-->

Rabu, 01 Agustus 2018

DIPERKIRAKAN sejak masa pengaruh Hindu-Budha, Kerinci telah mempunyai hubungan dengan daerah sekitarnya. Perhubungan itu puncaknya pada abad 19 sekitar tahun 1815, ketika Belanda berhasil menduduki Muko-Muko dan Indrapura.

Belanda tertarik dan berusaha untuk memasuki daerah Kerinci yang kaya akan hasil buminya. Belanda berupaya mencari jalan ke Kerinci. Mula-mula pada tahun 1900 dari Muko-Muko dikirim sepasukan Belanda mengadakan patroli di Bukit Setinjau Laut. Di puncak Gunung Raya Belanda mendirikan sebuah pesanggrahan dan memasang satu tanda sebagai peringatan kedatangan mereka.

Setelah diketahui adanya Belanda akan menyerang Kerinci, maka rakyat Kerinci menjadi gempar dan marah, karena orang Belanda yang datang itu dianggap kafir. Penduduk Kerinci 100 persen penganut Islam, tentu kedatangan Belanda tidak disukai.

Peperangan di Kerinci (ilustrasi)
(sumber :M. Ali Surakhman image )

Utusan Belanda dipimpin oleh Imam Marusa dan Imam Mahdi antara Lempur dan Lolo dicegat oleh para hulubalang Kerinci di bawah pimpinan Depati Parbo dari Lolo dan Depati Agung di Lempur.

Imam Marusa dan Imam Mahdi dibunuh di tempat tersebut. Dengan alasan terbunuhnya utusan tersebut, Belanda bersiap untuk menyerang Kerinci. Kedatangan mereka telah diketahui oleh seluruh hulubalang di Kerinci yang telah mempersiapkan pertahanan untuk menyambut kedatangan pasukan Belanda.

Pencegatan terjadi ketika hulubalang sebanyak lebih kurang 18 orang mengadakan patroli ke Renah Manjuto. Kekuatan Belanda berjumlah lebih kurang 300 orang. Pertempuran pertama di Renah Manjuto berkecamuk antara hulubalang Kerinci dengan pasukan Belanda di bawah pimpinan Depati Parbo.

Benteng pertahanan Depati Parbo terletak di sebelah Selatan Desa Lempur Mudik menghadap ke Renah Menjuto. Korban di pihak Belanda banyak sekali sehingga mereka gagal memasuki Kerinci. Ketika itulah pada tahun 1901 Perang Kerinci melawan penjajahan Belanda dimulai.

Di bawah pemerintahan G.G. Van Hents tahun 1900, Belanda berusaha mencari jalan ke Kerinci, yaitu dengan mempergunakan pengaruh Tuanku Regen Indrapura. Bujuk rayu Belanda terhadap Tuanku Ragen Indrapura tidak mampan. Pada bulan Oktober 1901 (Catatan St. Iradat keponakan Tuanku Regen) Kumendur H.K Manupasya bersama asisten Residen Kooreman, meminta agar Tuanku Regen membujuk para Depati dan hulubalang Kerinci mau menerima Pemerintahan Belanda.

Kemenakan Tuanku Regen bernama Sutan Irdat dengan 17 orang hulubalangnya datang ke Kerinci, terus ke Hamparan Besar di Rawang. Sementara itu pasukan Belanda sebanyak 120 orang telah berada di Indrapura, bersiap-siap untuk menyerang Kerinci.

Namun para depati dan hulubalang Kerinci, telah bertekad untuk mempertahankan daerahnya sampai titik darah terakhir. Bulan Maret 1902 pasukan Belanda sebanyak 500 orang di bawah komando Kapten Bolmar mendarat di Muaro Sakai. Tuanku Regen diajak ikut serta. Sebenarnya maksud Belanda adalah sebagai pemandu penunjuk jalan masuk ke Kerinci.

Serangan Belanda secara serentak memasuki Kerinci dilaksanakan dari tiga jurusan :

1. Dari Renah Manjuto;

2. Dari Koto Limau Sering;

3. Dari Temiai.

Para hulubalang Kerinci telah bersiap-siap menyambut kedatangan pasukan Belanda. Perang hebat terjadi pada ke tiga tempat tersebut yaitu di Renah Manjuto, Koto Limau Sering dan Temiai. Banyak korban tewas di pihak Belanda, para depati dan hulubalang Kerinci juga banyak pula syahid. Setelah Koto Limau Sering dikuasai, pasukan Belanda turun memasuki ke lembah Kerinci.

Terjadi Perang di Talang Tehentak. Disusul dengan peperangan dimana-mana seperti di Rawang, Hiang, Pulau Tengah dan Debai. Pertempuran di Lolo, Lempur dan Renah Manjuto dipimpin oleh Depati Parbo dan pertempuran di Temiai dipimpin oleh Depati Menti.

Dalam perang di Pulau Tengah yang dipimpin oleh seorang ulama terkenal masa itu yakni Haji Ismail dan wakilnya Haji Husin, telah bergabung pula para hulubalang dari dusun-dusun lainnya di Kerinci.

Itulah sebabnya dalam sejarah perang Kerinci, pertempuran di dusun ini merupakan pertempuran yang tersengit dan terlama (lebih kurang 3 bulan). Pulau Tengah diserang oleh Belanda sejak tanggal 27 Maret 1902 dari 3 jurusan, yaitu:

1. Dari jurusan Timur; Sanggaran Agung – Jujun;

2. Dari Jurusan Utara; Batang Merao - Danau Kerinci;

3. Dari Jurusan Barat; Semerap - Lempur Danau.

Berkali-kali serangan dilancarkan oleh pasukan Belanda ke Pulau Tengah tetapi selalu gagal. Setelah mendapat bantuan pasukan dan persenjataan dari Padang pasukan Belanda melancarkan serangan yang lebih hebat lagi.

Menurut laporan yang disusun oleh A.Ph Van Aken, kontrolir pemerintah dalam negeri, dengan bantuan biro Ensiklopedi yang dikeluarkan di Batavia tahun 1915, setelah serangan Belanda yang gagal terhadap Pulau Tengah tanggal 19 Juli 1903 banyak para pejuang dari Kerinci Selatan yang mengalir bergabung di negeri ini pasti melakukan perang suci (Sabilillah) sampai kekuatan penghabisan.

Serangan terakhir untuk merebut Pulau Tengah dilakukan Belanda pada tanggal 9 – 10 Agustus 1903 dengan membakar Dusun Baru, perlawanan rakyat dapat mereka selesaikan.

Dalam tulisannya yang berjudul “De Expeditie naar Korintji in 1902 – 1903; imperialisme of ethische politiek, (1897)”, H.J. Van der Tholen mengatakan bahwa dalam perang ini telah tewas 6 orang pasukan Belanda (diantaranya 3 orang perwira), 40 orang luka-luka berat dan ringan.

Pembakaran Dusun Baru mengakibatkan 300 orang hangus terbakar, kebanyakan anak-anak, ibu rumah tangga dan para orang tua yang tidak berdaya. Jika Depati Parbo tertangkap, pejuang di Pulau Tengah telah bersumpah berjuang sampai tetesan darah terakhir. Pejuang-pejuang tersebut tidak satupun yang tertangkap atau menyerah.

Mereka banyak yang tewas dalam pertempuran. Haji Ismail yang selamat dalam kebakaran, disembunyikan penduduk di hutan dekat Pancuran Rayo. Sedangkan Haji Husin dan beberapa orang kawannya menyingkir ke Singapura.

Setelah Pulau Tengah jatuh ke tangan Belanda tanggal 10 Agustus 1903, yang mana pada hakekatnya perang Kerinci telah selesai, namun perlawanan kecil-kecilan masih terjadi di sana– sini. Terakhir pasukan Belanda melanjutkan serangan ke Lolo, markas panglima Perang Kerinci Depati Parbo.

Pertempuran selama 5 hari disini, dan akhirnya Belanda dapat membujuk Depati Parbo mengadakan perundingan damai. Dalam peruningan inilah Depati Parbo ditangkap dan dibuang ke Ternate,

Setelah Kerinci aman pada tahun 1927, atas permohonan Kepala-kepala Mendapo di Kerinci kepada Pemerintah Belanda, Depati Parbo dibebaskan dan kembali ke Kerinci.

Sementara itu, untuk diketahui, pada awal 1906 Pangeran Haji Umar dan saudaranya Pangeran Jaya Kusuma yang mengungsi dari Jambi tiba di Kerinci. Mereka disambut oleh rakyat Kerinci yang tidak senang kepada Belanda. Dengan bermarkas di Pungut.

Pada tahun 1906 terjadi pertempuran di Sanggaran Agung (Kerinci) pasukan Jambi yang dipimpin oleh Pangeran Haji Umar bersama saudaranya Pangeran Seman Jaya Negara. Banyak korban di pihak Belanda akibat serangan tersebut dan banyak pula senjata Belanda yang dapat dirampas.

Serangan tersebut merupakan serangan terakhir sebagai pembalasan terhadap penangkapan Depati Parbo salah seorang panglima perang Kerinci yang kemudian dibuang Belanda ke Ternate.

Di Semerap terdapat markas gabungan pasukan Jambi dan hulubalang Kerinci yang dinamai Renah Pangeran. Sebanyak 3 orang pimpinannya diantaranya Ali Akbar dari Jujun ditangkap Belanda dan dibuang ke Ternate.

Menjelang akhir abad 19 Belanda menambah kekuatannya dengan mendatangkan pasukan dari Palembang, Jawa, dan Aceh ke Jambi. Mengantisipasi serangan Belanda, Sultan Thaha Syaifuddin menyusun strategi dengan membagi wilayah pertahanan, yaitu:

1) Raden Mat Tahir ditetapkan sebagai panglima perang yang wilayahnya meliputi Jambi Kecil, Air Hitam Darat, Ulu Pijoan, Pematang Lumut, Bulian Dalam, Ulu Pauh, Payo Siamang, Jelatang, dan Pijoan;

2) Pangeran Haji Umar Bin Yasir bergelar Pangeran Puspojoyo wilayahnya meliputi Batang Tembesi hingga Kerinci;

Dan Sultan Thaha Syaifuddin bersama Raden Hamzah gelar Diponegoro wilayahnya meliputi Batanghari dan Tembesi. 

Strategi yang disusun Sultan Thaha Syaifuddin tidak berlangsung lama karena beberapa pimpinan tewas atau tertawan. Seperti Sultan Thaha Syaifuddin sendiri tewas di Betung Bedara pada 27 April 1904; dan Pangeran Ratu Kartaningrat ditangkap Belanda dan diasingkan ke Parigi, Sulawesi Tengah.

Lalu Depati Parbo dari Kerinci ditangkap dan diasingkan ke Ternate; Pangeran Haji Umar Puspowijoyo dan Pangeran Seman Jayanegara tewas di Pemunyian, Bungo di tahun 1906; Ratumas Sina di tahun 1906 ditangkap di Pemunyian; Raden Hamzah tewas di tahun 1906 di Lubuk Mengkuang; dan tahun yang sama Raden Pamuk ditangkap di Thehok, Jambi.

Raden Mat Tahir yang kerap kali berhasil meloloskan diri dari sergapan pasukan Belanda disebutkan sebagai seorang yang keras kepala, tidak mudah ditaklukan, seorang lawan yang gesit, dan ditakuti.

Pemerintah Belanda melalui residen di Palembang memerintahkan pasukan marsose untuk menangkap Raden Mat Tahir hidup atau mati. Pengejaran terhadap Raden Mat Tahir pun ditingkatkan dan dengan dibantu seorang Kapten Melayu kedudukan Raden Mat Tahir di Muaro Jambi diserang.

Serangan ini selain menewaskan Raden Mat Tahir, juga Raden Achmad gelar Raden Pamuk Kecik, dan Pak Gabuk, salah seorang pengawal Raden Mat Tahir.

Untuk memastikan kebenaran bahwa yang tewas adalah Raden Mat Tahir, jenazah Raden Mat Tahir dibawa ke Jambi dengan menggunakan kapal "Robert" untuk diperlihatkan pada khalayak ramai. Atas permintaan para pemuka agama Islam, jenazah Raden Mat Tahir dimakamkan di kompleks makam raja-raja di tepi Danau Sipin, Jambi.

Sumber :

-Perjuangan Rakyat Kerinci, Dpt. Alimin

- Dialog sejarah yang diselenggarakan oleh Museum Perjuangan Rakyat Jambi pada 12 Juli 2012

- Sabaruddin Akhmad, Srikandi dan Wira KadipanDalam Perlawanan Terhadap Penjajahan Belanda (www.sabarudin6kadipan.blogspot.com/2014/11/srikandi-dan-wira-kadipan-dalam.html)

- Tulisan M. Alisurakhman




Baca Artikel Terkait: