-->

Sabtu, 30 Januari 2016

Oleh: Rohmat Saputra

TAK diragukan lagi bahwa buah dari amal kebaikan yang ternaungi iman adalah pahala. Besar kecilnya pahala tergantung dari segi amalannya. Namun seseorang harus waspada atas kebaikan yang dilakukan. Karena tidak setiap amal kebaikan melahirkan pahala. Itulah kenapa pentingnya pondasi awal atau landasan dasar perbuatan, yaitu niat yang lurus.

Tentu sebagian besar dari kita mengetahui sebuah hadist yang mengabarkan nasib 3 golongan manusia dengan membawa amalan besarnya. Dermawan, pembaca Al-Qur’an dan orang yang berperang di jalan Allah. Dalam kaca mata Islam, semua amalan itu melahirkan pahala yang besar dan mulia. Lalu kenapa Allah justru menghinakan dan mencampakkan ke dalam neraka kepada 3 pelaku amalan tersebut? Penyebabnya hanya pada niat.Default system dalam amal yang tak boleh dilupakan oleh setiap muslim.

Godaan syetan terhadap manusia bukan hanya terus-terusan pada keburukan. Tapi menjadikan kebaikan yang mampu menggelincirkan pelakunya. Dan itu telah masuk list daftar godaan iblis kepada bani adam. Sebagaimana dalam surat al-a’raf ayat 17 disebutkan “…Syetan akan menggoda dari arah kanannya…”, adalah menggoda dari kebaikan.

Demikian apa yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas. Syetan bukan saja menjauhi kebaikan dari bani adam. Tapi juga membiarkan agar melakukan kebaikan, asal berpandangan bahwa mereka orang paling benar. Atau minimal amalan itu melahirkan rasa ta’ajub pada diri.

Jadi jangan dikira jika melakukan ibadah pasti arahnya selalu ke syurga. Namun seseorang harus sadar bahwa yang membuat manusia itu masuk ke syurga Allah bukan hanya karena amalan. Tapi yang menjadi dominan dan terpenting adalah karena Rahmat Allah.

Rosulullah bersabda ”Tidak seorang pun masuk syurga karena amalannya. Sahabat bertanya”engkau pun tidak wahai Rosulullah?” beliau menjawab “saya pun tidak, kecuali berkat rahmat Allah kepadaku.” (HR. Bukhori no.5673 dan muslim no. 2816)

Lalu, jika seseorang yang beramal ibadah saja sudah muncul besar kepala/ujub dan menganggap manusia yang tidak beramal diremehkan, apakah pantas ia mendapatkan rahmat-Nya?

Alangkah baiknya jika kaum muslimin memiliki sifat rendah hati. Jika dia melakukan shalat malam, ia memandang orang yang tidak shalat malam masih lebih baik dari pada dirinya. Jika dia membaca Al-Qur’an, ia memandang orang yang tidak membaca Al-Qur’an masih lebih baik dari pada dirinya.

Jika ia berinfaq, ia memandang orang yang tidak/belum berinfaq masih lebih baik dari pada dirinya. Inilah yang disebut oleh para ulama adalah tingkatan tertinggi dari sifat zuhud. Tidak menjadikan hati mereka tinggi dengan amal kebaikan. Tetapi justru membuat mereka semakin tunduk dan rendah hati. Ini lebih menyelamatkan mereka dari virus yang mengarahkan pada niat selain Allah dan munculnya bibit-bibit takabur.

Mari kita tengok beberapa ungkapan para salaf yang tercermin dalam menjaga hati agar amalan ibadah yang dilakukan tidak melahirkan ujub dan penyakit lainnya. Mereka sangat khawatir jika amalan yang telah diperbuat akan ditolak.

Umar bin Khattab berkata: “Jika semua penduduk bumi masuk syurga, dan hanya ada satu orang yang akan masuk neraka, aku takutkan jika satu orang itu adalah aku”.

Padahal apa yang kurang dari Umar bin Khattab atas kontribusinya terhadap Islam. Walaupun dia sempat termasuk orang yang sangat membenci Islam, tapi setelah keislamanannya, sangat dirasa kebaikan dan kedamaiannya oleh orang yang ada di sekitar.

Apalagi ketika kekuasaan Islam berada di tongkat kepemimpinannya. Kedamaian dan ketentramannya dirasakan sekali bagi rakyat yang dipimpinnya. Namun dari semua itu tidak membuatnya besar kepala.

Diriwayatkan bahwa Imam Malik bin Dinar rahimahullah berdiri di tengah malam sambil memegang jenggotnya, seraya berkata : ”Ya Ilaahi, engkau telah mengetahui siapa saja (di antara hambamu) yang masuk surga dan siapa saja yang jadi penghuni neraka, lalu kemanakah tempat kembaliku (apakah surga yang ku tuju ataukah neraka yang menantiku). Beliau selalu mengucapkannya sampai datang waktu Subuh (fajar).” (Khusnul Khotimah wa Suu’uhaa, hal. 4).

Dari Fudholah bin ‘Ubaid, beliau mengatakan, “Seandainya aku mengetahui bahwa Allah menerima dariku satu amalan kebaikan sebesar biji saja, maka itu lebih kusukai daripada dunia dan seisinya, karena Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Ma-idah: 27)

Abdul Aziz bin Abi Rowwad berkata, “Saya menemukan para salaf begitu semangat untuk melakukan amalan sholih. Apabila telah melakukannya, mereka merasa khawatir apakah amalan mereka diterima ataukah tidak.”

Sebagian ulama sampai-sampai mengatakan, “Para salaf biasa memohon kepada Allah selama enam bulan agar dapat berjumpa dengan bulan Ramadhan. Kemudian enam bulan sisanya, mereka memohon kepada Allah agar amalan mereka diterima.”

Dari ungkapan-ungkapan para salaf diatas, maka benarlah apa yang dikatakan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah: “Orang mukmin jika ilmunya bertambah, maka bertambah pula ketawadhuannya. Jika bertambah amalannya, bertambah pula kehatian-hatiannya. Jika bertambah umurnya, bertambah pula ketidak rakusannya kepada dunia. Jika bertambah hartanya, bertambah pula kedermawanannya”.

Memang tidak mudah menjaga amalan agar terhindar dari godaan ta’ajub terhadap amalan sendiri. Dari sini, perlu adanya muhasabah amal. Yaitu sebagaimana Imam Syafi’i memberi tips jitu untuk instropeksi amal harian. Sebelum, ketika, dan setelah beramal.

Sebelum beramal, untuk apa dan siapa ia melakukan ibadah. Ketika beramal, apakah niatannya masih lurus seperti diawal, niat hanya kepada Allah, ataukah telah melenceng dari niat awal? Setelah beramal, apakah amal ibadah yang telah diperbuat melahirkan sifat rendah hati, lebih semangat lagi dalam ibadah, atau malah melahirkan sifat ta’ajub, riya’ dan sum’ah?

Semoga berlapis-lapis amal kebaikan yang akan, sedang, dan telah kita lakukan tidak akan menjadi ancaman bagi kita jika tips Imam Asy-Syafi’i di atas terealisasikan. Memang tak ada jaminan amal kebaikan kita akan diterima oleh Allah ta’ala. Tapi paling tidak hal itu bisa memangkas bibit-bibit penyakit hati yang bisa muncul kapan saja.

Kita berharap, semoga Allah menerima semua amal kebaikan, dan menjauhi kita dari penyakit hati yang mampu menggelincirkan dari kebaikan.
Wallahu a’lam bisyowab.
(Islampos)




Baca Artikel Terkait: