhnya, juga mengatur tentang pemberian wasiat. Dimana hukum ini menjelaskan bahwa pemberian harta waris dibatasi dengan ketentuan maksimal 1/3 dari harta waris milik pewaris, atau bisa lebih jika para ahli waris menyetujuinya. Tujuan dari adanya hukum batasan wasiat ini ialah untuk melindungi para ahli waris dan mencegah terjadinya praktik wasiat yang dapat merugikan para ahli waris.

Rukun Warisan

Sama dengan persoalan-persoalan lainnya, waris juga memiliki beberapa rukun yang harus dipenuhi. Sebab jika tidak dipenuhi salah satu rukun tersebut, harta waris tidak bisa dibagikan kepada para ahli waris. Untuk menghindari hal tersebut, berikut beberapa rukun warisan:

Orang yang mewariskan atau secara Islam disebut Al-Muwarrits, dalam hal ini orang yang telah meninggal dunia (mayit) yang berhak mewariskan harta bendanya.

Orang yang mewarisi atau Al-Warits, yaitu orang yang memiliki ikatan kekeluargaan dengan mayit berdasarkan sebab-sebab yang menjadikannya sebagai orang yang bisa mewarisi.

Harta warisan atau Al-Mauruts, merupakan harta benda yang ingin diwariskan karena ditinggalkan oleh mayit setelah peristiwa kematiannya.

Perwalian dan Pengawasan

        Wali dalam pernikahan adalah wali perempuan yang melakukan akad nikah dengan pengantin laki-laki yang menjadi pilihan wanita tersebut.

Sabda Rasulullah SAW :“Janganlah seorang perempuan menikahkan perempuan lain, dan jangan pula ia menikahkan dirinya sendiri (HR. Ibnu Majah dan ad-Daruquṭni).

Senada dengan riwayat di atas, dalam hadis lain Rasulullah Saw. bersabda:Artinya : “Tidaklah sah pernikahan kecuali dengan wali yang dewasa dan dua orang saksi adil”. (HR.Tirmiżi)

Syarat-syarat wali :

Merdeka (mempunyai kekuasaan)

Berakal

Baligh

Islam

Bapak atau kakek calon pengantin wanita yang dibolehkan menikahkannya tanpa diharuskan meminta izin terlebih dahulu padanya haruslah memenuhi syarat-syarat berikut:

Tidak ada permusuhan antara wali mujbir dengan anak gadis tersebut

Sekufu’ antara perempuan dengan laki-laki calon suaminya

Calon suami itu mampu membayar mas kawin

Calon suami tidak cacat yang membahayakan pergaulan dengan calon pengantin wanita seperti buta dan yang semisalnya.










BAB III

PENUTUP

Kesimpulan 

Jadi, kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini diantaranya :

Di Indonesia proses pembentukan hukum Islam ke dalam hukum nasinonal ditandai dengan masuknya beberapa aspek Islam ke dalam Undang-undang, baik yang langsung menyebutkan dengan istilah hukum Islam, maupun yang tidak menyebutkan langsung

Hukum pernikahan dalam Islam dibagi kepada beberapa jenis, yakni:

Wajib, jika baik pihak laki-laki dan perempuan sudah memasuki usia wajib nikah, tidak ada halangan, memiliki kemauan untuk berumah tangga dan khawatir terjadi zina. 

Sunnah. Menurut pendapat para ulama, sunnah adalah kondisi di mana seseorang memiliki kemauan dan kemampuan untuk menikah namun belum juga melaksanakannya. 

Haram, ketika pernikahan dilaksanakan saat seseorang tidak memiliki keinginan dan kemampuan untuk menikah, namun dipaksakan. Nantinya dalam menjalani kehidupan rumah tangga, dikhawatirkan istri dan anaknya ditelantarkan.

Makruh, apabila seseorang memiliki kemampuan untuk menahan diri dari perbuatan zina. Akan tetapi belum berkeinginan untuk melaksanakan pernikahan dan memenuhi kewajiban sebagai suami.

Mubah, jika pernikahan dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan dan keinginan, akan tetapi jika tidak pun dia bisa menahan diri dari zina.

Tujuan disyariatkannya hadhanah ialah untuk melindungi kehidupan anak kecil, membina badannya, membina akalnya, dan membina spiritualnya.

Adapun rukun warisan diantaranya :

Orang yang mewariskan atau secara Islam disebut Al-Muwarrits, dalam hal ini orang yang telah meninggal dunia (mayit) yang berhak mewariskan harta bendanya.

Orang yang mewarisi atau Al-Warits, yaitu orang yang memiliki ikatan kekeluargaan dengan mayit berdasarkan sebab-sebab yang menjadikannya sebagai orang yang bisa mewarisi.

Harta warisan atau Al-Mauruts, merupakan harta benda yang ingin diwariskan karena ditinggalkan oleh mayit setelah peristiwa kematiannya.

 Adapun syarat-syarat wali nikah :

Merdeka (mempunyai kekuasaan)

Berakal

Baligh

Islam

Bapak atau kakek calon pengantin wanita yang dibolehkan menikahkannya tanpa diharuskan meminta izin terlebih dahulu padanya haruslah memenuhi syarat

Saran

Semoga dengan makalah ini pembaca dapat memahami tentang hukum keluarga islam dengan baik sehingga, dapat di gunakan untuk pembelajaran bersama. Penulis mengharapkan pembaca dapat memberi kritikan dan masukan yang bersifat membangun.

DAFTAR PUSTAKA

Ali,Muhammad Daud . 1982 . Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Rahmi, Ria . 2017 .Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Volume: 10, No: 1.
















LAPORAN PRESENTASE

No

Nama Penanya

Pertanyaan

Jawaban


1

Anni Rahayu HSB

Apa yang dimaksud dengan hukum keluarga

Hukum keluarga merupakan hukum perorangan. Hukum keluarga juga di artikan sebagai seperangkat peraturan tentang kekerabatan karena pertalian darah ataupun ikatan ( perkawinan, pengasuhan, perwalian, perceraian, dan kewarisan).


2

Mila Hariyanti

Apakah boleh melakukan pinangan tanpa adanya sepengetahuan orang tua. Kalau boleh tolong sebutkan alasannya dan kalau tidak boleh juga tolong sebutkan alasannya. 



Sanggahan :lalu bagaimana dengan hukum meminang orang yang dalam pinangan orang lain ?

Menurut saya, pinangan boleh di lakukan tanpa sepengetahuan orang tua, karena pinangan adalah proses menuju pernikahan yang tidak wajib untuk dilakukan. Dan pinangan juga bersifat informal sehingga bisa dilakukan tanpa melibatkan orang tua. 







Nah, kalau meminang orang yang sedang dalam pinangan orang lain itu hukumnya haram. Untuk menghindari hal itu ada baiknya pinangan dilakukan dengan sepengetahuan orang tua. 

Berdasarkan syarat pinangan, yang tidak bolah di pinang adalah orang yang sedang dalam pinangan orang lain dan perempuan yang sedang dalam masa iddah karena talak raj’i.


3

Fitri Annur Rambe

Apa saja asas hukum krluarga yang ada di indonesia? dan tolong jelaskan! 

Asas-asas hukum keluarga yang ada di Indonesia diantaranya :

Asas monogami artinya laki laki hanya boleh memiliki satu istri dan sebaliknya . Hal ini terdapat dalam pasal 27 KUHP dan pasal 3 UU No.1 thn 1974.

Asas perjanjian yaitu asas yang mengatur perkawinan atau perwalian itu sah apabila ada kesepakatan dua belah pihak. Hal ini terdapat dalam pasal 28 KUHP dan pasal 1 UU No. 6 1974. 

Asas proporsionalitas yaitu asas keseimbangan hak antara suami istri dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat. Hal ini terdapat dalam pasal 31 UU No. 1 thn 1974.

Asas kebulatan yaitu asas yang menggabungkan harta suami istri.hal ini terdapat dalam pasal 119 KUHP.






Baca Artikel Terkait: